04 February 2020

Daulah Bani Abbasiyah (750- 1258 M)


Peradaban Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah (750- 1258 M)[1]
Oleh: Muhammad Nasir, S.S., M.A.[2]





Pendahuluan
Daulah Bani Abbasiyah adalah pemerintahan Islam terlama dalam sejarah Islam. Selama lebih dari lima abad (750-1258 M/132-656 H) pemerintahan ini telah mengadministrasi wilayah yang telah menerima Islam sebagai agama yang mempengaruhi kebudayaan di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah itu mencakup daerah-daerah yang sudah terkenal sejak lama sebagai daerah yang sudah memiliki peradaban yang maju,  antara lain  Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah timur dan Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus.
Dari segi garis waktu (time line) sejarah Islam, Daulah Bani Abbasiyah adalah pelanjut pemerintahan Islam yang sebelumnya diampu oleh Khulafa’ al Rasyidin (632-661 M), Daulah Bani Umayyah (661-750 M). Artinya, Daulah Bani Abbasiyah secara total telah mewarisi wilayah yang telah tunduk kepada kekuasaan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dari sisi ini, Daulah Bani Umayyah sesungguhnya juga telah mewarisi tugas yang berat.
Praktis, Daulah Bani Umayyah berhadapan dengan persoalan yang sama sekali berbeda dan penuh tantangan. Persoalan keagamaan yang kompleks, kehidupan ekonomi, berbedanya ras dan suku bangsa pendukung peradaban Islam adalah di antara tantangan nyata daulah ini. Belum lagi tantangan dari luar Islam. Negeri-negeri Eropa Barat dan Timur yang bernaung dalam kekuasaan Byzantium merupakan rival politik potensial yang mengancam setiap waktu. Dalam situasi seperti disebut di atas itulah Daulah Bani Abbasiyah bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, lima abad lebih. Bahkan dalam waktu itu, umat Islam di bawah Bani Abbasiyah telah memberi kontribusi besar dalam pembangunan peradaban dunia secara umum.


Asal usul Daulah Bani Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah dinisbatkan kepada nama paman Nabi Muhammad SAW yaitu Abbas bin Abdul Muthallib (566-653 M). Keturunan Abbas bin Abul Muthalib banyak bermukim di kota Humaimah (S.M Amin, 2010), yaitu sebuah kota kuno yang sudah berdiri sejak abad ke-5 SM. Lokasinya terletak di Yordania sekarang. Keluarga Abbas bin Abdul Muthalib ini berkembang menjadi kekuatan politik setelah dipimpin oleh Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas (670-743 M) atau biasa juga disebut Muhammad Al Kamil. Muhammad bin Ali kemudian dikenal sebagai peletak dasar-dasar Daulah Bani Abbasiyah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri di atas klaim bahwa jabatan khalifah harus kembali ke jalur keluarga nabi.[3]
Jauh sebelumnya, dari kelompok pendukung Ali bin Abu Thalib di Kufah (kaum Alawiyah) juga mengkampanyekan klaim yang sama. Namun kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib ini tidak beruntung. Setiap pemberontakan mereka melawan pemerintah Bani Umayyah selalu berakhir gagal. Tokoh-tokoh mereka yang merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib tercatat dibunuh dengan kejam. Di antaranya, Hasan, Husein, Ja’far ash-Shadiq, Musa al-Khazim dan Ali Ar Ridha. Kelompok pendukung Ali ini dianggap kelompok yang paling kuat dalam menentang Khalifah Bani Umayyah. Tidak mengherankan jika keluarga Nabi dari jalur Abbas bin Abdul Muthalib merasa perlu mendapatkan dukungan dari kaum Alawiyah.
Perkembangan berikutnya, kedua kelompok ini menyatu melawan pemerintah Bani Umayyah. Bersama mereka juga ikut kelompok orang-orang Persia yang berbasis di Khurasan. Gerakan politik keluarga Abbas ini semakin membesar dengan dukungan dari kelompok Mawali. Kaum Mawali merujuk kepada kelompok Muslim non Arab, di antaranya di luar Persia yaitu Mesir dan Turki.[4] Kaum Mawali selama pemerintahan Bani Umayyah dianggap sebagai warga kelas dua dan tidak berhak mendapatkan jabatan tinggi dalam pemerintahan Bani Umayyah. Orang-orang Mawali ini membangun basis di Khurasan bersama-sama muslim Persia.

Revolusi Abbasiyah (Juni 747 – Juli 750)
Kelompok Bani Abbas, Alawiyah dan orang Mawali pada hakikatnya adalah kekuatan koalisi penentang pemerintah Bani Umayyah. Basis kekuatan mereka berkembang di tiga kota, yaitu Humaimah (Yordania), Kufah (Irak) dan Khurasan (Iran). Kampanye dan gerakan politik mereka berkembang menjadi gerakan revolusi menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus.
Meskipun mengakomodir kekuatan tiga kelompok, revolusi ini kemudian disebut sebagai Revolusi Abbasiyah (M.A.Shaban,1979). Revolusi ini berlansung selama tiga tahun (Juni 747 – Juli 750). Revolusi ini menandai berakhirnya kekuasan politik Arab sentris yang dijalankan Bani Umayyah dan awal dari sebuah negara multietnik yang lebih inklusif di Timur Tengah.[5]
Isu yang diusung oleh ketiga kelompok ini antara lain pertama, ketimpangan antara orang Arab dan Mawali yang diusung oleh orang-orang Persia, Mesir dan Turki.[6] Kedua, Kelompok oposisi yang menginginkan kepemimpinan dipegang oleh Keturunan Rasulullah yang diusung oleh kelompok Muhammad bin Ali dan kelompok Alawiyah. Ketiga, Kelompok Syi’ah sebagai faksi lainnya pendukung Ali bin Abi Thalib menginginkan pembalasan atas kematian Zaid bin Ali, salah seorang Imam Syi’ah. Dari kelompok Syi’ah ini nantinya muncul sosok sentral yaitu Abu Muslim al Khurasani yang memimpin revolusi ke arah serangan yang menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus.
Dalam kebanyakan literatur, Abul Abbas Al Safah disebut sebagai pendiri sekaligus khalifah pertama Daulah Bani Abbasiyah. Namun sebelum menyebut Abul Abbas al Safah, patut ditulis juga peran Abu Muslim al Khurasani sebagai garda terdepan yang memukul kekuatan militer Daulah Bani Umayyah. Kedua tokoh ini mesti disebut secara bersamaan mengingat signifikanya peran mereka dalam revolusi Abbasiyah.
Abu Muslim al Khurasani berjasa dan mempunyai andil dalam mendirikan Daulah Abbasiyah. Sebelum bergabung dengan gerakan oposisi yang hendak menumbangkan Daulah Umaiyah, gerakan itu hanya merupakan gerakan bawah tanah. Setelah ia bergabung, gerakan itu berubah menjadi gerakan terang-terangan. Pada tahun 128H/745M., Abū Muslim ditugaskan oleh Ibrahim al-Imam (kakak Abul Abbas al Safah) menjadi propagandis di Khurasan, tanah kelahirannya. Dalam usianya ke-19 tahun ketika menerima tugas tersebut, dia menampakkan keberanian dan kepemimpinan yang luar biasa dan mencapai sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk Khurasan untuk bergabung dengan gerakan oposisi tersebut. Di daerah ini dia berkampanye mengobarkan sentimen anti Bani Umaiyah.[7] Abū Muslim mengajak penduduk Khurasan bekerja sama dengan gerakan Bani Hasyim untuk mengembalikan kekhalifahan kepada keluarga Bani Hasyim, baik dari keturunan Bani Abbas, paman Nabi, maupun dari keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib.
Pada tahun 129 H/747 M Ibrāhīm al-Imām memerintahkan kepada Abū Muslim untuk merebut Khurasan dan menghancurkan orang-orang Arab yang mendukung Bani Umaiyah di Khurasan. Abū Muslim mengumpulkan seluruh kelompok yang menentang Daulah Umaiyah di Khurasan dan memanfaatkan pertentangan antara sesama orang Arab; yaitu orang Yaman dan orang Mudar di Khurasan. Ia minta bantuan orang Yaman untuk menjatuhkan gubernur Daulah Umaiyah di Khurasan yaitu Naşr ibn Sayyar dari orang Mudar. Gubernur Naşr dapat dikalahkan. Usai menaklukkan Khurasan, pada tahun 750, Kufah juga berhasil direbut. Penguasa Bani Umayyah di Kufah, yaitu Yazid bin Umar bin Hubairah dan diusir ke Wasit.[8] Kejatuhan Kufah dan Khurasan menjadi gelombang air bah yang mengarah ke istana Bani Umayyah di Damaskus.
Abul Abbas Al Safah sendiri tercatat dalam sejarah sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah. Ia dinobatkan pada tahun 750 M. Pada awalnya, revolusi Abbasiyah berada dalam kendali Imam Ibrahim. Di tengah kecamuk revolusi, ia tertangkap oleh penguasa Umayyah lalu dieksekusi mati. Sebelum dihukum mati, Imam Ibrahim meminta Abul Abbas al Safah pindah dari Humaimah ke Kufah dan mengendalikan revolusi dari Kufah. Praktis sejak saat itu, Abul Abbas al Safah menjadi pemimpin revolusi dan saat kejatuhan Bani Umayyah, ia berhak atas jabatan Khalifah pertama Bani Abbasiyah.
Julukan al Safah (si Penumpah Darah) menurut al Mawardi disematkan dibelakang namanya disebabkan banyaknya darah keluarga Bani Umayyah yang ditumpahkannya.[9] Di sisi lain, dapat dipahami julukan itu jika dilihat dari alasannya memburu dan membunuh sisa-sia kerabat dan pendukung Bani Umayyah adalah sebagai bentuk kuatnya tekad Abul Abbas untuk menjamin otoritas dan loyalitas tunggal umat Islam kepada kekuasan pemerintahan yang baru ia bentuk.

Kekuasaan dan Sistem Pemerintahan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari kekalifahan sebelumnya yakni Bani Umayyah yang berbentuk kerajaan yang kekuasaan rajanya diwariskan secara turun temurun (monarchy heredities). Berbeda dengan Bani Umayyah, pemerintah Bani Abbasiyah mengadopsi besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.[10] Khalifah dalam sistem ini memiliki kekuasaan yang besar dalam bidang keagamaan dan politik.

Khalifah selain berfungsi sebagai pemimpin umat Islam (Amir al Mukminin), juga memiliki kekuasaan atas wilayah dan memegang kekuasaan politik sebagai kepala negara. Bani Abbasiyah juga menciptakan tradisi baru dalam pemerintahan, yaitu mengangkat Wazir yang bertugas sebagai koordinator departemen.[11] Pejabat Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, asal Balkh, Persia.[12]


Periode Kekuasaan
Dalam rentang lima abad kekuasaannya, Bani Abbasiyah mengalami beberapa periode kekuasaan. S.M.Amin menyatakan, perubahan pola pemerintahan yang diterapkan Bani Abbasiyah mengikuti perubahan politik sosial dan budaya.[13] Secara umum periodisasi kekuasaan tersebut menunjukkan faksi politik yang menopangnya. Tingkat kemajuan dan kemunduran dapat dilihat dalam setiap periode tersebut. Ali Hasjmy (1993) membagi pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah menjadi empat periode, yaitu:  
1.      Masa Abbasiyah I (132 H/750 M - 232 H/847 M)
2.      Masa Abbasiyah II (232 H/847 M - 334 H/946 M)
3.      Masa Abbasiyah III (334 H/945 M - 447 H/1055 M)
4.      Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M - 656 H/1258 M).[14]

Badri Yatim (2006: 49-50) yang mengutip Bojena Gajane Stryzewska membagi kepada lima periode, yaitu:
1.      Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
Pada periode ini, orang-orang Persia yang memiliki referensi langsung dalam mengelola sistem kerajaan berperan besar dalam menentukan corak dan arah kemajuan Daulah Bani Abbasiyah. Salahsatu kebijakan terpenting yang mengangkat moral bangsa Persia adalah ketika Abu Ja’far al Mansur (136 – 158 H) mengangkat Khalid Ibnu Barmak dari Persia sebagai Wazir yang membawahi departemen– departemen. Hal yang baru dari sistem wazir ini adalah pemberian kekuasaan resmi kepada orang-orang yang ditunjuk sebagai wazir.[15] Periode pertama ini juga tercatat sebagai periode emas Daulah Bani Abbasiyah.
Para khalifah yang memerintah pada era ini adalah Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad As-Saffah, (750-754 M), Abu Ja'far Al-Manshur, (754-775 M), Abu Abdullah Al-Mahdi, (775-785 M), Abu Muhammad Al-Hadi, (785-786 M), Harun Al-Rasyid,(786-809 M), Abu Musa Al-Amin (809-813 M), Abu Abbas Al-Ma'mun, (813-833 M), Abu Ishaq Al-Mu'tasim, (833 M-842 M), Abu Ja'far Al-Watsiq (842- 847 M).

2.      Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup kentara. Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti Perang Khaibar (629 M), meski jumlah mereka tak banyak. Perlahan masyarakat keturunan Turki memeluk Islam, terutama pascapenaklukkan Persia (644 M) oleh Umar bin al-Khatab dan jumlahnya kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad, khalifah Dinasti Umayyah berkuasa.
Peranan bangsa Turki pada pemerintahan Abbasiyah dimulai pada masa pemerintahan al Mu’tashim Billah (833-842 M) sampai pada pemerintahan Al-Watsiq Billah (842-847 M). Al-Mu'tashim merupakan tokoh bermental militer. Tubuhnya kekar dan kuat. Untuk menghadapi Byzantium, al Mu’tashim membutuhkan orang-orang Turki yang terkenal kuat dan bersemangat dalam berperang. Selain itu, bangsa turki terkenal ahli militer dan ahli strategi perang. Pengaruh Turki ini menguat pada dua khalifah ini dan bertahan hingga masa khalifah al Watsiq.
Para khalifah yang berkuasa pada era ini adalah: Abu Fadl Ja’far al-Mutawakkil (232-247H), Abu Ja’far Muhammad al-Muntashir (247-248 H), Abu al-‘Abbas Ahmad al Musta’in (248-252 H/862-866 M), Abu ‘Abdillah Muhammad al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M),[16] Abu Ishaq, Muhammad al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M), Ahmad al-Mu’tamid (256-279 H/870-892 M)[17], Abu al-‘Abbas Ahmad al-Mu’tadhid (279-289 H/892-902 M), Abu Muhammad al-Muktafi (289-295 H/902-908 M), Abu alFadl Ja’far al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M), Abu Manshur Muhammad al-Qahir (320-322 H/932-934 M), Abu al’Abbas Ahmad al-Radhi (322-329 H/934-940 M), Abu Ishaq Ja’far al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M), Abu al-Qasim ‘Abdillah al-Mustakfi (333-334 H/944-946 M).[18]
Meski setelah Khalifah al Watsiq tentara berbangsa Turki ini tidak disukai karena keangkuhan dan sikap arogansi militeristikna, mereka tetap dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan wilayah Abbasiyah yang luas. Termasuk untuk menghadapi gejolak dalam negeri yang disebabkan revolusi bangsa Arab dan golongan Alawiyah.

3.      Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. Kekuasaan Bani Buwaih dimulai dari seorang sekretaris khalifah al-Mustakfi (333-334 H/944-946 M) yang bernama Ahmad ibn Buwaih. Ibn Buwaih masuk ke Baghdad pada 334 H dan khalifah memberinya gelar al-Mu’idz al-Daulah, saudaranya, Ali ibn Buwaih diberi gelar Imad al-Daulah, dan saudaranya yang lain, Hasan ibn Buwaih mendapat gelar Rukn al Daulah.
Yusuf al’ Isy (2012) menjelaskan situasi yang terjadi pada masa pengaruh Bani Buwaih sebagai berikut. Pertama, Negara Buwaih telah menyerang Dinasti Abbasiyah, dengan begitu, negara Islam yang sangat luas tersebut menjadi tanggung jawab dinasti Bani Buwaih. Kedua, serangan tersebut tidak disertai latihan yang memadai untuk memimpin atau memerintah sebuah negara yang sangat luas wilayahnya. Ketiga, Bani Buwaihi tidak memiliki sosok pemimpin yang sangat kuat untuk memimpin seluruh negara. Mereka hanya memiliki tiga bersaudara dari Bani Buwaihi masing-masing memiliki kekuasaan terhadap kerajaan. Ibu kota kekuasaan mereka adalah Baghdad, Rayy, dan Syiraz. Pada awalnya mereka bisa rukun, namun generasi setelahnya mulai melakukan perebutan kekuasaan. Keempat, tentara kekhalifahan tidak terdiri dari satu suku, tetapi terdiri dari dua kelompok yaitu angkatan darat Dailam dan angkatan berkuda Turki. Kelima, kedua kelompok berbeda dalam hal madzhab. Orang Dailam bermazhab Syiah Zaidiyyah sementara orang-orang Turki beraliran Sunni. Keenam, Bani Buwaihi selain mewarisi sebuah negara yang luas, mereka juga mewarisi kondisi ekonomi negara yang sedang sulit.[19]
Pada periode ini, khalifah hanyalah simbol kekuasaan semata. Sedangkan kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Amir al Umara’. Jabatan amir al-umara’ adalah sebuah jabatan militer senior di Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-10. Setelah Khalifah al Muqtadir (908-932 M), jabatan Wazir diganti dengan jabatan amir al umara’, jabatan panglima tertinggi yang dipegang kelompok militer. Berikutnya, jabatan ini dipegang oleh keluarga Dinasti Buwaihi.[20]
Para penguasa dari Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.
Para khalifah yang menjabat adalah: Abu al-Qasim al Fadl al-Muthi’ (334-363 H M/946-974), Abu Bakr ‘Abd al-Karim al-Tha’i (363-381 H/974-991 M), dan Abu ‘Abbas Ahmad al-Qadir (381-422 H/991-1031 M).

4.      Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (Salajiqah al-Kubra/Seljuk Agung).
Kesultananan Saljuk adalah dinasti berkebangsan Turki yang memperkuat serta mempertahankan kelangsungan Daulah Bani Abbasiyyah. Dinasti Seljuk berasal dari daerah pegunungan dan stepa Turkistan. Menjelang akhir abad ke-2 H atau abad ke-8 M. orang-orang Oghuz pindah ke arah barat melalui dataran tinggi Siberia ke Laut Arab dan sebagian ke wilayah Rusia.
Nama dinasti Saljuk diambil dari sebuah nama seorang tokoh yang berasal dari keturunan Turki yaitu Saljuk bin Tuqaq.berasal dari kabilah kecil keturunan Turki, yakni kabilah Qunuq. Kabilah ini bersama dua puluh kabilah kecil lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Semula gabungan kabilah ini tidak memiliki nama, hingga muncullah tokoh Saljuk putra Tuqaq yang mempersatukan mereka dengan memberi nama suku Saljuk.[21] Suku Saljuk memeluk agama Islam pada sekitar akhir abad ke-4 H/ 10 M, dengan barmazhab Sunni.[22] Bani Saljuk menguasai dan memerintah di Baghdad selama sekitar 93 tahun yaitu dari tahun 429 H/1037 M hingga tahun 522 H/1127 M.
Dinasti Saljuk memiliki hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah yang berbeda halnya dengan dinasti Buwaih, hal ini disebabkan kesamaan dalam mazhab, yaitu sama-sama berpegang kepada mazhab Sunni.[23] Saljuk selalu bersikap hormat, sopan, berlaku baik dan lembut sebagaimana tercermin dari ucapan Tughrul Bek ketika menghadap khalifah; “aku pelayan Amirul Mu’minin, bertindak atas perintah dan larangannya, berbuat sesuai mandatnya. Hanya kepada Allah aku meminta pertolongan dan taufik”[24] Kedekatan antara bani Saljuk dan imperium Abbasiyah semakin erat ketika al-Qaim menikahi khadijah yang merupakan keponakan Tughrul Bek, sementara Tughrul Bek menikahi putri al-Qaim pada tahun 454 H/1062 M.
Para Khalifah yang memerintah pada periode ini adalah Abu Ja’far ‘Abdillah al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M), Abul Qasim Al-Muqtadi, (1075-1094 M), Abul Abbas Al-Mustazhir, (1094-1118 M), Abul Mansur Al-Mustarsyid, (1118-1135 M), Abu Ja'far Ar-Rasyid (1135-1136 M), Abu Abdullah Al-Muqtafi (1136-1160 M), Abul Muzaffar Al-Mustanjid (1160-1170 M), Hasan Al-Mustadi (1170-1180 M), Abul Abbas An-Nasir, (1180-1225 M).

5.      Periode Kelima (590-656 H/1194-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Setengah abad lebih merupakan masa-masa sulit bagi Daulah bani Abbasiyah. Meskipun telah lepas dari pengaruh dinasti lain, namun kekuasaan khalifah sangat terbatas. wilayah yang luas sudah terbagi dan diurus oleh dinasti-dinasti yang merdeka. Bahkan kekuasaan politik dinasti-dinasti tersebut jauh di atas khalifah. Jabatan Khalifah meskipun dihormati oleh dinasti-dinasti tersebut, namun dalam konteks politik kekuasaan, jabatan khalifah hanyalah simbol kekuasaan Islam.
Para khalifah yang memerintah periode ini adalah Abul Abbas An-Nasir (1180-1225 M), Muhammad Az-Zahir, (1225-1226 M), Abu Ja'far Al-Mustansir (1226-1242 M), dan terakhir Abdullah Al-Musta'sim, (1242-1258 M).


Kemajuan Peradaban Islam pada masa Abbasiyah
Selama lima abad lebih Bani Abbasiyah berkuasa telah memberi pengaruh besar terhadap peradaban Islam dan peradaban dunia. Bani Abbasiyah telah memberi model bagi pengembangan masyarakat dan kebudayaan manusia. Karakternya yang terbuka dan kosmopolitan menjadi salah satu kekuatan dasar dinasti ini.
Gelombang disintegrasi memang telah memperkecil wilayah Abbasiyah. Namun di balik itu, dengan berdirinya negara-negara Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan politik khalifah Abbasiyah di Baghdad justru memberi peluang besar bagi negara-negara mandiri tersebut untuk berkembang sesuai dengan karakter masyarakat dan potensi yang ada pada masyarakat tersebut. secara umum dapat diatakan, masa pemerintahan kekhalifahan Bani Abbasiyah merupakan masa kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi bangsa-bangsa muslim non Arab di berbagai penjuru dunia.
Beberapa hal yang dilakukan Abbasiyah (750–1258 M) dalam menampilkan diri sebagai Dinasti yang berkuasa adalah dengan memberikan berbagai kebijakan sebagai berikut :
1.      Menampilkan diri sebagai pelindung agama. Khalifah adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Mereka menggunakan gelar agamis seperti, al-Hadi, al-Rasyid, al-Ma’mun, al-Amin, dan sebagainya.
2.      Islam mengajarkan persamaan, tiada beda antara Arab dan Non-Arab, bahkan orang Persia yang menjadi tulang punggung Negara dan wazir dari keluarga Barmaki.
3.      Abbasiyah menghentikan perluasan wilayah, bahkan otonomi daerah semakin diperbesar, yang bisa dikatakan federasi “Negara” muslim. Mulailah dikenal istilah Malik dan Sultan sebagai penguasa yang dilantik oleh Khalifah.
4.      Al-Ma’mun menjadikan pemikiran Mu’tazilah sebagai mazhab Negara. Hal ini berimplikasi luas, yaitu proses masuknya pemikiran intelektual Yunani ke dalam dunia Islam. Di sinilah mulai kebangkitan peradaban dan intelektual Islam, sehingga dunia barat belajar banyak dari Islam.

Badri Yatim menyebutkan, paling tidak ada dua hal yang ikut menentukan kemajuan Bani Abbasiyah, pertama, asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami kemajuan di bidang pengetahuan. Misalnya, bangsa Persia yang maju dan berminat dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat dan sastra. Bangsa India yang maju dalam bidang kedokteran, matematika dan astronomi, serta bangsa Yunani dengan sumbangan pengetahuan dalam bidang filsafat, politik dan etika. Kedua, kebijakan gerakan penerjemahan karya-karya monumental dari berbagai bangsa yang berlansung pada beberapa fase. Fase pertama masa khalifah al Manshur hingga Harun al Rasyid (periode Abbasiyah pertama), fase kedua pada masa al Ma’mun hingga 300 H  (paruh akhir Abbasiyah kedua), dan berlanjut terus hingga akhir kekuasaan Abbasiyah.
Meskipun sejarah mencatat bahwa kemajuan peradaban sangat kentara pada periode pertama kekhalifahan Bani Abbasiyah, namun periode-periode berikutnya kemajuan tidak mengalami kemuduran yang berarti. Setiap dinasti yang merupakan satelit kekuasaan Abbasiyah, tetap mengupayakan kemajuan di daerahnya masing-masing.
Untuk melihat sebaran Tokoh-tokoh ilmuwan sepanjang masa kekhalifahan  Dinasti Abbasiyyah dapat dicermati melalui tahun hidup tokoh-tokoh berikut:
  1. Ahli Fikih: Abu Hanifah atau Imam Hanafi (699-767 M), Malik bin Anas atau Imam Maliki (714-800 M), Muhammad bim Idris alias Imam Syafi’i (767-819M) Ahmad bin Hanbal alias Imam Hanbali (780-855 M),
  2. Ahli Filsafat : al-Kindi (801-873 M), al-Farabi (wafat 950 M), Ibn Sina (wafat 1037 M), Ibn Miskawaih dan Ibn Rusyd (wafat 1198 M) 
  3. Ahli sains : al-Farghani (wafat 870 M).
  4. Ahli Astronomi : al-Biruni (973-1050 M), al-Thusi (wafat 1274 M).
  5. Ahli Matematika : Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-850 M) bidang ilmu hitung Aljabar (Algoritme), Abu Yusuf Yaqub ibn Ishaq al-Kindi bidang aritmatika, al-Karaji bidang aritmatika, aljabar, dan geometri, Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Abu Abdullah (Al-Battani) (850-929 M) ahli bidang trigonometri modern, Al-Biruni ahli bidang matematika, geografi, astronomi, fisika, ‘Umar Khayyam (wafat 1123 M) ahli bidang aljabar dan trigonometri.
  6. Ahli kedokteran : at-Thabari, al-Razi, dan Ibnu Sina sebagai bapak kedokteran.
  7. Ahli kimia : Jabir bin Hayyan (wafat 813 M) dan Zakariyya al-Razi (abad 8 M).
  8. Ahli optika : Ibn Haitsam (wafat 1039 M).
  9. Ahli geografi : al-Ya’qubi dan al-Mas’udi.
  10. Ahli Ilmu hewan : Ikhwan al-Shafa, Amr ibn Bahr al-Jahiz (776-868 M).

Kemajuan Bani Abbasiyah memang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Catatan yang dapat diberikan adalah ilmu pengetahuan merupakan bagian terpenting dari ajaran Islam. Pada masa kekhalifah Abbasiyah, ilm pengetahuan mendapat perhatian yang khusus dari para khalifah. Pada masa itu, dibelahan dunia lain, pendidikan merupakan hak ekslusif para raja, bangsawan dan orang kaya. Namun, Islam melalui ajarannya telah memperluas kelompok masyarakat terdidik sampai kepada tingakat masyarakat bawah. Hal ini dimungkinkan karena ajaran Islam memberikan dorongan menuntut ilmu sebagai kewajiaban bagi semua umat Islam.
Sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari berbagai sektor sebagai berikut:
1.      Bidang keagamaan, dapat dilihat dari berkembangnya berbagai cabang ilmu-ilmu keagamaan yang berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dan Hadits, sekaligus menjawab kebutuhan umat Islam atas keputusan-keputusan keagamaan.
2.      Bidang tata kota, dapat dilihat dari berkembangnya berbagiai model penataan kota modern yang membuat jarak antara rakyat dengan penguasa begitu dekat
3.      Bidang tata bangunan yang disebabkan berkembangnnya jenis ilmu arsitektur dan teknologi-teknologi yang digunakan dalam rancang bangunan dan teknologi pendukung fungsi-fungsi lainnya
4.      Dalam pertanian, berkembang berbagai jenis pengetahuan tentang bibit tanaman, hama dan psistem pengairan
5.      Dalam bidang sosial, berkembangnya berbagai lembaga-lembaga sosial yang mengurus secara spesifik urusan masyarakat
6.      Bidang Militer, dapat dilihat dari perkembangan teknologi kemiliteran
7.      Serta kemajuan-kemajuan lainnya yang dapat disigi secara khusus dengan pendekatan keilmuannya masing-masing.


Kemunduran dan Keruntuhan
Kemunduran pemerintahan Bani Abbasiyah tidaklah berlangsung sebentar, tetapi berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Secara umum dapat dilihat dari berbagai sebab berikut ini:
1.      Persaingan antar bangsa pendukung Abbasiyah. Wilayah yang luas dan tersebarnya Islam ke berbagai bangsa menjadi sebab munculnya persaingan ini. Tercatat, Bani Abbasiyah telah berupaya hadir di tengah bangsa-bangsa besar yang pernah maju peradabannya jauh sebelum kehadiran Abbasiyah. Misalnya, bangsa Mesir, Persia, Syiria, Arab, India, Eropa dan Cina. Termasuk bangsa Turki yang selama berabad-abad mendampingi kejayaan Daulah Bani Abbasiyah. Persaingan ini disebabkan faktor fanatisme kebangsaan, situasi sosial politik dan kebijakan-kebijakan khalifah yang terkadang memicu persaingan antar bangsa pendukung Abbasiyah
2.      Kemorosotan Ekonomi. Sejak berdinya dinasti-dinasti bai besar ataupun kecil di berbagai wilayah Abbasiyah, praktis pemasukan uang ke kas khalifah Abbasiyah meurun drastis. Hal ini tidak memungkinkan lagi untuk menciptakan sistem pertahanan yang kuat, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, penataan kota dan sebagainya. Pada periode pertama pemerintahannya, sumber kekayaan dan perbendaharaan negara yang tersimpan di Baitul Mal bersumber dari perniagaan, hasil bumi dan pajak (kharaj). Desentralisasi dan disintegrasi kekuasaan membuat sumber-sumber keuangan Bani Abbasiyah merosot tajam
3.      Konflik Keagamaan. Secara umum, konfli keagamaan merupakan dampak yang tak diharapkan (unintended consequnces) dari kemajuan dalam studi ilmu-ilmu keagamaan. Konflik keagamaan yang kemudian berpuncak pada konflik fisik dan supremasi antar mazhab memperlemah kekuasaan Bani Abbasiyah. Namun di bali konfli keagamaan ini, tersimpan aneka karya keagamaan yang masihnterwariskan sebagai warisan keilmuan Islam hingga masa sekarang.
4.      Ancaman dari Luar yang bersumber dari kekuasaan Kristem Eropa (Byzantium) yang memuncak pada periode perang Salib, Serangan dan invasi Mongol ke daerah-daerah kekuasaan Bani Abbasiyah. Invasi Mongol, secara khusus menjadi sebab terpenting yang menghakhiri kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad pada yahun 1258 M.

Penutup
Panjangnya masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah (750-1258 M) telah menghadirkan banyak peristiwa penting yang perlu dikaji secara spesifik. Namun, makalah singkat ini menggambarkan bagian-bagian tertentu saja dari keseluruhan riwayat dinasti besar yang telah mengubah pola hubungan antar bangsa di dunia pada masanya. Sebagai kesimpulan, Bani Abbasiyah secara umum dapat disebut sebagai Dinasti Islam terlama dalam sejarah dengan wilayah kekuasaan yang luas dengan sumbangan kemajuan yang tak sedikit bagi umat Islam pada khususnya, dan bagi dunia pada umumnya.
Wallahu’ a’alam bi al-shawab 
Daftar Bacaan

Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
Amin, Ahmad Dhuha al-Islam, Mesir: Mu’assasah Hindawi, 2011.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2014
Canfield, Robert L., Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University Press, 2002
Hasjmy, Ali, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Hitti, Philip K.,History of the Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008
Hourani, Albert, A History of the Arab Peoples. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Pressof Harvard University Press, 2002
Iqbal, Muhammad dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani  Jakarta: Taramedia, 2003.
‘Ilm ,Tim Dar al-, Atlas Sejarah Islam, Depok, Puspa Swara, 2010
‘Isy, Yusuf al-, Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012
M. A., Shaban, The ʿAbbāsid Revolution. Cambridge: Cambridge University Press, 1979
Mawardi, Imam al-, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Jakarta, Qisthi Pressh, 2016.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya: Jilid I., Jakarta: UI-Press, 1985
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II,Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Syalaby,Ahmad Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 3, terj. Muhammad Labib Ahmad, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993
Taufik Abdullah, dkk. (Dewan Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Wakil, Muhammad Sayyid al-, Wajah Dunia Islam, Dari Bani Umayyah Hingga Imperialisme Modern, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, RajaGrafindo Utama, 2006.

Jurnal:
Saïd Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
Syamruddin Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013[1]






[1] Disampaikan pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan Riau, Rabu, 22 Januari 2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
[2] Muhammad Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang
[3] Ajid Tohir, Kehidupan Sosial Zaman Rasulullah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, h.46
[4] Albert Hourani,  A History of the Arab Peoples, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Pressof Harvard University Press, 2002
[5] Saïd Amir Arjomand, Abd Allah Ibn al-Muqaffa and the Abbasid Revolution. Iranian Studies, vol. 27, Nos. 1–4. London: Routledge, 1994
[6] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Dinasti Abbasiyah, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.82
[7] Syamruddin Nasution, Politik Kepentingan: Analisis Historis Kasus Abū Muslim al-Khurasanī di Masa Daulah Umaiyah dan Abbasiyah, Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013, h.563
[8] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2014, h. 139
[9] Imam al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam Jakarta, Qisthi Pressh, 2016, 29
[10] Robert L. Canfield, Turko-Persia in Historical Perspective. Cambridge University Press, 2002,h. 5
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya: Jilid I., Jakarta: UI-Press, 1985, h.67
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006, h.51
[13] Samsul Munir Amin., Op.cit., h.141
[14] Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h.213
[15] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Mesir: Mu’assasah Hindawi, 2011, h. 161 – 162
[16] Pada masa al Mu’taz berdiri Daulah Al Thuluniyah di Mesir. Daulah Thuluniyah adalah dinasti pertama yang melepaskan diri dari kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Daulah ini menguasai Mesir dan wilayah Suriah. Dinasti ini berdiri tahun 868 M bertahan hingga tahun 905 M. Daulah ini didirikan oleh Ahmad bin Thulun, mantan kepala pengawal istana (rais al harsi) dan ketika itu ia menjabat Wali wilayah Mesir dan Lybia. Ahmad bin Thulun menguasai ilmu Syari’ah, bahasa dan kesusastraan disamping keahlian pokoknya di bidang militer. Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II,Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 62-63.
[17] Sebelum Daulah Thuluniah, juga berdiri Daulah Shaffariyah di Kandahar, Afghanistan tahun 867 H. Daulah ini awalnya membebaskan diri secara penuh dari Abbasiyah, namun pada tahun 876 M Daulat Shaffariyah mengakui kembali kekhalifahan Bani Abbasiyah dan Khalifah Al Mu’tamid juga mengakui kedaulatan Daulat Shaffariyah dalam bentuk pemerintahan keemiran
[18] Badri Yatim, op.cit, h.49
[19] Yusuf al-‘Isy, Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012), h. 198
[20] Philip K. Hitti,History of the Arab, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta h.398
[21] K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 406
[22] Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, terj. Dwi Karyani  Jakarta: Taramedia, 2003, h.358
[23] Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Vol. 3, terj. Muhammad Labib Ahmad, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993, h. 339.
[24] Tim Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Depok, Puspa Swara, 2010, h. 97

No comments: