15 December 2020

Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah

Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah

Muhammad Nasir 


1.    Pengertian

Pepatah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dewasa ini sudah dikenal sebagai formulasi falsafah adat Minangkabau. Bahkan dalam konteks wilayah administrasi Propinsi Sumatera Barat di mana etnis Minangkabau sebagai penduduk mayoritas yang menghuninya, ABS-SBK juga diklaim sebagai milik kolektif masyarakat Minangkabau dan dituangkan sebagai salah satu konsideran produk hukumnya. Salah satu dasar penggunaan falsafah ini adalah adanya kesadaran masyarakat bahwa masyarakat Minangkabau atau masyarakat Minangkabau adalah pemeluk agama Islam dan hukum agama Islam mendapatkan tempat cukup baik dalam tatanan kehidupan masyarakatnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, penggunaan pepatah ABS-SBK ini tidak hanya berlaku di Minangkabau atau Sumatera Barat saja. Bersama masyarakat Minangkabau, masyarakat Jambi dan Riau juga mengklaim bahwa hukum adat mereka didasarkan pada hukum agama (syarak); dan Syarak didasarkan pada Kitab Suci, Al-Qur'an. Di Propinsi Jambi yang beradat patrilineal pepatah ini juga ditemukan. Dalam langgam Melayu Jambi ditulis dengan Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah. Sebagai contoh, dalam konsideran Peraturan Daerah Propinsi Jambi nomor 2 tahun 2014 tentang Lembaga Adat melayu Jambi tertulis:

bahwa Adat Melayu Jambi merupakan sistem pandangan hidup masyarakat Jambi yang kokoh seperti tersirat dalam seloko; Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai[2]   

 

Demikian juga halnya di Propinsi Kepulauan Riau. Sekadar menunjukkan pepatah yang sama, di dalam konsideran Peraturan Daerah Propinsi Kepulauan Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau;

bahwa adat istiadat dan Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adalah adat yang bersendikan syara' dan syara' bersendikan Kitabullah perlu dibina dan dikembangkan secara nyata dan dinamis sehingga dapat didayagunakan untuk menunjang kelancaran kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memperkuat ketahanan nasional.[3]

 

Kenyataan di atas tidaklah mengherankan, karena secara umum ketiga propinsi di atas terikat dalam satu identitas asal yang sama, yaitu Melayu.  Melayu identitas utamanya Islam. Indentitas ini masih kental pada masyarakat melayu di Indonesia,tetapi juga masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina dan Brunei Darussalam. Brunei misalnya, punya filosofi MIB (Melayu Islam Beraja). Subkultur Minangkabau di Indonesia punya filosofinya ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah), dilaksanakan dengan SM-AM (Syara’ Mangato – Adat Mamakai) dan ATJG (Alam Takambang Jadi Guru). Artinya identitas utama Minang seperti Brunei Darussalam tadi adalah Islam. Tidak orang Melayu namanya kalau tidak Islam.[4]

Meskipun ada kesamaan struktur pepatah dan maksudnya, proses historis dan dinamika ABS-SBK di ketiga propinsi itu jelas berbeda. Merujuk Chris Barker, identitas sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang dapat ‘mengada’ (exist) di luar representasi atau akulturasi budaya.[5]

Beberapa hal yang penting yang perlu dikemukakan untuk memaknai ABS-SBK ini adalah:

a.       ABS-SBK sebagai Landasan Filosofis Adat Minangkabau

Secara harfiah, kata filosofis atau falsafah berarti perangkat teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yg dimiliki orang atau masyarakat.[6] Jefrey Hadler menyebut ABS-SBK sebagai diktum yang menjadi landasan ideologi masyarakat adat Minangkabau.[7] Yulizal Yunus menyebutnya sebagai doktrin sosial orang Minangkabau. yaitu suatu gagasan yang dimiliki dan dibagi bersama oleh suatu komunitas. Dalam tataran ini orang Minangkaba dengan ABS – SBK ini sudah merumuskan diri mereka sebagai kelompok masyarakat yang beradat sekaligus beragama.[8]

Dalam pengertian ini ABS-SBK dijadikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan adat yang dibentuk dan perbuatan adat yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita-cita  hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah yang bersumber dari agama Islam (syarak). Hal ini sekaligus menambahkan unsur ketuhanan dalam penyususunan adat Minangkabau, melampaui prinsip alam (kosmologi) yang telah digunakan sejak lama. Meminjam istilah Edwar Jamaris, dengan filosofi ABS-SBK ini masyarakat Minangkabau telah menambahkan hubungan yang paling mendasar dalam keberadaan manusia di alam dan mengabstraksikan tingkah lakunya dengan penciptanya, yakni tuhan.[9]

b.      ABS-SBK sebagai Penanda Identitas Kultural

Minangkabau dalam sejarahnya yang panjang telah mengalami proses Islamisasi yang dinamis. Menurut M. Sanusi Latief dalam disertasinya, sebelum menerima Islam sebagai agama yang dianut, masyarakat Minangkabau juga terkenal kuat keterikatannya pada adat. Ketika agama Islam datang, masyarakat Minangkabau sudah berada dalam susunan masyarakat yang sudah teratur karena kuatnya adat yang dianut.[10] Meski pernah mengalami masa animisme, dinamisme, Hindu dan, Budha, menulis bahwa orang Minangkabau bukanlah penganut Hindu Budha yang taat. Mereka lebih taat kepada aturan adatnya dibanding kepada aturan hindu-budha. Karena itu, tak banyak jejak-jejak ajaran Hindu-Budha dalam aturan adat Minangkabau. Oleh sebab itu agak mencengangkan bila orang Minangkabau di kemudian hari dikenal sebagai masyarakat yang kuat perasaan beragamanya. Bahkan sekarang orang Minangkabau sudah mengikrarkan diri sebagai masyarakat kebudayaan yang menjadikan agama Islam sebagai identitas kulturalnya.

Hubungan adat dan agama (Islam) di Minangkabau selanjutnya menjadi faktor terpenting yang membentuk identitas baru kebudayaan Minangkabau.[11] Tidak banyak kebudayaan nusantara yang mengidentifikasi masyarakat adatnya dengan Islam. [12] Selain Minangkabau, identitas kultural yang dikaitkan dengan agama juga terjadi pada masyarakat Bali. Masyarakat Adat Bali juga secara tegas menyatakan bahwa masyarakatnya hidup dan dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali.

c.       ABS-SBK sebagai Wujud Integrasi Islam dan Adat Minangkabau

Dengan masuknya Islam ke Minangkabau, ajaran  Islam telah menyatu dengan budaya masyarakat Minangkabau. Antara adat dan agama telah berpadu dan sulit untuk dipisahankan, dalam pepatah dikatakan, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Dari pepatah ini jelas tercermin hubungan yang sangat erat antara agama dan budaya. Secara populer, pepatah ini juga sering disebut sebagai falsafah Minangkabau yang  maksudnya adalah bahwa antara adat dan agama saling topang menopang dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lain. Falsafah merupakan cerminan kebudayaan Minangkabau yang menerangkan antara agama dan adat istiadat yang berlaku saling topang menopang dan tidak saling bertentangan.[13] Di dalam pantun adat Minangkabau terlihat hubungan antara agama dan adat;

Simuncak mati tarambau (Si Muncak jatuh terperosok) 

kaladang mambao ladiang (ke ladang membawa parang)

lukolah pao kaduonyo (luka lah kedua pahanya)

Adaik jo syarak di Minangkabau (adat dan syara’ di Minangkabau)

umpamo aua jo tabiang (ibarat aur dengan tebing)

sanda manyanda kaduonyo (saling menyandar keduanya)

 

Proses masuknya pengaruh ajaran agama Islam ke dalam masyarakat adat Minangkabau tidaklah berlangsung instan dan mudah. Sejak masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam dan beralih secara perlahan memeluk agama ini,[14] terlihat ada masa yang panjang di mana tidak dijumpai informasi tentang pergulatan agama ini dengan adat Minangkabau. Andaipun diterima teori masuknya Islam ke Minangkabau sejak abad ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi, pergulatan atau interaksi yang intensif justru terjadi di akhir abad ke-18 masehi hingga ke paruh pertama abad ke-20 masehi. Pada abad-abad  yang disebut itu, interaksi itu juga muncul dalam bentuk konflik. Meskipun konflik berlangsung sangat ketat, namun masyarakat Minangkabau dalam posisi ini sesungguhnya sedang menghadapi proses penyesuaian diri dan menghadapi keharusan mereformasi adat dengan datangnya ajaran Islam. Akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat Minangkabau itu justru dapat diselesaikan sebagian besarnya dalam sebuah konsensus Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut.

 

2.    Latar Historis Lahirnya ABS-SBK

Sumpah Sati Bukik Marapalam disebut sebagai peristiwa yang melahirkan filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sebagai identitas masyarakat Minangkabau. Sejarawan  Prof Mestika Zed, mengatakan meskipun secara metodologi ilmu sejarah konvensial belum menemukan dokumen yang menyatakan peristiwa ini benar-benar terjadi, tetapi peristiwa ini diyakini benar-benar ada karena ada. Bukti sejarah tidak semata-mata tentang teks, tetapi sejarah juga diyakini sebagai fakta sosial. Saat ini, sintesis adat dan Islam dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, tumbuh, berkembang, dipakai dan mengakar serta diakui sebagai identitas masyarakat Minangkabau. [15]

Ada beberapa versi yang menuliskan asal usul terbentuknya falsafah ABS-SBK ini. Di antaranya Asbir Dt Rajo Mangkuto yang menyebutkan bahwa konsep ini lahir tahun 1403 Masehi.  Menurut Asbir Dt Rajo Mangkuto Mantan Wali Nagari Baso, Agam menceritakan bahwa ia memiliki buku yang bertuliskan Arab Melayu tentang sejarah Bukik Sati Marapalam yang diperoleh saat menjadi Wali Nagari Baso tahun 1958. Peristiwa Sumpah Sati Bukik Marapalam, katanya, terjadi tahun 1403 M yang merupakan bentuk peralihan kerajaan Minangkabau menjadi Kesultanan Minangkabau.

Tentang naskah yang disebut Asbir Dt. Tajo Mangkuto di atas, Dr. Sheiful Yazan Tk. Mangkudun (Dosen UIN Imam Bonjol Padang yang meneliti Tambo untuk disertasinya[16] menuliskan bahwa peristiwa itu sebagai tertera di naskah terjadi pada bulan Sya’ban tahun 804 H (Maret tahun 1403 M). Yang Dipertuan Maharaja Diraja Minangkabau Tuangku Maharajo Sakti keturunan keempat Adityawarman bersama Pamuncak adat Dt Bandaro Putiah di Sungai Tarab mengundang seluruh pemuka agama, pemuka adat dan ilmuwan umum di seluruh wilayah Dataran tinggi tiga gunung Merapi Singgalang dan Sago yang juga disebut wilayah luak nan tigo mengadakan pertemuan permusyawaratan menyatukan pendapat mengatur masyarakat di wilayah Kerajaan Minangkabau ini di atas bukit Marapalam.

Dalam pembukaan musyawarah itu Tuangku Maharajo Sakti menyampaikan, “sudah waktunya kita sebagai pemuka wilayah inti kerajaan Minangkabau memikirkan kesatuan dan kemajuan kerajaan Minangkabau.. Marilah kita bersama-sama memikirkan hal itu.” Semua yang hadir bersepakat. Tuangku Maharajo Sakti melemparkan pertanyaan mengenai pedoman apa yang dapat menjadi dasar hukum Kerajaan Minangkabau. Dari Kelompok adat, dan dari Kaum Tua mengusulkan agar tetap berpedoman pada adat yang telah lama diterapkan, yaitu adat basandi alua jo patuik, alam takambang jadi guru.[17] Dari Kelompok Penguasa Militer yang kebanyakan berasal dari Jawa menyampaikan bahwa mereka mengikuti suara yang terbanyak. Dari Kelompok Umat Islam mengusulkankan agar diterapkan Adat Basandi syara’, syarak basandi kitabullah, sarak mangato adat mamakai, sarak nan kawi adat nan ladzim. [18]

Versi lainnya adalah tahun 1644 Masehi. Syekh Sulaiman al Rasuly (Inyiak Canduang) meyakini bahwa Sumpah Sati Bukik Marapalam terjadi pada tahun 1644 M.[19] Menurut Inyiak Canduang dalam tulisannya berjudul Saripati Sumpah Satie Bukit Marapalam (1964), informasi itu ia warisi dari Tuanku Lareh Kapau nan Tuo, Niniak dari mintuo ambo di Ampang Gadang dan Angku Canduang nan Tuo (Tuanku Laras Kapau nan Tuo, Kakek dari mertua saya di Ampang Gadang dan Angku Canduang nan Tuo). Keterangan Inyiak Canduang ini disampaikan pula oleh Azwar Datuk Mangiang. Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Dalam makalahnya pada seminar Nasional tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam yang diselenggarakan Universitas Andalah tanggal 31 Juli 1991 menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644, jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam Minangkabau oleh Padri.

Sebagai catatan, Minangkabau sejak tahun 1575 hingga masa Sultan Ahmadsyah naik tahta (1668) berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh. Pendapat Inyiak Canduang tersebut, menunjukkan sudah ada bibit pembaharuan dalam struktur kepemimpinan adat Minangkabau setelah kedatangan Islam. Pembaharuan itu justru datang dari masyarakat adat Minangkabau yang diurus dalam struktur kepemimpinanan adat yang dipegang oleh para penghulu. Tak tersebut sama sekali adanya keterlibat kerajaan Pagaruyuang dalam peristiwa tersebut. 

Sedangkan isi dari Sumpah Satie tersebut menurut Inyiak Canduang dalam tulisannya tersebut adalah

1) penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauah manggantang tinggi (Penghulu adalah raja dalam nagari, perkataannnya didengar, pengajarannya diikuti, memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan hukum)

2) alim ulama suluah bendang dalam nagari, aia nan janiah sayak nan landai, tampek batanyo dek pangulu (alim ulama adalah suluh penerang dalam nagari, berilmu dan berwawasan luas, tempat bertanya atau meminta fatwa bagi penghulu).  Dalam pelaksanaannya, Alim ulama memfatwakan para Penghulu  memerintahkan. Pada pertemuan itu pula ditetapkan pepatah adat yang berbunyi adat bapaneh, syara’ balinduang. Artinya, adat adalah tubuh dan syara’ adalah jiwa Alam Minangkabau. Juga ditetapkan pepatah adat syara’ mangato, adat mamakai.[20]

Hamka (1984) dalam bukunya juga menulis bahwa peristiwa kemunculan piagam sumpah sati itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minang. Sebelum konsensus ini menyebutkan di Minangkabau masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”. Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam. Syekh Burhanuddin, ulama asal Ulakan pariaman ini lahir tahun 1646 dan wafat tahun 1704. Syekh Burhanuddin kembali pulang ke kampungnya tahun 1100 H (1680 M).

Namun tahun berapa persisnya konsesus itu terjadi tidak ditulis oleh HAMKA. Hanya saja isi konsesus itu intinya agar Adat dan Syarak sebagai  norma hukum saling isi mengisi. Konsep Marapalam ini disampaikan Syekh Burhanuddin ke hadapan daulat Raja Pagaruyung. Dan dari Raja diminta pembesar kerajaan mempertimbangkan yang diterima dengan suara bulat. Tujuan lainnya adalah untuk memperkuat politik Yang Dipertuan Pagaruyung dalam menentang monopoli Persatuan Dagang Belanda (VOC) yang mencoba menerapkan penguasa tunggal dalam perdagangan dan memecah belah rantau pesisir dengan menciptakan Perjanjian Painan tahun 1662. Adapaun Raja Pagaruyuang yang memerintah pada masa itu adalah Indermasyah yang memerintah tahun 1674-1730 masehi.

Selanjutnya ada yang menulis bahwa piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam disepakati tahun 1803 Masehi, atau pada masa revolusi Padri gelombang pertama (1803-1819). Piagam ini bertujuan untuk mengakhiri pertentangan dan perbedaan pendapat, yang berlangsung selama Perang Padri. Perjanjian ini merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya,dan politik.[21] Tetapi agak sulit membuktikan adanya kesepakatan perdamaian pada masa Padri gelombang pertama ini. Dalam berbagai  literatur, pada tahun-tahun tersebut, Bukit Marapalam yang berlokasi di daerah Lintau itu justru menjadi arena terpanas dalam kontak senjata antara Padri dengan kaum adat. Kontak ini terus berlanjut hingga Belanda ikut campur dalam revolusi sosial masyarakat Minangkabau.

Versi lainnya menyebutkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam terjadi masa Perang Paderi Gelombang kedua, tak lama setelah kekalahan besar Belanda dekat Marapalam dalam tahun 1824.[22] Ada juga yang menyebutkan setelah jatuhnya benteng pertahanan Padri di Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831.[23]Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Begitu juga dengan basis Padri di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Peristiwa ini menyadarkan kelompok Padri dan Kaum adat, bahwa mereka diadu domba oleh Belanda. Disebutkan, sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Peristiwa ini diprakarsai oleh Tuanku Lintau. Jeffrey Hadler sepertinya berpegang pada pendapat ini. Ia menulis dalam bukunya Piagam Bukit Marapalam terjadi sebelum pertengahan abad ke-20.[24]

Terlepas dari berbagai versi di atas, bahwa Sumpah Sati Bukit Marapalam sudah diyakini sebagai peristiwa yang benar-benar ada oleh masyarakat Minangkabau. Menurut Mestika Zed, bahwa peristiwa tersebut adalah fakta sosial yang hadir menjadi ingatan kolektif (collective memory) masyarakat Minangkabau. Dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau, peristiwa Sumpah Sati Bukit Marapalam adalah peristiwa historis yang melahirkan falsafah Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Sebagai sebuah konsensus, ABS-SBK tidak berjalan sendiri tanpa panduan untuk melaksanakannya. Karena itu, ABS-SBK biasanya dibaca setarikan nafas (satu kesatuan gerakan) dengan dua diktum lainnya, yaitu Adat Nan Kawi, Syarak Nan Lazim. Adat yang kawi, syarak yang lazim berarti adat tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan . Adat yang kewi (arab, qawiy) artinya adat yang kuat. Adat tidak berdiri kuat kalau tidak dikuatkan dan diperkuat (penguatan). Demikian pula syara’ (Islam dan hukumnya) sebagai kewajiban setiap orang menjalankannya, tidak berjalan dengan baik kalau tidak dilazimkan (dibiasakan, diadatkan). Lazim dimaksudkan wajib, tetapi dalam bahasa lazim lebih aktif, keduanya mempunyai sanksi hukum dan berdosa tidak dipenuhi.[25]

Selanjutnya, Yulizal Yunus, dengan mengutip Tambo Alam Minangkabau Adat dan Syara’ adalah pakaian segala alam. Dalam naskah tambo tersebut tertulis

[Adat dan Syara’] pakaian alam banyak baginya dan perkaranya. Pertama adat yang kawi, kedua syara’ yang lazim..”. Dalam pepatah disebut Syarak banamo lazim, adat nan banamo kewi, habih tahun baganti musim, buatan nan usah diubahi (syara’ bernama lazim, adat bernama kuat, habis tahun berganti musim, buatan/ adat jangan diubah)[26]

 

Artinya betapapun rumitnya menjalankan ketetapan lama: “adat nan sabana adat” dan “adat nan diadatkan”, termasuk kesepakatan musyawarah baru (adat nan teradatkan dan adat istiadat) harus dijalankan dan tidak boleh dirubah begitu saja.

Secara umum, Adat nan Kawi dan Syara’ nan Lazim berfungsi sebagai jaminan keberlanjutan (continuity) atau prinsip keberlanjutan (principle of sustainability) bagi adat dan kebudayaan Minangkabau. di sini terlihat, betapa kesederhanaan konsep itu mengandung maknan yang tegas dan dalam. Jika masyarakat Minangkabau ingin adat dan agamanya berlanjut hingga akhir zaman, tak ada cara lain selain memperkuat adat (melaksanakannya) dan mebiasakan pelaksanaan ajaran agama (melazimkan). Sebaliknya, jika ingin adat dan agamanya runtuh, tersedia cara yang mudah, yaitu tidak melaksanakannya.

Syara’ mangato adaik mamakai secara bahasa berarti agama Islam memberikan fatwa dan adat yang melaksanakannya). Artinya jika agama sudah menetapkan hukum, adat akan memakai hukum tersebut. Jika dilihat falsafah tersebut, maka bisa dijadikan contoh bagi masyarakat diluar Minangkabau dalam menetapkan suatu hukum. Hukum tersebut harus beriringan dengan Islam.

Untuk memahami kaidah ini setidaknya harus dimulai dari asumsi bahwa Syara’ Mangato-Adat Mamakai, dapat diimplementasikan oleh orang yang paham agama, tahu dengan Syara’ (ilmu agama), dan mengerti akan Adat nan ampek yaitu adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adan na teradat dan adat istiadat. Maka agama adalah kunci utama bagi seseorang untuk memakai adat. Orang yang mengerti agama, pasti akan akan beradat, tetapi orang yang beradat belum tentu paham agama. Seterusnya, orang yang mengamalkan agama, Insya Allah dia memakai adat. Sebaliknya, orang yang tidak mengamalkan agama, bagaimana mungkin ia akan memakai adat secara benar.

Selanjutnya, kaidah Syara’ Mangato - Adat Mamakai berfungsi sebagai landasan operasional untuk mengamalakn adat Minangkabau. Landasan operasional adalah suatu konsep dasar dari tujuan pengelolaan kegiatan adat secara keseluruhan.

 



[2] Pemerintah Propinsi Jambi, Peraturan Daerah Nomor 2 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, Sekretariat Daerah Propinsi Jambi, 2014.

[3] Pemerintah Daerah Propinsi Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Propinsi Kepulauan Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau, Sekretariat Daerah Propinsi Kepulauan Riau, 2014

[4]  Yulizal Yunus, Minangkabau Social Movement, Padang: Imam Bonjol Press, 2015, hlm. 261

[5] Chris Barker, The SAGE Dictionary of Cultural Studies, London: SAGE Publications Ltd., 2004, hlm. 170-171

[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op.Cit., hlm. 410

[7] Jefrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama, dan. Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institut, 2010, hlm. xxxi

[8] Yulizal Yunus, Op.cit., hlm. 149

[9] Edwar Jamaris, Tambo Minangkabau, Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm.3

[10] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.39

[11] Yulizal Yunus, Op.cit., hlm. 7

[12]  Lihat Pemerintah Daerah Propinsi Bali, Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.

[13] Agusti Efi Marthala, Penghulu & Filosofi Pakaian Kebesaran: Kosep Kepemimpinan Tradisional Minangkabau, Bandung: Humaniora, 2014, hlm. 10

[14] Azyumardi Azra

[15] Mestika Zed, Harian Haluan, 17 Desember 2018

[16] Sheiful Yazan menulis Disertasi berjudul  Sistem Pewarisan Nilai Adat Melalui Tambo Minangkabau dalam Pasambahan, Padang: Universitas Negeri Padang (2016)

[17] HAMKA mengatakan Kaum adat hendak kokoh memegang tertib (adat) lama, jaitu adat bersendi sjara' dan sjara' bersendi adat pula. Agama berpenghulu kepada Nabi Muhammad dan adat berpenghulu kepada Ketemanggungan dan Perpatih Nan Sebatang. Meskipun barang sesuatu haram kata agama, kalau halal kata adat, hendaklah adat didahuluk.an. Sebalilmja, perkara jang dihalalkan agama, kalau berlawan dengan adat, hendaklah adat djuga jang didahulukan. Lebih lanjut, baca buku HAMKA, Sedjarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950, hal. 28

[18] Sheiful Yazan memberi kritik naskah yang bersumber dati Tambo tersebut. Menurutnya ada ketidaksesuaian data transkrip dengan data-data sejarah. tahun 1403 M tidak berhimpitan/ tidak pada saat yang sama dengan tahun 804 H. Selain itu, Ananggawarman yang memerintah sampai 1417 M belum memakai gelar “Tuangku”. Uraian dan kritikan lebih lengkap dapat dibaca di  https://tuankumangkudun.wordpress.com/2012/06/11/kritik-naskah-marapalam-i/

[19] Inyiak Canduang dalam naskah tulisannya itu tidak mencantumkan tahun. Namun angka itu muncul ketika beliau diwawancarai oleh Azwar Dt Mangiang.

[20] Syekh Sulaiman ar Rasuly, Saripati Sumpah Sati Bukit Marapalam. Pada bagian akhir  naskah tertulis Canduang, 7 Juni 1964/ 26 Muhamrram 1384

[21] Gusti Asnan, Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangabau, 2003, hal. 339

[22] Rusli Amran, Op.cit., hlm. 404

[23] Cristine Dobbin, Op.cit., hlm. 237

[24] Jeffrey Hadler, Op,cit., hlm. xii

[25] Yulizal Yunus, Adat dan Syara’ Pakaian Segala Alam, hand out kuliah Islam dan Budaya Minangkabau Fajultas Adab dan Humaniora, Padang,  25 Agustus 2019.  Artikel yang sama juga dipulikasikan di portal https://bakaba.co/adat-dan-syara-pakaian-segala-alam/ tanggal 26 Januari 2020

[26] Ibid

No comments: