31 December 2020

Happy Ending

Happy Ending

Cerpen Muhammad Nasir


Sejak tiga tahun terakhir, libur di rumah nenek terasa panas. meskipun udara di kampung sangat-sangat dingin. Suasana mestinya hangat, sebab kawa daun buatan nenek yang kerap menjadi buah mimpi bilamana sampai di kampung biasanya dapat menjadi penghangat pagi yang basah embun.

Tahun ini ayah ingin cepat-cepat balik ke Medan. Sepertinya beliau tidak betah. Selama di rumah nenek, ayah hanya berdiam diri di kamar. Alasannya, udara sangat dingin. Bahkan ayah kulihat sering minta agar makanan atau kopi dibawa ke kamar saja. Jika terpaksa ke luar kamar, ayah hanya menggunakan sarung. Kadang seperti sengaja beliau membalut tubuhnya dengan baju hangat dan berlagak seperti orang kedinginan.

"Ayolah, selesaikan segala temu ramah. Yang penting-penting saja. Setelah itu berkemaslah. Besok pagi kita balik ke Medan," kata Ayah. 

Kami semua terdiam. Padahal itu baru hari ketiga. Kami belum selesai mengunjungi tempat-tempat indah yang diciptakan tuhan untuk desa ini. Belum sempat pula selfie-selfie.

"Tapi kita belum kemana-mana, ayah!" Nina, adik bungsuku protes.

"Sudahlah, nanti kita kemana-mana. Kita cari tempat-tempat wisata di perjalanan ke Medan," jawab Ayah.

"Heeeh..." Ayah menghembus nafas keras-keras, kemudian menarik selimut dan menungkuslumus seluruh badannya.

Ayah memang sedang kesal. Aku tahu sebabnya. Ya, mungkin kejadian tiga tahun yang lalu. Pada hari pertama sampai di rumah nenek. Pagi itu, Mak Umar, saudara laki-laki tertua ibu datang ke rumah. Ia terlihat gembira mengetahui kami sekeluarga pulang kampung. Tentu saja ia ingin melihat kami kemanakannya.

Pagi itu kami bercengkerama di ruang tengah. Nenek menyajikan kawa daun yang sudah kami impikan sejak lama. Ayah sudah membayangkan aroma kopi daun itu sejak di perjalanan baru saja dimulai.

"Aih, sedapnya kawa daun. Tambah sepotong jahe," begitulah ayah berkhayal.

Namun pagi itu suasana hati ayah hancur berantakan. Bukan apa-apa. Hanya gara-gara sepotong kalimat Mak Umar. "Apakah ayahmu tidak sembahyang subuh?" tanya Mak Umar kala itu.

Sebenarnya itu pertanyaan sederhana saja. Sambungan cerita-cerita ceria pagi itu. Kebetulan ayah memang sedang tidur-tiduran di kamar. Ibu sudah bilang bahwa ayah sangat capek karena sudah menyetir sehari semalam.       

Mak Umar sebenarnya tidak bermaksud buruk. Ia hanya ingin tahu di mana ayah. Aku menjawab jujur, bahwa ayah masih tidur di kamar. Lalu ia kembali bertanya, apakah ayah tidak sembahyang subuh. Itu saja. 

Mak Umar suaranya keras. Suka ceplas-ceplos. Mak Umar sudah kenal ayah sejak lama. Sejak mereka kanak-kanak. Mak Umar lebih tua tiga tahun dari ayah. Kata ibu, Mak Umar sudah tahu rahasia ayah sejak hulu hingga hilir. Termasuk "rahasia umum" bahwa ayah pemalas sembahyang sejak dulu. Ya, sejak dulu.

"Mak Umar mu itu juga pemalas shalat Ani. Sama dengan ayahmu," kata ibu pada suatu kali. Barulah setelah ia pensiun dari Chevron ia mulai berubah. Menurut ibu, penyebabnya sederhana saja. Sejak pensiun Mak Umar memutuskan pulang kampung, menemani nenek yang sudah tua dan sering sakit. Di kampung, Mak Umar sering diminta nenek mengantar beliau ke surau lambah untuk sembahyang subuh. Awalnya Mak Umar agak sungkan. Ia hanya mengantar nenek dengan sepeda motor sampai pintu pagar surau. Setelah itu beliau putar kepala, kembali ke rumah. Begitulah sampai beberapa hari. 

Sehingga sampailah ia tersesat ke jalan yang benar. Beliau berpapasan dengan Nek Salimah yang mengajaknya masuk ke surau.

"Mengapa hanya sampai pagar saja sutan? Sampai-sampailah..." kata Nek Salimah, ibu mertua Mak Umar itu.

O ya, Nek Salimah atau orang kampung, menyebutnya Ummi Limah adalah guru SD sekaligus guru mengaji Mak Umar, Ayah, Ibu dan orang-orang sebaya beliau-beliau itu. Oleh sebab itu, meski sebagai mertua, Nek Limah tidak ada beban untuk mengatakan apa saja kepada menantunya itu. Sebebas bicara dengan anaknya sendiri atau dengan muridnya sendiri.

Mak Umar dengan kikuk akhirnya ikut masuk ke surau yang sebenarnya amat dikenalnya. Surau tempat mengaji beliau semasa kecil. Hari-hari berikutnya, Mak Umar sudah mulai mengantar nenek sampai ke dalam surau, sampai sembahyang subuh usai. Belakangan, Mak Umar yang berbadan besar itu sudah terdengar menjadi orang yang ta'at. Sekaligus menjadi donatur utama pembagunan surau dan kegiatan-kegiatan sosial di kampung. Maklumlah, beliau pensiaunan pejabat perusahaan besar dan keturunan orang kaya pula di kampung kami.

Akan halnya ayah, rupanya beliau mendengar kalimat Mak Umar pagi itu. Sepeninggal Mak Umar, ayah dan ibu terlibat dalam pertengkaran sengit. 

Itulah asal usulnya, mengapa tahun ini suasana liburan terasa hambar dan ayah tidak betah berlama-lama.

***

Sebenarnya, ini rahasia keluarga. Tapi baiklah akan aku ceritakan juga peristiwa lainnya yang membuat suasana tambah genting. Boleh dikatakan ini sebagai faktor eksternal, yaitu peristiwa pemilihan presiden yang berlangsung sangat emosional.

Beberapa tahun yang lalu ayah diajak masuk ke dunia politik. Sebagai orang pasar, beliau adalah pedagang yang berpengaruh di kota Medan. Beliau ikut menjadi calon anggota dewan kota. Tapi beliau gagal terpilih. Entah berapa uang yang dia habiskan. Sejak itu ayah mulai aktif memegang handphone. Main Facebook dan WhatsApp. Kulihat, isi media sosialnya itu politik semua. Penuh pertengkaran, puji-puji dan caci maki. Berkali-kali kulihat Mak Umar ikut memberi tanda suka di postingan ayah. Tanpa komentar. 

Mak Umar pun punya akun media sosial. Isinya terlihat berbeda dengan postingan ayah. Bedanya, Mak Umar tidak ikut partai politik dan tidak ikut mencaleg. Kalau netizen tahu hubungan Ayah dan Mak Umar pasti mereka akan jeli, bahwa postingan kedua pria tercintaku itu adalah postingan yang saling berbalas pantun, sindir menyindir dan saling piting memiting antara sumando dan mamak rumah..

Sepertinya mereka tidak sehaluan. Bedanya, ayah tidak pernah sekalipun memberi respon postingan Mak Umar. Respon hanya ia berikan di kamar atau meja makan. Semuanya ditujukan kepada ibuku, adik Mak Umar tentunya.

Suatu kali seusai makan malam ayah berkata kepada ibu. Wajahnyanya tidak senang.

"Mengapa si Umar itu terus mengintai-intai facebook ku?" kata ayah kepada ibu.

"Si Umar mana?" ibu bertanya balik.

"Heh...itu, si Umar Udamu itu!" jawab ayah sambil mendengus.

"Apa masalahnya? Postingan ayah kan disetting publik. Wajarlah banyak yang respon," jawab ibu.

"Iya, tapi mengapa ia ikut-ikutan pula? Apa dia tak tahu adat sopan santun bersumando dan bermamak rumah? Tak patut rasanya seorang mamak rumah memata-matai kegiatan sumandonya!" Ayah berkata sambil memalingkan wajahnya. 

"Lagi pula, postingannya di facebook seperti menyindir aku!" Ayah terlihat kesal.

Muka Ibu sebenarnya berubah saat ayah menyebut "Si Umar" udanya dengan cara seperti itu. Tapi ibu dapat bersabar menahan diri. Sebagai guru konseling di sekolah negeri, ia sangat pandai mengatur emosi. Ibu hanya tertawa kecil sambil mengemasi remah-remah nasi di meja makan. 

Begitulah, peristiwa seperti itu terjadi beberapa kali. Seperti biasa ibu tidak memberi respon yang berlebihan. Sudah dapat diduga dengan terang bahwa Ayah dan Mak Umar dalam pemilu waktu yang lalu berada dalam kubu yang berseberangan. Istilahnya, ayah berada di kubu cebong dan Mak Umar di kubu kampret. Sedangkan ibu sebagai seorang PNS berada di kubu yang benar. Di jalan yang lurus yang disukai nabi dan orang-orang saleh. Netral! 

Kuat dugaanku, perbedaan kubu dan pandangan politik ini memperburuk ikatan kekerabatan sumando dan mamak rumah yang menghubungkan kedua pria itu. Padahal, kalau boleh jujur, menurutku kedua orang itu adalah politisi dadakan. Politisi kacangan. Politisi paruh waktu. Wkwkwk...

***

Pagi, ba'da subuh di hari keempat. Kami sudah berada di atas mobil. Kami ikuti keinginan ayah untuk kembali ke kota Medan. Jalan-jalan di spot wisata kampung tinggalah kenangan. Mobil sudah dipanaskan. Wajah ayah terlihat lebih cerah. Ia seperti koruptor kelas satu yang akan bebas dari tahanan.

Tiba-tiba sesosok tubuh tinggi besar sudah berdiri di samping mobil. Ia mengetuk kaca mobil tempat ibu duduk. Persis di di samping sopir. Persis di samping ayah. 

"Mau balik sekarang? Mengapa tak memberi kabar terlebih dulu?" 

Oh...itu suara Mak Umar. Suara yang besar, berat, tenang dan berwibawa. Mak Umar memandang ibu dengan tatapan yang tenang. Ibu salah tingkah. Ia hanya gelagapan beberapa saat. Belum sempat ibu menjawab, Mak Umar kemudian beralih ke pintu depan. Melongok ke arah sopir. Siapa lagi sopir itu kalau bukan ayah.

"Berang sutan ke saya?" tanya Mak Umar kepada ayah. 

Ayahpun salah tingkah. Sama halnya dengan ibu, salah tingkah. Mak Umar menatap tajam ke arah ayah dengan tatapan yang tenang. Hingga beberapa saat kemudian ayah turun dari mobil. Buru-buru ia meraih tangan Mak Umar. 

"Ini Umar yang bicara, atas nama pribadi, bukan sebagai mamak rumah!" Mak Umar berujar kembali dengan nada datar. 

"Maafkan saya uda!" kata ayah takut-takut. Berulangkali ia katakan itu. "Maafkan saya uda...!"

"Iya, tak apa. Balik ke Medan sekarang?" tanya Mak Umar kepada ayah.

"Iya Uda. Anu, ada beberapa hal yang mesti dikerjakan." jawab ayah sekenanya. Aku tahu, itu jawaban ayah hanya asal jawab saja. hik...hik... 

"Ya, sudahlah. Hati-hati di jalan. Pelan-pelan saja bawa mobil." pesan Mak Umar

"Baik Da. Terima kasih, Uda."

"Hmmm...sudah sembahyang?" tanya mak Umar lagi.

"Sudah Uda," jawab ayah.

"Dulu saya yang mengajarimu malas sembahyang. Sekarang saya juga yang akan mengajakmu sembahyang!" Mak Umar berbisik pelan ke telinga ayah.

Tiba-tiba, dari bangku belakang mobil terdengar suara si bungsu Nina, bocah kelas 2 SD. Ia menjawab "Kata ayah, salatnya nanti saja di POM Bensin!"

Mak Umar dan Ibu mengulum senyum. Sedangkan reaksi ayah tak akan aku ceritakan di sini. Ini rahasia keluarga. Wkwkwk....

Setelah menyapa Nina dan menyodorkan beberapa lembar uang limapuluh ribuan, Mak Umar mempersilakan kami berangkat. Ia melepas kami dengan senyum. Sangat tulus. Mobilpun bergerak perlahan.

"Uda, nanti saya telpon," kata Ibu sambil menoleh ke arah Mak Umar, abang kandungnya. Wajah ibu tersenyum manis. Mak Umar pun tersenyum lepas. Wajahnya sangat gembira, serupa orang menang bersiasat.

Lima menit berlalu. Suasana di mobil sangat hening. 

"Apa ibu tak memberi tahu Uda bahwa kita akan berangkat hari ini?" tanya ayah. Suaranya serba salah. Malu bercampur takut.

Ibu diam saja. Ia membuka kaca mata hitamnya dan membetulkan alismata palsunya.

"Ibuuu??" tanya ayah setengah berteriak.

"Iya, iya... itu aku yang kasi tahu," jawab ibu.

Ayah terlihat lega. Rasa bersalahnya sedikit berkurang. Mobil terus melaju menerobos embun yang tebal.

"Begitulah. Kebaikan selalu datang dengan banyak cara. Orang baikpun dapat menerima kebaikan tanpa reserve. Kebaikan berdiri di atas perbedaan politik, status sosial dan status dalam keluarga." ucap ibu seperti bergumam. Ayah melirik ke arah ibu sekejap.

Ibu menoleh ke belakang. Ke arahku. Sambil tersenyum ia berkata:

"Ayahmu itu dulu anak buah Mak Umar. Mereka berdua adalah preman kampung pada masanya. Mana berani ayahmu melawan Mak Umar." Kemudian ibu tertawa terkekeh-kekeh. Kulihat ayah cemberut saja.

"Nanti aku telpon si Umar itu!" jawab ayah dengan suara keras. Malu-malu.

Ku towel bahu ibu, kemudian sambil berbisik kutanyakan sesuatu kepada ibu. Ayah terlihat mencuri dengar. 

"Happy ending ya bu?"

Bagaimana respon ibu dan ayah terhadap pertanyaanku, terpaksa aku rahasiakan. Ini rahasia keluarga.

Padang, Desember 2019

-----


Istilah

1- Mak, singkatan dari Mamak, yaitu paman dalam garis kerabat ibu

2- Sumando adalah sebutan laki-laki yang datang sebagai menantu dalam sistem perkawinan matrilokal Minangkabau

3- Mamak rumah adalah pemimpin dalam rumah keluarga besar istri dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau

  




  

No comments: