Muhammad Nasir
Islam di Afrika Timur merupakan pembahasan
yang unik. Keunikannya terletak pada perbedaan sejarah masing-masing negara di
mana komunitas Muslim berjuang berdasarkan identitasnya masing-masing. Sudan merupakan
wilayah pertentangan identitas Muslim-Arab di bagian utara, sementara bagian
selatan yang penduduknya terdiri non-Muslim menentang asimilasi terhadap
identitas Arab-Muslim, ke dalam negara pusat. Somalia juga menyerupai Sudan,
menyerupai negeri-negeri Arab Timur Tengah, dan negeri-negeri Afrika Utara.
Mauritania, dengan identitas kesukuan-Muslim dan identitas Arab, menjadi bagian
dari identitas nasional Somalia. Ethiopia dijalankan oleh elite Kristen dan
bukan di bawah kepemimpinan Muslim. Di Ethiopia penduduk Muslim menentang
penggabungan ke dalam negara non-Muslim, bahkan perlawanan Muslim tersebut
diekspresikan dalam term sekuler dan bukan dalam term keagamaan.
Resume Buku Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga, Ghufron A. Mas’adi (terj). Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999, h.469-510
SUDAN
Pada abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun
negara modern Sudan mempunyai sejarah panjang sebagai Kesultanan Muslim, memiliki
jumlah penduduk Muslim yang besar, dan telah mengembangkan sejumlah institusi
keagamaan Muslim. Muhammad Ali, seorang gubernur Usmani di Mesir menjadi
seorang penguasa independen, yang menaklukkan Kesultanan Funj pada tahun 1820. Ia
mendirikan Khartoum sebagai ibukota baru pada tahun 1830. Sejumlah penguasa Mesir memperluas wilayah mereka
sampai ke wilayah hulu Sungai Nile dan sejumlah propinsi di wilayah
Khatulistiwa pada tahun 1871, Bahr al-Ghazal pada tahun 1873, dan menaklukkan
Darfur pada tahun 1874. Rezim baru tersebut dibentuk untuk mengelola Sudan agar
sesuai dengan prinsip-prinsip modernisasi atau Tanzimat yang telah diberlakukan
di Mesir.
Rezim Mesir mengorganisir monopoli perdagangan
negara, dan ketika sejumlah monopoli perdagangan negara dihapuskan pada masa
pemerintahan Muhammad Sa'id (1854-1863p, orang Eropa berhamburan ke Sudan untuk
mengambil alih perdagangan getah arabic, kulit unta, dan perdagangan gading.
Pada tahun 1863 Khedive Isma'il membentuk Sudan Trading Commission and
Company (Perusahaan Komisi dan Perdagangan Sudanp, yang belakangan diubah
menjadi the Egyptian Trading and Commission Company untuk membangun dan
mengelola jaringan kereta api, rute pelayaran, dan jaringan telegraph. Sebuah
perekonomian yang makmur didasarkan pada besarnya penghasilan negara dan
pemusatan administrasi.
Mesir juga berusaha menundukkan elite keagamaan
Muslim. Rezim Mesir menghapuskan sejumlah hak-hak finansial para faqih lokal,
dan menekan beberapa thariqat Sufi. Sebaliknya mereka melindungi sebuah lembaga
ulama' yang umumnya dijabat oleh warga Mesir, meskipun lembaga ini juga melibatkan
sejumlah mahasiswa keluaran dari al-Azhar. Administrasi peradilan agama Mesir memberlakukan
mazhab hukum Hanafi sekalipun sebagian besar tokoh-tokoh agama setempat
penganut mazhab Maliki. Rezim Mesir juga menciptakan peradilan (majlis
Makhalli) di beberapa kota besar dan
sebuah peradilan banding (majlis al-ahdan) di Khartoum.
Pemerintahan Mesir membuka jalan bagi penyebaran
pembaharuan thariqat Sufi. Melemahnya tokoh suci (wali) Muslim dan kepala suku
dalam herhadapan dengan rezim asing mengantarkan pada penyebaran thariqat
Muslim versi baru. Pada akhir abad ke-18 sejumlah perkumpulan modernis, yang
terilhami oleh kepulangan jama'ah haji dari Makkah dan Madina, telah membuat
banyak kemajuan. Berbagai perkumpulan tarekat bermunculan, sekaligus menjadi
kekuatan politik baru. Di antaranya:
-
Thariqat Samaniyah diperkenalkan oleh
Syaikh Ahmad al-Thayyib ibn Bashir, sekitar tahun 1800 di negarabagian Mahdis
-
Ajaran pembaharuan Ahmad ibn Idris
al-Fashi (w.1837) diperkenalkan ke Sudan oleh Muhammad al-Majdhub (1796-1833),
-
Thariqat Khatmiyah diperkenalkan melalui
ajaran Muhammad Usman al-Mirghani (1793-1853)
Beberapa thariqat tersebut menghadirkan konsep
keagamaan Islam baru, tunduk kepada aturan hukum Islam dan menentang pemujaan
tradisional terhadap faqih sebagai penyandang mukjizat dan sebagai orang suci
(wali). Meskipun rezim Mesir berusaha membentuk sebuah pemerintahan Islam,
namun Sufisme tetap bertahan sebagai basis organisasi lokal dan oposisi
terhadap pemerintahan Mesir.
Negara bagian Mahdis juga menghadapi ekspansi
kekuasaan Italia, Perancis, dan Inggris. Pada tahun 1898 pasukan militer
Mesir-Inggris mengalahkan gerakan Mahdis dalam perang Omdurman, Penaklukan ini
mengantarkan terbentuknya condominium (wilayah kekuasaan bersama
Mesir-Inggris (1899-1955), sebuah pemerintahan bersama antara Mesir dan
Inggris.
Inggris memberlakukan kembali kebijakan keagamaan
rezim Mesir yang terdahulu. mereka berusaha melembagakan ulama' dengan
membentuk sebuah dewan ulama' pada tahun 1901. Mereka memberikan bantuan dana
kepada sejumlah masjid dan perjalanan haji dan menyokong penerapan hukum Islam
di dalam pengadilan Muslim, namun pemerintahan Condominium memusuhi Sufisme.
Pada tahun 1920 lahirlah sebuah gerakan nasionalis
sekuler, menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri. Berikutnya dibentuk White Flag League (Liga
Bendera Putih) yang didukung oleh perwira militer, dan terjadi serangkaian
demonstrasi nasionalis pada tahun 1924.
Pada akhir tahun 1930-an kelompok nasionalis dan
tokoh-tokoh keagamaan Sudan mulai terorganisir. Pada tahun 1938 Graduate
General Congress (kongres Sarjana Umum) dibentuk untuk memberikan pejabat-pejabat
Sudan hak berbicara di dalam pemerintahan, tetapi pada tahun 1943 kongres ini
dikuasai oleh kelompok Mahdis.
Pada era kepartaian, problem lokalisme Islam telah
berkurang dan kemerdekaan nasional menjadi problem sentral, maka gerakan
keagamaan Islam menjadi basis bagi partai-partai politik nasionalis. Tokoh-tokoh
agama Muslim merupakan satu-satunya yang mampu memobilisir dukungan massa,
hingga pada Januari 1956 Sudan secara resmi menjadi negara merdeka.
Negara Sudan merdeka menghadapi problem besar untuk
menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan agama dan faksional di
dalam negeri tersebut mebuat kondisi Sudan
poasca kemerdekaan tidak kunjung membaik.Terjadi benturan keras antara gerakan penyokong
identitas Islam-Arab melawan ideologi nasionalis sekuler. Perselisihan sekitar
konsep nasional diperparah oleh perpecahan antara Muslim-Arab utara dan
non-Muslim selatan.
Meskipun secara lebih pragmatis
tokoh-tokoh militer telah berusaha menyelesaikan integrasi wilayah selatan dan
sebagian warga utara sama sekali tidak dapat menerima negara Sudan sebagai
negara sekuler dan sebagai masyarakat pluralis. Sebagian warga selatan masih
berpikir dalam term regional dan lokal.
SOMALIA
Suku-suku di Somalia sebagian besar adalah Muslim
dan orang Arab. Somalia mulai meraih bentuknya sebagai sebuah negara modern
pada tahun 1891, ketika negara dibagi antara pihak Inggris dan Italia.
Protektorat Italia dikelola dengan cara yang sangat birokratis dan menyokong
pembangunan irigasi, jalan raya, jaringan kereta api, dan sejumlah sekolah.
Namun dengan berkobarnya Perang Dunia II Inggris menaklukkan negeri Somali yang
dikuasai Italia dan merebut kekuasaan atas seluruh wilayah yang di masa
mendatang dikenal sebagai negara Somali. Pada tahun 1950 negeri Somali
dikembalikan kepada Italia sebagai sebuah United Nations Trusteeship
(Perkumpulan Masyarakat Perwalian), sedang wilayah selatan dan utara baru
disatukan pada tahun 1960 ketika negeri Somali menjadi sebuah negeri yang
merdeka. Pemerintahan baru tersebut berusaha mengintegrasikan secara cepat
sektor-sektor peninggalan Inggris dan Italia.
Masyarakat Somali memiliki unsur kebangsaan kultural
dan kebahasaan yang tunggal tetapi mereka tidak membentuk sebuah entitas
politik. Mereka seluruhnya Muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok
keturunan-keturunan Somali dan Sab- yang kemudian terbagi lagi oleh sistem
segmenter yang kompleks menjadi sejumlah konfederasi, subkonfederasi, suku, dan
pecahan suku. Suku merupakan bentuk organisasi politik yang berkembang umum.
Warga Somali memeluk tiga
thariqat Sufi -Qadiriyah, Ahmadiyah dan Tariqat Salihiyah. Pada umumnya,
thariqat-thariqat Sufi menjalin hubungan erat dengan suku-suku Somali. Di dalam
masyarakat kesukuan, para Sufi berperan sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi
hukum Muslim dalam urusan perkawinan, properti, dan perjanjian. Mereka juga
bertindak sebagai mediator sekaligus arbitrator persengketaan.
ETHIOPIA
Ethiopia merupakan contoh sebuah negara yang di dalamnya
terjadi perselisihan tajam antara penduduk Muslim dan non-Muslim. Konflik ini
berlansung sejak abad ke-13. Menelik II (1867-1913), Maharaja kerajaan
Ethiopia-Kristen berusaha mencaplok minoritas Muslim di Harar, Sidamo, Arussi,
Bale, dan di Eritrea. Kerajaan Ethiopia tersebut juga berusaha menahan ancaman kolonialisme
Eropa. Pada tahun 1885 Italia menundukkan Massawa, tetapi melalui Perjanjian
Uccialli tahun 1896 Menelik meraih kemerdekaan sepenuhnya, meskipun Italia
memandangnya sebagai sebuah Perjanjian Protektorat. Tetapi invasi Italia kembali
hadir pada tahun 1934 dan 1935, yang memaksa Kaisar Haile Selassie melarikan diri
dan mengantarkan pada pembentukan imperium Afrika Timur-Italia, meliputi
wilayah Ethiopia, Eritrea, dan Somalia.
Dalam situasi yang kacau-balau ini minoritas Muslim
menggunakan kesempatan untuk melancarkan perlawanan mereka terhadap upaya penggabungan
ke dalam negara Ethiopia. Sejak abad ke-19 di bawah kekuasaan Ethiopia pihak
Muslim dikeluarkan dari beberapa jabatan publik, meskipun konstitusi tahun 1931 mengukuhkan persamaan
hak dan mengizinkan pihak Muslim
memiliki tanah, menduduki beberapa posisi pemerintahan, dan sejumlah festival
keagamaan Muslim diakui secara resmi. Sikap ini dilandasi rasa kecewa ummat
Muslim telah tersebar luas di propinsi Bale, di mana masyarakat Somali dan
Galla melancarkan pemberontakan. Dengan didukung Sa'udi Arabia, Sultan Afars
melancarkan pemberontakan di Ogaden. Pemberontalan ini gagal.
Eritrea menjadi pusat utama bagi kelanjutan perlawanan
Muslim. Pada tahu 1951 Eritrea digabungkan dengan Ethiopia berdasarkan otonomi
regional. sebalih rya Selassie berusaha mengintegrasikannya ke dalam Ethiopia.
Pada tahun 1957 bahasa Arab dan Tigriniya dihapuskan sebagai bahasa resmi. Hal
ini mengantarkan pada pembentukan sebuah Eritrean Liberation Front (ELF)
yang terdiri kalangan mahasiswa, pekerja dan intelektua. Pada tahun 1962
gerakan ini berhasil ditindas dan Eritrea secara resmi dicaplok oleh Ethiopia.
Sebagai responnya Front Pembebasan Eritrea (ELF) diorganisir kembali oloh
tokoh-tokohnya yang mengasingkan diri di Cairo dan oleh tentara-tentara lokal
yang didukung sejumlah tokoh kesukuan dan tokoh keagamaan.
Gerakan baru tersebut tidak memiliki target sosial
atau ideologis melainkan sekadar sebagai wujud dari perlawanan kelompok Muslim
tanpa didasarkan pada corak Islam atau ideologi lainnya. Sekalipun demikian,
pada tahun 1970 sejumlah faksi Front Pembebasan Eritrea yang rnerasa tidak puas
dengan kecenderungan ideologi yang lebih radikal membentuk Eritrean People's
Liberation Front (Front Pembebasan Rakyat Eritrea: EPLF), dan dengan
berdasarkan ideologi radikal dan bukan berdasarkan identitas Muslim, menciptakan
sebuah koalisi dengan Kristen Eritrea yang membenci dominasi elite Ethiopia
Amharic.
Pada tahun 1977 EPLF dan ELF
menyepakati kemerdekaan sebagai tujuan bersama, tetapi pada tahun berikutnya
Ethiopia mengalahkan ELF dan merebut sejumlah kota di Eritrea, dan mendesak EPLF menuju wilayah pinggiran. Di Ethiopia
peperangan antara warga Kristen yang mendominasi negara dan lawan utamanya (Muslim)
tetap berlangsung.
AFRIKA TIMUR SWAHILI
(Zanzibar, Tanganyika, Kenya, Uganda)
Pada abad ke-19 wilayah pesisir Afrika Timur
merupakan negeri bagi sebuah peradaban Muslim Swahili. Pusat utama kebudayaan
Muslim tersebut adalah Zanzibar. Zanzibar ditaklukkan oleh Sayyid Sa'id ibn
Sultan, penguasa Oman (1804-1856), dan merupakan ibukota bagi satu-satunya
negara Muslim di wilayah tersebut.
Zanzibar memiliki sistem organisasi administrasi dan pengajaran Muslim yang
terbaik. Zanzibar memiliki sejumlah qadi dan mufti, sebagian besar mereka
keturunan Arabia Selatan.
Pemerintahan protektorat Eropa dibentuk pada akhir
abad ke- l9 di Zanzibar, Tanganyika, Kenya, Uganda, dan di beberapa wilayah
lainnya. Namun pemerintahan Eropa secara aktual mempercepat penyebaran penduduk
Muslim. Setelah Perang Dunia I, jumlah penduduk Muslim di Tanganyika meningkat
mencapai 25 persen dari seluruh jumlah penduduk. Hal ini agaknya menunjukkan
bahwasanya penyebaran Islam ditunjang oleh kondisi politik yang tidak stabil,
kebutuhan akan identitas bersama bagi penduduk yang heterogen, dan mereka
memilih Islam sebagai identitas bersama.. Penyebaran Islam juga didukung oleh
penggunaan bahasa Swahili sebagai lingua franca (bahasa percakapan, bahasa
perhubungan) di Kenya, Tanganyika, Uganda, Rhodesia Utara, Madagascar, Congo
timur, dan di beberapa daerah Afrika Timur lainnya. Penyebaran kepatuhan
terhadap Islam diiringi dengan penyebaran thariqat Sufi. Di antaranya Thariqat Sadziliyah, dan Thariqat Qadiriyah,
diwakili oleh cabang-thariqat Uwaysiyah. Uwaysiyah merupakan thariqat
masyarakat berbahasa Swahili dan Bantu yang paling aktif, memikat warga Muslim
ke dalam thariqat tersebut, dan mengislamkan warga pagan. Mereka juga memimpin
perlawanan Muslim anti Jerman di Tanganyika selatan.
Keadaan penduduk Muslim berbeda pada masing-masing
wilayah kolonial. Zanzibar didominasi oleh penduduk Arab, yang menguasai
sebagian besar lahan subur, menjalankan pengabdian kemasyarakatan, dan
menguasai dinas pemerintahan dan kepolisian. Sebuah komunitas Indo-Pakistan
menguasai kegiatan perniagaan dan perdagangan. Mayoritas pribumi Afrika
sebagian besar adalah pengrajin, nelayan, dan pekerja, dan menamakan diri
mereka sendiri sebagai Shirazis, namun mereka terbagi menjadi sejumlah
kesukuan. Kaum migran dari daratan Afrika Timur mengumpul di kota Zanzibar dan
mengembangkan rasa kesatuan politik.
Perang dunia II melahirkan gerakan yang menuntut
kemerdekaan dan mengobarkan sebuah pergolakan politik antara beberapa segmen
masyarakat Zanzibar. Pada tahun 1964 Zanzibar
dan Tanganyika pada akhirnya bergabung menjadi negara Tanzania yang lebih
besar. Zanzibar sebagai sebuah propinsi Tanzania tetap mempertahankan identitas
Islam.
Di bawah kepemimpinan Julius Nyerere, Tanzania
merupakan salah satu negara Afrika yang paling berhasil menciptakan konsep
sebuah negara nasyarakat nasional yang memusatkan diri untuk mencapai
kesejahteraan warganya. Tanzania mengambil nilai-nilai modern seperti persamaan,
demokrasi, desentralisasi pemerintahan, sosialisme, dan partisipasi komunal
masyarakat politik secara penuh. Konsep doktrinal tersebut teingkas dalam term
ujamaa atau komunitas.
Sangat berbeda dengan situasi di Zanzibar, ummat
Muslim di Tanganyika tidak terorganisir di bawah dukungan negara melainkan
bertahan sebagai minoritas agama yang beragam di dalam kerangka-kerja rezim
non-Muslim.
Sementara Tanganyika berkembang menjadi masyarakat
Afrika, Kenya justru menjadi masyarakat kulit putih pendatang. Kenya dikuasai
oleh British East Africa Company (Perusahaan Dagang Afrika Timur Inggris)
pada tahun 1888, menjadi sebuah pemerintahan protektorat yang terpisah pada
tahun 1904 dan menegaskan diri sebagai mahkota koloni pada tahun 1918. Antara
tahun 1900 dan 1919 negeri ini ditaklukkan dengan pasukan bersenjata dan
diorganisir untuk kepentingan permukiman Bangsa Eropa. Bangsa kulit putih dari
Afrika Selatan, Inggris, Selandia Baru, Australia, dan Kanada bermukim di
wilayah dataran tinggi, sementara warga Afrika didesak ke beberapa kampung
pribumi.
Dari tahun 1923 sampai 1952 Inggris menempuh sebuah
kebijakan pemisahan dalam pembangunan, dan mengutamakan warga kulit putih dengan
memanipulasi sejumlah wilayah kosong Afrika untuk mengamankan sejumlah
pertanahan subur dan sumber-sumber mineral.
Penduduk
Muslim Kenya relatif lebih kecil dibandingkan Tanzania. Penduduk Muslim yang
tinggal di daerah pesisir merupakan kerabat dekat warga Muslim Zanzibar. Penduduk
wilayah bagian tengah memeluk Islam setelah Perang Dunia I akibat kontak dagang
dengan warga pesisir. Terdapat sejumlah perkumpulan Muslim, seperti Kenya
Muslim Welfare Society, yang mem prakarsai pendidikan sejumlah sekolah dan
klinik, namun warga Muslim Kenya tidak terlibat dalam politik nasional sebagai
sebuah kelompok yang terorganisir.
Uganda dijadikan sebagai wilayah protektorat Inggris
pada tahun 1893, dan perjanjian Uganda tahun 1900 mengantarkan seluruh wilayah
negeri ini ke dalam penguasaan pemerintah Inggris. Pada tahun 1914 Inggris
menjadikan kepala-kepala suku yang ada tunduk di bawah kekuasaan mereka. Ketika
berusaha menundukkan Uganda pihak Inggris bersekutu dengan warga Protestan dan
mendukung penyebaran Kristen sebagai tandingan bagi Islam. Selama pemerintahan
Inggris, sistem pendidikan Uganda dirumuskan, dibagi sejalan dengan kelompok
keagamaan yang ada. Warga Katolik dan Protestan diistimewakan dengan pemberian
tanah pemerintah, sebaliknya warga Muslim tidak diperlakukan secara sama dalam
pengangkatan sebagai pegawai atau pejabat dan dalam pemberian bantuan pemerintah
untuk masjid dan sekolah-sekolah.
Pada Januari 1971 sebuah coup d’etat militer
mengantarkan Jenderal Idi Amin berkuasa. Idi Amin didukung faksi Nubian yang
terhimpun dalam pasukan bersenjata Uganda yang keturunan emigran Sudan tahun
1880-an.
Meskipun Inggris di Uganda cenderung memusuhi Islam,
namun Islam tetap tersebarluas sebagai akibat dari pengaruh pedagang Arab,
tentara Sudan, dan kontak dengan masyarakat Swahili. Tahun 1930 terdapat
sekitar 122.000 warga Muslim. Di bawah rezim Idi Amin yang Muslim, ummat Muslim
mendapatkan dukungan pemerintah. Asosiasi Pelajar Muslim Uganda dan Majelis
Tertinggi Muslim Uganda dibentuk sebagai sarana mengorganisir komunitas Muslim
di bawah pengawasan negara. Idi Amin tidak lebih berhasil dibandingkan para
penguasa pendahulunya dalam memobilisir ummat Muslim. Mereka tetap tidak
disatukan dan tidak pula disubordinasikan ke dalam aparat kenegaraan. Ia mengeluarkan warga India
dan Pakistan. Namun, sepeninggalnya, banyak warga Muslim yang meninggalkan
negeri ini dan sejumlah masjid serta sekolah dihancurkan oleh pihak musuh
mereka.
Pada tahun 1960-an beberapa
wilayah yang semula merupakan bagian dari kekuasaan kolonial di Afrika Timur
seperti Ruwanda, Burundi, Malawi, dan Congo juga lahir sebagai negara merdeka.
Sejumlah kecil komunitas Muslim juga tinggal di wilayah negara-negara tersebut.
Minoritas Muslim ini menetap di bawah pengaruh pedagang-pedagangArab dan
Swahili, da’i Afrika Timur, dan para pedagang Pakistan. Di negeri tersebut
penduduk muslim jumlahnya sangat kecil, miskin, tidak terdidik, dan sangat
kecil perannya dalam politik nasional. Selain komunitas Asia yang hidup makmur
dan komunitas pedagang Swahili di wilayah pesisir, komunitas Muslim bertahan
sebagai penduduk miskin dan tidak tersentuh kemajuan yang berlangsung di dunia
Muslim lainnya.
ISLAM UNIVERSAL
DAN
KERAGAMAN BANGSA AFRIKA
Keragaman Islam masyarakat Afrika sub-Sahara
memperlihatkan sejumlah implikasi keyakinan Muslim terhadap sikap politik dan
sosial yang berbeda-beda. Meskipun ummat Muslim pada abad ke-19 utamanya telah
herusaha keras membentuk negara Muslim di Sudan dan Afrika Barat, namun hanya
pada wilayah di mana warga Muslimnya relatif homogen (dan warga Arab),
sebagaimana di Mauritania atau di Somalia, dapat mengukuhkan negara Muslim yang
tetap bertahan sampai sekarang ini. Meskipun pada dasarnya Islam diyakini sebagai
sebuah tatanan politik yang komprehensif, citra Islam tradisional telah
diadaptasikan dengan aktualitas politik.
Meskipun pada dasarnya Islam merupakan sebuah agama
universal yang didasarkan pada kitab suci-wahyu, di Afrika Islam mengambil
banyak sekali bentuk keragaman lokal. Selanjutnya Islam merupakan sebuah simbol
identitas yang diadaptasikan terhadap situagi politik, sosial, dan perekonomian
sedemikian rupa sehingga prinsip-prinsip keyakinan agama, organisasi komunal, dan
kekuasaan negara dapat senantiasa dipadukan dalam cara yang berbeda-beda.
(Muhammad Nasir)
No comments:
Post a Comment