08 October 2017

ISLAM DI AFRIKA TIMUR


Muhammad Nasir



Islam di Afrika Timur merupakan pembahasan yang unik. Keunikannya terletak pada perbedaan sejarah masing-masing negara di mana komunitas Muslim berjuang berdasarkan identitasnya masing-masing. Sudan merupakan wilayah pertentangan identitas Muslim-Arab di bagian utara, sementara bagian selatan yang penduduknya terdiri non-Muslim menentang asimilasi terhadap identitas Arab-Muslim, ke dalam negara pusat. Somalia juga menyerupai Sudan, menyerupai negeri-negeri Arab Timur Tengah, dan negeri-negeri Afrika Utara. Mauritania, dengan identitas kesukuan-Muslim dan identitas Arab, menjadi bagian dari identitas nasional Somalia. Ethiopia dijalankan oleh elite Kristen dan bukan di bawah kepemimpinan Muslim. Di Ethiopia penduduk Muslim menentang penggabungan ke dalam negara non-Muslim, bahkan perlawanan Muslim tersebut diekspresikan dalam term sekuler dan bukan dalam term keagamaan.

Resume Buku Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga, Ghufron A. Mas’adi (terj). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h.469-510

SUDAN
Pada abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun negara modern Sudan mempunyai sejarah panjang sebagai Kesultanan Muslim, memiliki jumlah penduduk Muslim yang besar, dan telah mengembangkan sejumlah institusi keagamaan Muslim. Muhammad Ali, seorang gubernur Usmani di Mesir menjadi seorang penguasa independen, yang menaklukkan Kesultanan Funj pada tahun 1820. Ia mendirikan Khartoum sebagai ibukota baru pada tahun 1830. Sejumlah   penguasa Mesir memperluas wilayah mereka sampai ke wilayah hulu Sungai Nile dan sejumlah propinsi di wilayah Khatulistiwa pada tahun 1871, Bahr al-Ghazal pada tahun 1873, dan menaklukkan Darfur pada tahun 1874. Rezim baru tersebut dibentuk untuk mengelola Sudan agar sesuai dengan prinsip-prinsip modernisasi atau Tanzimat yang telah diberlakukan di Mesir.

Rezim Mesir mengorganisir monopoli perdagangan negara, dan ketika sejumlah monopoli perdagangan negara dihapuskan pada masa pemerintahan Muhammad Sa'id (1854-1863p, orang Eropa berhamburan ke Sudan untuk mengambil alih perdagangan getah arabic, kulit unta, dan perdagangan gading. Pada tahun 1863 Khedive Isma'il membentuk Sudan Trading Commission and Company (Perusahaan Komisi dan Perdagangan Sudanp, yang belakangan diubah menjadi the Egyptian Trading and Commission Company untuk membangun dan mengelola jaringan kereta api, rute pelayaran, dan jaringan telegraph. Sebuah perekonomian yang makmur didasarkan pada besarnya penghasilan negara dan pemusatan administrasi.
Mesir juga berusaha menundukkan elite keagamaan Muslim. Rezim Mesir menghapuskan sejumlah hak-hak finansial para faqih lokal, dan menekan beberapa thariqat Sufi. Sebaliknya mereka melindungi sebuah lembaga ulama' yang umumnya dijabat oleh warga Mesir, meskipun lembaga ini juga melibatkan sejumlah mahasiswa keluaran dari al-Azhar. Administrasi peradilan agama Mesir memberlakukan mazhab hukum Hanafi sekalipun sebagian besar tokoh­-tokoh agama setempat penganut mazhab Maliki. Rezim Mesir juga menciptakan peradilan (majlis Makhalli)  di beberapa kota besar dan sebuah peradilan banding (majlis al-ahdan) di Khartoum.
Pemerintahan Mesir membuka jalan bagi penyebaran pembaharuan thariqat Sufi. Melemahnya tokoh suci (wali) Muslim dan kepala suku dalam herhadapan dengan rezim asing mengantarkan pada penyebaran thariqat Muslim versi baru. Pada akhir abad ke-18 sejumlah perkumpulan modernis, yang terilhami oleh kepulangan jama'ah haji dari Makkah dan Madina, telah membuat banyak kemajuan. Berbagai perkumpulan tarekat bermunculan, sekaligus menjadi kekuatan politik baru. Di antaranya:
-          Thariqat Samaniyah diperkenalkan oleh Syaikh Ahmad al-Thayyib ibn Bashir, sekitar tahun 1800 di negarabagian Mahdis
-          Ajaran pembaharuan Ahmad ibn Idris al-Fashi (w.1837) diperkenalkan ke Sudan oleh Muhammad al-Majdhub (1796-1833),
-          Thariqat Khatmiyah diperkenalkan melalui ajaran Muhammad Usman al-Mirghani (1793-1853)
Beberapa thariqat tersebut menghadirkan konsep keagamaan Islam baru, tunduk kepada aturan hukum Islam dan menentang pemujaan tradisional terhadap faqih sebagai penyandang mukjizat dan sebagai orang suci (wali). Meskipun rezim Mesir berusaha membentuk sebuah pemerintahan Islam, namun Sufisme tetap bertahan sebagai basis organisasi lokal dan oposisi terhadap pemerintahan Mesir.
Negara bagian Mahdis juga menghadapi ekspansi kekuasaan Italia, Peran­cis, dan Inggris. Pada tahun 1898 pasukan militer Mesir-Inggris mengalahkan gerakan Mahdis dalam perang Omdurman, Penaklukan ini mengantarkan terbentuknya condominium (wilayah kekuasaan bersama Mesir-Inggris (1899-­1955), sebuah pemerintahan bersama antara Mesir dan Inggris.
Inggris memberlakukan kembali kebijakan keagamaan rezim Mesir yang terdahulu. mereka berusaha melembagakan ulama' dengan membentuk sebuah dewan ulama' pada tahun 1901. Mereka memberikan bantuan dana kepada sejumlah masjid dan perjalanan haji dan menyokong penerapan hukum Islam di dalam pengadilan Muslim, namun pemerintahan Condominium memu­suhi Sufisme.
Pada tahun 1920 lahirlah sebuah gerakan nasionalis sekuler, menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Berikutnya  dibentuk White Flag League (Liga Bendera Putih) yang didukung oleh perwira militer, dan terjadi serangkaian demonstrasi nasionalis pada tahun 1924.
Pada akhir tahun 1930-an kelompok nasionalis dan tokoh-tokoh keagamaan Sudan mulai terorganisir. Pada tahun 1938 Graduate General Congress (kongres Sarjana Umum) dibentuk untuk memberikan pejabat-pejabat Sudan hak berbicara di dalam pemerintahan, tetapi pada tahun 1943 kongres ini dikuasai oleh kelompok Mahdis.
Pada era kepartaian, problem lokalisme Islam telah berkurang dan kemerdekaan nasional menjadi problem sentral, maka gerakan keagamaan Islam menjadi basis bagi partai-partai politik nasionalis. Tokoh-tokoh agama Muslim merupakan satu-satunya yang mampu memobi­lisir dukungan massa, hingga pada Januari 1956 Sudan secara resmi menjadi negara merdeka.
Negara Sudan merdeka menghadapi problem besar untuk menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan agama dan faksional di dalam negeri tersebut mebuat kondisi Sudan poasca kemerdekaan tidak kunjung membaik.Terjadi benturan keras antara gerakan penyokong identitas Islam-Arab melawan ideologi nasionalis sekuler. Perselisihan sekitar konsep nasional diperparah oleh perpecahan antara Muslim-Arab utara dan non-Muslim selatan.
Meskipun secara lebih pragmatis tokoh-tokoh militer telah berusaha menyelesaikan integrasi wilayah selatan dan sebagian warga utara sama sekali tidak dapat menerima negara Sudan sebagai negara sekuler dan sebagai masyarakat pluralis. Sebagian warga selatan masih berpikir dalam term regional dan lokal.
SOMALIA
Suku-suku di Somalia sebagian besar adalah Muslim dan orang Arab. Somalia mulai meraih bentuknya sebagai sebuah negara modern pada tahun 1891, ketika negara dibagi antara pihak Inggris dan Italia. Protektorat Italia dikelola dengan cara yang sangat birokratis dan menyokong pembangunan irigasi, jalan raya, jaringan kereta api, dan sejumlah sekolah. Namun dengan berkobarnya Perang Dunia II Inggris menaklukkan negeri Somali yang dikuasai Italia dan merebut kekuasaan atas seluruh wilayah yang di masa mendatang dikenal sebagai negara Somali. Pada tahun 1950 negeri Somali dikembalikan kepada Italia sebagai sebuah United Nations Trusteeship (Perkumpulan Masyarakat Perwalian), sedang wilayah selatan dan utara baru disatukan pada tahun 1960 ketika negeri Somali menjadi sebuah negeri yang merdeka. Pemerintahan baru tersebut berusaha mengintegrasikan secara cepat sektor­-sektor peninggalan Inggris dan Italia.
Masyarakat Somali memiliki unsur kebangsaan kultural dan kebahasaan yang tunggal tetapi mereka tidak membentuk sebuah entitas politik. Mereka seluruhnya Muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok keturunan-keturunan Somali dan Sab- yang kemudian terbagi lagi oleh sistem segmenter yang kompleks menjadi sejumlah konfederasi, subkonfederasi, suku, dan pecahan suku. Suku merupakan bentuk organisasi politik yang berkembang umum.
Warga Somali memeluk tiga thariqat Sufi -Qadiriyah, Ahmadiyah dan Tariqat Salihiyah. Pada umumnya, thariqat-thariqat Sufi menjalin hubungan erat dengan suku-suku Somali. Di dalam masyarakat kesukuan, para Sufi berperan sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hukum Muslim dalam urusan perkawinan, properti, dan perjanjian. Mereka juga bertindak sebagai mediator sekaligus arbitrator persengketaan.
ETHIOPIA
Ethiopia merupakan contoh sebuah negara yang di dalamnya terjadi perselisihan tajam antara penduduk Muslim dan non-Muslim. Konflik ini berlansung sejak abad ke-13. Menelik II (1867-1913), Maharaja kerajaan Ethiopia-Kristen berusaha mencaplok minoritas Muslim di Harar, Sidamo, Arussi, Bale, dan di Eritrea. Kerajaan Ethiopia tersebut juga berusaha menahan ancaman kolonialisme Eropa. Pada tahun 1885 Italia menundukkan Massawa, tetapi melalui Perjanjian Uccialli tahun 1896 Menelik meraih kemerdekaan sepenuhnya, meskipun Italia memandangnya sebagai sebuah Perjanjian Protektorat. Tetapi invasi Italia kembali hadir pada tahun 1934 dan 1935, yang memaksa Kaisar Haile Selassie melarikan diri dan mengantarkan pada pembentukan imperium Afrika Timur-Italia, meliputi wilayah Ethiopia, Eritrea, dan Somalia.
Dalam situasi yang kacau-balau ini minoritas Muslim menggunakan kesempatan untuk melancarkan perlawanan mereka terhadap upaya penggabungan ke dalam negara Ethiopia. Sejak abad ke-19 di bawah kekuasaan Ethiopia pihak Muslim dikeluarkan dari beberapa jabatan publik, meskipun  konstitusi tahun 1931 mengukuhkan persamaan hak dan mengizinkan pihak  Muslim memiliki tanah, menduduki beberapa posisi pemerintahan, dan sejumlah festival keagamaan Muslim diakui secara resmi. Sikap ini dilandasi rasa kecewa ummat Muslim telah tersebar luas di propinsi Bale, di mana masyarakat Somali dan Galla melancarkan pemberontakan. Dengan didukung Sa'udi Arabia, Sultan Afars melancarkan pemberontakan di Ogaden. Pemberontalan ini gagal.
Eritrea menjadi pusat utama bagi kelanjutan perlawanan Muslim. Pada tahu 1951­ Eritrea digabungkan dengan Ethiopia berdasarkan otonomi regional. sebalih rya Selassie berusaha mengintegrasikannya ke dalam Ethiopia. Pada tahun 1957 bahasa Arab dan Tigriniya dihapuskan sebagai bahasa resmi. Hal ini mengantarkan pada pembentukan sebuah Eritrean Liberation Front (ELF) yang terdiri kalangan mahasiswa, pekerja dan intelektua. Pada tahun 1962 gerakan ini berhasil ditindas dan Eritrea secara resmi dicaplok oleh Ethiopia. Sebagai responnya Front Pembebasan Eritrea (ELF) diorganisir kembali oloh tokoh-tokohnya yang mengasingkan diri di Cairo dan oleh tentara-tentara lokal yang didukung sejumlah tokoh kesukuan dan tokoh keagamaan.
Gerakan baru tersebut tidak memiliki target sosial atau ideologis melainkan sekadar sebagai wujud dari perlawanan kelompok Mus­lim tanpa didasarkan pada corak Islam atau ideologi lainnya. Sekalipun demikian, pada tahun 1970 sejumlah faksi Front Pembebasan Eritrea yang rnerasa tidak puas dengan kecenderungan ideologi yang lebih radikal membentuk Eritrean People's Liberation Front (Front Pembebasan Rakyat Eritrea: EPLF), dan dengan berdasarkan ideologi radikal dan bukan ber­dasarkan identitas Muslim, menciptakan sebuah koalisi dengan Kristen Eritrea yang membenci dominasi elite Ethiopia Amharic.
Pada tahun 1977 EPLF dan ELF menyepakati kemerdekaan sebagai tujuan bersama, tetapi pada tahun berikutnya Ethiopia mengalahkan ELF dan merebut sejumlah kota di Eritrea, dan mendesak EPLF menuju wilayah pinggiran. Di Ethiopia peperangan antara warga Kristen yang mendominasi negara dan lawan utamanya (Muslim) tetap berlangsung.
AFRIKA TIMUR SWAHILI
(Zanzibar, Tanganyika, Kenya, Uganda)
Pada abad ke-19 wilayah pesisir Afrika Timur merupakan negeri bagi sebuah peradaban Muslim Swahili. Pusat utama kebudayaan Muslim tersebut adalah Zanzibar. Zanzibar ditaklukkan oleh Sayyid Sa'id ibn Sultan, penguasa Oman (1804-1856), dan merupakan ibukota bagi satu-satunya negara Muslim di  wilayah tersebut. Zanzibar memiliki sistem organisasi admin­istrasi dan pengajaran Muslim yang terbaik. Zanzibar memiliki sejumlah qadi dan mufti, sebagian besar mereka keturunan Arabia Selatan.
Pemerintahan protektorat Eropa dibentuk pada akhir abad ke- l9 di Zanzibar, Tanganyika, Kenya, Uganda, dan di beberapa wilayah lainnya. Namun pemerintahan Eropa secara aktual mempercepat penyebaran penduduk Muslim. Setelah Perang Dunia I, jumlah penduduk Muslim di Tanganyika meningkat mencapai 25 persen dari seluruh jumlah penduduk. Hal ini agaknya menunjukkan bahwasanya penyebaran Islam ditunjang oleh kondisi politik yang tidak stabil, kebutuhan akan identitas bersama bagi penduduk yang heterogen, dan mereka memilih Islam sebagai identitas bersama.. Penyebaran Islam juga didukung oleh penggunaan bahasa Swahili sebagai lingua franca (bahasa percakapan, bahasa perhubungan) di Kenya, Tanganyika, Uganda, Rhodesia Utara, Madagascar, Congo timur, dan di beberapa daerah Afrika Timur lainnya. Penyebaran kepatuhan terhadap Islam diiringi dengan penyebaran thariqat Sufi. Di antaranya  Thariqat Sadziliyah, dan Thariqat Qadiriyah, diwakili oleh cabang-thariqat Uwaysiyah. Uwaysiyah merupakan thariqat masyarakat berbahasa Swahili dan Bantu yang paling aktif, memikat warga Muslim ke dalam thariqat tersebut, dan mengislamkan warga pagan. Mereka juga memimpin perlawanan Muslim anti Jerman di Tanganyika selatan.
Keadaan penduduk Muslim berbeda pada masing-masing wilayah kolonial. Zanzibar didominasi oleh penduduk Arab, yang menguasai sebagian besar lahan subur, menjalankan pengabdian kemasyarakatan, dan menguasai dinas pemerintahan dan kepolisian. Sebuah komunitas Indo-Pakistan menguasai kegiatan perniagaan dan perdagangan. Mayoritas pribumi Afrika sebagian besar adalah pengrajin, nelayan, dan pekerja, dan menamakan diri mereka sendiri sebagai Shirazis, namun mereka terbagi menjadi sejumlah kesukuan. Kaum migran dari daratan Afrika Timur mengumpul di kota Zan­zibar dan mengembangkan rasa kesatuan politik.
Perang dunia II melahirkan gerakan yang menuntut kemerdekaan dan mengobarkan sebuah pergolakan politik antara beberapa segmen masyarakat  Zanzibar. Pada tahun 1964 Zanzibar dan Tanganyika pada akhirnya bergabung menjadi negara Tanzania yang lebih besar. Zanzibar sebagai sebuah propinsi Tanzania tetap mempertahankan identitas Islam.
Di bawah kepemimpinan Julius Nyerere, Tanzania merupakan salah satu negara Afrika yang paling berhasil menciptakan konsep sebuah negara nasyarakat nasional yang memusatkan diri untuk mencapai kesejahteraan warganya. Tanzania mengambil nilai-nilai modern seperti persamaan, demokrasi, desentralisasi pemerintahan, sosialisme, dan partisipasi komunal masyarakat politik secara penuh. Konsep doktrinal tersebut te­ingkas dalam term ujamaa atau komunitas.
Sangat berbeda dengan situasi di Zanzibar, ummat Muslim di Tanganyika tidak terorganisir di bawah dukungan negara melainkan bertahan sebagai minoritas agama yang beragam di dalam kerangka-kerja rezim non-Muslim.
Sementara Tanganyika berkembang menjadi masyarakat Afrika, Kenya justru menjadi masyarakat kulit putih pendatang. Kenya dikuasai oleh British East Africa Company (Perusahaan Dagang Afrika Timur Inggris) pada tahun 1888, menjadi sebuah pemerintahan protektorat yang terpisah pada tahun 1904 dan menegaskan diri sebagai mahkota koloni pada tahun 1918. Antara tahun 1900 dan 1919 negeri ini ditaklukkan dengan pasukan bersenjata dan diorganisir untuk kepentingan permukiman Bangsa Eropa. Bangsa kulit putih dari Afrika Selatan, Inggris, Selandia Baru, Australia, dan Kanada bermukim di wilayah dataran tinggi, sementara warga Afrika didesak ke beberapa kampung pribumi.
Dari tahun 1923 sampai 1952 Inggris menempuh sebuah kebijakan pemisahan dalam pembangunan, dan mengutamakan warga kulit putih dengan memanipulasi sejumlah wilayah kosong Afrika untuk mengamankan sejumlah pertanahan subur dan sumber-sumber mineral.
Penduduk Muslim Kenya relatif lebih kecil dibandingkan Tanzania. Penduduk Muslim yang tinggal di daerah pesisir merupakan kerabat dekat warga Muslim Zanzibar. Penduduk wilayah bagian tengah memeluk Islam setelah Perang Dunia I akibat kontak dagang dengan warga pesisir. Terdapat sejumlah perkumpulan Muslim, seperti Kenya Muslim Welfare Society, yang mem prakarsai pendidikan sejumlah sekolah dan klinik, namun warga Muslim Kenya tidak terlibat dalam politik nasional sebagai sebuah kelompok yang terorganisir.
Uganda dijadikan sebagai wilayah protektorat Inggris pada tahun 1893, dan perjanjian Uganda tahun 1900 mengantarkan seluruh wilayah negeri ini ke dalam penguasaan peme­rintah Inggris. Pada tahun 1914 Inggris menjadikan kepala-kepala suku yang ada tunduk di bawah kekuasaan mereka. Ketika berusaha menundukkan Uganda pihak Inggris bersekutu dengan warga Protestan dan mendukung penyebaran Kristen sebagai tandingan bagi Islam. Selama pemerintahan Inggris, sistem pendidikan Uganda dirumuskan, dibagi sejalan dengan kelompok keagamaan yang ada. Warga Katolik dan Protestan diistimewakan dengan pemberian tanah pemerintah, sebaliknya warga Muslim tidak diperlakukan secara sama dalam pengangkatan sebagai pegawai atau pejabat dan dalam pemberian bantuan pemerintah untuk masjid dan sekolah-sekolah.
Pada Januari 1971 sebuah coup d’etat militer mengantarkan Jenderal Idi Amin berkuasa. Idi Amin didukung faksi Nubian yang terhimpun dalam pasukan bersenjata Uganda yang keturunan emigran Sudan tahun 1880-an.
Meskipun Inggris di Uganda cenderung memusuhi Islam, namun Islam tetap tersebarluas sebagai akibat dari pengaruh pedagang Arab, tentara Sudan, dan kontak dengan masyarakat Swahili. Tahun 1930 terdapat sekitar 122.000 warga Muslim. Di bawah rezim Idi Amin yang Muslim, ummat Muslim mendapatkan dukungan pemerintah. Asosiasi Pelajar Muslim Uganda dan Majelis Tertinggi Muslim Uganda dibentuk sebagai sarana mengorganisir komunitas Muslim di bawah pengawasan negara. Idi Amin tidak lebih berhasil dibandingkan para penguasa pendahulunya dalam memobilisir ummat Muslim. Mereka tetap tidak disatukan dan tidak pula disubordinasikan ke dalam aparat kenegaraan. Ia mengeluarkan warga India dan Pakistan. Namun, sepeninggalnya, banyak warga Muslim yang meninggalkan negeri ini dan sejumlah masjid serta sekolah dihancurkan oleh pihak musuh mereka.
Pada tahun 1960-an beberapa wilayah yang semula merupakan bagian dari kekuasaan kolonial di Afrika Timur seperti Ruwanda, Burundi, Malawi, dan Congo juga lahir sebagai negara merdeka. Sejumlah kecil komunitas Muslim juga tinggal di wilayah negara-negara tersebut. Minoritas Muslim ini menetap di bawah pengaruh pedagang-pedagangArab dan Swahili, da’i Afrika Timur, dan para pedagang Pakistan. Di negeri tersebut penduduk muslim jumlahnya sangat kecil, miskin, tidak terdidik, dan sangat kecil perannya dalam politik nasional. Selain komunitas Asia yang hidup makmur dan komunitas pedagang Swahili di wilayah pesisir, komunitas Muslim bertahan sebagai penduduk miskin dan tidak tersentuh kemajuan yang berlangsung di dunia Muslim lainnya.
ISLAM UNIVERSAL
DAN KERAGAMAN BANGSA AFRIKA
Keragaman Islam masyarakat Afrika sub-Sahara memperlihatkan se­jumlah implikasi keyakinan Muslim terhadap sikap politik dan sosial yang berbeda-beda. Meskipun ummat Muslim pada abad ke-19 utamanya telah herusaha keras membentuk negara Muslim di Sudan dan Afrika Barat, namun hanya pada wilayah di mana warga Muslimnya relatif homogen (dan warga Arab), sebagaimana di Mauritania atau di Somalia, dapat mengukuhkan negara Muslim yang tetap bertahan sampai sekarang ini. Meskipun pada dasarnya Islam diyakini sebagai sebuah tatanan politik yang komprehensif, citra Islam tradisional telah diadaptasikan dengan aktualitas politik.
Meskipun pada dasarnya Islam merupakan sebuah agama universal yang didasarkan pada kitab suci-wahyu, di Afrika Islam mengambil banyak sekali bentuk keragaman lokal. Selanjutnya Islam merupakan sebuah simbol identitas yang diadaptasikan terhadap situagi politik, sosial, dan perekonomian sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip keyakinan agama, organisasi komunal, dan kekuasaan negara dapat senantiasa dipadukan dalam cara yang berbeda-beda.

(Muhammad Nasir)

No comments: