23 March 2021

ADAT MINANGKABAU

Adat Minangkabau 
Oleh Muhammad Nasir

1.Pengertian Adat 
Adat berasal dari kata Arab yang berarti berulang, dan fenomena alam yang datang berulang dijadikan adat.(Rasyad, 2009:53).Tetapi ada juga yang, menyebut dari bahasa Sanskerta. Misalnya M Rasjid Manggis Dt Radjo Panghoeloe menyebutkan adat berasal dari kata Sanskerta yang terbentuk dari kata “a” dan “dato”. “A” artinya tidak dan “dato” artinya sesuatu yang berfat tak benda (M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe,1987:145). Jadi, adat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. 

Kata adat dalam kamus bahasa adalah aturan, perbuatan dan sebagainya yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala atau kebiasaan, cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan (KBBI, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008:11). Sesuatu yang dapat di ambil dari dua pendapat yang menjelaskan asal kata di atas adalah bahwa adat mengandung arti “kebiasaan” dan “tidak benda”. Kedua pendapat di atas sekaligus menjadi dasar untuk mengatakan bahwa pembicaraan tentang adat berkisar sekitar kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya tidak benda. 

 Ahli hukum adat Prof. Dr. Hazairin yang menyatakan bahwa adat adalah kesusilaan dan di dalam adat termuat endapan kesusilaan berupa kaidah-kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.(Lihat Hazairin,1952). Sejalan dalam pengertian ini Muzamil (2014) menyatakan bahwa adat adalah rasa malu yang ditimbulkan oleh karena berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat Adat yang bersangkutan atau karena upaya-upaya lain yang pada akhirnya akan mengenai orang yang bersangkutan apabila ia tidak mematuhi hukum yang ada. Dengan kata lain, kekuatan mengikat hukum Adat adalah kesadaran hukum anggota masyarakat adat yang bersangkutan. (Mawardi Muzamil, Anis Mashdurohatun, 2014:68). 

Di Minangkabau, Adat disebut dengan Adaik yang artinya aturan hidup orang Minang yang menganut garis kekerabatan ibu (matrilineal) yang telah ditetapkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katamangguangan. (Gouzali Saydam, 2004:3). Dalam pemahaman tambo disebut dengan istilah Adat lamo pusako usang (adat dan pusaka lama) (Zubir Rasyad, 2009:52) yang diwarisi turun-temurun dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan.[1]

Dari ungkapan adat ini, dapat diketahui, bahwa adat itu mengandung makna turun temurun diperdapat dari kata “pusako”. Pengertian adat lainya menurut adat minangkabau adalah segala yang terkait dengan hukum alam yang merupakan kebiasaan-kebiasaan (fenomena) yang lazim terjadi di alam. Segala yang terjadi di alam ini menjadi inspirasi untuk menyusun falsafah adat Minangkabau.(A.A. Navis,1984:57) Falsafah ini kemudian dikenal masyarakat dengan ungkapan Alam Talambang Jadi Guru (Alam terkembang/ terhampar men jadi guru) 

Pengertian adat di Minangkabau juga mencakup susunan organisasi pemerintahan yang mengatur kehidupan anggota masyarakat yang biasa disebut anak kemanakan di dalam nagari. (Zikri Darussamin, 2014:148). Dari segi pemerintahan tradisional Minangkabau, adat Minangkabau mengenal dua basis organisasi pemerintahan, yaitu organisasi yang berbasis kelompok kerabat genealogis jalur ibu (matrilinieal) dan organisasi pemerintahan yang berbasis teritorial, yaitu Nagari. Dari jalur kekerabatan, urut organisasinya dari yang terbawah adalah rumah tanggo, paruik, kaum, dan suku. Sementara organisasi Nagari merupakan kesatuan politik supra suku atau lebih tepatnya dapat disebut dengan federasi suku yang membentuk teritorial nagari. (Elizabeth E Graves, 2007). Beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa adat pada hakikatnya adalah kebiasaan, norma, institusi sosial, kode tingkah laku yang hidup di masyarakat. 

Semua kelompok pengertian yang diuraikan tersebut, secara sistematis disusun oleh pendahulu masyarakat Minangkabau dalam bentuk susunan adat yang khas, disebut dengan adat nan ampek (adat yang empat). Adat nan Ampek itu terdiri dari Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat. Penjelasan lebih rinci akan diuraikan setelah ini. 

