Urang Siak: Tak Sekadar Santri
Muhammad Nasir
Sebutan
Urang Siak masih dikenal dan masih
sering digunakan oleh masyarakat Minangkabau. Sebutan itu orisinil milik
penutur asli bahasa Minangkabau, digunakan untuk menyebut sosok elit
agama di tengah masyarakat, atau untuk menyebut
orang-orang yang terhubung dengan tugas-tugas peribadatan dan upacara adat
serta keagamaan di tengah masyarakat.
Penggunaan istilah Urang
Siak sangat bervariasi dan
memberikan maksud yang beragam pula. Masyarakat yang masih terhubung
dengan praktik kehidupan tradisional masyarakat Minangkabau di masa-masa lampau
diyakini masih terbiasa
menggunakan istilah ini.
Menurut
teori linguistik, kosa kata yang dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi
menunjukkan adanya benda atau aktivitas khusus yang masih berlangsung. Artinya,
istilah Urang Siak yang masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau
menunjukkan dinamika sosial yang melibatkan peran Urang Siak masih ada
dan dialami langsung oleh penuturnya.
Namun tetap
perbedaan variasi dalam penyebutan Urang Siak. Di zaman Ojek Online
(ojol) ini, variasi penyebutan disebabkan adanya penurunan frekwensi kegiatan
sosial dan interaksi sosial yang melibatkan Urang Siak itu. Dari segi usia
penutur, istilah buya dan ustadz yang digunakan untuk menyebut Urang Siak dapat
dipastikan adalah generasi
termuda yang mulai terpengaruh dengan unsur peubah tradisi dari luar.
Siapa Mengapa
Urang Siak
Sepertinya sudah ada kesepakatan
akademis di kalangan penulis bahwa Urang Siak adalah Santri atau murid-murid
sekolah agama. Jejak kesepakatan itu dapat dilihat dalam karya-karya para
penulis, sarjana dan peneliti yang menulis tentang Minangkabau. Berikut akan
ditampilkan beberapa kutipan literature yang menyinggung tentang Urang Siak
Para penulis dan sarjana
peneliti dalam tulisannya sering menggunakan istilah Urang Siak untuk menyebut
santri. Misalnya, Jeffrey Hadler dalam bukunya, Sengketa Tiada Putus (2008) beberapa kali menulis kata
orang siak dengan pengertian yang berbeda. Berikut di antara kutipannya:
Pada sore hari, Djoeir belajar di cabang
Sumatra Thawalib yang dikelola Syekh Ibrahim Musa, di Parabek. Di sana dia
bertemu dengan Adam Malik (ketika itu dia yang kemudian menjadi menteri luar
negeri dan wakil presiden itu adalah orang siak, santri miskin dan
seringkali berkelana yang juga menerima sedekah) dan sejumlah kecil
pemimpin-pemimpin nasional yang masih muda.
Djoeir yang dimaksud di atas
Djoeir
Moehamad (lahir 1916), tokoh pergerakan nasional,
seorang sosialis rekan Sutan Sjahrir. Orang siak langsung dia
sandingkan dengan kata santri sebagai makna penjelas.
Dalam buku yang sama Hadler juga menyebutkan
bahwa Urang Siak juga
berarti Alim Ulama. Informasi
ini ia dapatkan dari tulisan Soetan Sarit, “Dari hal orang kawin di Kota
Gedang”, schoolschriften di Portefeuille 1197. Sutan Sarit adalah guru bantu di Sekolah Pribumi di Bukittinggi,
sebagai berikut:
Pada sendja lepas berarak jang
terseboet tadi, maka marapoelai poelang karoemah iboenja; maka tatkala ia akan
kombali poelang karoemah isterinja, laloe diberikan oleh saorang2 jang sabelah
iboenja 3 bantoek tjintjin emas, jaitoe 1 tjintjin kelingking, 1 tjintjin djari
manis dan 1 tjintjin toendjoek; dan kepeng ƒ10, soedah itoe
didjarikannja akan pergoenaan tjintjin dan kepeng jang terseboet itoe. Satelah
soedah diterimanja akan adjaran itoe maka iapoen poelanglah karoemah isterinja,
serta doedoek ber-sama2 orang siak
[alim ulama] jang terseboet diatas tadi. Tatkala sagala siak itoe soedah
pergi, maka iapoen tinggal doedoek saorang dirinja, atau ditemani oleh
pasamandan2
Hamka termasuk penulis yang
banyak menyinggung kata Urang Siak dalam karyanya. Ia menulis dengan varian Orang
Siak. Dalam bukunya Ayahku, Jakarta, Uminda, 1982 dalam catatan
kaki tulisannya mendefinisikan Orang Siak sebagai istilah Minangkabau untuk
menyebut santri. Berikut petikanya:
Kabarnya konon maka kaum santri di
Minangkabau disebut orang, Siak, sebab penuntut-penuntut ilmu agama banyak
datang dan Siak, dan kata setengahnya pula orang-orang dari Siaklah yang menyebarkan Agama Islam di Minangkabau di zaman
dahulu.
Hamka juga menulis aktivitas
Urang Siak, terutama kedekatan interaksi personal dengan guru:
Kalau beliau pergi memenuhi wiridnya ke
nagari-nagari tempatnya mengajar, misalnya ke Sungai Landir akan terus ke Koto
Tuo dan Koto Gadang melalui nagari Ranah terus ke Banuhampu dan Kapas Panji ke
rumah anak istrinya yang di sana, tidaklah beliau menjejak di tanah. Dibuatkan orang beliau
tandu atau kursi diberi penutup dan dipikul oleh empat orang siak.
Beberapa Lebai mengiringkan di belakang membawa kitab-kitab dan peti beliau,
sambung bersambung daripada satu nagari ke nagari yang lain. Kadang-kadang beliau
sendiri pun lebih suka naik kuda.
Tentang
posisi sosial Urang
Siak di tengah masyarakat, Hamka juga menulis:
Kehidupan yang tetap dari
ninik-mamak tidak ada. Kalau sawah
anak kemenakannya luas,
mendapatlah dia padi abuan, tetapi
kalau anak buahnya miskin,
sengsara hidup jadi ninik
mamak,sehingga perbelanjaan hanya diharapkan dari potongan komisi pungutan belasting
(pajak). Ninik-mamak yang cerdik dan ditakuti oleh anak-buahnya, kadang-kadang
mengambil kesempatan mencari belanja dari kebodohan anak-buahnya. Dianjurkannya anak-buahnya
menggadaikan hari tua, dan dia mendapat komisi dari penggadaian itu. Lantaran
itu maka kedudukan "orang siak" lebih baik dari kedudukan
ninik-mamak dan lebih dihormati orang. Sehingga pergantungan seorang ninikmamak tidak lagi ke
bawah, melainkan ke atas. Kepada Tuanku Laras, kepada Engku Kepala dan ke
"arah hilir", yaitu ke Maninjau, tempat kedudukan Tuanku Kumendur
(Controleur).
Mochtar Naim Penulis
Buku Merantau, Pola Migrasi
Suku Minangkabau (1984) menawarkan
pendapat yang berbeda. Ia juga menyebutkan Urang
Siak adalah suatu sebutan untuk satu jenis perantau.
Tipe lain dari merantau yang
dikenal di antara orang Aceh ialah yang dinamakan "meudagang" tapi
tipe ini khusus dimaksudkan bagi anak muda yang mencari pengetahuan agama yang
pergi dari satu meunasah (madrasah) ke 'meunasah lainnya untuk mempersiapkan
diri menjudi ulama. Dalam banyak hal, hal ini sama dengan cara kehidupan 'urang
siak" di Minangkabau dan santri di Jawa. Merantau mereka biasanya hanya
terbatas di sekitar kampung mereka dan jarang yang keluar dari Aceh.
Beberapa sumber tertulis di
atas sudah memberikan gambaran definitif tentang siapa Urang Siak dan
bagaimana gambaran tugasnya dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau.
Informasi di atas cukup membantu untuk menjelaskan eksistensinya di tengah
masyarakat Minangkabau.
Urang Siak ternyata
lebih dari sekadar santri (pelajar agama), tapi juga berlanjut sebagai sebutan
untuk ulama bahkan sebagai persona pelaksana tugas-tugas keagamaan di
masyarakat.
Jadi ingat hashtag #PernahNyantri atau
#BanggaPernahJadiSantri. Jika dulu ia jadi santri, sekarang jadi apa?
No comments:
Post a Comment