Oleh Muhammad Nasir
muhammadnasir@uinib.ac.id
Foto: Wikipedia |
Tradisi Tubo-Manubo (Bahasa Indonesia: tuba, racun) jika dikaji-kaji menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah kajian tentang Warisan Budaya Tak Benda (the Intangible Cultural Heritage) Minangkabau. Apakah itu terkait pengetahuan tradisional, kearifan local, pengobatan tradisional, perilaku mistik tradisional dan lain-lain.
Tujuannya tentu saja bukan untuk melestarikan kebiasaan menubo orang, tapi mencatat budaya yang [pernah] hidup di masyarakat. Budaya yang terkait dengan pengetahuan, kebiasaan dan perilaku mengenai alam semesta. Soal tubo yang sebenarnya, dari segi pegamalan, membenar kita. Tak ikut serta!
Tujuannya tentu saja bukan untuk melestarikan kebiasaan menubo orang, tapi mencatat budaya yang [pernah] hidup di masyarakat. Budaya yang terkait dengan pengetahuan, kebiasaan dan perilaku mengenai alam semesta. Soal tubo yang sebenarnya, dari segi pegamalan, membenar kita. Tak ikut serta!
Tubo di luar wujud bendanya ditinjau dari segi
keilmuan merupakan lahan kajian antropologi budaya. Antropologi budaya kata
Haviland (1999) memfokuskan perhatianya kepada kebudayaan manusia ataupun cara
hidupnya dalam masyarakat. Cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi
menjadi tiga bagian, yakni arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Antropologi
budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-bentuk
ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan, kata Burke (2000).
Ada tiga cabang pokok dari kajian antropologi
budaya, yaitu arkeologi, etnologi dan linguistik.Tulisan ini akan mengambil dua
cabang saja. Mengurai tubo ini dari sisi arkeologi, etnologi dan
antropologi linguistik. Berikut uraian kue bantat-nya
Arkeologi Tubo
Sisi arkeologi, tubo akan dibincang sebagai
benda-benda fisik yang akan digunakan untuk menubo-menganiaya (meracun) sejak
zaman dahulu. Bahan dasar tubo menurut laporan penelitian M Yunis dari Universitas Andalas
(2017) sifatnya buatan dan berupa ramuan yang terdapat di alam, seperti racun
ramuan dari segala bisa, tumbuh-tumbuhan yang mengandung zat berbahaya, dan
hewan-hewan yang pada bagian tubuhnya berfungsi sebagai racun.
Proses pembuatannya
melibatkan ritus yang sulit dipahami, kevuali oleh pembuatnya. Inilah cara
mengolah tubo yang klasik dan archaic. Sekarang mungkin diolah lewat
proses laboratorium. Hasilnya mungkin arsenik atau racun sianida.
Selain fisik, tubo juga terkait dengan keterlibatan
makhluk ghaib atau makhluk hidup biasa yang ditunggang oleh makhluk
halus. Hasanadi menulis, tubo termasuk makhluk hidup yang dijaga oleh jin,
Bentuk tubo seperti kalimayia (bahasa latinnya Orphanaeus
brevilabiatus), hidup merayap di dinding dan atap.
Apa kenapa dan bagaimana bahan-bahan tersebut belum
perlu dibahas panjang lebar, kecuali untuk membawa kepada pemahaman konsep
saja. Sebab jika dibahas panjang akan muncul benda-benda pendukung lainnya,
baik sebagai media ataupun sebagai perlengkapan utama melalukan tubo.
Kajian etnografi
Dari sisi ini, pembicaraan
berputar sekitar bagaimana tubo ini hidup dalam keseharian masyarakat
Minangkabau dahulu (mungkin juga zaman sekarang). Menarik membaca laporan
penelitian Hasanadi ddk (2013), dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. Ia
meneliti tentang Tubo. Sebagaimana ditulis di awal tulisan ini, kajian
etnografi tubo fokus kepada
pengetahuan, kebiasaan dan perilaku masyarakat Minangkabau. Pembahasannya terkait
pengetahuan tradisional, kearifan lokal, pengobatan tradisional, perilaku
mistik tradisional dan lain-lain. Misalnya tentang alasan orang menubo,
bahan-bahan dasar tubo, cara pengobatan bahkan bagaimana cara bergaul dengan
orang-orang yang tertuduh, suspect pelaku tubo.
Tentang alasan, contohnya, tak sembarang kanai orang
menubo. Seseorang akan menubo bila ingin membalas kasam (dendam)
kepada orang lain. Cara pemberiannya bisa dilakukan melalui makan maupun
minuman. Orang dahulu bila dia tersinggung atau disakiti oleh seseorang, maka
ia akan selalu berusaha untuk membalas. Berbagai cara ia lakukan asalkan sakit
hatinya terbalaskan termasuk menganiaya dengan cara memberi racun/tubo. Ini
dilakukan secara secara diam-diam.
Termasuk pembahasan etnografi tubo ini saya kutip
informasi dari sumber yang lain. Menurut sumber saya itu bahwa tubo
diberikan melalui makanan, minuman yang disajikan atau melalui angin, air, api,
rambut, anak baju dan sebagainya. Tak lalu di aia, di angin kito tompangkan.
Ka Sarawa kotok anyuik pun buliah juo (melalui celana dalam bekas pun
bisa juga), kata sumber saya itu.
Karenanya, tubo dalam kajian konteks
perilaku keseharian masyarakat Minangkabau ada keyakinan masyarakat bahwa seseorang
yang tamakan tubo akan menderita penyakit, bahkan bisa mengirap ke alam
barzakh. Oleh karena itu pulalah, tubo sangat ditakuti oleh masyarakat
Minangkabau.
Tinjauan Antropologi Linguistik
Dalam konteks antropolinguistik, Tubo dikaji
secara simbolik untuk menangkap pesan atau makna dalam pergaulan sosial.
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat simbolik. Masyarakat simbolik paham
akan arti sebuah kata dan arif memaknai sebuah peristiwa. Bukan hanya orang Minangkabau
yang simbolik, masyrakat lain pun pasti begitu. Menurut Ernest Cassirer (1951),
manusia itu memang makhluk simbolik (homo symbolicum). Karena itu, tubo
mesti pula dipahami sebagai cara orang Minangkabau berkomunikasi dan bagaimana
memahami pesan dari peristiwa tubo manubo ini.
Ada sebuah cerpen menarik dari Damhuri Muhammad,
senior saya di Fakultas Adab UIN Imam Bonjol Padang berjudul Tuba (Kompas,
2006). Ini mungkin relevan dan mengurai peristiwa tubo secara
antropologis lengkap dengan data linguitiknya. Cerpen ini bercerita tentang
kematian seorang bupati. Di bagian awal cerpen ia menulis:
“Tersiar
kabar perihal bupati yang mati mendadak berselang beberapa saat setelah
meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan masjid di kecamatan
Bulukasap. Saat ditemukan, mayatnya terkapar di lantai kamar dalam keadaan
mulut berbusa, seperti korban overdosis, lidah terjulur hingga dagu dan mata
terbelalak serupa orang mati setelah gantung diri.”
Kematian tragis bupati itu diyakini masyarakat akibat tubo.
Berikut kutipannya:
“Sebenarnya,
orang-orang nagari Sungai Emas tidak perlu menunggu penjelasan polisi
menyangkut sebab-sebab kematian almarhum bupati. Percuma saja aparat hukum
mampu mengusut dan menuntaskan kasus itu. Tak bakal berhasil. Sebab, tabi’at
pembunuhan keji itu tidak kasat mata. Lagi pula, di nagari Sungai Emas, musibah
kematian macam itu sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir
semua warga sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh
secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan siapa
pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja
artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah
baru, kematian selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan.”
Namun sebagai kajian antropologi linguistik, lebih
dari sekadar mengetahui sebab fisik kematiannya, alasan mengapa ia harus mati
justru lebih penting dicermati sebagai peristiwa komunikasi simbolik dalam
masyarakat Minangkabau. Dalam cerpen ini disebutkan karena bupati itu “terlalu
jujur” atau luruih tabuang. Simaklah betapa ngehe-nya keadaan
nagari Sungai Emas kampung asal bupati itu akibat sikap luruih tabuang-nya
itu:
“Nagari
Sungai Emas tetap saja udik dan makin terbelakang. Jalur transportasi dari dan
ke Sungai Emas sulit. Jalan-jalan kampung dibiarkan saja rusak parah, tak layak
tempuh. Guru-guru tetap saja menjadi tenaga honorer, entah sampai kapan.
Anak-anak muda menganggur, tak jelas juntrungan. Judi sabung ayam menjadi
permainan undi nasib yang amat menggiurkan. Ironis! Namanya Sungai Emas,
seolah-olah ada sungai yang berlimpah-ruah kandungan emasnya”
Agak panjang rupanya pembahasan bagian ini.
Intinya, selaku komunikasi simbolik, tubo menubo adalah sebuah
bentuk komunikasi sosial juga adanya.
Pesan kekiniannya, bahwa berlaku jujur saja sudah cukup menjadi alasan bagi
anda untuk ditubo. Apalagi berperangai cingkahak.
Nah, waspadalah bapak bupati. Lihat-lihat jugalah
konstituen dan tim sukses bapak sebelum mereka menubo bapak. Ngahahaa...
No comments:
Post a Comment