2.Adat nan Ampek 
Ada beberapa istilah yang sering digunakan oleh literatur Minangkabau untuk menyatakan pembagian adat Minangkabau. Ada yang mengunakan istilah kategori. [2] Ada pula yang menyebut bahwa adat Minangkabau itu satu (tunggal) namun berisi empat bagian. (M. Rasjid Manggis, 1987:160. Meskipun ada perbedaan dalam penyebutan namun penjelasan terhadap keempat adat yang dimaksud tidak banyak perbedaan mendasar. Keempat adat itu adalah Adat nan Sabana Adat, Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat.

a. Adat nan Sabana Adat 
Adat nan Sabana Adat (adat yang sebenarnya) adalah aturan dasar atau falsafah yang mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa ditentukan oleh waktu, tempat dan keadaan sebagaimana disebut dalam pepatah adat nan indak lakang dek paneh (tidak kering karena diterpa panas), nan indak lapuak dek hujan (tidak lapuk karena tertimpa hujan). (Edison, 2010:40). Jika ada keinginan atau paksaan keras untuk mengubahnya, maka keadaan tak akan berubah. Disebutkan dengan istilah dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tidak mati. dipindahkan tidak layu). (Navis, 1984:89) 

Adat nan sabana adat dalam pengertian di atas dipahami orang Minangkabau sebagai hukum alam yang merupakan falsafah hidup mendasar masyarakat Minangkabau. Hukum alam semisal adat api mambaka (adat api membakar), adat aia mambasahi (adat air membasahi), adat ayam bakukuak (adatnya ayam berkokok), adat pisau malukoi (adatnya pisau melukai), dan sebagainya. Semua kenyataan yang berlaku di alam itu berlaku di seluruh alam Minangkabau bahkan di seluruh hamparan bumi. Oleh sebab hukum alam ini berlaku universal, maka adat nan sabana adat dihukum sebagai adat sabatang panjang (adat universal). Karena itu adat sabana adat dijadikan sebagai patron dalam menyusun adat, karena dinilai sebagai bentuk kewarasan. Bagi orang Minangkabau yang mengingkari kenyataan alam ini dinilai bukan lagi manusia paripurna, dan dengan sendirinya tereliminasi sebagai orang Minangkabau. 

Dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau, maka ajaran Islam dimasukkan dalam kategori adat nan sabana adat, dan diakui sebagai suatu hal yang tak mungkin berubah, Inilah yang kemudian dijadikan pedoman dalam menyusun tata cara mengatur kehidupan manusia. Hal ini terlihat dalam penjelasan adat nan sabana adat yang diuraikan oleh Syekh Sulaiman al Rasuly (1871-1970). Dalam tulisannya Pertalian Adat dan Syara’ (1939), ulama bergelar Inyiak Caduang itu menulis: Adapun yang dinamakan nan sebenar adat ialah beberapa peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada rasul-Nya Muhammad SAW dan disampaikan kepada umatnya dan diajarkan oleh guru-guru kepada muridnya. Itulah yang dinamakan sepanjang syara’ yang tersebut dalam kitabullah. Di situlah diambil sah-batal, halal-haram, sunat dan fardhu dst. (Syekh Sulaiman al Rasuli, Hamdan Izmy [ed], 2003:4)

Penjelasan yang sama juga dapat ditemui dalam pantun yang dihimpun oleh N.M. Rangkoto (1982:36) dari khazanah sastra lisan masyarakat Minangkabau sebagai berikut: Nyatonyo adat ampek parkaro (adapun adat ada empat perkara) partamo adat sabana adat (pertama adat yang sebenarmya) Dijadikan Tuhan mukaluaknyo (Tuhan menjadikan makhluk-Nya) mamakai tando manurut sipat (memakai tanda menurut sifat). 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kosmologi Minangkabau, adat nan sabana adat merupakan bentuk adat yang bersumber dari tuhan (Allah SWT) baik berupa makhluk ciptaan-Nya maupun dalam bentuk agama Islam yang juga bersumber dari Allah SWT. Dapat pula dipahami dari penjelasan ini bahwa ada dua periode yang menunjukkan perubahan definisi terhadap Adat nan Sabana Adat, yaitu periode pra Islam yang menjadikan fenomena alam sebagai bentuk adat nan sabana adat, dan periode Islam yang telah memberikan penjelasan bahwa struktur dan alam semesta mempunyai sejarah, yaitu berasal dari pencipta alam (Allah SWT). 

b. Adat nan Diadatkan 
Adat nan teradat adalah peraturan yang diterima dari Datuak Ketemanggungan dan Datuak Perpatih nan Sabatang. Menurut Syekh Sulaiman al Rasuli kedua tokoh itulah yang mula-mula menggagas peraturan berupa cupak nan duo, kato nan ampek, dan undang nan ampek. (Syekh Sulaiman al Rasuli, Op.Cit., h. 5). Profil kedua datuak yang disebut di atas masih kontroversi hingga sekarang,[3] namun masyarakat Minangkabau meyakini bahwa mereka berdualah yang menyusun peraturan adat Minangkabau pertama kali. Datuak Katumangguangan menyusun sistem pemerintahan adat Koto Piliang yang otokratis dan Datuak Parpatiah nan Sabatang menyusun sistem pemerintahan adat yang demokratis atau konfederatif.[4] 

Meskipun ada perbedan sistem adat yang digagas oleh kedua tokoh ini, masyarakat Minangkabau menerima kehadiran kedua sistem ini secara bersamaan dan berjalan berbarengan (coexistence). Kedua sistem ini selanjutnya disebut dengan barih balabeh semacam hukum untuk urusan ketatanegaraan. Sebagai bentuk penghormatan kepada kedua datuk itu, masyarakat Minangkabau pada umumnya menyebut kedua tokoh itu dengan satu tarikan nafas, tidak memisahkan dan tidak meninggi-merendahkan salah seorang dari keduanya. (M. Rasjid Manggis, 1987:236]. 

Adat nan diadatkan bertujuan untuk mempertahankan dan melanjutkan Minangkabau. Yang termasuk dalam kategori Adat Nan diadatkan ini adalah pertama, silsilah keturunan adalah menurut garis kerabat ibu (matrilineal). Kedua, aturan perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan pihak di luar kesukuannya (perkawinan eksogami) di mana suami tinggal bersama lingkungan kaum atau keluarga si isteri (matrilokal). Ketiga, harta pusaka tinggi yang turun-temurun menurut garis kekerabatan ibu, dan menjadi milik kolektif dari jurainya, yang tidak boleh diperjualbelikan, kecuali tidak ada lagi ahli warisnya (punah). Keempat, Falsafah Alam Takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan alamiah dan rasional. (Edison M.S.,2010:139)

Status Adat nan Diadatkan dalam adat Minangkabau hampir sama dengan Adat nan Sabana Adat dengan penjelasan bahwa adat ini tidak “boleh” diubah dan berlaku di seluruh alam Minangkabau. Penyebabnya adalah keempat hal yang disebut di atas merupakan penciri utama adat Minangkabau. Jika hal ini diubah, maka Minangkabau diyakini tidak ada lagi, karena kehilangan cirinya dan tidak dapat lagi disebut dengan Minangkabau. 

c. Adat nan Teradat 
 Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam suatu nagari berdasarkan pada pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Di sini berlaku hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Seperti aturan adat tentang perkawinan dan pengangkatan penghulu, pada umumnya sama di seluruh alam Minangkabau. Tetapi tatacara pelaksanaan adat perkawinan itu sendiri dapat berbeda-beda di setiap nagari sesuai dengan hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo. Tata cara pelaksanaan inilah yang diputuskan berdasarkan kusyawarah kerapatan penghulu-penghulu di suatu nagari. 

Begitu pula peresmian sako (gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada yang memotong jawi (sapi) ada dengan membayar uang adat ke nagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. Adapun pokok-pokok hukumnya tetap mengacu kepada aturan Adat nan Sabatang Panjang. (Marsadis Dt. Sutan Mamad, 2018).

Termasuk kategori Adat Nan Teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan,(M. Rasjid Manggis, 1987:161) selama tidak menyalahi landasan berpikir orang Minangkabau, yaitu alua jo patuik (alur dan patut), raso jo pareso (perasaan dan logika), dan musyawarah-mufakat. 

d.Adat Istiadat 
 Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu di suatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan kesukaan anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan (hantaran) ke rumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan sako, marawa, tanggo, gaba-gaba, pelaminan dan sebagainya. Untuk adat istiadat ini juga berlaku pepatah yang berbunyi: Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain balalangnyo, lain nagari lain adatnyo (istiadatnyo) 

Adat istiadat ini hukumnya boleh dilaksanakan dan boleh ditinggalkan. Pelaksanaannya mesti melihat keadaan dan mempertimbangkan tertib, sopan dan malu dalam masyarakat. misalnya, bila ada anggota masyarakat yang meninggal, tidak patut dalam keadaan tersebut anak nagari menyelenggarakan acara hiburan, misalnya acara basaluang. Hal itu dianggap sebagai tindakan yang indak bataratik (tidak memenuhi tata tertib). (Z. Katik Mangkuto, 2020) 

3.Adat Kelarasan 
Ada banyak tafsir yang digunakan oleh para ahli untuk menjelaskan arti kelarasan. Kelarasan (asal kata: Lareh), menurut Kamus Bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut dasar pemerintahan menurut adat Minangkabau. (KBBI,2008:819). Demikian pula kamus Minangkabau juga mengartikan kata ini sebagai sistem pemerintahan Minangkabau zaman dulu. (Gouzali Saydam, 2004:222). Taufik Abdullah dan Tsuyoshi Kato mengartikan kelarasan dengan makna tradisi politik. (Taufik Abdullah, 2018:xxi; Tsuyoshi Kato, 2005:33). 

Masyarakat Minangkabau juga lazim menyamakan lareh dengan arti adat, sehingga dalam literatur juga ditemukan frasa Adat Koto Piliang atau Adat Bodi Caniago. Sebagaimana diurai pada pembahasan terdahulu, adat Minangkabau digagas dan diformulasi oleh dua orang tokoh, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang. [5] Ke dua tokoh ini tidak mewariskan satu corak adat, namun dua corak yang berbeda. Datuak Katumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang dan Datuak Parpatiah nan Sabatang mewariskan sistem adat Bodi Caniago. 

Yulizal Yunus dalam mengartikan kelarasan dengan sistem muyawarah. Sistem musyawarah dalam pengambilan kemufakatan (keputusan) ini sangat khas yaitu dengan menyandarkan prosesnya pada musyawarah dan perwakilan. Produk musyawarah itu mendapat kekuatan (legitimasi) menjadi hukum, karena musyawarah-mufakat dilaksanakan berdasarkan alua jo patuik (alur dan patut). (Yulizal Yunus, 2015: 96-97). 

Dari sisi historis, Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago bukanlah sistem pemerintahan terawal. Sebelum kedua kelarasan ini hadir menawarkan filosofi, konsepsi, dan penatalaksanaan adat, Minangkabau sudah mempunyai sistem adat yang terpusat di Pariangan, sebuah daerah yang diyakini sebagai nagari tertua di Minangkabau. Sistem adat yang ada di Pariangan ini kemudian berkembang menjadi sebuah sistem yang moderat yang disebut dengan Lareh nan Panjang yang disusun oleh Datuk Suri Nan Banego-nego (disebut juga Datuk Sakelab Dunia Nan Banego-nego). Meskipun Datuk Surinan Banego-nego dalam tambo disebut lebih muda dari Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang, kehadirannya dengan sistem Lareh nan Panjang mewakili sikap kepatuhan terhadap Adat Nan Sabatang Panjang sebagai tempat kembali bila ada perselisihan dalam pelaksanaan adat. Pada masa-masa berikutnya, Lareh Nan Panjang dipimpin oleh Datuk Bandaro Kayo yang berkedudukan di Pariangan Padang Panjang. 

Di antara dominasi kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago, Lareh nan Panjang muncul sebagai tempat kembali (asal) adat Minangkabau yang belaku universal (adat sabatang panjang). Tugasnya menjadi juru damai sekiranya terjadi pertikaian di antara kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago. Di dalam pepatah adat disebutkan, pisang sikalek-kalek utan, pisang timbatu nan bagatah, Bodi Caniago inyo buka, Koto piliang inyo antah. 

 Berdasarkan aspek historis perkembangan sistem pemerintahan adat itu, sesungguhnya kelarasan adat Minangkabau dibagi kepada dua, yaitu Lareh Nan Panjang dan Lareh nan Bunta. Lareh nan Panjang kemudian tetap dengan nama asalnya, sedangkan Lareh nan Bunta dibagi kepada dua, yaitu Lareh Koto Piliang dan Bodi Caniago. Namun dalam tataran praktik pelaksanaan hukum adat di wilayah kebudayaan Minangkabau, lazim dikenal sistem adat yang bercorak Koto Piliang dan Bodi Caniago. 

Kedua sistem (kelarasan) Koto Piliang dan Bodi Caniago adalah dua sistem yang saling melengkapi dan memperkuat. Hal ini sesuai dengan sejarah berdirinya kedua kelarasan itu. Meskipun ada banyak makna terkait arti kelarasan, maka penulis dalam pembahasan ini akan menggunakan istilah sistem pemerintahan adat. Sistem pemerintahan adat inilah yang selanjutnya disebut dengan kelarasan dan akan dijelaskan secara singkat dalam pembahasan berikut;

a. Kelarasan Koto Piliang 
Salah satu pantun pengajaran adat yang populer yang menyampaikan secara sederhana karakteristik pemerintahan adat Kelarasan Koto Piliang adalah, nan barajo ka daulat (yang beraja ke daulat). Kelarasan Koto Piliang lebih cendrung otokratis dan konservatif. (Rusli Amran, 1981:58). 

Sistem adat Koto Piliang berpusat di daerah Sungai Tarab, Kabaupaten Tanah Datar sekarang. Sungai Tarab dalam tambo dikenal sebagai tempat kedudukan salah seorang dari Basa Ampek Balai (Empat Menteri Utama) pemerintahan kerajaan Pagaruyuang. [6] 

Dalam susunan Basa Ampek Balai, jabatan menteri yang berpusat di Sungai Tarab disebut dengan Bandaro. Kedudukannya dalam hierarki Koto Piliang adalah Pamuncak Koto Piliang. Beberapa aplikasi dari sistem pemerintahan yang otokratis ini dapat dilihat dari beberapa hal, di antaranya dari status penghulu, bentuk rumah gadang, balai adat kerapatan. Menurut Koto Piliang, status penghulu bertingkat-tingkat dengan wewenangnya yang bersifat vertikal yang menurut petatah adat bajanjang naiak batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun).(A.A. Navis, 1984:27). Penggantian penghulu hanya dapat dilakukan bila penghulu tersebut sudah meninggal dunia. Hal ini termuat dalam kredo suksesi penghulu yang berbunyi patah tumbuah hilang baganti (patah tumbuh hilang baganti). 

Dalam prakteknya, Koto Piliang tetap memakai prinsip musyawarah yang dilakukan secara berjenjang. Struktur kerapatan terendah tetap mendapat kesempatan untuk musyawarah, namun keputusan dan pengesahan berada pada kerapatan tertinggi yang disebut dengan pucuak bulek (pucuk bulat) (M. Rasyid Manggis, 1987:139) yang keputusannya dinilai final (bulat dan tak berpucuk/ tak bersegi). Oleh karena adanya tingkatan kerapatan ini, maka sistem Koto Piliang juga dikenal dengan kelarasan yang menganut prinsip manitiak dari ateh (top down). Hal ini disebutkan dalam ungkapan adat:
titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan juo makanannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung 

Sementara dari segi bentuk balai rapatnya terlihat adanya lantai yang ditinggikan dari bagian yang lain yang menunjukkan tidak samanya kedudukan penghulu dalam kerapatan. Balai kerapatan Koto Piliang disebut dengan balai-balai balabuah gajah, karena bagian tengah balai itu dibuat lebih rendah dan terkesan terputus dengan bagian yang ditinggikan. Bagian lantai tengahnya ini disebut dengan Labuah Gajah (jalan gajah). Prinsip ini juga muncul dalam bentuk arsitektur rumah gadang Koto Piliang. Pada masing-masing sayap kanan dan kiri rumah gadang, terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat. Rumah Gadang Koto Piliang biasanya dinamakan sebagai Rumah Ba anjuang (rumah beranjung). 

b.Kelarasan Bodi Caniago 
Kelarasan Bodi Caniago yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang bertumpu kepada musyawarah dan mufakat. (Agusti Efi Marthala, 2014:80). Wilayah awal penyebaran sistem adat ini adalah wilayah Limo Kaum, Kabupaten Tanah Datar. Pucuak Bulek (pucuk adat) kelarasan ini adalah Datuak Bandaro Kuniang yang bergelar Gajah Gadang Patah Gadiang, berkedudukan di Kubu Rajo Limo Kaum.[7] 

Informasi tentang karakteristik sistem adat kelarasan ini disebutkan dalam petatah adat tuah pangulu ka andiko, tuah kato ka mufakat. Dalam adagium yang lebih lengkap disebutkan: 
putuih rundiang di sakato, rancak rundiang dipakati, dilahia alah samo nyato, dibatin samo dilihati, talatak suatu di tampeknyo, di dalam cupak jo gantang, di lingkuang barih jo balabeh, nan dimakan mungkin jo patuik, dalam kandungan adat jo pusako, adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang. [8] 
Sistem pemerintahan adat Bodi Caniago dianut oleh mayoritas nagari di wilayah budaya Minangkabau. Bahkan di Negeri Sembilan dan sebagian Malaka, sistem ini juga disebut dengan adat Parpatiah. Di Negeri Sembilan Malaysia, misalnya adat Perpatiah yang bersandar pada sistem adat Bodi Caniago berisi lima tajuk utama yaitu, asal usul dan sejarah adat Perpatih, sistem kepimpinan, adat perkawinan. Pengurusan harta dan sistem undang-undang jenayah (pidana). (Mualimin Mochammad Syahid et.al. 2019). 

Aplikasi sistem pemerintahan yang Bodi Caniago ini dapat dilihat dari dari status penghulu, bentuk rumah gadang, balai adat kerapatan. Menurut Kelarasan Bodi Caniago, status dan kedudukan penghulu dalam adat adalah sederajat dan setara. Kewenangannyapun mutlak pada kaumnya masing-masing. Hal ini diungkapkan dalam postulat adat yang berbunyi duduk samo randah, tagak samo tinggi (duduk sama rendah dan tegak sama tinggi). Atau dalam ungkapan lain diungkapkan duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan tegak sepematang). (I. Dt. Sangguno Diradjo, 1979). 

Dalam pengambilan keputusan memakai prinsip musyawarah mufakat yang hasilnya final dan sudah dapat dilaksanakan sesuai keperluannya. Dalam kelarasan Bodi Caniago, musyawarah penghulu adalah forum pengambilan keputusan tertinggi dan memiliki kekuatan sebagai biang tambuak, kato putuih. Sementara di segi bentuk balai rapatnya tidak terlihat adanya lantai yang ditinggikan dari bagian yang lain yang menunjukkan kesamaan derajat dan kedudukan penghulu dalam kerapatan, sebagai aplikasi dari ungkapan:
duduk samo randah, tagak samo tinggi, atau ungkapan duduak sahamparan, tagak sapamatang. 
Prinsip yang sama juga dapat di lihat dari bentuk rumah gadangnya. Rumah gadang Bodi Caniago lazim disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi. Secara substansial, kedua sistem adat di atas, sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada asas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak asasi pribadi di satu pihak dan kepentingan umum di pihak lain.
-------------------------

Catatan Penulis
[1] Nama Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan hidup terus di Minangkabau sebagai perumus adat (hukum) "Bodi Caniago dan Koto Piliang. Ingatan tentang ini telah menjadi fakta sosial (mentifact)

[2] A.A. Navis menggunakan istilah kategori, lihat AA.Navis, Op.Cit., hlm. 88-89. Demikian pula Gouzali Saydam, Loc.cit. dan ada yang menggunakan tingkatan.[ Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia,2010, hlm. 139] 

[3] Salah satu situs yang disebut sebagai sumber sejarah tentang kedua tokoh ini adalah situs Batu Batikam di Dusun Tuo Limo Kaum, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Informasi ringkas tentang situs ini dapat dibaca di https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/batu-batikam-dan-pembuktian-dua-tokoh-minangkabau/, diakses tanggal 12 September 2020 

[4] Untuk uraian lebih luas dapat dibaca di A. Dt.Batuah, dan A Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1959] 

[5] Kedua tokoh ini oeh tokoh adat di daerah Agam Tuo sering disebut dengan sebutan Niniak nan Baduo (Nenek/Datuk yang dua). Hal ini untuk mempermudah sebutan sekaligus sebagai alat untuk menguji apakah seseorang mengetahui adat Minangkabau atau tidak. Jika seseorang berhasil menyebutkan siapa Niniak nan Baduo itu, berarti ia mengetahui adat Minangkabau. Z. Katik Mangkuto, Op.Cit.] 

[6] Sistem adat Koto Piliang ini memiliki kedekatan politis dengan kerajaan Pagaruyung. Jabatan Basa Ampek Balai ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahan Kerajaan Pagaruyuang. Selain jabatan (1) Bandaro di Sungai Tarab, para pembesar sistem Koto Piliang lainnya dalam dewan Menteri Basa Ampek Balai ini adalah (2) Indomo di Suruaso dengan sebutan Puro Panuah Koto Piliang (kantong/pura penuh Koto Piliang) yang bertugas sebagai bendahara. (3) Makhudum di Sumaniak yang bertugas dalam bidang keamanan dan (4) Tuan Kadi di Padang Gantiang yang bertugas dalam bidang keagamaan. Gambaran uraian tugas tokoh-tokoh ini dapat dibaca dalam Syamsuddin St. Radjo Endah, Kaba Cinduamato, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010

[7] Keberadaan Kubu Rajo Lima Kaum sebagai pusat pengembangan sistem adat Bodi Caniago menarik untuk dicermati. Di Limo Kaum, Batusangkar ini terdapat artefak bersejarah yaitu prasasti Kubu Rajo I dan Prasasti Kubu Rajo II. Kedua prasasti yang ditulis dalam akasara Jawa kuna dan bahasa Sanskerta itu banyak bercerita tentang asal-usul Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung yang notabene dekat dengan sistem adat Koto Piliang 

[8] Anonim, Adat Seiya Sekata, (naskah stensilan), Bukitttinggi, tanpa penerbit, 1952, t.h. 
--------------

Sumber Bacaan

Zubir Rasyad, Ranah dan Adat Minangkabau, Jakarta: Agra Wirasanda, 2009

M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Panghoeloe, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Jakarta: Mutiara Sumber Widia, 1987

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008

Hazairin, Pergolakan Penyesuaian Adat Kepada Hukum Islam, 1952 

Mawardi Muzamil, Anis Mashdurohatun, Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat dan Islam). Semarang: Madina, 2014

Gouzali Saydam, Kamus Lengkap bahasa Minang (Bagian Pertama), Padang: PPIM, 2004, 

A.A. Navis. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta: Grafiti Press., 1984   

Zikri Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam, P3M UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Jurnal Sosial Budaya, Vol 11, No 2 (2014)

Elizabeth E Graves, Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX-XX, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2007 

Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia,2010,

Syekh Sulaiman al Rasuli, Pertalian Adat dan Syara' di Minangkabau. Alih Tulisan, Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press, 2003

N.M Rangkoto, Pantun Adat Minangkabau, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1982

A. Dt.Batuah, dan A Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka, 1959

Taufik Abdullah, Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatra Barat, 1927–1933, Yogyakarta: Suara Muhamamdiyah dan PSIF UMM, 2018

Yulizal Yunus, Minangkabau Social Movement, Padang: Imam Bonjol Press, 2015

Syamsuddin St. Radjo Endah, Kaba Cinduamato, Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2010

Agusti Efi Marthala, Penghulu & Filosofi Pakaian Kebesaran: Kosep Kepemimpinan Tradisional Minangkabau, Bandung: Humaniora

Anonim, Adat Seiya Sekata, (naskah stensilan), Bukitttinggi, tanpa penerbit, 1952, t.h. 

Mualimin Mochammad Syahid et.al. Modul Adat Perpatih Patuh Syari’ah di Malaysia, Selangor; Darul Syakir Enterprise, 2019

I. Dt. Sangguno Diradjo, Mustika Adat Alam Minangkabau‎; Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979


Wawancara

Marsadis Dt. Sutan Mamad, Tokoh Adat Sungai Pagu, Wawancara, Sabtu, 17 November 2018

 Z. Katik Mangkuto, tokoh masyarakat Agam, Wawancara 12 September 2020


Internet

No comments: