PERADABAN ISLAM
MASA DINASTI
AYYUBIYAH (1171–1254 M)[1]
Oleh: Muhammad Nasir[2]
Pendahuluan
Dinasti
Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah dinasti Muslim Sunni
beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah, yang
sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai
Kurdistan, meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki.
Orang Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi, yang
merupakan anggota bahasa Iran cabang dari Indo-Eropa.[3]
Sekarang, etnis
Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel, Yordania,
Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan Yaman.
Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara.
Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai
Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Di masa lalu,
bangsa Kurdi pernah mengalami masa jaya. Tercatat beberapa dinasti berbangsa
Kurdi yang sempat menderikan kekuasaan pemerintahan sendiri. Di antaranya, al-Barzuqani,
(348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M), serta yang paling
signifikan kekuasaannya yaitu dinasti al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1254 M).[4]
Untuk dinasti
al Barzuqani belum ada catatan yang cukup untuk menjelaskan signifikansi
kekuasaannya. Sementara Abu ‘Ali merupakan salah satu dari penguasa Dinasty
Ghurid yang memeluk Islam Sunni setelah sebelumnya menganut ajaran Budhisme.
Dinasti Ghurid memeluk Islam setelah ditaklukkan oleh Dinasti Ghaznawi (1011
M). Kekuasaannya dilegitimasi oleh khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid. Sebelum
pertengahan abad ke-12, Ghurid telah terikat dengan Dinasti Ghaznawi dan Seljuk
selama sekitar 150 tahun. Wilayahnya
mencakup meliputi Khorasan di barat dan mencapai India utara sejauh Bengal di
timur. Ibu kota pertama mereka adalah Firozkoh di Mandesh, Ghor, yang kemudian
digantikan oleh Herat, dan akhirnya Ghazna.[5]
Dinasti
Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia Islam. Umur
dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya hanya
berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di wilayah
Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299,
dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan
Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti
Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu
al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad.
Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia
dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai
oleh Mamluk
Secara berturut
ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo (1171–1174 M),
Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M), terakhir di Aleppo
(1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai
penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah. Selanjutnya,
kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman, Palestina dan Suriah.
Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah
dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah yang beretnis
Kurdi.[6] Najmuddin
Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun demikan, Dinasti Ayyubiyah
didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi[7]
pada tahun 1171 M setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir
Bani Fatimiyah.[8]
Shalahuddin
Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada tahun 532 H (1136
M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin pada masa Dinasti
Zanki,[9]
Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya Asaduddin Syirkuh
untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki.[10]
Keluarga Salahuddin berjasa besar pada keberhasilan Nuruddin dalam
menggabungkan Damaskus ke wilayahnya. Pada saat Syawar, wazir bagi Khalifah
al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan kepada Nuruddin agar dapat
menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan Syirkuh dan Salahuddin ke
Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh kemudian menggantikan
Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga meninggal.
Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin.[11]
Salahudin
menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari
serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit
pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir
mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah
untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak
memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah
Khalifah Al-Adid yang dinilai sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid
wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap selesai. Salahuddin
kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status sebagai wakil
pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun 1174 M, barulah
Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di Mesir sebagai
pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.[12]
Selanjutnya, Salahuddin
mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua tampak berlangsung dengan mudah,
sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua rakyat merasa mempunyai harapan
besar kepadanya karena selama ini mereka merasa selalu dizalimi para pemimpin
sebelumnya. Karena itulah, kecintaan masyarakat Mesir begitu besar kepadanya.
Secara umum,
dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib. Bani
Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada
satu musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa.
Tidak mengherankan, nama Salahuddin al
Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di negeri-negeri Eropa.
