Minangkabau sebelum Islam
Muhammad Nasir
Sanusi Latif menuliskan bahwa
sebelum masuknya agama-agama ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau selain
menaati adat, juga menganut keyakinan pra-agama,[1]
baik animisme dan dinamisme, maupun
kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang dapat membahayakan manusia,
sehingga kepadanya harus diberikan sesajian serta pembacaan mantera-mantera.[2]
Dalam konteks ini, masyarakat
Minangkabau tidak jauh berbeda dengan masyarakat kuno lainnya yang percaya
kepada kekuatan roh atau sesuatu yang ghaib. Dalam perkembangannya, praktik
kepercayaan-kepercayaan kuno ini masih berbekas dalam keseharian masyarakat
Minangkabau modern.
Masa Hindu-Budha
Agama Hindu diduga masuk lebih
awal ke Minangkabau, yaitu aliran Hindu Brahma (abad ke-5 M). Namun catatan
yang lengkap tentang kedatangan dan perkembangan agama Hindu di sekitar abad
ini tidak memadai. Berat dugaan, bahwa kehadiran agama hindu di Minangkabau
pada abad ke-5 ini hanya terbatas pada adanya pemuka-pemuka agama Hindu (kasta
Brahma) dalam jumlah yang sedikit.
Agama Hindu mengenal banyak
dewa. Dewa-dewa terpenting dalam agama ini adalah Brahma, Syiwa dan Wisnu, yang
ketiganya terkenal dengan sebutan Tri Murti. Masyarakat pemeluk agama
Hindu diketahui hidup dalam kasta-kasta yang disusun berdasarkan pembagian
pekerjaan, yaitu Kasta Brahmana (pemuka agama/pendeta), Kasta Ksatria (Raja dan
para bangsawan istana), Kasta Waisya (petani, pedagang dan peternak) serta
Kasta Sudra (orang miskin dan buruh). Selain keempat kasta tersebut ada kasta
kelima yang disebut Paria, namun kasta ini tidak populer di
nusantara.
Kemudian menyusul agama Budha
Hinayana (abad ke-7) dan agama Budha Mahayana (abad ke-7 sampai abad ke-10),[3]
baik yang dibawa oleh para pedagang dari Hindustan (India) maupun mereka yang
datang dari kerajaan Majapahit.[4]
Menurut MD. Mansoer (1970)
Hingga Iebih kurang pertengahan abad ke-7 negeri Cina meramaikan dan memainkan
peranan yang penting sebagai "supplier" terbesar dari rempah-rempah
termasuk Iada, bagi daerah Timur Tengah. Lada itu terutama diangkut dari Muara
Tembesi (keradjaan Melayu Tua) dan Muara Sabak (Kerajaan Sriwijaya, Jambi)
dengan jung-jung Cina ke Kanton. Menurut catatan I’tsing, pendeta Budha dari
Cina, dalam perdjalanannja ke India (671) menuliskan bahwa kerajaan-kerajaan di
mo-lo-jue (Melayu) menganut agama Budha Hinayana. Candi Muaro Jambi
adalah salah satu sumber informasi keberadaan agama Budha Hinayana di
Minangkabau Timur. Namun, seberapa besar pengaruh agama Budha Hinayana ke
daerah inti (darek) Minangkabau, belum ada catatan resmi.
Adapun agama Budha Mahayana,
perkembangannya di wilayah Minangkabau tidak lepas dari usaha Dinasti Tang
dalam menyebarkannya. Sejak pertengahan abad ke-7, Cina telah bangkit sebagai
kekuasaan besar di Asia (Timur) di bawah pimpinan Dinasti Tang (607-908).
Daerah taklukannya meliputi sebagian besar daratan Asia Tengah. Agama resmi
Cina Tang ialah agama Budha Mahayana. Pada kurun waktu tersebut, Dinasti Tang
berkembang sebagai kekuatan perdagangan maritim.
Menurut Mansoer, Dinasti Tang
melakukan “move politik” yang bersumber pada ideologi agama Budha Mahayana dan
bersandar pada kekuatan mlliter. Penguasa Dinasti Tang mengutus dua orang
sarjana Budha Mahayana yang terkenal ke "San-fo-tsi" jaitu
Wadjarabodhi dan Amoghabadjra untuk mengembangkan agama Budha Mahayana di
Minangkabau Timur (680)[5]
untuk menggantikan agama Budha Hinayana.
Akan tetapi, Agama Hindu dan
Budha di Minangkabau tidak sekuat adat, dan tidak pula sekuat pengaruh Hindu
dan Budha di Jawa ketika Islam datang. Pengaruhnya tidaklah mendalam dan tidak
meninggalkan bekas-bekas yang lama. Kedua agama tersebut belum sempat
memasyarakat. Belum banyak didirikan tempat-tempat pengajaran dan penyiaran
agama tersebut di daerah ini.[6]
Sejarah Hanya mencatat bahwa
sebuah stupa dari biara agama Budha yang berdiri di Muara Takus, abad ke-8
dalam daerah Kerajaan Minangkabau Timur. Muara Takus atau Telaga Udang terletak
di hulu Kampar.[7] Selain Itu, beberapa prasasti mengenai Adityawarman
dan agama Budha, di anatarnya terdapat di Lima Kaum, yaitu Prasasti Kuburajo I
(1347) dan Kuburajo II (1339/1351). Salah satu yang diyakini sebagai jejak
agama Budha adalah di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang
agama Buddha) dan sapaan dalam agama budha Oṃ māṃla.
Sejak era Aditiawarman inilah
agama Budha kembali disebut-sebut. Semestinya kehadiran Aditiawarman yang
menganut Budha Tantrayana ikut memberi pengaruh perkembangan agama ini. Ternyata tidak. Untuk hal ini, Hamka menulis:
meskipun rajanya memeIuk agama Hindu atau Budha, orang Minangkabau
rupanya telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Susunan adat
dan pemerintahnya berdasarkan kepada dua, yaitu Koto Piliang dan Budi Caniago.
Setiap negeri menyusun masyarakatnya dengan dasar kata mufakat dan Maharaja
hanyalah sebagai lambang saja, sebab rakyat, disusun dan diatap oleh kepala
sukunya masing-masing.[8]
Sanusi Latif juga mengemukaan
sebab-sebab lemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha di Minangkabau, yaitu:[9]
Pertama: Karena kedua agama tersebut yang datang ke Minangkabau dari
Kerajaan Majapahit, di bawa oleh penyerbu. Dengan demikian menimbulkan citra
yang kurang simpatik bagi masyarakat di daerah ini.
Kedua, walaupun Adityawarman akhirnya berhasil menjadi raja di
Minangkabau, kekuasaannya tidak dapat menjangkau kehidupan masyarakat di
nagari-nagari, terutama di daerah Luhak nan Tigo. Dengan demikian, kalaupun ia
ingin menyebarkan agama Budha, namun peluang itu amat terbatas.
Ketiga, misinya dalam bidang politik dan militer jauh lebih menonjol
sehingga penyebaran agama kurang menjadi perhatiannya. Kedatangannya ke
Minangkabau tidak disertai dengan ahli-ahli agama Budha yang cukup untuk
menyebarkan agama tersebut di daerah ini. Tidak seperti raja-raja Islam Aceh
yang selalu membawa ahli-ahli agama dalam perjalanannya ke daerah-daerah yang
dikuasainya.
Keempat, Pengaruh adat dalam masyarakat Minangkabau jauh lebih kuat dan
benar-benar berurat berakar sehingga tidak mudah dimasuki oleh paham-paham
lainnya, apalagi yang tidak sejalan dengannya.
Kelima, susunan masyarakat menurut kasta-kasta dalam agama Hindu tidak
berkenan di hati masyarakat Minangkabau karena sangat bertentangan dengan
kehidupan demokratis yang telah mendarah daging bagi mereka. Keinginan Adityawarmnan
agar susunan masyarakat berkasta-kasta diberlakukan di Minangkabau, segera
mendapat tantangan.
Agama Hindu dan Budha
walaupun pengaruhnya amat kecil di Minangkabau, telah bercampur aduk dengan kepercayaan pra agama dan adat.
Menurut Sanusi Latief, kepercayaan
tentang reinkarnasi, keharusan membakar kemenyan sebelum berdo’a, serta
bermacam-macang kenduri, selamatan di rumah duka dan berkaul ke kuburan dan
tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral, sering dikemukakan sebagai
contoh tentang sisa-sisa pengaruh Hindu
dan atau kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelum kedatangan
agama Hindu dan Budha.
Dalam situasi yang
demikianlah kemudian agama Islam sampai ke daerah ini. Agama Islam menemukan
masyarakat di sini telah mempunyai adat dan kepercayaan-kepercayaan pra-agama,
ditambah dengan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ang belum kuat tertanam.
[1] Sanusi Latif menggunakan isltilah pra
agama. James W Fowler menyebutnya dengan
kepercayaan eksistensial. Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya
merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu.
Lebih lanjut lihat Sari Pemikiran James
W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W.
Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995Kepercaya an
[2] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau
1907-1969,(Disertasi) IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta:1988, h.39
[4] J.L. Moens, Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa
Kejayaannya yang Terakhir, Jakrata: Bharata, 1974, h. 44
[5] Minangkabau Timur adalah kawasan
pertumbuhan kekuasaan Kerajaan Melayu, Sriwijaya, dan Dharmasraya. Wilayahnya
membentang sepanjang hulu hingga hilir aliran Sungai Dareh atau Batanghari.
Batanghari dan Sungai Dareh pada masa Minangkabau Timur berkembang sebagai
pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya Minangkabau dari abad ke tujuh sampai pertengahan abad
keempat belas.
[6] M Sanusi Latif merujuk pada
sumber yang ia tulis di catatan kaki, yaitu dari Harry J Benda, Kontinuitas
dan Perubahan dalam Islam di Indonesia dalam buku Islam di Indonesia,
editor, Taufik Abdullah, Jakarta, Tintamas, 1974 hal. 34;36.
[7] Lihat M Rasyid Manggis, Minangkabau,
Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1970, hal.172
[8] Hamka, Ayahku, h.3
No comments:
Post a Comment