09 April 2020

Minangkabau sebelum Islam


Minangkabau sebelum Islam
Muhammad Nasir

Sanusi Latif menuliskan bahwa sebelum masuknya agama-agama ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau selain menaati adat, juga menganut keyakinan pra-agama,[1] baik animisme dan  dinamisme, maupun kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang dapat membahayakan manusia, sehingga kepadanya harus diberikan sesajian serta pembacaan mantera-mantera.[2]
Dalam konteks ini, masyarakat Minangkabau tidak jauh berbeda dengan masyarakat kuno lainnya yang percaya kepada kekuatan roh atau sesuatu yang ghaib. Dalam perkembangannya, praktik kepercayaan-kepercayaan kuno ini masih berbekas dalam keseharian masyarakat Minangkabau modern.

Masa Hindu-Budha
Agama Hindu diduga masuk lebih awal ke Minangkabau, yaitu aliran Hindu Brahma (abad ke-5 M). Namun catatan yang lengkap tentang kedatangan dan perkembangan agama Hindu di sekitar abad ini tidak memadai. Berat dugaan, bahwa kehadiran agama hindu di Minangkabau pada abad ke-5 ini hanya terbatas pada adanya pemuka-pemuka agama Hindu (kasta Brahma) dalam jumlah yang sedikit.
Agama Hindu mengenal banyak dewa. Dewa-dewa terpenting dalam agama ini adalah Brahma, Syiwa dan Wisnu, yang ketiganya terkenal dengan sebutan Tri Murti. Masyarakat pemeluk agama Hindu diketahui hidup dalam kasta-kasta yang disusun berdasarkan pembagian pekerjaan, yaitu Kasta Brahmana (pemuka agama/pendeta), Kasta Ksatria (Raja dan para bangsawan istana), Kasta Waisya (petani, pedagang dan peternak) serta Kasta Sudra (orang miskin dan buruh). Selain keempat kasta tersebut ada kasta kelima yang disebut Paria, namun kasta ini tidak populer di nusantara. 
Kemudian menyusul agama Budha Hinayana (abad ke-7) dan agama Budha Mahayana (abad ke-7 sampai abad ke-10),[3] baik yang dibawa oleh para pedagang dari Hindustan (India) maupun mereka yang datang dari kerajaan Majapahit.[4]
Menurut MD. Mansoer (1970) Hingga Iebih kurang pertengahan abad ke-7 negeri Cina meramaikan dan memainkan peranan yang penting sebagai "supplier" terbesar dari rempah-rempah termasuk Iada, bagi daerah Timur Tengah. Lada itu terutama diangkut dari Muara Tembesi (keradjaan Melayu Tua) dan Muara Sabak (Kerajaan Sriwijaya, Jambi) dengan jung-jung Cina ke Kanton. Menurut catatan I’tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perdjalanannja ke India (671) menuliskan bahwa kerajaan-kerajaan di mo-lo-jue (Melayu) menganut agama Budha Hinayana. Candi Muaro Jambi adalah salah satu sumber informasi keberadaan agama Budha Hinayana di Minangkabau Timur. Namun, seberapa besar pengaruh agama Budha Hinayana ke daerah inti (darek) Minangkabau, belum ada catatan resmi.
Adapun agama Budha Mahayana, perkembangannya di wilayah Minangkabau tidak lepas dari usaha Dinasti Tang dalam menyebarkannya. Sejak pertengahan abad ke-7, Cina telah bangkit sebagai kekuasaan besar di Asia (Timur) di bawah pimpinan Dinasti Tang (607-908). Daerah taklukannya meliputi sebagian besar daratan Asia Tengah. Agama resmi Cina Tang ialah agama Budha Mahayana. Pada kurun waktu tersebut, Dinasti Tang berkembang sebagai kekuatan perdagangan maritim.
Menurut Mansoer, Dinasti Tang melakukan “move politik” yang bersumber pada ideologi agama Budha Mahayana dan bersandar pada kekuatan mlliter. Penguasa Dinasti Tang mengutus dua orang sarjana Budha Mahayana yang terkenal ke "San-fo-tsi" jaitu Wadjarabodhi dan Amoghabadjra untuk mengembangkan agama Budha Mahayana di Minangkabau Timur (680)[5] untuk menggantikan agama Budha Hinayana.
Akan tetapi, Agama Hindu dan Budha di Minangkabau tidak sekuat adat, dan tidak pula sekuat pengaruh Hindu dan Budha di Jawa ketika Islam datang. Pengaruhnya tidaklah mendalam dan tidak meninggalkan bekas-bekas yang lama. Kedua agama tersebut belum sempat memasyarakat. Belum banyak didirikan tempat-tempat pengajaran dan penyiaran agama tersebut di daerah ini.[6]
Sejarah Hanya mencatat bahwa sebuah stupa dari biara agama Budha yang berdiri di Muara Takus, abad ke-8 dalam daerah Kerajaan Minangkabau Timur. Muara Takus atau Telaga Udang terletak di hulu Kampar.[7]  Selain Itu, beberapa prasasti mengenai Adityawarman dan agama Budha, di anatarnya terdapat di Lima Kaum, yaitu Prasasti Kuburajo I (1347) dan Kuburajo II (1339/1351). Salah satu yang diyakini sebagai jejak agama Budha adalah di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang agama Buddha) dan sapaan dalam agama budha Oṃ māṃla.
Sejak era Aditiawarman inilah agama Budha kembali disebut-sebut. Semestinya kehadiran Aditiawarman yang menganut Budha Tantrayana ikut memberi pengaruh perkembangan agama ini.  Ternyata tidak. Untuk hal ini, Hamka menulis:
meskipun rajanya memeIuk agama Hindu atau Budha, orang Minangkabau rupanya telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Susunan adat dan pemerintahnya berdasarkan kepada dua, yaitu Koto Piliang dan Budi Caniago. Setiap negeri menyusun masyarakatnya dengan dasar kata mufakat dan Maharaja hanyalah sebagai lambang saja, sebab rakyat, disusun dan diatap oleh kepala sukunya masing-masing.[8]
Sanusi Latif juga mengemukaan sebab-sebab lemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha di Minangkabau, yaitu:[9]
Pertama: Karena kedua agama tersebut yang datang ke Minangkabau dari Kerajaan Majapahit, di bawa oleh penyerbu. Dengan demikian menimbulkan citra yang kurang simpatik bagi masyarakat di daerah ini.
Kedua, walaupun Adityawarman akhirnya berhasil menjadi raja di Minangkabau, kekuasaannya tidak dapat menjangkau kehidupan masyarakat di nagari-nagari, terutama di daerah Luhak nan Tigo. Dengan demikian, kalaupun ia ingin menyebarkan agama Budha, namun peluang itu amat terbatas.
Ketiga, misinya dalam bidang politik dan militer jauh lebih menonjol sehingga penyebaran agama kurang menjadi perhatiannya. Kedatangannya ke Minangkabau tidak disertai dengan ahli-ahli agama Budha yang cukup untuk menyebarkan agama tersebut di daerah ini. Tidak seperti raja-raja Islam Aceh yang selalu membawa ahli-ahli agama dalam perjalanannya ke daerah-daerah yang dikuasainya.
Keempat, Pengaruh adat dalam masyarakat Minangkabau jauh lebih kuat dan benar-benar berurat berakar sehingga tidak mudah dimasuki oleh paham-paham lainnya, apalagi yang tidak sejalan dengannya.
Kelima, susunan masyarakat menurut kasta-kasta dalam agama Hindu tidak berkenan di hati masyarakat Minangkabau karena sangat bertentangan dengan kehidupan demokratis yang telah mendarah daging bagi mereka. Keinginan Adityawarmnan agar susunan masyarakat berkasta-kasta diberlakukan di Minangkabau, segera mendapat tantangan.
Agama Hindu dan Budha walaupun pengaruhnya amat kecil di Minangkabau, telah bercampur aduk  dengan kepercayaan pra agama dan adat. Menurut Sanusi Latief, kepercayaan tentang reinkarnasi, keharusan membakar kemenyan sebelum berdo’a, serta bermacam-macang kenduri, selamatan di rumah duka dan berkaul ke kuburan dan tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral, sering dikemukakan sebagai contoh tentang sisa-sisa  pengaruh Hindu dan atau kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha.
Dalam situasi yang demikianlah kemudian agama Islam sampai ke daerah ini. Agama Islam menemukan masyarakat di sini telah mempunyai adat dan kepercayaan-kepercayaan pra-agama, ditambah dengan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ang belum kuat tertanam.


[1] Sanusi Latif menggunakan isltilah pra agama. James  W Fowler menyebutnya dengan kepercayaan eksistensial. Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu. Lebih lanjut lihat  Sari Pemikiran James W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995Kepercaya an
[2] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi)  IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.39
[3] MD Mansoer dkk., Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, h.41
[4] J.L. Moens, Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya yang Terakhir, Jakrata: Bharata, 1974, h. 44
[5] Minangkabau Timur adalah kawasan pertumbuhan kekuasaan Kerajaan Melayu, Sriwijaya, dan Dharmasraya. Wilayahnya membentang sepanjang hulu hingga hilir aliran Sungai Dareh atau Batanghari. Batanghari dan Sungai Dareh pada masa Minangkabau Timur berkembang sebagai pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya Minangkabau  dari abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
[6] M Sanusi Latif merujuk pada sumber yang ia tulis di catatan kaki, yaitu dari Harry J Benda, Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia dalam buku Islam di Indonesia, editor, Taufik Abdullah, Jakarta, Tintamas, 1974 hal. 34;36.
[7] Lihat M Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1970, hal.172
[8] Hamka, Ayahku, h.3
[9] M Sanusi Latief, Op.Cit., h. 40-42

No comments: