Pagi-pagi sekali, kabut asap sudah menyungkup kota. Memeluk erat-erat warga agar tetap bertahan dalam kemalasan. Berdiam dalam rumah dan bilik pribadi sekiranya lebih aman dari pada menghisap jerebu yang menyesakkan dada. Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, kata orang ahli.
Engku Emir el Majanin sepagi itu sudah bersiap-siap. Memilih baju paling pantas untuk berpikir santuy. Setelan sarung asli negeri Wakanda, baju kaos polos dan kemeja lengan pendek yang semua kancingnya sengaja dibuka.
“Ini sekadar menutupi bahwa aku ini orang gila,” batin Engku Majanin.
Setelah berkaca sepuasnya, Engku Majanin tersenyum tipis. Semakin lama gila, ia merasa semakin bersih dan cemerlang. Ia kemudian berjalan ke teras dan duduk menatap bukit yang berselendang kabut.
“Gawat Engku, semalam ada lagi orang gila yang masuk!” kata seorang pria kepada Engku Majanin.
Engku Majanin menoleh sesaat kepada orang itu. Usai tersenyum tipis ia hanya menjawab, “Apakah yang engkau cemaskan? Bukankan ini adalah tempat bagi orang-orang gila?”
“Benar Engku, aku baru sadar bahwa ini adalah rumah sakit jiwa,” jawab pria itu sambil terkekeh.
“Engkau macam tak tahu saja. Orang yang baru gila biasanya memang begitu. Belagak, merasa sok paten, petantang petenteng. Aku yang sudah lama gila, biasa-biasa saja kok,” kata Engku Majanin
“Iya pula engku. Agaknya, orang baru kaya, baru berkuasa, baru berilmu dan baru beragama juga begitu. Merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling takwa. Hahaha…”
“Husy…kemana pula perginya itu. Marah mereka nanti,” balas Engku Majanin.
“Tapi benar juga katamu, merasa paling gila itu memang meresahkan. Begitu juga merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling beragama.” Engku Majanin sepertinya sepakat dengan pendapat pria itu.
“Sepertinya engku, saya dapat membuat kesimpulan, bahwa kata kunci kegilaan itu adalah “merasa paling” dan “perbuatan meresahkan,” benar begitu engku?” pria itu meminta pendapat Engku Majanin.
“Terserah kau lah, buyung. Aku mau minum obat dulu!” jawab Engku Majanin seadanya.
Anda yang merasa waras pasti bisa bayangkan bagaimana suasana yang terbangun dalam percakapan itu. Bagaimana setting tempat yang pas dan apa properti yang tersedia di area teras percakapan itu. Bagi anda yang ingin membuat film pendek, bisa menggambarkan percakapan itu sifilmis mungkin.
***
Keesokan paginya pria itu kembali datang ke teras Engku Majanin. Ia bercerita bahwa orang itu membuat keributan. Semalaman ia tidak tidur, hingga membuat petugas jaga malam itu kesal dan tak bisa bertugas dengan nyaman seperti biasanya. Engku Majanin merespon seperti biasa, tenang dan berwibawa.
Setengah bergumam ia membuat pernyataan, “Pada dasarnya, semua manusia adalah orang gila. Tinggal menunggu waktu, kapan ia menunjukkan perangai gilanya.”
Engku Majanin kemudian mengajak orang itu diskusi. “Mari duduk dekatku!” katanya kepada pria itu.
“Mengapa kamu ada di sini?” tanya Engku Majanin kepada pria itu.
“Karena aku gila, engku!” jawab pria itu.
“Baguslah, kau tahu itu! Tetapi apakah engkau mengaku gila?” tanya engku Majanin lagi.
Pria itu berpikir sejenak. Lama sekali dia menjawab. Belum sepatahpun kata yang terlontar di mulutnya.
“Apa yang engkau pikirkan? Apakah patut orang gila sepertimu berpikir? Tak akan ada orang yang percaya, buyung! Kata Engku Majanin.
“Benar juga Engku. Tapi aku tak habis pikir…”
Belum selesai pria itu bercerita, engku Majanin langsung menyela;
“Karena tak habis-habisnya berpikir engkau menjadi gila, buyung! Pungkas Engku Majanin.
“Sulit bagiku, membenarkan atau membantah pendapat engku. Ini membuatku gila!” jawab pria itu.
“Nah, itu dia. Kau mengakuinya sendiri. Apakah kau masih bertanya-tanya mengapa engkau masuk ke rumah sakit jiwa ini, heh?”
“Entah lah engku! Sekarang coba engku terangkan tesis engku tadi, tentang semua orang manusia pada dasarnya gila,” kata pria itu sambil memperbaiki sikap duduknya.
“Baiklah, tetapi aku tidak begitu yakin, apakah orang segila dirimu dapat menalar jawabanku dengan baik.”
Engku kemudian menatap kabut asap yang mulai merona terkena bias mentari pagi.
“Begini buyung, ada orang gila yang menyembunyikan kegilaan dirinya. Orang-orang waras menganggapnya waras dan baik-baik saja. Ada orang gila yang menunjukkan kegilaannya. Tentu saja kegilaan menurut standar orang waras itu. Dari sini terlihat bahwa anggapan si waras tentang si gila ternyata juga bukanlah kewarasan. Orang waras menganggap diamnya orang gila bukanlah sebuah masalah dan mereka mendiamkannya. Mereka menganggap kegilaan seperti itu tidak menrusak kehidupan sosial, tidak mengganggu ketentraman hidup masyarakat banyak,” terang Engku Majanin.
“Aku berharap, aku tak paham kata engku itu,” kata pria itu memberi respon.
“Aku juga tak berharap engkau paham. Setidaknya, engkau memberi respon saja atas perkataanku, itu sudah cukup. Pertanda engkau masih hidup,” balas Engku Majanin.
Semakin siang, kabut makin terkuak. Sampai menjelang sore berkabut lagi, seolah senjak turun lebih cepat. Engku Majanin dan pria itu masih terus bercakap-cakap. Percakap yang “adem” untuk orang gila seperti mereka. Penghuni paling lama di rumah sakit jiwa itu.
***
Beberapa hari berikutnya, Engku Majanin dan pria itu kembali bercakap-cakap. Mulai dari hal-hal yang ringan sekadar penghangat suasana, hingga ke masalah-masalah rumit yang mereka sendiri sulit memecahkannya.
“Engku, pria yang baru masuk rumah sakit jiwa kemarin mulai tenang. Ia tidak lagi mengamuk, engku,” kata pria itu.
“Oh ya, baguslah. Setidaknya itu meringankan kerja para petugas jaga, dan membuatmu tak begitu risau dengan prilakunya,” respon Engku Majanin.
“Engku, jika demikian adanya, berarti kegilaan itu adalah prilaku , sebuah perspektif dan itu sangat relatif. Bukankah demikian Engku?” tanya pria itu.
Engku Majanin menghela nafas. Ia menatap pria itu dalam dalam. Memegang kedua belah pipinya dan menghujam mata pria itu dengan tatapan.
“Apa hakmu membuat kesimpulan seperti itu? Apakah orang gila sepertimu pantas melakukannya, heh?” selidik Engku Majanin.
“Entahlah Engku. Tetapi itu terpikir saja olehku, jawab pria itu.
“Buyung, kita sudah diputuskan gila secara medis. Kita ini konslet. Ibarat gitar, kita ini putus tali enamnya, sehingga suara yang keluar dari mulut kita asing dan baling. Dulu, sebelum masuk ke rumah sakit jiwa ini, kita tak dapat membedakan dunia nyata dan dunia khayal. Tidak dapat membedakan sungut dan bulu hidung. Pendeknya, pikiran waras kita menurut ahli orang jiwa mengalami distorsi berat sehingga pengendalian diri kita terganggu. Bukankah begitu?”
“Saya tidak ingat engku!”
“Ya, saya juga tidak ingat. Tetapi saya bisa menyimpulkan ini ya, di saat ini saja. Di saat saya tidak konslet. Hahaha.” Engku Majanin tertawa miring.
“Benar juga engku. Saya juga tidak ingat, apa yang saya lakukan di saat konslet, di saat miring begini,” ujar pria itu sambil menaruh jarinya di keningnya sendiri.
“Mungkin kita karena treatment para petugas medis di rumah sakit ini berhasil, buyung. Lihatlah itu, petugas jaga hari ini tersenyum ke arah kita. Ia terlihat cukup bahagia. Bahwa, tidak kumatnya kegilaan kita sudah cukup membuat program rumah sakit ini dianggap berhasil. Hingga rumah sakit jiwa ini dipilih sebagai rumah sakit jiwa dengan layanan terbaik di Wakanda,” terang Engku Majanin
“Benar, engku. Setidaknya, beberapa waktu belakangan, saya diperlakukan dengan baik,” jawab pria itu.
“Tetapi buyung, lihatlah banner yang terpampang di dinding rumah sakit ini. Mereka tidak sadar bahwa segila apapun kita, kita masih dapat membaca dengan baik. Syukur saja istilah 'orang gila' sudah tidak boleh lagi digunakan untuk menyebut pasien gangguan jiwa seperti kita. Mereka menyebut kita dengan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) atau orang dengan gangguan mental (ODGM) atau orang dengan skizofrenia (ODGS),” kata Engku Majanin seraya menatap banner itu dengan tajam.
“Benar engku. Tetapi, sepertinya engku sudah sembuh dari kegilaan. Mengapa tidak minta keluar saja dari rumah sakit ini?” tukas pria itu.
“Itulah masalahnya. Menurutmu aku memang sudah waras. tetapi apakah orang di luar sana percaya, bahagia atau malah was-was? Lalu mereka ikut tertekan secara mental?” terang Engku Majanin.
“Hmm,” pria itu hanya bergumam.
“Di luar aku bisa jadi gila lagi. Orang-orang memperlakukanku dengan aneh, bersikap baik agar gilaku tidak kumat. Syukurlah kalau begitu. Bagaimana kalau ada yang mengolok-olokku atau membuat body shaming atau ekspresi yang merendahkanku, bagaimana coba?” kata Engku Majanin.
"Setidaknya dengan cara seperti ini, hidupku lebih tenang. Apakah aku benar-benar gila atau benar-benar waras, itu tidak lagi aku pedulikan. Selagi Negeri Wakanda masih mempedulikan orang gila, memberi makan, memberi perawatan yang layak, itu sudah memenuhi sebagai negeri yang waras. Hahaha..." lanjut Engku Majanin.
“Hmm, Engku bermimpi rupanya. Saya baru paham, ternyata itulah yang membuat engku menjadi gila. Apakah engku dulunya seorang aktivis, caleg, atau calon bupati gagal? Hahaha...” kata pria itu sambil mengurai tawa.
“Terserah kaulah, buyung. Aku hanya merisaukan orang yang serius menyimak percakapan kita ini. Hahaha…” Keduanya tertawa bahagia. Petugas yang berada tak jauh dari mereka menoleh dan ikut tersenyum bahagia [*]
------------
Tugas: wahai orang waras, apa yang dapat anda simpulkan dari cerita ini?
No comments:
Post a Comment