Dengan tegaknya
Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah berakhir dan berganti dengan
Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni, termasuk yang ortodoks turut
mendukung segala langkahnya dalam menyatukan seluruh kekuatan Islam di bawah
kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa situasi sulit sedang dihadapi umat
Islam. Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya menyatukan dan menjalin hubungan
dengan dinasti-dinasti kecil untuk melawan kekuatan Salib, maka Salahauddin pun
melakukan hal yang sama. Di awal pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti
kecil di sekitarnya untuk kemudian diajak bergabung melawan tentara Salib.
Awalnya, ketika
Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali tegak. Khalifah Al
Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi pemimpin
pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan mengakui kekuasaan Bani
Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran Salahuddin akan pentingnya
kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia menghindari konflik dengan Nuruddin
Zanki dan tetap menghormati posisi Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai simbol
pemersatu umat Islam.
Sejak 1775 M
Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa daerah seperti Yaman,
Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan demikian, ia pun
mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa muslim di Mesir,
Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.
Pendukung Utama Dinasti Ayyubiyah
Birokrasi dan
jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang Kurdi, Turki, dan
orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah, kebanyakan terdiri dari
orang-orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan berbangsa Arab, bekas
satuan-satuan Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh Salahuddin ketika mengabdi
sebagai panglima Bani Fathimiyah, serta kontingen-kontingen pasukan Arab yang
terpisah (khususnya dari suku Kinaniya, yang biasanya ditugaskan untuk
mempertahankan Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing
memperebutkan jabatan militer, dan menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah
pasukan Turki jauh lebih besar daripada Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah
memiliki latar belakang Kurdi, mereka tetap berlaku adil terhadap kedua
kelompok tersebut.[13]
Selama
kiprahnya di Timur Tengah, Salahuddin tidak pernah mendirikan sebuah kerajaan
yang terpusat. Sistem yang ia dirikan adalah kepemilikan turun temurun yang ia
bagi-bagi kepada kerabat-kerabatnya, sehingga mereka mengendalikan
wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia
kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya.[14]
Pusat
pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada dasawarsa 1170-an
hingga akhir masa pemerintahan al Malik al-Adil pada tahun 1218 terletak di
kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan tentara
Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan-bawahannya yang cukup
ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan
operasi, tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah.
Maka dari itu, kota ini merupakan wilayah yang sangat penting. Dengan demikian
terlihat jelas, bahwa berdirinya Dinasti ini merupakan sebuah upaya
mempersatukan negeri-negeri Islam dalam satu isu melawan tentara Salib, lebih
dari sekadar menyatukan wilayah kekuasaan politik.
Daftar Sultan Dinasti
Ayyubiyah[15]
No.
|
:
|
Nama Sultan
|
:
|
Masa Pemerintahan
|
|
|
|
|
|
1
|
:
|
Salahuddin Ayyubi
|
:
|
1174–1193
|
2
|
:
|
Al-Aziz ibn Salahuddin
|
:
|
1193–1198
|
3
|
:
|
Al-Mansur ibn al-Aziz
|
:
|
1198–1200
|
4
|
:
|
Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub
|
:
|
1200–1218
|
5
|
:
|
Al-Kamil
|
:
|
1218–1238
|
6
|
:
|
Al-Adil II
|
:
|
1238–1240
|
7
|
:
|
Malik Al-Shalih Ayyub
|
:
|
1240–1249
|
8
|
:
|
Mu’azzam Turansyah ibn al Shalih
|
:
|
1249
|
9
|
:
|
Syajarah al Dur (istri Malik al Shalih)
|
:
|
1249
|
10
|
:
|
Al-Asyraf ibn Yusuf
|
:
|
1250–1254
|
Daftar Amir di
bawah Dinasti Ayyubiyah
Kota
|
:
|
Tahun
|
:
|
Nama
Amir
|
|
|
|
|
|
Damaskus
(Pusat
Pemerintahan)
|
:
|
1174–1260
|
:
|
Salahuddin,
al Afdal, al-Adil, al-Mu'azzam, Isa an-Nasir, Dawud al-Ashraf, Musa as-Salih,
Ismail as-Salih, Ayyub al-Muazzam Turanshah, an-Nasir Yusuf
|
Aleppo
|
:
|
1177–1260
|
:
|
Az-Zahir
Ghazi, al-Aziz Muhammad, Dayfa Khatun (bupati), an-Nasir Yusuf
|
Homs
|
:
|
1175–1262
|
:
|
Asad
ad-Din Shirkuh, Muhammad ibn Shirkuh, al-Mujahid, al-Mansur Ibrahim,
al-Ashraf Musa
|
Hamma
|
:
|
1175–1341
|
:
|
Al-Muzaffar
Umar, al-Mansur Muhammad I, Nasir Kilij-Arslan, al-Muzaffar Mahmud, al-Mansur
Muhammad II, al-Muzaffar Mahmud II, al-Mu'ayyad Abu al-Fida, al-Afdal
Muhammad
|
Jazira
|
:
|
1180–1260
|
:
|
Al-Awhad
Ayyub, al-Ashraf Musa, al-Muzaffar Ghazi, al-Kamil Muhammad
|
Yaman
|
:
|
1173–1228
|
:
|
Turan-Shah,Tughtakin
ibn Ayyub, al-Mu'izz Ismail, an-Nasir Ayyub, Muzaffar Sulayman, Mas'ud Yusuf
|
Baalbek
|
:
|
1175–1260
|
:
|
Ibn
al-Muqaddam, Turan-Shah, Farrukhshah, Bahramshah, Al-Ashraf Musa, as-Salih
Ismail, as-Salih Ayyub, Saʿd al-Din al-Humaidi, an-Nasir Yusuf
|
Peradaban Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah
Masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah diisi dengan kesibukan konsolidasi negeri-negeri
Islam yang yang terpecah-pecah. Masa ini dikenal dengan masa masa disintegrasi.
Masa disintegrasi berlangsung antara tahun 1000-1250 M.[16] Penyebabnya
antara lain pertama, luasnya wilayah Islam tidak sebanding dengan
kemampuan khalifah Abbasiyah dalam mengelolanya. Kedua, persaingan antar bangsa
membuat kesatuan politik dalam ikatan daulah Islam terganggu, Ketiga, di
daerah-daerah Islam muncul tokoh-tokoh kuat yang memperoleh dukungan kuat
dari masyarakatnya. Hal ini mendorong mereka untuk melepaskan diri dari
kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Keempat, meskipun terlihat
lemah, namun patut dipertimbangkan, yaitu khalifah Abbasiyah sejak periode al
Ma’mun (786-833 M) lebih senang mengembangkan peradaban dibanding mengembangkan
sistem politik ketatanegaraan dan pembinaan wilayah.[17]
Terkait dengan
wilayah ini, agaknya benar apa yang ditulis William Muir, bahwa dalam kenyataannya
banyak daerah-daerah yang tidak benar-benar dikuasai oleh khlaifah.[18]
Mungkin saja, ketundukan penduduk wilayah-wilayah tersebut kepada khalifah
disebabkan kesatuan agama dan mungkin saja doktrin keagamaan terkait dengan
status khalifah sebagai pemimpin umat Islam (amir al mukminin), bukan
sebagai pemimpin negara (amir al daulah).
Dalam situasi
sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan mengembangkan
peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti Ayyubiah sempat
mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al Ayyubi, Para penguasa
Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang dikuasai
Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan peradaban dunia pada masanya. Beberapa
kemajuan yang dapat dituliskan antara lain sebagai berikut:
1.
Bidang
Politik
Puncak
kegemilangan politik Dinasti Ayyubiyah adalah ketika Salahuddin al Ayyubi
mengambil alih Yerusalem dari pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187 M.
Wilayah ini dapat dipertahankan terus hingga akhir abad ke-13. Keberhasilan ini
melanjutkan tradis kemenangan atas pasukan Salib yang telah diperoleh
sebelumnya oleh pendahulu sekaligus tempat mengabdi Salahuddin sebelum menjadi
Sultan. Imadudin Zangi (Zanki) Amir Mosul dan Aleppo pada tahun 1144
juga berhasil memukul pasukan Salib dari Armenia.
Selain
itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan Palestina berhasil
ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota ini berkembang menjadi
basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu, kota-kota tersebut juga
dibangun menjadi pusat-pusat terpenting pengembangan ilmu dan peradaban Islam.
Sistem
politik ketatanegaraan Dinasti Ayyubiyah tidak berupa kerajaan yang terpusat. Sultan
sebagai sebutan penguasa dinasti ini hanya
mengendalikan wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti
Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di
wilayahnya.[19]
Penguasa
Dinasti Ayyubiyah memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Bani Fathimiyah
(Syi’ah-Mesir), Dinasti Zanki (Sunni-Seljuk) dan Bani Abbasiyah
(Sunni-Baghdad). Kedekatan hubungan ini membuat Dinasti Ayyubiyah dapat disebut
pemersatu dunia Islam pada masa disintegrasi. Bahkan, dari segi politik Dinasti
Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam yang
semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.[20]
2.
Bidang
Keagamaan
Salah
satu kebijakan yang diambil oleh Salahuddin di awal pemerintahnanya adalah
menetapkan mazhab Sunni sebagai mazhab resmi negara menggantikan mazhab Syi’ah
Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh Bani Fathimiyah. beberapa alasan
mengganti mazhab Syi’ah Islamailiyah menjadi mazhab Sunni adalah secara faktual
syi’ah bukanlah mazhab yang dianut oleh mayoritas rakyat Mesir. Selama
pemerintahan Bani Fathimiyah yang muncul justru sikap dualisme rakyat mesir
terhadap mazhab syia’h yang dianut oleh penguasa.[21] Sementara,
di tubuh dinasti Fathimiyah sendiri Syi’ah Ismailiyah mengalami konflik
internal yang tak kunjung usai sejak perempat pertama abad ke-12. Dua kelompok
Syi’ah Ismailiyah di bawah putra al Mustanshir yaitu Nizar (ekstrim) dan al
Musta’li (moderat) saling bertikai. Praktis, ketika khalifah dijabat oleh al
Musta’li yang moderat, gelora Syi’ah sudah mulai luntur.[22]
Sebab lainnya adalah perlawanan dari pendukung Dinasti Fathimiyah. Tercatat
beberapa perlawanan yang membuat Syi’ah Ismailiyah tidak mendapat tempat dalam
kebijakan keagamaan dinasti Ayyubiyah, di antaranya pemberontakan pendukung
Fathimiyah di Sudan yang berkekuatan 50.000 tentara. Pemberontakan ini baru
berhasil dipadamkan oleh al Malik al ‘Adil saudara Salahuddin pada tahun 1174
M. Berikutnya pemberontakan yang dipimpin oleh Imarah al Yamani, yang berhasil
dipadamkan pada 1173 M.
Sekilas,
kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin yang notabene
pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena faktanya muslim
Mesir justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf tertentu membawa
kepada sikap talfiq[23]
yang justru ditolak oleh mayoritas penganut Sunni. Implementasi
kebijakan ini semakin jelas terlihat ketika ia Qadhi yang bermazhab Syi’ah
menjadi Sunni dan mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi’i seperti
Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Salahiyah di Yerusalem dan Damaskus.[24]
Sementara
dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para penerusnya menempatkan
diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan Yahudi, terutama di Yerusalem atau
Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi sumber persaingan selama Perang Salib. Pada
tahun 1192, Salahuddin dan Richard I, Raja Inggris yang bergelar si Hati Singa
(Lion Heart) membuat perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan memiliki
Yerusalem, namun orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang Kristen,
membiarkan orang Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa
gangguan dan membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka mereka.[25] Perjanjian
ini menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar agama. Kebijakan
inilah yang membuat Yerusalem dalam waktu yang lama berada dalam kekuasaan umat
Islam, hingga perang dunia I (1914).
3.
Ilmu
Pengetahuan
Para
penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka mendukung
kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah Ayyubiyah
tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam
Sunni. Kota Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20 madrasah,
100 tempat pemandian, serta biara-biara darwis Sufi dalam jumlah yang besar. Ia
juga membangun madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan
berbagai kota di Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh para
penerusnya. Bahkan istri para penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para
bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan.[26]
Meskipun
para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka juga membangun
madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani Ayyubiyah berkuasa,
tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam, tetapi Bani
Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-mazhab
tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, Ibnu Syaddad mendirikan 40 madrasah
Syafi'i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di
Damaskus.[27]
4.
Kebudayaan
Meskipun
Dinasti Ayyubiyah berbangsa Kurdi, namun para penguasa Ayyubiyah yang
memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi, tidak seperti para
pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa Ayyubiyah
telah "terarabisasi". Bahasa dan budaya Arab menjadi unsur utama
dalam jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya Kurdi.[28]
Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam budaya Arab sebelum mereka
mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih lazim daripada marga-marga
non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Salah satu sumbangan terpenting
Dinasti Ayyubiyah adalah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa tutur bangsa
Mesir. Kebanyakan orang Mesir menuturkan bahasa Arab pada masa Dinasti
Ayyubiyah.[29]
5.
Arsitektur
Bangunan dan arsitektur merupakan salah satu sumber sejarah yang
penting. Di antara bangunan arsitektur yang dapat dijadikan sumber sejarah
kejayaan dinansty Ayyubiyah antara lain:
-
Tembok
Kota Aleppo yang dibangun Sultan Az-Zahir Ghazi pada tahun 1183. Tembo kota
tergolong arsitektur militer. Pembangunan ini telah mengubah wajah kota Aleppo
secara total.[30]
-
Menara
Masjid Agung Aleppo yang dibangun oleh Sultan Az-Zahir Ghazi pada 1214 M.
Bangunan menara menjulang ke langit, terdiri atas lima tingkat dengan puncak
mahkota yang dikelilingi oleh beranda. Menara banyak dihiasi berbagai ornamen.
Dalam ilmu arsitektur menara ini digolongkan kepada arsitektur keagamaan.
-
Tembok
Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan Taman Al-Azhar, Januari
2006.[31]
-
Madrasah
Al-Firdaus didirikan pada tahun 1236 di kota Aleppo dengan dukungan dari Dhaifa
Khatun. Madrasah ini merupakan bukti peran wanita yang menjadi pendukung
proyek-proyek arsitektur keagamaan di masa Ayyubiyah.[32]
Akhir Dinasti Ayyubiyah
Adapun penyebab
dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern juga karena
faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya
perselisiah di kalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan.
Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti
Mamluk yang menyebabkan terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta
serangan bangsa Mongol.
Penutup
Kehadiran
Ayyubiyah dalam sejarah Islam telah menyelamatkan dunia Islam dari kebangkrutan
kekuasaan dan peradaban selama berlangsungnya Perang Salib dan dalam keadaan
melemahnya kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, dari segi politik
Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam yang
semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.
Daftar Pustaka
Ali, Abdul, Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization
During the Later Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996
Ansary, Tamim, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta:
Serambi, 2018
Daly, M.W.; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic
Egypt, 640-1517, M.D. Publications: 1998.
Maalouf, Amin, The Crusades Through Arab Eyes, 1985; Carole
Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
Goldschmidt, Arthur, A Brief
History of Egypt, New York: Infobase Publishing, 2008.
Mackenzie, D.N., The Origin of Kurdish,
Transactions of Philological Society, 1961.
Muir, Sir William, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975
Rofiq, Ahmad Choirul, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta:
DIVA Press, 2019
Shalabi, Ali Muhammad al-, Shalah al Din al Ayyubiya Juhuduhu fi al
Qadha ‘ala al Daulah al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut:
Dar al Ma’arif, 2008.
___________________, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas
Baitul Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al
Kautsar, 2013.
Tabbaa, Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo,
Penn State Press, 1977
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo
Utama, 2006.
Jurnal
R. Stephen Humphreys, Women
as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid Damascus, Muqarnas,
Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208
Ensiklopedia
Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online
2001
Meri, Josef W.; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An
Encyclopedia, Taylor and Francis, 2006.
Humphreys, Stephen, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987
Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002.
[1] Disampaikan
pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs
Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan Riau,
Rabu, 22 Januari 2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
[2] Muhammad
Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab dan
Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang.
[3]
D.N. Mackenzie, The Origin of Kurdish,
Transactions of Philological Society, 1961, h. 68–86
[4]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006,
h.66
[5]
Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online 2001
[6] Stephen
Humphreys, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987
[7] Ali
Muhammad al Shalabi, Shalah al Din al Ayyubiwa Juhuduhu fi al Qadha ‘ala al Daulah
al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut: Dar al Ma’arif, 2008, h.
229
[8]
Salahuddin al Ayyubi hidup di antara dua kekhalifahan Islam, yaitu Khalifah
Abbasiyah di Baghdad dan Khalifah Fatimiyah di Mesir.
[9] Dinasti
Zanki adalah sebutan untuk keluarga Imaduddin Zanki, Gubernur Dinasti Seljuk
untuk daerah Mosul Irak. Imaduddin Zanki (Zangi) dalam jabatannya sebagai
gubernur juga bertugas sebagai panglima (atabeq) perang Dinasti Seljuk
yang berkuasa di Aleppo (Suriah).
[10] Al-Malik
Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin Zengi (1118 –1174 M),
menguasai Suriah dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Ia bercita-cita untuk
menyatukan pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukannya
melawan berbagai macam pasukan lain termasuk tentara Salib. Amin Maalouf, The
Crusades Through Arab Eyes, 1985; Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut
Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
[11] Ahmad
Choirul Rofiq, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta: DIVA
Press, 261
[12] Carole
Hillenbrand, Op.cit.
[13] M.W.
Daly,; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic Egypt,
640-1517, M.D. Publications: 1998, h.226
[14] Josef W
Meri; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An Encyclopedia,
Taylor and Francis, 2006. h. 86
[15] Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta:
Prenada Meia, 2004), h. 146
[16] Badri
Yatim., Op.Cit., h. 61
[17] Ibid.,
h. 62-64
[18] Sir
William Muir, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975, h.432
[19] Josef W
Meri, dkk. Op.Cit.
[20] Mungkin
inilah satu wacana yang perlu didiskusikan lebih serius!
[21] Ali
Muhammad al Shalabi, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas Baitul
Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al
Kautsar, 2013, h.376
[22] Syafiq
A. Mughni, Perpecahan Kekuasaan Islam, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.136
[23] Talfiq
adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua
madzhab atau lebih
[24] Syafiq
A. Mughni, Ibid, h.137
[25] Tamim
Ansary, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Serambi, 2018,
h. 247
[26] Abdul Ali,
Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the Later
Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996, h. 38
[27] Ibid.,
h.39
[28] Tabbaa,
Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Penn State Press,
1977, h. 31
[29] Arthur
Goldschmidt, A Brief History of Egypt,
New York: Infobase Publishing, 2008, h. 48
[30] Yasser,
Tabbaa, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Pennsylvania:
Penn State Press, 1997. h. 31
[31] Belum
banyak informasi tentang tembok ini. Reka gambar dapat dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Ayyubid_Wall_Al-Azhar_Park_Cairo_01-2006.jpg,
diakses 19/01/2020
[32] R.
Stephen Humphreys, Women as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid
Damascus, Muqarnas, Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208
No comments:
Post a Comment