02 April 2020

Kekerabatan Matrilineal Minangkabau


Kekerabatan Matrilineal Minangkabau
Muhammad Nasir

1-   Konsep Kekerabatan
Masyarakat Minangkabau dalam pengetahuan umum disebut menganut sistem kekerabatan matrilineal dengan ciri-ciri pokok menarik garis keturunan dari garis ibu. Demikian banya tertulis dalam berbagai teks yang menjelasakan tentang adat matrilineal Minangkabau. Kesalahan dalam penulisan frasa garis keturunan ini justru menimbulkan kesalahan dalam memahami sistem kekerabatan Minangkabau. Apalagi bila frasa garis keturunan ini secara bersamaan digunakan dengan frasa garis kekerabatan, garis keluargaan atau garis perkauman tanpa seleksi dan kesadaran atas konsekwensi penggunaannya. Generasi Minangkabau modern sering memahaminya dengan istilah garis keturunan, kecuali beberapa di antara mereka yang sudah mendekati sistem kekerabatan Minangkabau ini dengan pedekatan sosiologis dan antropologis.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan pada hakikatnya adalah istilah yang netral untuk menunjukkan hubungan antar individu dalam sebuah kelompok  merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah ini termasuk keturunan dan perkawinan. Berdasarkan definisi antropologis dan biologis ini, hubungan kekerabatan yang dimaksud semestinya dapat dipahami dalam sebuah istilah normal lainnya yang disebut dengan keluarga.
Keluarga merupakan afiliasi individu dalam masyarakat. Dalam susunan masyarakat, keluarga disebut sebagai unit sosial terkecil.[1] Dalam susunan ini, ada tiga jenis keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga konjugal dan keluarga luas (extended family).
Keluarga Inti (nuclear family), adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan anak- anak baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi. Keluarga Konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak mereka yang terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.[2] Baik dari keluarga pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keluarga luas (extended family) yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek. Hubungan itu juga dikenal dengan Keluarga Besar, atau hubungan yang terjadi antargenerasi, misalnya: kakek, orang tua, anak, cucu. [3]
Berdasarkan jenis-jenis keluarga di atas, membaca sistem kekerabatan di Minangkabau mesti dilakukan dengan pendekatan jenis keluarga konjugal yang menekankan pada pengelompokan berdasarkan interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Berdasarkan pendekatan ini, orang Minangkabau memiliki interaksi dengan kerabat orang tuanya baik dari pihak ayah maupun di pihak ibu. Status individu dalam kedua kerabat ini akan berbeda-beda dan memiliki konsekwensi hukum, hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Para anggota keluarga dari jalur ibu dan ayah ini dipandang sebagai saudara (dunsanak). Ada dua jenis dunsanak di Minangkabau. Pertama, dunsanak saparuik (seperut) yaitu dunsanak menurut garis keturunan ibu yang diurutkan dari nenek perempuan. Kedua, Dunsanak Batali Darah, yaitu dunsanak menurut garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan. Dunsanak dari pihak ayah ini lazim disebut dengan Bako.
Seorang anak di Minangkabau di kelompok kerabat ibunya mendapat status sebagai kemanakan. Kelompok keluarga ibunya ini secara berurutan dari yang paling inti hingga paling luas adalah samande (seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai (dari satu keturunan), sakaum (dari satu kelompok keluarga) dan sasuku (dari satu suku).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, yang dimaksud dengan “garis keturunan” ditarik dari garis ibu adalah pengelompokan keluarga berdasarkan interaksi dengan kerabat dari garis ibu, hingga terbentuk sebuah suku yang matrilineal. Suku merupakan identitas sekaligus bentuk  pengelompokan terpenting dalam masyarakat Minangkabau.  Meskipun demikian, pengelompokan keluarga dari jalur kerabat ayah bukan tidak penting dan ditiadakan. Justru, kerabat dari pihak ayah mempunyai posisi yang penting dalam penciptaan aneka upacara adat dan acara kekeluargaan di Minangkabau.  Misalnya, acara babako di berbagai acara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya justru diadakan demi menghadirkan eksistensi keluarga pihak ayah dalam masyarakat Minangkabau.

2-   Konsep Harta dan Pewarisan
Orang Minangkabau mempunyai definisi tersendiri tentang harta. Termasuk dalam kategori harta dalam kebudayaan Minangkabau adalah Harato dan Pusako. Harato adalah kemakmuran Kaum, sedangkan Pusako adalah benda-benda kehormatan kaum.[4] Bagi masyarakat Minangkabau. warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako dan pusako. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh pepatah adat;
biriak-biriak turun ka samak,
tibo di samak mancari makan.
Dari niniak turun ka mamak,
dari mamak turun ka kamanakan.

Sebagai warisan harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap harta yang telah jadi pusaka tinggi selalu dijaga agar tinggal utuh. demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat Minangkabau. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan berikutnya. Kemenakan laki-Iaki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-Iaki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamang adat disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong). Maksudnya bahwa sebagai warisan harta itu diterima dari mamak, dan sebagai pusaka harta itu harus dipelihara dengan baik. Bagi seorang laki-Iaki yang berhasil mengumpulkan kekayaan, tugasnya yang utama ialah memegang sawah dan ladang yang diperuntukkan bagi saudara kandung. Maksud saudara kandung di sinilah ialah saudaranya perempuan yang sekaum. Hal ini diungkapkan pantun sebagai berikut:
Apo guno kabau batali,
Lapeh ka rimbo jadi jalang,
Pauikan sajo di pamatang,
Apo guno badan mancari,
Iyo mamaga sawah jo ladang,
Nak mambela sanak kanduang.[5]

3-   Konsep Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi antara kedua belah pihak yang terikat perkawinan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.

Minangkabau adalah suku bangsa yang menganut sistem kekerabatan matrilial. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu.

Perkawinan dalam adat Minangkabau bukan hanya ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antar keluarga atau antar kaum. Hal ini digambarkan dalam ungkapan adat:

~kawin jo mamak, nikah jo parampuan~

Berdasarkan ungkapan di atas, perkawinan di Minangkabau mengandung dua makna, yaitu makna adat dan makna syara’. Dengan adanya dua makna ini, maka akan muncul dua kewajiban bagi orang Minangkabau dalam melaksanakan perkawinan, yaitu kewajiban adat dan kewajibat syara’. Oleh sebab itu, maka ikatan yang muncul akibat perkawinan di Minangkabau bukan hanya ikatan keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja, tetapi meluas dalam ikatan yang lebih besar, yaitu ikatan kekerabatan. Adapun bentuk kekerabatan yang muncul akibat perkawinan di Minangkabau adalah:

·           Ikatan suami dan istri
·           Ikatan sumando dengan mamak rumah
·           Ikatan ipar dengan bisan
·           Ikatan andan basumandan
·           Ikatan bako dan anak pisang
·           Ikatan pambayan

Oleh sebab itu, pernikahan dalam adat Minangkabau adalah pintu masuk untuk membentuk sebuah sistem kekerabatan yang lebih luas. Meskipun demikian, maka sesuai dengan tuntunan falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK), adat Minangkabau telah memberikan nilai tambah terhadap tujuan pernikahan secara Islam tanpa mengurangi tujuan yang prinsipil dari pernikahan itu sendiri. Adapun tujuan pernikahan secara Islam adalah:

·           Menyempurnakan dan menjaga agama
·           Menjalankan sunnah rasul
·           Menghindarkan diri dari maksiat
·           Membentuk keluarga sakinah
·           Memperoleh keturunan


Hukum Perkawinan menurut adat Minangkabau
Yang dimaksud dengan hukum perkawinan menurut orang Minangkabau adalah pandangan tentang kedudukan hukum secara adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat Minangkabau sehingga mempengaruhi hubungan sosial kekerabatan di Minangkabau.

Adapun hukum perkawinan di dalam adat adalah:
1.   Suruhan (Wajib) apabila sudah memenuhi syarat secara syara’
2. Anjuran yaitu pernikahan yang ditujukan untuk memelihara hubungan kekerabatan. Misalnya pernikahan ganti lapiak. Tujuannya adalah: mendukung tali kekerabatan agar tetap utuh dan, anak-anak dari perkawinan lama tidak memperoleh ibu yang menurut perkiraannya tidak dapat memperhatikan mereka sesuai dengan hak-haknya dalam kaum.
3.  Larangan, dilarang menikah apabila tidak sesuai dengan ajaran Islam
4. Pantangan, penikahan dapat dilangsungkan tetapi menerima sanksi hukum adat, misalnya menikah dengan kerabat sesuku.
5.   Sumbang, perkawinan tidak dilarang dan tidak melanggar pantangan tetapi lebih baik ditinggalkan karena tidak dibiasakan secara adat setempat. Misalnya;  menikahi  orang yang telah diceraikan kaum kerabat, sahabat atau tetangga dekatnyamenikahi seorang perempuan dengan tujuan balas dendam atau mempermalukan perempuan yang sekerabat sepergaulan atau setetanggamengawini anak tiri saudara kandung.
-       Termasuk kategori kawin sumbang adalah perkawinan cino buto, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang telah diceraikan sebanyak tiga kali. Agar ia dapat menikah kembali dengan istri yang telah diceraikannya itu, ia atau pihak istrinya mencarikan atau membayar laki-laki lain untuk menikahi perempuan itu untuk sementara waktu.

Pernikahan seperti ini dinilai tercela karena tidak didasari niat yang baik dan tidak menimbang rasa malu, raso dan pareso.

Perkawinan Ideal Menurut orang Minangkabau
Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan atau pernikahan yang paling ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat atau diistilahkan dengan perkawinan awak samo awak. Bentuknya adalah:
1.  Pulang ka mamak, yaitu pernikahan antara anak dengan kemenakan, atau menikah dengan anak mamak.
2.    Pulang ka bako, yaitu menikah dengan kemanakan ayah.
3.  Pernikahan selanjutnya adalah pernikahan dengan orang sekorong, sekampuang, sanagari dan sesama orang Minangkabau asalkan tidak sesuku.

Tujuan pernikahan yang disebut ideal ini adalah untuk memelihara agar identitas keturunan sebagai orang Minangkabau, sistem kekerabatan dan adat Minangkabau tetap terpelihara.



[1] William J.Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, h.4
[2] Richard R Clayton. The Family, Mariage and Social Change. Lexington: DC Heath, 1975
[3] R.B. Soemanto, Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Keluarga, Modul Perkuliahan, Universitas Terbuka: 2014
[4] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.139
[5] Ibid., h.159

No comments: