Peradaban
Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah (750- 1258 M)[1]
Oleh: Muhammad
Nasir, S.S., M.A.[2]
Pendahuluan
Daulah Bani
Abbasiyah adalah pemerintahan Islam terlama dalam sejarah Islam. Selama lebih
dari lima abad (750-1258 M/132-656 H) pemerintahan ini telah mengadministrasi
wilayah yang telah menerima Islam sebagai agama yang mempengaruhi kebudayaan di
wilayah-wilayah tersebut. Wilayah itu mencakup daerah-daerah yang sudah
terkenal sejak lama sebagai daerah yang sudah memiliki peradaban yang
maju, antara lain Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki,
dan India. Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah timur dan
Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus.
Dari segi garis
waktu (time line) sejarah Islam, Daulah Bani Abbasiyah adalah pelanjut
pemerintahan Islam yang sebelumnya diampu oleh Khulafa’ al Rasyidin (632-661
M), Daulah Bani Umayyah (661-750 M). Artinya, Daulah Bani Abbasiyah secara
total telah mewarisi wilayah yang telah tunduk kepada kekuasaan Islam sejak
zaman Nabi Muhammad SAW. Dari sisi ini, Daulah Bani Umayyah sesungguhnya juga
telah mewarisi tugas yang berat.
Praktis, Daulah
Bani Umayyah berhadapan dengan persoalan yang sama sekali berbeda dan penuh
tantangan. Persoalan keagamaan yang kompleks, kehidupan ekonomi, berbedanya ras
dan suku bangsa pendukung peradaban Islam adalah di antara tantangan nyata
daulah ini. Belum lagi tantangan dari luar Islam. Negeri-negeri Eropa Barat dan
Timur yang bernaung dalam kekuasaan Byzantium merupakan rival politik potensial
yang mengancam setiap waktu. Dalam situasi seperti disebut di atas itulah
Daulah Bani Abbasiyah bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, lima abad
lebih. Bahkan dalam waktu itu, umat Islam di bawah Bani Abbasiyah telah memberi
kontribusi besar dalam pembangunan peradaban dunia secara umum.
Asal usul Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani
Abbasiyah dinisbatkan kepada nama paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abbas bin Abdul
Muthallib (566-653 M). Keturunan Abbas bin Abul Muthalib banyak bermukim di
kota Humaimah (S.M Amin, 2010), yaitu sebuah kota kuno yang sudah berdiri sejak
abad ke-5 SM. Lokasinya terletak di Yordania sekarang. Keluarga Abbas bin Abdul
Muthalib ini berkembang menjadi kekuatan politik setelah dipimpin oleh Muhammad
bin Ali bin Abdullah bin Abbas (670-743 M) atau biasa juga disebut Muhammad Al
Kamil. Muhammad bin Ali kemudian dikenal sebagai peletak dasar-dasar Daulah
Bani Abbasiyah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri di atas klaim bahwa jabatan
khalifah harus kembali ke jalur keluarga nabi.[3]
Jauh
sebelumnya, dari kelompok pendukung Ali bin Abu Thalib di Kufah (kaum Alawiyah)
juga mengkampanyekan klaim yang sama. Namun kelompok pendukung Ali bin Abi
Thalib ini tidak beruntung. Setiap pemberontakan mereka melawan pemerintah Bani
Umayyah selalu berakhir gagal. Tokoh-tokoh mereka yang merupakan keturunan Ali
bin Abi Thalib tercatat dibunuh dengan kejam. Di antaranya, Hasan, Husein,
Ja’far ash-Shadiq, Musa al-Khazim dan Ali Ar Ridha. Kelompok pendukung Ali ini
dianggap kelompok yang paling kuat dalam menentang Khalifah Bani Umayyah. Tidak
mengherankan jika keluarga Nabi dari jalur Abbas bin Abdul Muthalib merasa
perlu mendapatkan dukungan dari kaum Alawiyah.
Perkembangan
berikutnya, kedua kelompok ini menyatu melawan pemerintah Bani Umayyah. Bersama
mereka juga ikut kelompok orang-orang Persia yang berbasis di Khurasan. Gerakan
politik keluarga Abbas ini semakin membesar dengan dukungan dari kelompok
Mawali. Kaum Mawali merujuk kepada kelompok Muslim non Arab, di antaranya di
luar Persia yaitu Mesir dan Turki.[4]
Kaum Mawali selama pemerintahan Bani Umayyah dianggap sebagai warga kelas dua
dan tidak berhak mendapatkan jabatan tinggi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Orang-orang Mawali ini membangun basis di Khurasan bersama-sama muslim Persia.
Revolusi Abbasiyah (Juni 747 – Juli 750)
Kelompok Bani
Abbas, Alawiyah dan orang Mawali pada hakikatnya adalah kekuatan koalisi penentang
pemerintah Bani Umayyah. Basis kekuatan mereka berkembang di tiga kota, yaitu
Humaimah (Yordania), Kufah (Irak) dan Khurasan (Iran). Kampanye dan gerakan
politik mereka berkembang menjadi gerakan revolusi menumbangkan kekuasaan Bani
Umayyah di Damaskus.
Meskipun
mengakomodir kekuatan tiga kelompok, revolusi ini kemudian disebut sebagai
Revolusi Abbasiyah (M.A.Shaban,1979). Revolusi ini berlansung selama tiga tahun
(Juni 747 – Juli 750). Revolusi ini menandai berakhirnya kekuasan politik Arab
sentris yang dijalankan Bani Umayyah dan awal dari sebuah negara multietnik
yang lebih inklusif di Timur Tengah.[5]
Isu yang
diusung oleh ketiga kelompok ini antara lain pertama, ketimpangan antara
orang Arab dan Mawali yang diusung oleh orang-orang Persia, Mesir dan Turki.[6] Kedua,
Kelompok oposisi yang menginginkan kepemimpinan dipegang oleh Keturunan
Rasulullah yang diusung oleh kelompok Muhammad bin Ali dan kelompok Alawiyah. Ketiga,
Kelompok Syi’ah sebagai faksi lainnya pendukung Ali bin Abi Thalib
menginginkan pembalasan atas kematian Zaid bin Ali, salah seorang Imam Syi’ah.
Dari kelompok Syi’ah ini nantinya muncul sosok sentral yaitu Abu Muslim al
Khurasani yang memimpin revolusi ke arah serangan yang menjatuhkan kekuasaan
Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Dalam
kebanyakan literatur, Abul Abbas Al Safah disebut sebagai pendiri sekaligus
khalifah pertama Daulah Bani Abbasiyah. Namun sebelum menyebut Abul Abbas al
Safah, patut ditulis juga peran Abu Muslim al Khurasani sebagai garda terdepan
yang memukul kekuatan militer Daulah Bani Umayyah. Kedua tokoh ini mesti
disebut secara bersamaan mengingat signifikanya peran mereka dalam revolusi
Abbasiyah.
Abu Muslim al
Khurasani berjasa dan mempunyai andil dalam mendirikan Daulah Abbasiyah.
Sebelum bergabung dengan gerakan oposisi yang hendak menumbangkan Daulah
Umaiyah, gerakan itu hanya merupakan gerakan bawah tanah. Setelah ia bergabung,
gerakan itu berubah menjadi gerakan terang-terangan. Pada tahun 128H/745M., Abū
Muslim ditugaskan oleh Ibrahim al-Imam (kakak Abul Abbas al Safah) menjadi
propagandis di Khurasan, tanah kelahirannya. Dalam usianya ke-19 tahun ketika
menerima tugas tersebut, dia menampakkan keberanian dan kepemimpinan yang luar
biasa dan mencapai sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati
sebagian besar penduduk Khurasan untuk bergabung dengan gerakan oposisi
tersebut. Di daerah ini dia berkampanye mengobarkan sentimen anti Bani Umaiyah.[7]
Abū Muslim mengajak penduduk Khurasan bekerja sama dengan gerakan Bani Hasyim
untuk mengembalikan kekhalifahan kepada keluarga Bani Hasyim, baik dari
keturunan Bani Abbas, paman Nabi, maupun dari keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib.
Pada tahun 129
H/747 M Ibrāhīm al-Imām memerintahkan kepada Abū Muslim untuk merebut Khurasan
dan menghancurkan orang-orang Arab yang mendukung Bani Umaiyah di Khurasan. Abū
Muslim mengumpulkan seluruh kelompok yang menentang Daulah Umaiyah di Khurasan
dan memanfaatkan pertentangan antara sesama orang Arab; yaitu orang Yaman dan
orang Mudar di Khurasan. Ia minta bantuan orang Yaman untuk menjatuhkan
gubernur Daulah Umaiyah di Khurasan yaitu Naşr ibn Sayyar dari orang Mudar.
Gubernur Naşr dapat dikalahkan. Usai menaklukkan Khurasan, pada tahun 750,
Kufah juga berhasil direbut. Penguasa Bani Umayyah di Kufah, yaitu Yazid bin
Umar bin Hubairah dan diusir ke Wasit.[8]
Kejatuhan Kufah dan Khurasan menjadi gelombang air bah yang mengarah ke istana
Bani Umayyah di Damaskus.
Abul Abbas Al
Safah sendiri tercatat dalam sejarah sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah.
Ia dinobatkan pada tahun 750 M. Pada awalnya, revolusi Abbasiyah berada dalam
kendali Imam Ibrahim. Di tengah kecamuk revolusi, ia tertangkap oleh penguasa
Umayyah lalu dieksekusi mati. Sebelum dihukum mati, Imam Ibrahim meminta Abul
Abbas al Safah pindah dari Humaimah ke Kufah dan mengendalikan revolusi dari
Kufah. Praktis sejak saat itu, Abul Abbas al Safah menjadi pemimpin revolusi
dan saat kejatuhan Bani Umayyah, ia berhak atas jabatan Khalifah pertama Bani
Abbasiyah.
Julukan al
Safah (si Penumpah Darah) menurut al Mawardi disematkan dibelakang namanya
disebabkan banyaknya darah keluarga Bani Umayyah yang ditumpahkannya.[9] Di
sisi lain, dapat dipahami julukan itu jika dilihat dari alasannya memburu dan
membunuh sisa-sia kerabat dan pendukung Bani Umayyah adalah sebagai bentuk
kuatnya tekad Abul Abbas untuk menjamin otoritas dan loyalitas tunggal umat
Islam kepada kekuasan pemerintahan yang baru ia bentuk.
Kekuasaan dan Sistem Pemerintahan
Daulah Bani
Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekalifahan sebelumnya yakni Bani Umayyah
yang berbentuk kerajaan yang kekuasaan rajanya diwariskan secara turun temurun
(monarchy heredities). Berbeda dengan Bani Umayyah, pemerintah Bani
Abbasiyah mengadopsi besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh
kekhalifahan.[10]
Khalifah dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang besar dalam bidang keagamaan
dan politik.
Khalifah selain
berfungsi sebagai pemimpin umat Islam (Amir al Mukminin), juga memiliki
kekuasaan atas wilayah dan memegang kekuasaan politik sebagai kepala negara.
Bani Abbasiyah juga menciptakan tradisi baru dalam pemerintahan, yaitu
mengangkat Wazir yang bertugas sebagai koordinator departemen.[11]
Pejabat Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, asal Balkh,
Persia.[12]
Periode Kekuasaan
Dalam rentang
lima abad kekuasaannya, Bani Abbasiyah mengalami beberapa periode kekuasaan.
S.M.Amin menyatakan, perubahan pola pemerintahan yang diterapkan Bani Abbasiyah
mengikuti perubahan politik sosial dan budaya.[13]
Secara umum periodisasi kekuasaan tersebut menunjukkan faksi politik yang
menopangnya. Tingkat kemajuan dan kemunduran dapat dilihat dalam setiap periode
tersebut. Ali Hasjmy (1993) membagi pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah menjadi
empat periode, yaitu:
1.
Masa Abbasiyah
I (132 H/750 M - 232 H/847 M)
2.
Masa Abbasiyah
II (232 H/847 M - 334 H/946 M)
3.
Masa Abbasiyah
III (334 H/945 M - 447 H/1055 M)
4.
Masa Abbasiyah
IV (447 H/1055 M - 656 H/1258 M).[14]
Badri Yatim (2006: 49-50) yang mengutip Bojena Gajane Stryzewska
membagi kepada lima periode, yaitu:
1.
Periode Pertama
(132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
Pada periode ini, orang-orang Persia yang memiliki referensi
langsung dalam mengelola sistem kerajaan berperan besar dalam menentukan corak
dan arah kemajuan Daulah Bani Abbasiyah. Salahsatu kebijakan terpenting yang
mengangkat moral bangsa Persia adalah ketika Abu Ja’far al Mansur (136 – 158 H)
mengangkat Khalid Ibnu Barmak dari Persia sebagai Wazir yang membawahi
departemen– departemen. Hal yang baru dari sistem wazir ini adalah pemberian
kekuasaan resmi kepada orang-orang yang ditunjuk sebagai wazir.[15]
Periode pertama ini juga tercatat sebagai periode emas Daulah Bani Abbasiyah.
Para khalifah yang memerintah pada era ini adalah Abu al-Abbas
Abdullah bin Muhammad As-Saffah, (750-754 M), Abu Ja'far Al-Manshur, (754-775 M),
Abu Abdullah Al-Mahdi, (775-785 M), Abu Muhammad Al-Hadi, (785-786 M), Harun
Al-Rasyid,(786-809 M), Abu Musa Al-Amin (809-813 M), Abu Abbas Al-Ma'mun, (813-833
M), Abu Ishaq Al-Mu'tasim, (833 M-842 M), Abu Ja'far Al-Watsiq (842- 847 M).
2.
Periode Kedua
(232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup kentara.
Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti
Perang Khaibar (629 M), meski jumlah mereka tak banyak. Perlahan masyarakat
keturunan Turki memeluk Islam, terutama pascapenaklukkan Persia (644 M) oleh
Umar bin al-Khatab dan jumlahnya kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad,
khalifah Dinasti Umayyah berkuasa.
Peranan bangsa Turki pada pemerintahan Abbasiyah dimulai pada masa
pemerintahan al Mu’tashim Billah (833-842 M) sampai pada pemerintahan Al-Watsiq
Billah (842-847 M). Al-Mu'tashim merupakan tokoh bermental militer. Tubuhnya
kekar dan kuat. Untuk menghadapi Byzantium, al Mu’tashim membutuhkan
orang-orang Turki yang terkenal kuat dan bersemangat dalam berperang. Selain
itu, bangsa turki terkenal ahli militer dan ahli strategi perang. Pengaruh
Turki ini menguat pada dua khalifah ini dan bertahan hingga masa khalifah al
Watsiq.
Para khalifah yang berkuasa pada era ini adalah: Abu Fadl Ja’far
al-Mutawakkil (232-247H), Abu Ja’far Muhammad al-Muntashir (247-248 H), Abu
al-‘Abbas Ahmad al Musta’in (248-252 H/862-866 M), Abu ‘Abdillah Muhammad
al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M),[16]
Abu Ishaq, Muhammad al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M), Ahmad al-Mu’tamid
(256-279 H/870-892 M)[17],
Abu al-‘Abbas Ahmad al-Mu’tadhid (279-289 H/892-902 M), Abu Muhammad al-Muktafi
(289-295 H/902-908 M), Abu alFadl Ja’far al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), Abu
Manshur Muhammad al-Qahir (320-322 H/932-934 M), Abu al’Abbas Ahmad al-Radhi
(322-329 H/934-940 M), Abu Ishaq Ja’far al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M), Abu
al-Qasim ‘Abdillah al-Mustakfi (333-334 H/944-946 M).[18]
Meski setelah Khalifah al Watsiq tentara berbangsa Turki ini tidak
disukai karena keangkuhan dan sikap arogansi militeristikna, mereka tetap
dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan wilayah Abbasiyah yang luas. Termasuk untuk
menghadapi gejolak dalam negeri yang disebabkan revolusi bangsa Arab dan
golongan Alawiyah.
3.
Periode Ketiga
(334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Kekuasaan Bani
Buwaih dimulai dari seorang sekretaris khalifah al-Mustakfi (333-334 H/944-946
M) yang bernama Ahmad ibn Buwaih. Ibn Buwaih masuk ke Baghdad pada 334 H dan
khalifah memberinya gelar al-Mu’idz al-Daulah, saudaranya, Ali ibn
Buwaih diberi gelar Imad al-Daulah, dan saudaranya yang lain, Hasan ibn
Buwaih mendapat gelar Rukn al Daulah.
Yusuf al’ Isy (2012) menjelaskan situasi yang terjadi pada masa
pengaruh Bani Buwaih sebagai berikut. Pertama, Negara Buwaih telah
menyerang Dinasti Abbasiyah, dengan begitu, negara Islam yang sangat luas
tersebut menjadi tanggung jawab dinasti Bani Buwaih. Kedua, serangan
tersebut tidak disertai latihan yang memadai untuk memimpin atau memerintah
sebuah negara yang sangat luas wilayahnya. Ketiga, Bani Buwaihi tidak memiliki
sosok pemimpin yang sangat kuat untuk memimpin seluruh negara. Mereka hanya
memiliki tiga bersaudara dari Bani Buwaihi masing-masing memiliki kekuasaan
terhadap kerajaan. Ibu kota kekuasaan mereka adalah Baghdad, Rayy, dan Syiraz.
Pada awalnya mereka bisa rukun, namun generasi setelahnya mulai melakukan
perebutan kekuasaan. Keempat, tentara kekhalifahan tidak terdiri dari
satu suku, tetapi terdiri dari dua kelompok yaitu angkatan darat Dailam dan
angkatan berkuda Turki. Kelima, kedua kelompok berbeda dalam hal
madzhab. Orang Dailam bermazhab Syiah Zaidiyyah sementara orang-orang Turki
beraliran Sunni. Keenam, Bani Buwaihi selain mewarisi sebuah negara yang
luas, mereka juga mewarisi kondisi ekonomi negara yang sedang sulit.[19]
Pada periode ini, khalifah hanyalah simbol kekuasaan semata.
Sedangkan kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Amir al Umara’. Jabatan amir
al-umara’ adalah sebuah jabatan militer senior di Kekhalifahan Abbasiyah
pada abad ke-10. Setelah Khalifah al Muqtadir (908-932 M), jabatan Wazir
diganti dengan jabatan amir al umara’, jabatan panglima tertinggi yang
dipegang kelompok militer. Berikutnya, jabatan ini dipegang oleh keluarga
Dinasti Buwaihi.[20]
Para penguasa dari Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara
langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di
antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman
al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri
(973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat
dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan
sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju
perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Para khalifah yang menjabat adalah: Abu al-Qasim al Fadl al-Muthi’
(334-363 H M/946-974), Abu Bakr ‘Abd al-Karim al-Tha’i (363-381 H/974-991 M), dan
Abu ‘Abbas Ahmad al-Qadir (381-422 H/991-1031 M).
4.
Periode Keempat
(447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Saljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (Salajiqah al-Kubra/Seljuk
Agung).
Kesultananan Saljuk adalah dinasti berkebangsan Turki yang memperkuat
serta mempertahankan kelangsungan Daulah Bani Abbasiyyah. Dinasti Seljuk
berasal dari daerah pegunungan dan stepa Turkistan. Menjelang akhir abad ke-2 H
atau abad ke-8 M. orang-orang Oghuz pindah ke arah barat melalui dataran tinggi
Siberia ke Laut Arab dan sebagian ke wilayah Rusia.
Nama dinasti Saljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh yang
berasal dari keturunan Turki yaitu Saljuk bin Tuqaq.berasal dari kabilah kecil
keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua puluh kabilah kecil
lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula gabungan kabilah ini tidak
memiliki nama, hingga muncullah tokoh Saljuk putra Tuqaq yang mempersatukan
mereka dengan memberi nama suku Saljuk.[21]
Suku Saljuk memeluk agama Islam pada sekitar akhir abad ke-4 H/ 10 M, dengan
barmazhab Sunni.[22]
Bani Saljuk menguasai dan memerintah di Baghdad selama sekitar 93 tahun yaitu
dari tahun 429 H/1037 M hingga tahun 522 H/1127 M.
Dinasti Saljuk memiliki hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah
yang berbeda halnya dengan dinasti Buwaih, hal ini disebabkan kesamaan dalam
mazhab, yaitu sama-sama berpegang kepada mazhab Sunni.[23]
Saljuk selalu bersikap hormat, sopan, berlaku baik dan lembut sebagaimana
tercermin dari ucapan Tughrul Bek ketika menghadap khalifah; “aku pelayan Amirul
Mu’minin, bertindak atas perintah dan larangannya, berbuat sesuai mandatnya.
Hanya kepada Allah aku meminta pertolongan dan taufik”[24] Kedekatan
antara bani Saljuk dan imperium Abbasiyah semakin erat ketika al-Qaim menikahi
khadijah yang merupakan keponakan Tughrul Bek, sementara Tughrul Bek menikahi
putri al-Qaim pada tahun 454 H/1062 M.
Para Khalifah yang memerintah pada periode ini adalah Abu Ja’far
‘Abdillah al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M), Abul Qasim Al-Muqtadi, (1075-1094 M),
Abul Abbas Al-Mustazhir, (1094-1118 M), Abul Mansur Al-Mustarsyid, (1118-1135 M),
Abu Ja'far Ar-Rasyid (1135-1136 M), Abu Abdullah Al-Muqtafi (1136-1160 M), Abul
Muzaffar Al-Mustanjid (1160-1170 M), Hasan Al-Mustadi (1170-1180 M), Abul Abbas
An-Nasir, (1180-1225 M).
5.
Periode Kelima
(590-656 H/1194-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi
dari bangsa Mongol.
Setengah abad lebih merupakan masa-masa sulit bagi Daulah bani
Abbasiyah. Meskipun telah lepas dari pengaruh dinasti lain, namun kekuasaan
khalifah sangat terbatas. wilayah yang luas sudah terbagi dan diurus oleh
dinasti-dinasti yang merdeka. Bahkan kekuasaan politik dinasti-dinasti tersebut
jauh di atas khalifah. Jabatan Khalifah meskipun dihormati oleh dinasti-dinasti
tersebut, namun dalam konteks politik kekuasaan, jabatan khalifah hanyalah
simbol kekuasaan Islam.
Para khalifah yang memerintah periode ini adalah Abul Abbas
An-Nasir (1180-1225 M), Muhammad Az-Zahir, (1225-1226 M), Abu Ja'far Al-Mustansir
(1226-1242 M), dan terakhir Abdullah Al-Musta'sim, (1242-1258 M).
Kemajuan Peradaban Islam pada masa Abbasiyah
Selama lima
abad lebih Bani Abbasiyah berkuasa telah memberi pengaruh besar terhadap
peradaban Islam dan peradaban dunia. Bani Abbasiyah telah memberi model bagi
pengembangan masyarakat dan kebudayaan manusia. Karakternya yang terbuka dan
kosmopolitan menjadi salah satu kekuatan dasar dinasti ini.
Gelombang
disintegrasi memang telah memperkecil wilayah Abbasiyah. Namun di balik itu,
dengan berdirinya negara-negara Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan
politik khalifah Abbasiyah di Baghdad justru memberi peluang besar bagi
negara-negara mandiri tersebut untuk berkembang sesuai dengan karakter
masyarakat dan potensi yang ada pada masyarakat tersebut. secara umum dapat
diatakan, masa pemerintahan kekhalifahan Bani Abbasiyah merupakan masa
kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi bangsa-bangsa muslim non Arab di berbagai
penjuru dunia.
Beberapa hal
yang dilakukan Abbasiyah (750–1258 M) dalam menampilkan diri sebagai Dinasti
yang berkuasa adalah dengan memberikan berbagai kebijakan sebagai berikut :
1.
Menampilkan
diri sebagai pelindung agama. Khalifah adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Mereka menggunakan gelar agamis seperti, al-Hadi, al-Rasyid, al-Ma’mun,
al-Amin, dan sebagainya.
2.
Islam
mengajarkan persamaan, tiada beda antara Arab dan Non-Arab, bahkan orang Persia
yang menjadi tulang punggung Negara dan wazir dari keluarga Barmaki.
3.
Abbasiyah
menghentikan perluasan wilayah, bahkan otonomi daerah semakin diperbesar, yang
bisa dikatakan federasi “Negara” muslim. Mulailah dikenal istilah Malik dan
Sultan sebagai penguasa yang dilantik oleh Khalifah.
4.
Al-Ma’mun
menjadikan pemikiran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara. Hal ini berimplikasi
luas, yaitu proses masuknya pemikiran intelektual Yunani ke dalam dunia Islam.
Di sinilah mulai kebangkitan peradaban dan intelektual Islam, sehingga dunia
barat belajar banyak dari Islam.
Badri Yatim menyebutkan, paling tidak ada dua hal yang ikut
menentukan kemajuan Bani Abbasiyah, pertama, asimilasi antara bangsa
Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami kemajuan di bidang
pengetahuan. Misalnya, bangsa Persia yang maju dan berminat dalam bidang ilmu
pengetahuan, filsafat dan sastra. Bangsa India yang maju dalam bidang
kedokteran, matematika dan astronomi, serta bangsa Yunani dengan sumbangan
pengetahuan dalam bidang filsafat, politik dan etika. Kedua, kebijakan
gerakan penerjemahan karya-karya monumental dari berbagai bangsa yang
berlansung pada beberapa fase. Fase pertama masa khalifah al Manshur hingga
Harun al Rasyid (periode Abbasiyah pertama), fase kedua pada masa al Ma’mun
hingga 300 H (paruh akhir Abbasiyah
kedua), dan berlanjut terus hingga akhir kekuasaan Abbasiyah.
Meskipun
sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban sangat kentara pada periode pertama
kekhalifahan Bani Abbasiyah, namun periode-periode berikutnya kemajuan tidak
mengalami kemuduran yang berarti. Setiap dinasti yang merupakan satelit
kekuasaan Abbasiyah, tetap mengupayakan kemajuan di daerahnya masing-masing.
Untuk melihat sebaran Tokoh-tokoh ilmuwan
sepanjang masa kekhalifahan Dinasti
Abbasiyyah dapat dicermati melalui tahun hidup tokoh-tokoh berikut:
- Ahli Fikih: Abu Hanifah atau
Imam Hanafi (699-767 M), Malik bin Anas atau Imam Maliki (714-800 M),
Muhammad bim Idris alias Imam Syafi’i (767-819M) Ahmad bin Hanbal alias
Imam Hanbali (780-855 M),
- Ahli Filsafat : al-Kindi
(801-873 M), al-Farabi (wafat 950 M), Ibn Sina (wafat 1037 M), Ibn
Miskawaih dan Ibn Rusyd (wafat 1198 M)
- Ahli sains : al-Farghani (wafat
870 M).
- Ahli Astronomi : al-Biruni
(973-1050 M), al-Thusi (wafat 1274 M).
- Ahli Matematika : Muhammad bin
Musa al-Khawarizmi (780-850 M) bidang ilmu hitung Aljabar (Algoritme), Abu
Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Kindi bidang aritmatika, al-Karaji bidang
aritmatika, aljabar, dan geometri, Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Abu
Abdullah (Al-Battani) (850-929 M) ahli bidang trigonometri modern,
Al-Biruni ahli bidang matematika, geografi, astronomi, fisika, ‘Umar
Khayyam (wafat 1123 M) ahli bidang aljabar dan trigonometri.
- Ahli kedokteran : at-Thabari,
al-Razi, dan Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran.
- Ahli kimia : Jabir bin Hayyan
(wafat 813 M) dan Zakariyya al-Razi (abad 8 M).
- Ahli optika : Ibn Haitsam
(wafat 1039 M).
- Ahli geografi : al-Ya’qubi dan
al-Mas’udi.
- Ahli Ilmu hewan : Ikhwan
al-Shafa, Amr ibn Bahr al-Jahiz (776-868 M).
Kemajuan Bani
Abbasiyah memang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Catatan
yang dapat diberikan adalah ilmu pengetahuan merupakan bagian terpenting dari
ajaran Islam. Pada masa kekhalifah Abbasiyah, ilm pengetahuan mendapat
perhatian yang khusus dari para khalifah. Pada masa itu, dibelahan dunia lain,
pendidikan merupakan hak ekslusif para raja, bangsawan dan orang kaya. Namun,
Islam melalui ajarannya telah memperluas kelompok masyarakat terdidik sampai
kepada tingakat masyarakat bawah. Hal ini dimungkinkan karena ajaran Islam
memberikan dorongan menuntut ilmu sebagai kewajiaban bagi semua umat Islam.
Sebagai dampak
kemajuan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari berbagai sektor sebagai berikut:
1.
Bidang
keagamaan, dapat dilihat dari berkembangnya berbagai cabang ilmu-ilmu keagamaan
yang berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dan Hadits, sekaligus menjawab
kebutuhan umat Islam atas keputusan-keputusan keagamaan.
2.
Bidang tata
kota, dapat dilihat dari berkembangnya berbagiai model penataan kota modern
yang membuat jarak antara rakyat dengan penguasa begitu dekat
3.
Bidang tata
bangunan yang disebabkan berkembangnnya jenis ilmu arsitektur dan
teknologi-teknologi yang digunakan dalam rancang bangunan dan teknologi
pendukung fungsi-fungsi lainnya
4.
Dalam
pertanian, berkembang berbagai jenis pengetahuan tentang bibit tanaman, hama
dan psistem pengairan
5.
Dalam bidang
sosial, berkembangnya berbagai lembaga-lembaga sosial yang mengurus secara
spesifik urusan masyarakat
6.
Bidang Militer,
dapat dilihat dari perkembangan teknologi kemiliteran
7.
Serta
kemajuan-kemajuan lainnya yang dapat disigi secara khusus dengan pendekatan
keilmuannya masing-masing.
Kemunduran dan Keruntuhan
Kemunduran
pemerintahan Bani Abbasiyah tidaklah berlangsung sebentar, tetapi berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Secara umum dapat dilihat dari berbagai sebab
berikut ini:
1.
Persaingan
antar bangsa pendukung Abbasiyah. Wilayah yang luas dan tersebarnya Islam ke
berbagai bangsa menjadi sebab munculnya persaingan ini. Tercatat, Bani
Abbasiyah telah berupaya hadir di tengah bangsa-bangsa besar yang pernah maju
peradabannya jauh sebelum kehadiran Abbasiyah. Misalnya, bangsa Mesir, Persia,
Syiria, Arab, India, Eropa dan Cina. Termasuk bangsa Turki yang selama
berabad-abad mendampingi kejayaan Daulah Bani Abbasiyah. Persaingan ini
disebabkan faktor fanatisme kebangsaan, situasi sosial politik dan kebijakan-kebijakan
khalifah yang terkadang memicu persaingan antar bangsa pendukung Abbasiyah
2.
Kemorosotan
Ekonomi. Sejak berdinya dinasti-dinasti bai besar ataupun kecil di berbagai
wilayah Abbasiyah, praktis pemasukan uang ke kas khalifah Abbasiyah meurun drastis.
Hal ini tidak memungkinkan lagi untuk menciptakan sistem pertahanan yang kuat,
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, penataan kota dan sebagainya. Pada periode
pertama pemerintahannya, sumber kekayaan dan perbendaharaan negara yang
tersimpan di Baitul Mal bersumber dari perniagaan, hasil bumi dan pajak
(kharaj). Desentralisasi dan disintegrasi kekuasaan membuat sumber-sumber
keuangan Bani Abbasiyah merosot tajam
3.
Konflik
Keagamaan. Secara umum, konfli keagamaan merupakan dampak yang tak diharapkan
(unintended consequnces) dari kemajuan dalam studi ilmu-ilmu keagamaan. Konflik
keagamaan yang kemudian berpuncak pada konflik fisik dan supremasi antar mazhab
memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah. Namun di bali konfli keagamaan ini,
tersimpan aneka karya keagamaan yang masihnterwariskan sebagai warisan keilmuan
Islam hingga masa sekarang.
4.
Ancaman dari
Luar yang bersumber dari kekuasaan Kristem Eropa (Byzantium) yang memuncak pada
periode perang Salib, Serangan dan invasi Mongol ke daerah-daerah kekuasaan
Bani Abbasiyah. Invasi Mongol, secara khusus menjadi sebab terpenting yang
menghakhiri kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad pada yahun 1258 M.
Penutup
Panjangnya masa
pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah (750-1258 M) telah menghadirkan banyak
peristiwa penting yang perlu dikaji secara spesifik. Namun, makalah singkat ini
menggambarkan bagian-bagian tertentu saja dari keseluruhan riwayat dinasti
besar yang telah mengubah pola hubungan antar bangsa di dunia pada masanya.
Sebagai kesimpulan, Bani Abbasiyah secara umum dapat disebut sebagai Dinasti
Islam terlama dalam sejarah dengan wilayah kekuasaan yang luas dengan sumbangan
kemajuan yang tak sedikit bagi umat Islam pada khususnya, dan bagi dunia pada
umumnya.
Wallahu’ a’alam bi al-shawab
Daftar Bacaan
Ali,
K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996
Amin, Ahmad Dhuha
al-Islam, Mesir: Mu’assasah Hindawi, 2011.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah,
2014
Canfield,
Robert L., Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University
Press, 2002
Hasjmy,
Ali, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Hitti,
Philip K.,History of the Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008
Hourani,
Albert, A History of the Arab Peoples. Cambridge, Massachusetts: The
Belknap Pressof Harvard University Press, 2002
Iqbal,
Muhammad dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi
Karyani Jakarta: Taramedia, 2003.
‘Ilm
,Tim Dar al-, Atlas Sejarah Islam, Depok, Puspa Swara, 2010
‘Isy,
Yusuf al-, Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2012
M.
A., Shaban, The ʿAbbāsid Revolution. Cambridge: Cambridge University
Press, 1979
Mawardi,
Imam al-, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Jakarta,
Qisthi Pressh, 2016.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya: Jilid I.,
Jakarta: UI-Press, 1985
Joesoef
Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syalaby,Ahmad
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 3, terj. Muhammad Labib Ahmad,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993
Taufik Abdullah, dkk. (Dewan Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Wakil,
Muhammad Sayyid al-, Wajah Dunia Islam, Dari Bani Umayyah Hingga
Imperialisme Modern, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, RajaGrafindo Utama, 2006.
Jurnal:
Saïd
Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian
Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
Syamruddin
Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim
al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013[1]
[1]
Disampaikan pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam
(SKI) MTs Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan
Riau, Rabu, 22 Januari 2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
[2]
Muhammad Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas
Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang
[3] Ajid Tohir, Kehidupan
Sosial Zaman Rasulullah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h.46
[4] Albert
Hourani, A History of the Arab
Peoples, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Pressof Harvard University
Press, 2002
[5] Saïd Amir
Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian Studies,
vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
[6] Nur Ahmad
Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.82
[7] Syamruddin
Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim
al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu
Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013, h.563
[8] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2014, h. 139
[9] Imam
al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Jakarta,
Qisthi Pressh, 2016, 29
[10] Robert L.
Canfield, Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University
Press, 2002,h. 5
[11] Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya: Jilid I., Jakarta: UI-Press,
1985, h.67
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Utama, 2006, h.51
[13] Samsul Munir
Amin., Op.cit., h.141
[14] Ali Hasjmy, Sejarah
Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h.213
[15]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Mesir: Mu’assasah Hindawi, 2011, h. 161 –
162
[16] Pada masa al
Mu’taz berdiri Daulah Al Thuluniyah di Mesir. Daulah Thuluniyah adalah dinasti
pertama yang melepaskan diri dari kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Daulah ini
menguasai Mesir dan wilayah Suriah. Dinasti ini berdiri tahun 868 M bertahan
hingga tahun 905 M. Daulah ini didirikan oleh Ahmad bin Thulun, mantan kepala
pengawal istana (rais al harsi) dan ketika itu ia menjabat Wali wilayah
Mesir dan Lybia. Ahmad bin Thulun menguasai ilmu Syari’ah, bahasa dan
kesusastraan disamping keahlian pokoknya di bidang militer. Joesoef Sou’yb, Sejarah
Daulah Abbasiyah II,Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 62-63.
[17] Sebelum Daulah
Thuluniah, juga berdiri Daulah Shaffariyah di Kandahar, Afghanistan tahun 867
H. Daulah ini awalnya membebaskan diri secara penuh dari Abbasiyah, namun pada
tahun 876 M Daulat Shaffariyah mengakui kembali kekhalifahan Bani Abbasiyah dan
Khalifah Al Mu’tamid juga mengakui kedaulatan Daulat Shaffariyah dalam bentuk
pemerintahan keemiran
[18] Badri Yatim,
op.cit, h.49
[19] Yusuf al-‘Isy,
Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h.
198
[20] Philip K.
Hitti,History of the Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta h.398
[21] K. Ali,
Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996, h. 406
[22] Muhammad Iqbal
dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi
Karyani Jakarta: Taramedia, 2003, h.358
[23] Ahmad Syalaby,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 3, terj. Muhammad Labib Ahmad,
Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993, h. 339.
[24] Tim Dar
al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Depok, Puspa Swara, 2010, h. 97
No comments:
Post a Comment