Kekerabatan Matrilineal Minangkabau
Muhammad Nasir
Masyarakat Minangkabau dalam pengetahuan umum disebut
menganut sistem kekerabatan matrilineal dengan ciri-ciri pokok menarik garis
keturunan dari garis ibu. Demikian banya tertulis dalam berbagai teks yang
menjelasakan tentang adat matrilineal Minangkabau. Kesalahan dalam penulisan
frasa garis keturunan ini justru menimbulkan kesalahan dalam memahami
sistem kekerabatan Minangkabau. Apalagi bila frasa garis keturunan ini secara
bersamaan digunakan dengan frasa garis kekerabatan, garis keluargaan
atau garis perkauman tanpa seleksi dan kesadaran atas konsekwensi
penggunaannya. Generasi Minangkabau modern sering memahaminya dengan istilah garis
keturunan, kecuali beberapa di antara mereka yang sudah mendekati sistem
kekerabatan Minangkabau ini dengan pedekatan sosiologis dan antropologis.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan pada hakikatnya
adalah istilah yang netral untuk menunjukkan hubungan antar individu dalam sebuah
kelompok merupakan hubungan antara tiap
entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan
biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk
keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah ini termasuk
keturunan dan perkawinan. Berdasarkan definisi antropologis dan biologis ini,
hubungan kekerabatan yang dimaksud semestinya dapat dipahami dalam sebuah
istilah normal lainnya yang disebut dengan keluarga.
Keluarga merupakan afiliasi individu dalam masyarakat.
Dalam susunan masyarakat, keluarga disebut sebagai unit sosial terkecil.[1]
Dalam susunan ini, ada tiga jenis keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear
family), keluarga konjugal dan keluarga luas (extended family).
Keluarga Inti (nuclear family), adalah keluarga
yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari
suami, istri, dan anak- anak baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
Keluarga Konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak
mereka yang terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak
orang tua.[2]
Baik dari keluarga pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keluarga luas (extended
family) yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya.
Keluarga luas meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan
keluarga nenek. Hubungan itu juga dikenal dengan Keluarga Besar, atau hubungan yang
terjadi antargenerasi, misalnya: kakek, orang tua, anak, cucu. [3]
Berdasarkan jenis-jenis keluarga di atas, membaca sistem
kekerabatan di Minangkabau mesti dilakukan dengan pendekatan jenis keluarga
konjugal yang menekankan pada pengelompokan berdasarkan interaksi dengan
kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Berdasarkan pendekatan ini,
orang Minangkabau memiliki interaksi dengan kerabat orang tuanya baik dari
pihak ayah maupun di pihak ibu. Status individu dalam kedua kerabat ini akan
berbeda-beda dan memiliki konsekwensi hukum, hak dan kewajiban yang
berbeda-beda. Para anggota keluarga dari jalur ibu dan ayah ini dipandang
sebagai saudara (dunsanak). Ada dua jenis dunsanak di Minangkabau. Pertama,
dunsanak saparuik (seperut) yaitu dunsanak menurut garis keturunan ibu
yang diurutkan dari nenek perempuan. Kedua, Dunsanak Batali Darah, yaitu
dunsanak menurut garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan.
Dunsanak dari pihak ayah ini lazim disebut dengan Bako.
Seorang anak di Minangkabau di kelompok kerabat ibunya
mendapat status sebagai kemanakan. Kelompok keluarga ibunya ini secara
berurutan dari yang paling inti hingga paling luas adalah samande
(seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai (dari satu
keturunan), sakaum (dari satu kelompok keluarga) dan sasuku (dari
satu suku).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, yang dimaksud
dengan “garis keturunan” ditarik dari garis ibu adalah pengelompokan keluarga
berdasarkan interaksi dengan kerabat dari garis ibu, hingga terbentuk sebuah
suku yang matrilineal. Suku merupakan identitas sekaligus bentuk pengelompokan terpenting dalam masyarakat
Minangkabau. Meskipun demikian,
pengelompokan keluarga dari jalur kerabat ayah bukan tidak penting dan
ditiadakan. Justru, kerabat dari pihak ayah mempunyai posisi yang penting dalam
penciptaan aneka upacara adat dan acara kekeluargaan di Minangkabau. Misalnya, acara babako di berbagai
acara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya justru diadakan demi
menghadirkan eksistensi keluarga pihak ayah dalam masyarakat Minangkabau.
2-
Konsep Harta dan Pewarisan
Orang Minangkabau mempunyai
definisi tersendiri tentang harta. Termasuk dalam kategori harta dalam
kebudayaan Minangkabau adalah Harato dan Pusako. Harato adalah
kemakmuran Kaum, sedangkan Pusako adalah benda-benda kehormatan kaum.[4]
Bagi masyarakat Minangkabau. warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan
gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako dan pusako. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh pepatah adat;
biriak-biriak turun ka samak,
tibo di samak mancari makan.
Dari niniak turun ka mamak,
dari mamak turun ka kamanakan.
Sebagai warisan harta
yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap
harta yang telah jadi pusaka tinggi selalu dijaga agar tinggal utuh. demi untuk
menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan
hukum adat Minangkabau. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan
berikutnya. Kemenakan laki-Iaki dan perempuan yang berhak menerima warisan
memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-Iaki mempunyai hak
mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamang adat
disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka
ditolong). Maksudnya bahwa sebagai warisan harta itu diterima dari mamak, dan
sebagai pusaka harta itu harus dipelihara dengan baik. Bagi seorang laki-Iaki
yang berhasil mengumpulkan kekayaan, tugasnya yang utama ialah memegang sawah
dan ladang yang diperuntukkan bagi saudara kandung. Maksud saudara kandung di
sinilah ialah saudaranya perempuan yang sekaum. Hal ini diungkapkan pantun
sebagai berikut:
Apo guno kabau batali,
Lapeh ka rimbo jadi jalang,
Pauikan sajo di pamatang,
Apo guno badan mancari,
Iyo mamaga sawah jo ladang,
Nak mambela sanak kanduang.[5]
3-
Konsep Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian
hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan
suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi
antara kedua belah pihak yang terikat perkawinan. Umumnya perkawinan dijalani
dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Minangkabau adalah suku bangsa yang menganut sistem
kekerabatan matrilial. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur
kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan
dalam garis ibu.
Perkawinan dalam adat Minangkabau bukan hanya ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antar keluarga
atau antar kaum. Hal ini digambarkan dalam ungkapan adat:
~kawin
jo mamak, nikah jo parampuan~
Berdasarkan ungkapan di atas, perkawinan di
Minangkabau mengandung dua makna, yaitu makna adat dan makna syara’. Dengan
adanya dua makna ini, maka akan muncul dua kewajiban bagi orang Minangkabau
dalam melaksanakan perkawinan, yaitu kewajiban adat dan kewajibat syara’. Oleh
sebab itu, maka ikatan yang muncul akibat perkawinan di Minangkabau bukan hanya
ikatan keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja, tetapi meluas dalam
ikatan yang lebih besar, yaitu ikatan kekerabatan. Adapun bentuk kekerabatan yang
muncul akibat perkawinan di Minangkabau adalah:
·
Ikatan suami dan istri
·
Ikatan sumando dengan mamak rumah
·
Ikatan ipar dengan bisan
·
Ikatan andan basumandan
·
Ikatan bako dan anak pisang
·
Ikatan pambayan
Oleh sebab itu,
pernikahan dalam adat Minangkabau adalah pintu masuk untuk membentuk sebuah
sistem kekerabatan yang lebih luas. Meskipun demikian, maka sesuai dengan
tuntunan falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK),
adat Minangkabau telah memberikan nilai tambah terhadap tujuan pernikahan
secara Islam tanpa mengurangi tujuan yang prinsipil dari pernikahan itu
sendiri. Adapun tujuan pernikahan secara Islam adalah:
·
Menyempurnakan dan menjaga agama
·
Menjalankan sunnah rasul
·
Menghindarkan diri dari maksiat
·
Membentuk keluarga sakinah
·
Memperoleh keturunan
Hukum Perkawinan menurut adat Minangkabau
Yang dimaksud dengan hukum perkawinan menurut orang
Minangkabau adalah pandangan tentang kedudukan hukum secara adat kebiasaan yang
berlaku di masyarakat Minangkabau sehingga mempengaruhi hubungan sosial
kekerabatan di Minangkabau.
Adapun hukum perkawinan di dalam adat adalah:
1. Suruhan (Wajib) apabila sudah memenuhi syarat
secara syara’
2. Anjuran yaitu pernikahan yang ditujukan untuk
memelihara hubungan kekerabatan. Misalnya pernikahan ganti lapiak.
Tujuannya adalah: mendukung tali kekerabatan agar tetap utuh dan, anak-anak
dari perkawinan lama tidak memperoleh ibu yang menurut perkiraannya tidak dapat
memperhatikan mereka sesuai dengan hak-haknya dalam kaum.
3. Larangan, dilarang menikah apabila tidak sesuai
dengan ajaran Islam
4. Pantangan, penikahan dapat dilangsungkan tetapi
menerima sanksi hukum adat, misalnya menikah dengan kerabat sesuku.
5. Sumbang, perkawinan tidak dilarang dan tidak melanggar
pantangan tetapi lebih baik ditinggalkan karena tidak dibiasakan secara adat
setempat. Misalnya; menikahi orang
yang telah diceraikan kaum kerabat, sahabat atau tetangga dekatnya, menikahi seorang perempuan dengan tujuan balas dendam
atau mempermalukan perempuan yang sekerabat sepergaulan atau setetangga, mengawini anak tiri saudara kandung.
- Termasuk kategori kawin sumbang adalah perkawinan cino
buto, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang telah
diceraikan sebanyak tiga kali. Agar ia dapat menikah kembali dengan istri yang
telah diceraikannya itu, ia atau pihak istrinya mencarikan atau membayar
laki-laki lain untuk menikahi perempuan itu untuk sementara waktu.
Pernikahan seperti ini dinilai tercela karena tidak
didasari niat yang baik dan tidak menimbang rasa malu, raso dan pareso.
Perkawinan Ideal Menurut orang Minangkabau
Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan
atau pernikahan yang paling ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat atau
diistilahkan dengan perkawinan awak samo awak. Bentuknya adalah:
1. Pulang ka mamak, yaitu pernikahan antara anak dengan kemenakan, atau menikah
dengan anak mamak.
2.
Pulang ka bako, yaitu menikah dengan kemanakan ayah.
3. Pernikahan selanjutnya adalah pernikahan dengan orang
sekorong, sekampuang, sanagari dan sesama orang Minangkabau asalkan tidak
sesuku.
Tujuan pernikahan yang disebut ideal ini adalah untuk
memelihara agar identitas keturunan sebagai orang Minangkabau, sistem
kekerabatan dan adat Minangkabau tetap terpelihara.
[3] R.B. Soemanto, Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi
Keluarga, Modul Perkuliahan, Universitas Terbuka: 2014
[4] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.139
[5] Ibid., h.159
No comments:
Post a Comment