18 November 2019

Babulu Baji

Oleh Muhammad Nasir 
                                                                                                                                 bakaba.co
Bulu Baji adalah ungkapan (idiom) khas Minangkabau. Pembaca yang merasa ungkapan ini ada tersua di daerah silakan acungkan tangan. Ungkapan ini merupakan gabungan kata yang membentuk arti baru dan tidak dapat ditafsirkan begitu saja sesuai kata dasarnya. Ungkapan ini dibentuk oleh kata bulu dan baji. Dua kata yang tak bersalah.

Kata bulu mungkin tak perlu diterangkan lagi. Bulu ayam, bulu domba, bulu kaki, bulu mata, bulu angsa dan bulu-bulu lainnya. Sikap orang terhadap bulu macam-macam. Ada yang suka dan ada yang alergi. Yang paling menyedihkan yaitu takut (phobia) kepada bulu, namanya pteronophobia.

Baji adalah alat bantu kerja para tukang kayu. Bentuknya sederhana, berupa potongan kayu yang diruncingkan atau dipipihkan pada bagian ujungnya. Bagian yang tipis inilah nantinya diselipkan pada bagian kayu yang akan dibelah. Jadi gunanya untuk membelah kayu, bukan untuk memotong. Pada bagian kepala baji akan berserpihan, berbulu apabila dipukul. Serpihan yang membuat orang geli dan gelinggaman. Bahkan menurut orang kesehatan, takut (phobia) pada serpihan ini ada pula nama penyakitnya.


Kedua kata ini bila disandingkan akhirnya membentuk makna baru. Bulu Baji. Maknanya menunjukkan sifat dan segala bentuk perangai atau kurenah yang melekat dengan sifat tersebut. Celakanya, maknanya justru negatif. Terkait dengan sifat tercela besertaan dengan kurenah buruk yang menjadi ciri-cirinya.

Bulu Baji!, sunggguh sebuah kosa kata archaik yang nyaris musnah ditelan zaman. Meski kata itu nyaris hilang, dapat dipastikan sifat-sifat yang identik dengan kosa kata itu masih ada dan tersedia sepanjang masa. Sekali waktu, saya pernah mendiskusikan idiom ini dengan mahasiswa. Sekadar untuk memeriksa sisa-sisa pengetahuan generasi milenial tentang khazanah Minangkabau ini. Sekadar ice breaking dan ganti tone suasana kelas yang mulai sayup.

Berikut reportase telat (late reported delay) diskusi tema ba-bulubaji ini dari ruang kelas yang besuhu hangat-hangat susu.

Bulu Baji dan perangai-perangainya

Mengawali diskusi, bertanyalah seorang mahasiswa. Apa arti kata Babulu Baji itu. Untuk mencari jawaban, saya lemparkan pertanyaan ini kepada mahasiswa yang lain sekadar screening jejak memori kolektif mereka tentang makna dan penggunaan idiom ini.

Usaha ini tidak sia-sia. Pada awalnya, hanya satu orang saja yang mengenal istilah ini dengan baik. Namun, mahasiswa yang lain meski tak bisa menjelaskan per-definitif istilah ini, namun beberapa sifat yang melekat dengan istilah ini masih dapat diidentifikasi. Berikut beberapa sifat-sifat yang berhasil dikemukakan oleh para mahasiswa era empat titik nol. Berikut saya laporkan hasil diskusi kelas tersebut:

Pertama, orang bulu baji itu adalah orang panggaletek, kata seorang mahasiswa. Menurutnya orang panggaletek itu suka mengganggu, suka usil. Apakah ia jahat? “Belum tentu ia jahat pak. Hanya saja perangainya membuat orang terganggu.”

Kedua,Cingkahak! Agak dekat dengan makna panggaletek. Namun, tabiat ini sabaleh-duobaleh (11-12) dengan panggaletek. Setidaknya, cingkahak berada pada angka sabaleh. “Hanya saja, cingkahak ini sepertinya akumulasi perangai dan tabiat buruk pak,” kata mahasiswa.

Ketiga, Kurang Aja. ”Ya, agaknya orang babulu baji itu agaknya agak mulai pada tahap kurang ajar, pak!” kata seoarang mahasiswa. Apa arti kurang aja dalam kebudayaan Minangkabau? Setelah sejamang debat bergalau, mahasiswa sepakat bahwa cingkahak semakna dengan kurang aja dalam  arti kurang adab dan kurang sopan santun. “Bukan karena tidak tahu adab pak, cuma sedikit saja adab yang terpakai dalam dirinya.” Yang lain menimpali, “Betul pak, orang kurang ajar itu memang banyak orang yang tahu lagi berilmu, namun seperti tak berbekas ilmunya dalam perangainya!”

Keempat,selain ketiga istilah di atas muncul beberapa idiom lain akibat usaha untuk mencari makna dan ciri-ciri orang bulu baji. Di antaranya, mantiko langek, cadiak buruak, kalera bacak, tambiluak, jinaha, bargad (baruak gadang alias beruk besar), Indak babanak, tidak berakal, babanak ka ampu kaki, cipeh- ongeh congeh, aka kurang muncuang cipeh  dan lain-lain. Eureka!...semua ungkapan ini dari mahasiswa generasi milenial, lho...!

Intinya, urang Babulu Baji itu, Jajok (benci) saja orang melihatnya. Apabila seseorang sudah dibenci karena perangainya, senyum, tertawa, gaya jalan, model rambutnya dan segenap kakobeh-nya terlihat menjijikkan. Baiklah. Diskusi kita sudahi.

Lalu apa pelajarannya?

Point tulisan saya ini, justru berangkat dari poin keempat di atas. Ternyata, meskipun bulu baji tak menemukan satu jawaban yang pasti, tetapi sepertinya ada kesepakatan bahwa bulu baji terkait dengan sifat, tabiat dan kurenah buruk orang-orang dalam perspektif kebudayaan Minangkabau.

Temuan ini penting, bahwa perisa makna bulu baji ternyata masih dapat dikenali dengan cepat (fast screening) oleh generasi milenial. Artinya, istilah-istilah klasik ini masih mungkin digunakan untuk memberi tanda atau cap moral terhadap orang berperang buruk.

Andaikan kuliah ini dapat disebut sebagai salah satu bentuk aplikasi pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, maka saya kira saya sudah mengaplikasikannya. Setahu saya, dulu sewaktu masih hidup dalam suasana kampung, begitulah cara orang mengajarkan moralitas dan kebudayaan kepada anak-anak muda.

Terakhir, istilah tersebut agaknya masih relevan untuk diviralkan, tentu saja agar orang-orang terhindar dari tabiat dan kurenah buruk dengan istilah dan ciri-ciri sebagai mana tersebut di atas. Jika tidak ingin disebut Babulu Baji. [*]

Tulisan ini sudah dimuat di
bakaba.co

No comments: