04 February 2020

Dinasti Ayyubiyah (1171-1254 M)


PERADABAN ISLAM
MASA DINASTI AYYUBIYAH (1171–1254 M)[1]
Oleh: Muhammad Nasir[2]




Pendahuluan
Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah dinasti Muslim Sunni beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah, yang sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai Kurdistan, meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Orang Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi, yang merupakan anggota bahasa Iran cabang dari Indo-Eropa.[3]
Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel, Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara. Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Di masa lalu, bangsa Kurdi pernah mengalami masa jaya. Tercatat beberapa dinasti berbangsa Kurdi yang sempat menderikan kekuasaan pemerintahan sendiri. Di antaranya, al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M), serta yang paling signifikan kekuasaannya yaitu dinasti al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1254 M).[4]
Untuk dinasti al Barzuqani belum ada catatan yang cukup untuk menjelaskan signifikansi kekuasaannya. Sementara Abu ‘Ali merupakan salah satu dari penguasa Dinasty Ghurid yang memeluk Islam Sunni setelah sebelumnya menganut ajaran Budhisme. Dinasti Ghurid memeluk Islam setelah ditaklukkan oleh Dinasti Ghaznawi (1011 M). Kekuasaannya dilegitimasi oleh khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid. Sebelum pertengahan abad ke-12, Ghurid telah terikat dengan Dinasti Ghaznawi dan Seljuk selama sekitar 150 tahun.  Wilayahnya mencakup meliputi Khorasan di barat dan mencapai India utara sejauh Bengal di timur. Ibu kota pertama mereka adalah Firozkoh di Mandesh, Ghor, yang kemudian digantikan oleh Herat, dan akhirnya Ghazna.[5]
Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya hanya berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di wilayah Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad. Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk
Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo (1171–1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M), terakhir di Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah. Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman, Palestina dan Suriah.


Berdirinya Dinasti Ayyubiyah
Ayyubiyah dinisbatkan kepada Najmuddin Ayyub bin Syadi dari suku Rawadiyah yang beretnis Kurdi.[6] Najmuddin Ayub adalah saudara Asasuddin Syirkuh. Meskipun demikan, Dinasti Ayyubiyah didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi[7] pada tahun 1171 M setelah menaklukkan al Adiid (1160-1171 M), khalifah terakhir Bani Fatimiyah.[8]
Shalahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Tikrit, Irak, pada tahun 532 H (1136 M). Sebagaimana ayahnya yang menjadi pejabat bagi Imaduddin pada masa Dinasti Zanki,[9] Salahuddin juga mengikuti jejak ayahnya bersama pamannya Asaduddin Syirkuh untuk mengabdi pada Nuruddin Zanki.[10] Keluarga Salahuddin berjasa besar pada keberhasilan Nuruddin dalam menggabungkan Damaskus ke wilayahnya. Pada saat Syawar, wazir bagi Khalifah al-Adid dari Dinasti Fatimiyah memohon bantuan kepada Nuruddin agar dapat menduduki jabatan wazir, maka Nuruddin mengirimkan Syirkuh dan Salahuddin ke Mesir. Misi berhasil dilaksanakan dan bahkan Syirkuh kemudian menggantikan Syawar sebagai wazir. Tapi, tidak seberapa lama, Syirkuh juga meninggal. Sehingga, jabatan wazir diserahkan kepada Salahuddin.[11]
Salahudin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah Al-Adid yang dinilai sebagai khalifah yang lemah.
Setelah al Adid wafat pada tahun 1171 M, kekuasaan Bani Fatimiyah dianggap selesai. Salahuddin kemudian diangkat menjadi penguasa (Imam) mesir dengan status sebagai wakil pemerintah Saljuk di Mesir. Setelah kematian Nuruddin Zanki pada tahun 1174 M, barulah Salahuddin Al Ayyubi mengumumkan berdirinya Dinasti Ayyubiyah di Mesir sebagai pengganti Dinasti Fathimiyah yang sudah dihapuskan.[12]
Selanjutnya, Salahuddin mulai menegakkan kekuasaannya di Mesir. Semua tampak berlangsung dengan mudah, sebab ketika Salahuddin tiba di Mesir, semua rakyat merasa mempunyai harapan besar kepadanya karena selama ini mereka merasa selalu dizalimi para pemimpin sebelumnya. Karena itulah, kecintaan masyarakat Mesir begitu besar kepadanya.
Secara umum, dunia Islam pada waktu itu sedang disibukkan dengan Perang Salib. Bani Abbasiyah, Bani Fatimiyah serta berbagai dinasti yang terpisah dihadapkan pada satu musuh bersama (common enemy) yaitu kekuatan Kristen Eropa. Tidak  mengherankan, nama Salahuddin al Ayyubi sangat dikenal di dunia Islam dan di negeri-negeri Eropa.
Dengan tegaknya Dinasti Ayyubiyyah, menandakan pengaruh Syiah berakhir dan berganti dengan Sunni. Dengan ini, seluruh kelompok Sunni, termasuk yang ortodoks turut mendukung segala langkahnya dalam menyatukan seluruh kekuatan Islam di bawah kendali satu kekuasaan. Ia menyadari bahwa situasi sulit sedang dihadapi umat Islam. Sebagaimana Nuruddin Zanki berupaya menyatukan dan menjalin hubungan dengan dinasti-dinasti kecil untuk melawan kekuatan Salib, maka Salahauddin pun melakukan hal yang sama. Di awal pemerintahannya, ia menyerang dinasti-dinasti kecil di sekitarnya untuk kemudian diajak bergabung melawan tentara Salib.  
Awalnya, ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, Dinasti Abbasiyah kembali tegak. Khalifah Al Musthadi dari Abbasiyah meminta Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menjadi pemimpin pasukan. Tetapi ia memilih menjadi sultan di Mesir dan mengakui kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad. Hal ini menunjukkan kesadaran Salahuddin akan pentingnya kesatuan dalam menghadapi perang Salib. Ia menghindari konflik dengan Nuruddin Zanki dan tetap menghormati posisi Khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai simbol pemersatu umat Islam.
Sejak 1775 M Khalifah al-Mustadi dari Abbasiyah memberikan beberapa daerah seperti Yaman, Palestina, Suriah Tengah, dan Magribi kepada Salahuddin. Dengan demikian, ia pun mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah sebagai penguasa muslim di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah.

Pendukung Utama Dinasti Ayyubiyah
Birokrasi dan jabatan militer Dinasti Ayyubiyah pada umumnya diisi orang Kurdi, Turki, dan orang-orang dari Kaukasus. Para prajurit Ayyubiyah, kebanyakan terdiri dari orang-orang Kurdi dan Turki. Selain itu, terdapat pasukan berbangsa Arab, bekas satuan-satuan Fatimiyah yang pernah dipimpin oleh Salahuddin ketika mengabdi sebagai panglima Bani Fathimiyah, serta kontingen-kontingen pasukan Arab yang terpisah (khususnya dari suku Kinaniya, yang biasanya ditugaskan untuk mempertahankan Mesir). Pasukan Kurdi dan Turki kadang-kadang saling bersaing memperebutkan jabatan militer, dan menjelang akhir kekuasaan Ayyubiyah, jumlah pasukan Turki jauh lebih besar daripada Kurdi. Walaupun para sultan Ayyubiyah memiliki latar belakang Kurdi, mereka tetap berlaku adil terhadap kedua kelompok tersebut.[13]
Selama kiprahnya di Timur Tengah, Salahuddin tidak pernah mendirikan sebuah kerajaan yang terpusat. Sistem yang ia dirikan adalah kepemilikan turun temurun yang ia bagi-bagi kepada kerabat-kerabatnya, sehingga mereka mengendalikan wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya.[14]
Pusat pemerintahan Ayyubiyah dari masa pemerintahan Salahuddin pada dasawarsa 1170-an hingga akhir masa pemerintahan al Malik al-Adil pada tahun 1218 terletak di kota Damaskus. Kota tersebut lebih strategis dalam upaya untuk mengalahkan tentara Salib, dan juga memungkinkan sultan mengawasi bawahan-bawahannya yang cukup ambisius di Syam dan al-Jazira. Kairo terlalu jauh untuk dijadikan pangkalan operasi, tetapi kota tersebut merupakan landasan ekonomi Dinasti Ayyubiyah. Maka dari itu, kota ini merupakan wilayah yang sangat penting. Dengan demikian terlihat jelas, bahwa berdirinya Dinasti ini merupakan sebuah upaya mempersatukan negeri-negeri Islam dalam satu isu melawan tentara Salib, lebih dari sekadar menyatukan wilayah kekuasaan politik.

Daftar Sultan Dinasti Ayyubiyah[15]
No.
:
Nama Sultan
:
Masa Pemerintahan





1
:
Salahuddin Ayyubi
:
1174–1193
2
:
Al-Aziz ibn Salahuddin
:
1193–1198
3
:
Al-Mansur ibn al-Aziz
:
1198–1200
4
:
Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub
:
1200–1218
5
:
Al-Kamil
:
1218–1238
6
:
Al-Adil II
:
1238–1240
7
:
Malik Al-Shalih Ayyub
:
1240–1249
8
:
Mu’azzam Turansyah ibn al Shalih
:
1249
9
:
Syajarah al Dur (istri Malik al Shalih)
:
1249
10
:
Al-Asyraf ibn Yusuf
:
1250–1254





Daftar Amir di bawah Dinasti Ayyubiyah
Kota
:
Tahun
:
Nama Amir





Damaskus
(Pusat Pemerintahan)
:
1174–1260
:
Salahuddin, al Afdal, al-Adil, al-Mu'azzam, Isa an-Nasir, Dawud al-Ashraf, Musa as-Salih, Ismail as-Salih, Ayyub al-Muazzam Turanshah, an-Nasir Yusuf
Aleppo
:
1177–1260
:
Az-Zahir Ghazi, al-Aziz Muhammad, Dayfa Khatun (bupati), an-Nasir Yusuf
Homs
:
1175–1262
:
Asad ad-Din Shirkuh, Muhammad ibn Shirkuh, al-Mujahid, al-Mansur Ibrahim, al-Ashraf Musa
Hamma
:
1175–1341
:
Al-Muzaffar Umar, al-Mansur Muhammad I, Nasir Kilij-Arslan, al-Muzaffar Mahmud, al-Mansur Muhammad II, al-Muzaffar Mahmud II, al-Mu'ayyad Abu al-Fida, al-Afdal Muhammad
Jazira
:
1180–1260
:
Al-Awhad Ayyub, al-Ashraf Musa, al-Muzaffar Ghazi, al-Kamil Muhammad
Yaman
:
1173–1228
:
Turan-Shah,Tughtakin ibn Ayyub, al-Mu'izz Ismail, an-Nasir Ayyub, Muzaffar Sulayman, Mas'ud Yusuf
Baalbek
:
1175–1260
:
Ibn al-Muqaddam, Turan-Shah, Farrukhshah, Bahramshah, Al-Ashraf Musa, as-Salih Ismail, as-Salih Ayyub, Saʿd al-Din al-Humaidi, an-Nasir Yusuf



Peradaban Islam pada masa Dinasti Ayyubiyah
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah diisi dengan kesibukan konsolidasi negeri-negeri Islam yang yang terpecah-pecah. Masa ini dikenal dengan masa masa disintegrasi. Masa disintegrasi berlangsung antara tahun 1000-1250 M.[16] Penyebabnya antara lain pertama, luasnya wilayah Islam tidak sebanding dengan kemampuan khalifah Abbasiyah dalam mengelolanya. Kedua, persaingan antar bangsa membuat kesatuan politik dalam ikatan daulah Islam terganggu, Ketiga, di daerah-daerah Islam muncul tokoh-tokoh kuat yang memperoleh dukungan kuat dari masyarakatnya. Hal ini mendorong mereka untuk melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Keempat, meskipun terlihat lemah, namun patut dipertimbangkan, yaitu khalifah Abbasiyah sejak periode al Ma’mun (786-833 M) lebih senang mengembangkan peradaban dibanding mengembangkan sistem politik ketatanegaraan dan pembinaan wilayah.[17]
Terkait dengan wilayah ini, agaknya benar apa yang ditulis William Muir, bahwa dalam kenyataannya banyak daerah-daerah yang tidak benar-benar dikuasai oleh khlaifah.[18] Mungkin saja, ketundukan penduduk wilayah-wilayah tersebut kepada khalifah disebabkan kesatuan agama dan mungkin saja doktrin keagamaan terkait dengan status khalifah sebagai pemimpin umat Islam (amir al mukminin), bukan sebagai pemimpin negara (amir al daulah).
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Dinasti Ayyubiyah berkuasa dan mengembangkan peradaban Islam. Di tengah keadaan yang sulit tersebut, Dinasti Ayyubiah sempat mencapai masa keemasannya. Selain sosok Salahuddin al Ayyubi, Para penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki perhatian yang sangat besar dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Tak heran jika kota-kota Islam yang dikuasai Ayyubiyah menjadi pusat pengembangan peradaban dunia pada masanya. Beberapa kemajuan yang dapat dituliskan antara lain sebagai berikut:

1.    Bidang Politik
Puncak kegemilangan politik Dinasti Ayyubiyah adalah ketika Salahuddin al Ayyubi mengambil alih Yerusalem dari pasukan Salib pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Wilayah ini dapat dipertahankan terus hingga akhir abad ke-13. Keberhasilan ini melanjutkan tradis kemenangan atas pasukan Salib yang telah diperoleh sebelumnya oleh pendahulu sekaligus tempat mengabdi Salahuddin sebelum menjadi Sultan. Imadudin Zangi (Zanki) Amir Mosul dan Aleppo pada tahun 1144 juga berhasil memukul pasukan Salib dari Armenia.
Selain itu, beberapa kota penting seperti Aleppo, Suriah, Mesir dan Palestina berhasil ia satukan dalam penguasaan Dinasti Ayyubiyah. Kota-kota ini berkembang menjadi basis perlawananan melawan tentara Salib. Selain itu, kota-kota tersebut juga dibangun menjadi pusat-pusat terpenting pengembangan ilmu dan peradaban Islam.
Sistem politik ketatanegaraan Dinasti Ayyubiyah tidak berupa kerajaan yang terpusat. Sultan sebagai sebutan penguasa dinasti ini hanya   mengendalikan wilayah-wilayah semiotonom. Meskipun para amir di Dinasti Ayyubiyah setia kepada sultan, mereka memiliki kebebasan tersendiri di wilayahnya.[19]
Penguasa Dinasti Ayyubiyah memiliki hubungan yang erat dengan penguasa Bani Fathimiyah (Syi’ah-Mesir), Dinasti Zanki (Sunni-Seljuk) dan Bani Abbasiyah (Sunni-Baghdad). Kedekatan hubungan ini membuat Dinasti Ayyubiyah dapat disebut pemersatu dunia Islam pada masa disintegrasi. Bahkan, dari segi politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam yang semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.[20]

2.    Bidang Keagamaan
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Salahuddin di awal pemerintahnanya adalah menetapkan mazhab Sunni sebagai mazhab resmi negara menggantikan mazhab Syi’ah Ismailiyah yang sebelumnya dianut oleh Bani Fathimiyah. beberapa alasan mengganti mazhab Syi’ah Islamailiyah menjadi mazhab Sunni adalah secara faktual syi’ah bukanlah mazhab yang dianut oleh mayoritas rakyat Mesir. Selama pemerintahan Bani Fathimiyah yang muncul justru sikap dualisme rakyat mesir terhadap mazhab syia’h yang dianut oleh penguasa.[21] Sementara, di tubuh dinasti Fathimiyah sendiri Syi’ah Ismailiyah mengalami konflik internal yang tak kunjung usai sejak perempat pertama abad ke-12. Dua kelompok Syi’ah Ismailiyah di bawah putra al Mustanshir yaitu Nizar (ekstrim) dan al Musta’li (moderat) saling bertikai. Praktis, ketika khalifah dijabat oleh al Musta’li yang moderat, gelora Syi’ah sudah mulai luntur.[22] Sebab lainnya adalah perlawanan dari pendukung Dinasti Fathimiyah. Tercatat beberapa perlawanan yang membuat Syi’ah Ismailiyah tidak mendapat tempat dalam kebijakan keagamaan dinasti Ayyubiyah, di antaranya pemberontakan pendukung Fathimiyah di Sudan yang berkekuatan 50.000 tentara. Pemberontakan ini baru berhasil dipadamkan oleh al Malik al ‘Adil saudara Salahuddin pada tahun 1174 M. Berikutnya pemberontakan yang dipimpin oleh Imarah al Yamani, yang berhasil dipadamkan pada 1173 M.  
Sekilas, kebijakan ini terlihat pro Sunni dan mewakili pribadi Shalahudin yang notabene pengikut Sunni. Namun, kebijakan ini justru penting karena faktanya muslim Mesir justru hidup dalam dualisme mazhab yang pada taraf tertentu membawa kepada sikap talfiq[23] yang justru ditolak oleh mayoritas penganut Sunni. Implementasi kebijakan ini semakin jelas terlihat ketika ia Qadhi yang bermazhab Syi’ah menjadi Sunni dan mendirikan madrasah yang mengajarkan fikih Syafi’i seperti Madrasah Nasriyah, Qamhiyah, Suyufiyah dan Salahiyah di Yerusalem dan Damaskus.[24]
Sementara dalam bidang hubungan antar agama, Salahuddin dan para penerusnya menempatkan diri menjadi pelindung bagi umat Nasrani dan Yahudi, terutama di Yerusalem atau Baitul Maqdis, lokasi yang menjadi sumber persaingan selama Perang Salib. Pada tahun 1192, Salahuddin dan Richard I, Raja Inggris yang bergelar si Hati Singa (Lion Heart) membuat perjanjian, bahwa kaum muslimin tetap akan memiliki Yerusalem, namun orang Islam akan melindungi tempat ibadah orang Kristen, membiarkan orang Kristen hidup di kota itu menjalankan iman mereka tanpa gangguan dan membiarkan para peziarah Kristen datang dan pergi sesuka mereka.[25] Perjanjian ini menjadi dasar kebijakannya dalam bidang hubungan antar agama. Kebijakan inilah yang membuat Yerusalem dalam waktu yang lama berada dalam kekuasaan umat Islam, hingga perang dunia I (1914).

3.    Ilmu Pengetahuan
Para penguasa Ayyubiyah merupakan orang-orang yang terdidik dan mereka mendukung kegiatan belajar mengajar. Madrasah-madrasah dibangun di wilayah Ayyubiyah tidak hanya untuk mendidik siswa, tetapi juga untuk menyebarkan agama Islam Sunni. Kota Damaskus pada masa pemerintahan Salahuddin memiliki 20 madrasah, 100 tempat pemandian, serta biara-biara darwis Sufi dalam jumlah yang besar. Ia juga membangun madrasah-madrasah di Aleppo, Yerusalem, Kairo, Iskandariyah, dan berbagai kota di Hijaz. Banyak pula madrasah yang dibangun oleh para penerusnya. Bahkan istri para penguasa Ayyubiyah, para panglima, dan para bangsawan juga ikut mendirikan dan mendanai sejumlah lembaga pendidikan.[26]
Meskipun para penguasa Ayyubiyah mengikuti mazhab Syafi'i, mereka juga membangun madrasah-madrasah untuk keempat mazhab Sunni. Sebelum Bani Ayyubiyah berkuasa, tidak ada madrasah yang beraliran Hanbali dan Maliki di Syam, tetapi Bani Ayyubiyah kemudian mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk mazhab-mazhab tersebut. Pada pertengahan abad ke-13, Ibnu Syaddad mendirikan 40 madrasah Syafi'i, 34 madrasah Hanafi, 10 madrasah Hanbali, dan tiga madrasah Maliki di Damaskus.[27]


4.    Kebudayaan
Meskipun Dinasti Ayyubiyah berbangsa Kurdi, namun para penguasa Ayyubiyah yang memerintah pada abad ke-12 sudah jauh dari budaya Kurdi, tidak seperti para pendahulu mereka di Seljuk dan para penerus mereka di Mamluk, para penguasa Ayyubiyah telah "terarabisasi". Bahasa dan budaya Arab menjadi unsur utama dalam jati diri mereka alih-alih bahasa dan budaya Kurdi.[28] Mereka sendiri sudah cukup terasimilasi ke dalam budaya Arab sebelum mereka mulai berkuasa, dan marga-marga Arab pun jauh lebih lazim daripada marga-marga non Arab di kalangan penguasa Bani Ayyubiyah. Salah satu sumbangan terpenting Dinasti Ayyubiyah adalah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa tutur bangsa Mesir. Kebanyakan orang Mesir menuturkan bahasa Arab pada masa Dinasti Ayyubiyah.[29]

5.    Arsitektur
Bangunan dan arsitektur merupakan salah satu sumber sejarah yang penting. Di antara bangunan arsitektur yang dapat dijadikan sumber sejarah kejayaan dinansty Ayyubiyah antara lain:
-          Tembok Kota Aleppo yang dibangun Sultan Az-Zahir Ghazi pada tahun 1183. Tembo kota tergolong arsitektur militer. Pembangunan ini telah mengubah wajah kota Aleppo secara total.[30]
-          Menara Masjid Agung Aleppo yang dibangun oleh Sultan Az-Zahir Ghazi pada 1214 M. Bangunan menara menjulang ke langit, terdiri atas lima tingkat dengan puncak mahkota yang dikelilingi oleh beranda. Menara banyak dihiasi berbagai ornamen. Dalam ilmu arsitektur menara ini digolongkan kepada arsitektur keagamaan.
-          Tembok Ayyubiyah di Kairo yang ditemukan selama pembangunan Taman Al-Azhar, Januari 2006.[31]
-          Madrasah Al-Firdaus didirikan pada tahun 1236 di kota Aleppo dengan dukungan dari Dhaifa Khatun. Madrasah ini merupakan bukti peran wanita yang menjadi pendukung proyek-proyek arsitektur keagamaan di masa Ayyubiyah.[32]
Akhir Dinasti Ayyubiyah
Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya perselisiah di kalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena kebangkitan Dinasti Mamluk yang menyebabkan terbunuhnya Sultan al Ma’azzam Turansyah (1250 M) serta serangan bangsa Mongol.

Penutup
Kehadiran Ayyubiyah dalam sejarah Islam telah menyelamatkan dunia Islam dari kebangkrutan kekuasaan dan peradaban selama berlangsungnya Perang Salib dan dalam keadaan melemahnya kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, dari segi politik Dinasti Ayyubiyah dapat mengisi tugas sebagai simbol pemersatu dunia Islam yang semestinya pada waktu itu harus diemban oleh Daulah Bani Abbasiyah.
























Daftar Pustaka

Ali, Abdul, Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the Later Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996
Ansary, Tamim, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Serambi, 2018
Daly, M.W.; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic Egypt, 640-1517, M.D. Publications: 1998.
Maalouf, Amin, The Crusades Through Arab Eyes, 1985; Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
Goldschmidt,  Arthur, A Brief History of Egypt, New York: Infobase Publishing, 2008.
Mackenzie, D.N., The Origin of Kurdish, Transactions of Philological Society, 1961.
Muir, Sir William, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975
Rofiq, Ahmad Choirul, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta: DIVA Press, 2019
Shalabi, Ali Muhammad al-, Shalah al Din al Ayyubiya Juhuduhu fi al Qadha ‘ala al Daulah al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut: Dar al Ma’arif, 2008.
___________________, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2013.
Tabbaa, Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Penn State Press, 1977
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006.

Jurnal
R. Stephen Humphreys, Women as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid Damascus, Muqarnas, Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208

Ensiklopedia
Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online 2001
Meri, Josef W.; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An Encyclopedia, Taylor and Francis, 2006.
Humphreys, Stephen, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987
Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.







[1] Disampaikan pada Diklat Teknis Substantif Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MTs Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi dan kepulauan Riau, Rabu, 22 Januari 2020 di Balai Diklat Keagamaan Padang
[2] Muhammad Nasir, Lektor dalam Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Imam Bonjol Padang.
[3] D.N. Mackenzie, The Origin of Kurdish, Transactions of Philological Society, 1961, h. 68–86
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Utama, 2006, h.66
[5] Ensiklopedia Iranica, Ghurids, Edmund Bosworth, Edisi Online 2001
[6] Stephen Humphreys, Ayyubids, Encyclopedia Iranica, 1987
[7] Ali Muhammad al Shalabi, Shalah al Din al Ayyubiwa Juhuduhu fi al Qadha ‘ala al Daulah al Fathimiyyah wa Tahrir al Bait al Maqdis, Beirut: Dar al Ma’arif, 2008, h. 229
[8] Salahuddin al Ayyubi hidup di antara dua kekhalifahan Islam, yaitu Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan Khalifah Fatimiyah di Mesir.
[9] Dinasti Zanki adalah sebutan untuk keluarga Imaduddin Zanki, Gubernur Dinasti Seljuk untuk daerah Mosul Irak. Imaduddin Zanki (Zangi) dalam jabatannya sebagai gubernur juga bertugas sebagai panglima (atabeq) perang Dinasti Seljuk yang berkuasa di Aleppo (Suriah).
[10] Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin Zengi (1118 –1174 M), menguasai Suriah dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Ia bercita-cita untuk menyatukan pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukannya melawan berbagai macam pasukan lain termasuk tentara Salib. Amin Maalouf, The Crusades Through Arab Eyes, 1985; Carole Hillenbrand, Perang Salib Sudut Pandang Islam, Jakarta: Serambi, 2005
[11] Ahmad Choirul Rofiq, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, Yogyakarta: DIVA Press, 261
[12] Carole Hillenbrand, Op.cit.
[13] M.W. Daly,; Carl F. Petry, The Cambridge History of Egypt: Islamic Egypt, 640-1517, M.D. Publications: 1998, h.226
[14] Josef W Meri; Jeri L. Bacharach, Medieval Islamic civilization: An Encyclopedia, Taylor and Francis, 2006. h. 86
[15] Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Meia, 2004), h. 146
[16] Badri Yatim., Op.Cit., h. 61
[17] Ibid., h. 62-64
[18] Sir William Muir, The Caliphate, New York: Ams.Inc., 1975, h.432
[19] Josef W Meri, dkk. Op.Cit.
[20] Mungkin inilah satu wacana yang perlu didiskusikan lebih serius!
[21] Ali Muhammad al Shalabi, Shalahuddin al Ayyubi, Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis, Terj. Muslich Taman dan Ahmad Tarmudzi, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2013, h.376
[22] Syafiq A. Mughni, Perpecahan Kekuasaan Islam, Tim Penyusun Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, h.136
[23] Talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih
[24] Syafiq A. Mughni, Ibid, h.137
[25] Tamim Ansary, Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Serambi, 2018, h. 247
[26] Abdul Ali, Islamic Dynasties of the Arab East: State and Civilization During the Later Medieval Times, Delhi: M.D. Publications Pvt. Ltd., 1996, h. 38
[27] Ibid., h.39
[28] Tabbaa, Yasser, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Penn State Press, 1977, h. 31
[29] Arthur Goldschmidt,  A Brief History of Egypt, New York: Infobase Publishing, 2008, h. 48
[30] Yasser, Tabbaa, Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo, Pennsylvania: Penn State Press, 1997. h. 31
[31] Belum banyak informasi tentang tembok ini. Reka gambar dapat dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Ayyubid_Wall_Al-Azhar_Park_Cairo_01-2006.jpg, diakses 19/01/2020
[32] R. Stephen Humphreys, Women as Patrons of Religious Architecture in Ayyubid Damascus, Muqarnas, Vol.11,1994, h. 35–54, DOI: 10.2307/1523208

No comments: