Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah
1.
Pengertian
Pepatah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi
Kitabullah (ABS-SBK) dewasa ini sudah dikenal sebagai formulasi falsafah
adat Minangkabau. Bahkan dalam konteks wilayah administrasi Propinsi Sumatera
Barat di mana etnis Minangkabau sebagai penduduk mayoritas yang menghuninya,
ABS-SBK juga diklaim sebagai milik kolektif masyarakat Minangkabau dan
dituangkan sebagai salah satu konsideran produk hukumnya. Salah satu dasar
penggunaan falsafah ini adalah adanya kesadaran masyarakat bahwa masyarakat
Minangkabau atau masyarakat Minangkabau adalah pemeluk agama Islam dan hukum
agama Islam mendapatkan tempat cukup baik dalam tatanan kehidupan
masyarakatnya.
Jika ditelusuri lebih jauh, penggunaan
pepatah ABS-SBK ini tidak hanya berlaku di Minangkabau atau Sumatera Barat
saja. Bersama masyarakat Minangkabau, masyarakat Jambi dan Riau juga mengklaim
bahwa hukum adat mereka didasarkan pada hukum agama (syarak); dan Syarak
didasarkan pada Kitab Suci, Al-Qur'an. Di Propinsi Jambi yang beradat
patrilineal pepatah ini juga ditemukan. Dalam langgam Melayu Jambi ditulis
dengan Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah. Sebagai contoh,
dalam konsideran Peraturan Daerah Propinsi Jambi nomor 2 tahun 2014 tentang
Lembaga Adat melayu Jambi tertulis:
bahwa Adat
Melayu Jambi merupakan sistem pandangan hidup masyarakat Jambi yang kokoh seperti
tersirat dalam seloko; Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur,
lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan
saiyo, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato,
adat memakai[2]
Demikian juga halnya di Propinsi Kepulauan
Riau. Sekadar menunjukkan pepatah yang sama, di dalam konsideran Peraturan
Daerah Propinsi Kepulauan Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu
Kepulauan Riau;
bahwa adat
istiadat dan Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat adalah adat yang bersendikan syara' dan syara' bersendikan
Kitabullah perlu dibina dan dikembangkan secara nyata dan dinamis sehingga
dapat didayagunakan untuk menunjang kelancaran kegiatan di bidang pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan serta memperkuat ketahanan nasional.[3]
Kenyataan di atas tidaklah mengherankan,
karena secara umum ketiga propinsi di atas terikat dalam satu identitas asal
yang sama, yaitu Melayu. Melayu identitas utamanya Islam. Indentitas
ini masih kental pada masyarakat melayu di Indonesia,tetapi
juga masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina dan Brunei Darussalam. Brunei
misalnya, punya filosofi MIB (Melayu Islam Beraja). Subkultur Minangkabau di
Indonesia punya filosofinya ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi
Kitabullah), dilaksanakan dengan SM-AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai) dan ATJG
(Alam Takambang Jadi Guru). Artinya identitas utama Minang seperti Brunei
Darussalam tadi adalah Islam. Tidak orang Melayu namanya kalau tidak Islam.[4]
Meskipun ada kesamaan struktur pepatah dan
maksudnya, proses historis dan dinamika ABS-SBK di ketiga propinsi itu jelas
berbeda. Merujuk Chris Barker, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi
sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar
representasi atau akulturasi budaya.[5]
Beberapa hal yang penting yang perlu
dikemukakan untuk memaknai ABS-SBK ini adalah:
a. ABS-SBK sebagai Landasan Filosofis
Adat Minangkabau
Secara harfiah, kata filosofis atau falsafah
berarti perangkat teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau
kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yg dimiliki orang atau masyarakat.[6] Jefrey Hadler menyebut
ABS-SBK sebagai diktum yang menjadi landasan ideologi masyarakat adat
Minangkabau.[7] Yulizal Yunus
menyebutnya sebagai doktrin sosial orang Minangkabau. yaitu suatu gagasan yang
dimiliki dan dibagi bersama oleh suatu komunitas. Dalam tataran ini orang
Minangkaba dengan ABS – SBK ini sudah merumuskan diri mereka sebagai kelompok
masyarakat yang beradat sekaligus beragama.[8]
Dalam pengertian ini ABS-SBK dijadikan sebagai
pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan adat yang dibentuk
dan perbuatan adat yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta
falsafah yang bersumber dari agama Islam (syarak). Hal ini sekaligus
menambahkan unsur ketuhanan dalam penyususunan adat Minangkabau, melampaui
prinsip alam (kosmologi) yang telah digunakan sejak lama. Meminjam istilah Edwar
Jamaris, dengan filosofi ABS-SBK ini masyarakat Minangkabau telah menambahkan hubungan
yang paling mendasar dalam keberadaan manusia di alam dan mengabstraksikan
tingkah lakunya dengan penciptanya, yakni tuhan.[9]
b. ABS-SBK sebagai Penanda Identitas
Kultural
Minangkabau dalam sejarahnya yang panjang
telah mengalami proses Islamisasi yang dinamis. Menurut M. Sanusi Latief dalam
disertasinya, sebelum menerima Islam sebagai agama yang dianut, masyarakat
Minangkabau juga terkenal kuat keterikatannya pada adat. Ketika agama Islam datang,
masyarakat Minangkabau sudah berada dalam susunan masyarakat yang sudah teratur
karena kuatnya adat yang dianut.[10] Meski pernah mengalami
masa animisme, dinamisme, Hindu dan, Budha, menulis bahwa orang Minangkabau
bukanlah penganut Hindu Budha yang taat. Mereka lebih taat kepada aturan
adatnya dibanding kepada aturan hindu-budha. Karena itu, tak banyak jejak-jejak
ajaran Hindu-Budha dalam aturan adat Minangkabau. Oleh
sebab itu agak mencengangkan bila orang Minangkabau di kemudian hari dikenal
sebagai masyarakat yang kuat perasaan beragamanya. Bahkan sekarang orang
Minangkabau sudah mengikrarkan diri sebagai masyarakat kebudayaan yang
menjadikan agama Islam sebagai identitas kulturalnya.
Hubungan adat dan agama (Islam) di
Minangkabau selanjutnya menjadi faktor terpenting yang membentuk identitas baru
kebudayaan Minangkabau.[11] Tidak banyak kebudayaan
nusantara yang mengidentifikasi masyarakat adatnya dengan Islam. [12] Selain Minangkabau,
identitas kultural yang dikaitkan dengan agama juga terjadi pada masyarakat
Bali. Masyarakat Adat Bali juga secara tegas menyatakan bahwa masyarakatnya
hidup dan dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan
lokal yang hidup di Bali.
c. ABS-SBK sebagai Wujud Integrasi
Islam dan Adat Minangkabau
Dengan
masuknya Islam ke Minangkabau, ajaran Islam telah menyatu dengan budaya masyarakat
Minangkabau. Antara adat dan agama telah berpadu dan sulit untuk dipisahankan,
dalam pepatah dikatakan, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
(adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Dari pepatah ini jelas
tercermin hubungan yang sangat erat antara agama dan budaya. Secara populer,
pepatah ini juga sering disebut sebagai falsafah Minangkabau yang maksudnya adalah bahwa antara adat dan agama
saling topang menopang dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lain.
Falsafah merupakan cerminan kebudayaan Minangkabau yang menerangkan antara
agama dan adat istiadat yang berlaku saling topang menopang dan tidak saling
bertentangan.[13] Di dalam
pantun adat Minangkabau terlihat hubungan antara agama dan adat;
Simuncak mati tarambau (Si
Muncak jatuh terperosok)
kaladang mambao ladiang (ke
ladang membawa parang)
lukolah pao kaduonyo (luka
lah kedua pahanya)
Adaik jo syarak di
Minangkabau (adat dan syara’ di Minangkabau)
umpamo aua jo tabiang (ibarat
aur dengan tebing)
sanda manyanda kaduonyo (saling
menyandar keduanya)
Proses masuknya
pengaruh ajaran agama Islam ke dalam masyarakat adat Minangkabau tidaklah
berlangsung instan dan mudah. Sejak masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam
dan beralih secara perlahan memeluk agama ini,[14]
terlihat ada masa yang panjang di mana tidak dijumpai informasi tentang
pergulatan agama ini dengan adat Minangkabau. Andaipun diterima teori masuknya
Islam ke Minangkabau sejak abad ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi, pergulatan
atau interaksi yang intensif justru terjadi di akhir abad ke-18 masehi hingga
ke paruh pertama abad ke-20 masehi. Pada abad-abad yang disebut itu, interaksi itu juga muncul
dalam bentuk konflik. Meskipun konflik berlangsung sangat ketat, namun masyarakat
Minangkabau dalam posisi ini sesungguhnya sedang menghadapi proses penyesuaian
diri dan menghadapi keharusan mereformasi adat dengan datangnya ajaran Islam.
Akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat Minangkabau itu justru dapat
diselesaikan sebagian besarnya dalam sebuah konsensus Adat Basandi
Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut.
2. Latar Historis Lahirnya ABS-SBK
Sumpah Sati Bukik Marapalam disebut sebagai peristiwa yang
melahirkan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
sebagai identitas masyarakat Minangkabau. Sejarawan Prof Mestika Zed, mengatakan meskipun secara
metodologi ilmu sejarah konvensial belum menemukan dokumen yang menyatakan
peristiwa ini benar-benar terjadi, tetapi peristiwa ini diyakini benar-benar
ada karena ada. Bukti sejarah tidak semata-mata tentang teks, tetapi sejarah
juga diyakini sebagai fakta sosial. Saat ini, sintesis adat dan Islam dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau, tumbuh, berkembang, dipakai dan mengakar
serta diakui sebagai identitas masyarakat Minangkabau. [15]
Ada beberapa versi yang menuliskan asal usul terbentuknya falsafah
ABS-SBK ini. Di antaranya Asbir Dt Rajo Mangkuto yang menyebutkan bahwa konsep
ini lahir tahun 1403 Masehi. Menurut
Asbir Dt Rajo Mangkuto Mantan Wali Nagari Baso, Agam menceritakan bahwa ia
memiliki buku yang bertuliskan Arab Melayu tentang sejarah Bukik Sati Marapalam
yang diperoleh saat menjadi Wali Nagari Baso tahun 1958. Peristiwa Sumpah Sati
Bukik Marapalam, katanya, terjadi tahun 1403 M yang merupakan bentuk peralihan
kerajaan Minangkabau menjadi Kesultanan Minangkabau.
Tentang naskah yang disebut Asbir Dt. Tajo Mangkuto di atas, Dr.
Sheiful Yazan Tk. Mangkudun (Dosen UIN Imam Bonjol Padang yang meneliti Tambo
untuk disertasinya[16]
menuliskan bahwa peristiwa itu sebagai tertera di naskah terjadi pada bulan
Sya’ban tahun 804 H (Maret tahun 1403 M). Yang Dipertuan Maharaja Diraja Minangkabau
Tuangku Maharajo Sakti keturunan keempat Adityawarman bersama Pamuncak adat Dt
Bandaro Putiah di Sungai Tarab mengundang seluruh pemuka agama, pemuka adat dan
ilmuwan umum di seluruh wilayah Dataran tinggi tiga gunung Merapi Singgalang
dan Sago yang juga disebut wilayah luak nan tigo mengadakan pertemuan
permusyawaratan menyatukan pendapat mengatur masyarakat di wilayah Kerajaan
Minangkabau ini di atas bukit Marapalam.
Dalam pembukaan musyawarah itu Tuangku Maharajo Sakti menyampaikan,
“sudah waktunya kita sebagai pemuka wilayah inti kerajaan Minangkabau
memikirkan kesatuan dan kemajuan kerajaan Minangkabau.. Marilah kita
bersama-sama memikirkan hal itu.” Semua yang hadir bersepakat. Tuangku Maharajo
Sakti melemparkan pertanyaan mengenai pedoman apa yang dapat menjadi dasar
hukum Kerajaan Minangkabau. Dari Kelompok adat, dan dari Kaum Tua mengusulkan
agar tetap berpedoman pada adat yang telah lama diterapkan, yaitu adat
basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.[17]
Dari Kelompok Penguasa Militer yang kebanyakan berasal dari Jawa menyampaikan
bahwa mereka mengikuti suara yang terbanyak. Dari Kelompok Umat Islam
mengusulkankan agar diterapkan Adat Basandi syara’, syarak basandi kitabullah,
sarak mangato adat mamakai, sarak nan kawi adat nan ladzim. [18]
Versi lainnya adalah tahun 1644 Masehi. Syekh Sulaiman al Rasuly
(Inyiak Canduang) meyakini bahwa Sumpah Sati Bukik Marapalam terjadi pada tahun
1644 M.[19]
Menurut Inyiak Canduang dalam tulisannya berjudul Saripati Sumpah Satie
Bukit Marapalam (1964), informasi itu ia warisi dari Tuanku Lareh Kapau
nan Tuo, Niniak dari mintuo ambo di Ampang Gadang dan Angku Canduang nan Tuo
(Tuanku Laras Kapau nan Tuo, Kakek dari mertua saya di Ampang Gadang dan Angku
Canduang nan Tuo). Keterangan Inyiak Canduang ini disampaikan pula oleh Azwar
Datuk Mangiang. Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang
(penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan
Kamis Candung. Dalam makalahnya pada seminar Nasional tentang Sumpah Satie
Bukik Marapalam yang diselenggarakan Universitas Andalah tanggal 31 Juli 1991
menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644, jauh sebelum revolusi
perkembangan Islam di alam Minangkabau oleh Padri.
Sebagai catatan, Minangkabau sejak tahun 1575 hingga masa Sultan
Ahmadsyah naik tahta (1668) berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh. Pendapat
Inyiak Canduang tersebut, menunjukkan sudah ada bibit pembaharuan dalam
struktur kepemimpinan adat Minangkabau setelah kedatangan Islam. Pembaharuan itu
justru datang dari masyarakat adat Minangkabau yang diurus dalam struktur
kepemimpinanan adat yang dipegang oleh para penghulu. Tak tersebut sama sekali
adanya keterlibat kerajaan Pagaruyuang dalam peristiwa tersebut.
Sedangkan isi dari Sumpah Satie tersebut menurut Inyiak Canduang
dalam tulisannya tersebut adalah
1) penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik,
manjua jauah manggantang tinggi (Penghulu adalah raja dalam nagari,
perkataannnya didengar, pengajarannya diikuti, memiliki kekuasaan untuk
menjatuhkan hukum)
2) alim ulama suluah bendang dalam nagari, aia nan janiah sayak
nan landai, tampek batanyo dek pangulu (alim ulama adalah suluh penerang
dalam nagari, berilmu dan berwawasan luas, tempat bertanya atau meminta fatwa
bagi penghulu). Dalam pelaksanaannya,
Alim ulama memfatwakan para Penghulu
memerintahkan. Pada pertemuan itu pula ditetapkan pepatah adat yang
berbunyi adat bapaneh, syara’ balinduang. Artinya, adat adalah tubuh dan
syara’ adalah jiwa Alam Minangkabau. Juga ditetapkan pepatah adat syara’
mangato, adat mamakai.[20]
Hamka (1984) dalam bukunya juga menulis bahwa peristiwa kemunculan
piagam sumpah sati itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di
tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minang. Sebelum konsensus ini
menyebutkan di Minangkabau masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi
syarak, syarak basandi adaik”. Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil
mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke
Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam. Syekh Burhanuddin, ulama asal
Ulakan pariaman ini lahir tahun 1646 dan wafat tahun 1704. Syekh Burhanuddin
kembali pulang ke kampungnya tahun 1100 H (1680 M).
Namun tahun berapa persisnya konsesus itu terjadi tidak ditulis
oleh HAMKA. Hanya saja isi konsesus itu intinya agar Adat dan Syarak
sebagai norma hukum saling isi mengisi.
Konsep Marapalam ini disampaikan Syekh Burhanuddin ke hadapan daulat Raja
Pagaruyung. Dan dari Raja diminta pembesar kerajaan mempertimbangkan yang
diterima dengan suara bulat. Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat politik
Yang Dipertuan Pagaruyung dalam menentang monopoli Persatuan Dagang Belanda
(VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah
belah rantau pesisir dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662. Adapaun
Raja Pagaruyuang yang memerintah pada masa itu adalah Indermasyah yang
memerintah tahun 1674-1730 masehi.
Selanjutnya ada yang menulis bahwa piagam Sumpah Sati Bukik
Marapalam disepakati tahun 1803 Masehi, atau pada masa revolusi Padri gelombang
pertama (1803-1819). Piagam ini bertujuan untuk mengakhiri pertentangan dan
perbedaan pendapat, yang berlangsung selama Perang Padri. Perjanjian ini
merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah
hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Piagam Bukik
Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian
dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya,dan politik.[21]
Tetapi agak sulit membuktikan adanya kesepakatan perdamaian pada masa Padri
gelombang pertama ini. Dalam berbagai
literatur, pada tahun-tahun tersebut, Bukit Marapalam yang berlokasi di
daerah Lintau itu justru menjadi arena terpanas dalam kontak senjata antara
Padri dengan kaum adat. Kontak ini terus berlanjut hingga Belanda ikut campur
dalam revolusi sosial masyarakat Minangkabau.
Versi lainnya menyebutkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam
terjadi masa Perang Paderi Gelombang kedua, tak lama setelah kekalahan besar
Belanda dekat Marapalam dalam tahun 1824.[22]
Ada juga yang menyebutkan setelah jatuhnya benteng pertahanan Padri di Lintau
di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831.[23]Berturut-turut
jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku
Nan Renceh. Begitu juga dengan basis Padri di Agam jatuh ke tangan Belanda
akhir Juni 1832. Peristiwa ini menyadarkan kelompok Padri dan Kaum adat, bahwa
mereka diadu domba oleh Belanda. Disebutkan, sebelum Bukik Marapalam jatuh ke
tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan
piagam sumpah satie tersebut. Peristiwa ini diprakarsai oleh Tuanku Lintau.
Jeffrey Hadler sepertinya berpegang pada pendapat ini. Ia menulis dalam bukunya
Piagam Bukit Marapalam terjadi sebelum pertengahan abad ke-20.[24]
Terlepas dari berbagai versi di atas, bahwa Sumpah Sati Bukit
Marapalam sudah diyakini sebagai peristiwa yang benar-benar ada oleh masyarakat
Minangkabau. Menurut Mestika Zed, bahwa peristiwa tersebut adalah fakta sosial
yang hadir menjadi ingatan kolektif (collective memory) masyarakat
Minangkabau. Dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau, peristiwa Sumpah
Sati Bukit Marapalam adalah peristiwa historis yang melahirkan falsafah Adat
Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Sebagai sebuah konsensus, ABS-SBK tidak berjalan sendiri tanpa
panduan untuk melaksanakannya. Karena itu, ABS-SBK biasanya dibaca setarikan
nafas (satu kesatuan gerakan) dengan dua diktum lainnya, yaitu Adat Nan
Kawi, Syarak Nan Lazim. Adat yang kawi, syarak yang lazim berarti adat
tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan . Adat yang kewi (arab,
qawiy) artinya adat yang kuat. Adat tidak berdiri kuat kalau tidak dikuatkan
dan diperkuat (penguatan). Demikian pula syara’ (Islam dan hukumnya) sebagai
kewajiban setiap orang menjalankannya, tidak berjalan dengan baik kalau tidak
dilazimkan (dibiasakan, diadatkan). Lazim dimaksudkan wajib, tetapi dalam
bahasa lazim lebih aktif, keduanya mempunyai sanksi hukum dan berdosa tidak
dipenuhi.[25]
Selanjutnya, Yulizal Yunus, dengan mengutip Tambo Alam Minangkabau
Adat dan Syara’ adalah pakaian segala alam. Dalam naskah tambo tersebut
tertulis
[Adat
dan Syara’] pakaian alam banyak baginya dan perkaranya. Pertama adat yang kawi,
kedua syara’ yang lazim..”. Dalam pepatah disebut Syarak banamo lazim, adat nan
banamo kewi, habih tahun baganti musim, buatan nan usah diubahi (syara’ bernama
lazim, adat bernama kuat, habis tahun berganti musim, buatan/ adat jangan
diubah)[26]
Artinya betapapun rumitnya menjalankan ketetapan lama: “adat nan
sabana adat” dan “adat nan diadatkan”, termasuk kesepakatan musyawarah baru
(adat nan teradatkan dan adat istiadat) harus dijalankan dan tidak boleh
dirubah begitu saja.
Secara umum, Adat nan Kawi dan Syara’ nan Lazim berfungsi sebagai
jaminan keberlanjutan (continuity) atau prinsip keberlanjutan (principle
of sustainability) bagi adat dan kebudayaan Minangkabau. di sini terlihat,
betapa kesederhanaan konsep itu mengandung maknan yang tegas dan dalam. Jika
masyarakat Minangkabau ingin adat dan agamanya berlanjut hingga akhir zaman,
tak ada cara lain selain memperkuat adat (melaksanakannya) dan mebiasakan
pelaksanaan ajaran agama (melazimkan). Sebaliknya, jika ingin adat dan agamanya
runtuh, tersedia cara yang mudah, yaitu tidak melaksanakannya.
Syara’
mangato adaik mamakai secara bahasa berarti agama Islam memberikan fatwa dan adat yang
melaksanakannya). Artinya jika agama sudah menetapkan hukum, adat akan memakai
hukum tersebut. Jika dilihat falsafah tersebut, maka bisa dijadikan contoh bagi
masyarakat diluar Minangkabau dalam menetapkan suatu hukum. Hukum tersebut
harus beriringan dengan Islam.
Untuk
memahami kaidah ini setidaknya harus dimulai dari asumsi bahwa Syara’
Mangato-Adat Mamakai, dapat diimplementasikan oleh orang yang paham agama,
tahu dengan Syara’ (ilmu agama), dan mengerti akan Adat nan ampek yaitu
adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adan na teradat dan adat istiadat.
Maka agama adalah kunci utama bagi seseorang untuk memakai adat. Orang yang
mengerti agama, pasti akan akan beradat, tetapi orang yang beradat belum tentu
paham agama. Seterusnya, orang yang mengamalkan agama, Insya Allah dia memakai
adat. Sebaliknya, orang yang tidak mengamalkan agama, bagaimana mungkin ia akan
memakai adat secara benar.
Selanjutnya,
kaidah Syara’ Mangato - Adat Mamakai berfungsi sebagai landasan operasional
untuk mengamalakn adat Minangkabau. Landasan operasional adalah suatu konsep
dasar dari tujuan pengelolaan kegiatan adat secara keseluruhan.
[2] Pemerintah Propinsi Jambi, Peraturan Daerah Nomor 2 tentang Lembaga Adat
Melayu Jambi, Sekretariat Daerah Propinsi Jambi, 2014.
[3] Pemerintah Daerah Propinsi Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Propinsi Kepulauan Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang
Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, Sekretariat Daerah Propinsi Kepulauan Riau,
2014
[4] Yulizal Yunus, Minangkabau Social
Movement, Padang: Imam Bonjol Press, 2015, hlm. 261
[5] Chris Barker, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London: SAGE
Publications Ltd., 2004, hlm. 170-171
[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op.Cit., hlm. 410
[7]
Jefrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama, dan.
Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institut, 2010, hlm. xxxi
[8] Yulizal Yunus, Op.cit., hlm. 149
[9]
Edwar Jamaris, Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm.3
[10] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi)
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.39
[11]
Yulizal Yunus, Op.cit., hlm. 7
[12] Lihat Pemerintah Daerah Propinsi Bali,
Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
[13]
Agusti Efi Marthala, Penghulu & Filosofi Pakaian Kebesaran: Kosep
Kepemimpinan Tradisional Minangkabau, Bandung: Humaniora, 2014, hlm. 10
[14] Azyumardi Azra
[15]
Mestika Zed, Harian Haluan, 17 Desember 2018
[16]
Sheiful Yazan menulis Disertasi berjudul
Sistem Pewarisan Nilai Adat Melalui Tambo Minangkabau dalam
Pasambahan, Padang: Universitas Negeri Padang (2016)
[17]
HAMKA mengatakan Kaum adat hendak kokoh memegang tertib (adat) lama, jaitu
adat bersendi sjara' dan sjara' bersendi adat pula. Agama berpenghulu kepada
Nabi Muhammad dan adat berpenghulu kepada Ketemanggungan dan Perpatih Nan
Sebatang. Meskipun barang sesuatu haram kata agama, kalau halal kata adat,
hendaklah adat didahuluk.an. Sebalilmja, perkara jang dihalalkan agama, kalau
berlawan dengan adat, hendaklah adat djuga jang didahulukan. Lebih lanjut,
baca buku HAMKA, Sedjarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka
Nasional, 1950, hal. 28
[18]
Sheiful Yazan memberi kritik naskah yang bersumber dati Tambo tersebut. Menurutnya ada ketidaksesuaian data transkrip dengan data-data
sejarah. tahun 1403 M tidak berhimpitan/ tidak pada saat yang sama dengan tahun 804 H. Selain itu,
Ananggawarman yang memerintah sampai 1417 M belum memakai gelar “Tuangku”. Uraian dan kritikan lebih lengkap dapat dibaca di https://tuankumangkudun.wordpress.com/2012/06/11/kritik-naskah-marapalam-i/
[19]
Inyiak Canduang dalam naskah tulisannya itu tidak mencantumkan tahun. Namun
angka itu muncul ketika beliau diwawancarai oleh Azwar Dt Mangiang.
[20]
Syekh Sulaiman ar Rasuly, Saripati Sumpah Sati Bukit Marapalam. Pada
bagian akhir naskah tertulis Canduang, 7
Juni 1964/ 26 Muhamrram 1384
[21]
Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam
dan Minangabau, 2003, hal. 339
[22]
Rusli Amran, Op.cit., hlm. 404
[23]
Cristine Dobbin, Op.cit., hlm. 237
[24]
Jeffrey Hadler, Op,cit., hlm. xii
[25]
Yulizal Yunus, Adat dan Syara’ Pakaian Segala Alam, hand out kuliah Islam dan
Budaya Minangkabau Fajultas Adab dan Humaniora, Padang, 25 Agustus 2019. Artikel yang sama juga dipulikasikan di
portal https://bakaba.co/adat-dan-syara-pakaian-segala-alam/
tanggal 26 Januari 2020
[26] Ibid
No comments:
Post a Comment