28 September 2009

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.1)

Oleh: Muhammad Nasir


Ramadhan adalah bulan dakwah dan pendidikan ummat. Selama satu bulan penuh syiar Islam menggema secara massal di seluruh penjuru dunia dengan berbagai ibadah pendukung dan tradisi keagamaan yang berkembang menyertainya. Salah satu tradisi yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia adalah ceramah Ramadhan.


Ceramah Ramadhan juga merupakan tradisi masyarakat muslim kota Padang dalam rangka mengisi malam Ramadhan (Qiyam Ramadhan) dengan kegiatan yang bernilai ibadah. Kegiatan itu juga ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat. Tidak heran selama pelaksanaan ibadah Ramadhan mubaligh menjadi aktor yang penting untuk dibicarakan, mengingat besarnya keterlibatan mereka dalam melaksanakan dakwah.



Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan Islam, dakwah Islam telah melihatkan eksistensinya dan diakui keberadaannya baik bagi umat Islam itu sendiri, maupun bagi umat lain. Jejak risalah dakwah itu kini diteruskan oleh para pendukung dakwah baik yang bersifat perorangan maupun organisasi, seperti, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah dan Nahdalatul Ulama (NU). Namun kewajiban dakwah itu tetap merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam (Amrullah Ahmad, 1983). Hal ini sesuai dengan firman Allah:



“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, beriman kepada Allah ...” (QS. 3:110).



“Serulah (manusia) ke jalan (agama) Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan berbantahlah (berdebatlah) dengan mereka dengan (jalan) yang terbaik” (QS. 16:125)



Jadi tugas wajib dakwah itu bukanlah terletak hanya di atas pundak para mereka pendukung dakwah saja, tetapi merupakan kewajiban seluruh umat Islam, hanya saja mereka menunaikan sesuai dengan kemampuannya. Sementara M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)



Pendukung jejak risalah dakwah itu sekarang disebut dengan mubaligh, ustadz, guru dan ada lagi sebutan lain untuk kegiatan ini, misalnya da’i, kiyai, dan ulama. Terlepas dari perbedaan nama tadi, yang penulis maksudkan adalah orang yang memberikan ceramah atau wirid secara lisan di mesjid-mesjid. Menurut pendapat penulis yang paling tepat untuk panggilan bagi pengemban tugas ini adalah mubaligh, karena nama kegiatan tersebut disebut dengan tabligh Islam.



Amrullah Ahmad (1995: 18) menjelaskan, mengajak dengan lisan dan tulisan dikenal dengan Tabligh Islam. dan bukan hanya ceramah lewat mimbar saja yang dapat dikatakan dengan tabligh Islam, karena menurut batasan yang dikemukakan oleh Amrullah tadi, kegiatan tersebut meliputi mengajak dengan cara lisan dan tulisan (cetak dan elektronik).



Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.



M. Natsir menjelaskan: syarat utama yang harus dipenuhi, ia harus bersih dan berisi, artinya hatinya bersih dan pengetahuannya lumayan. Seyogyanya hendaklah diingat bahwa akhlakul karimah juru dakwah merupakan dakwah dalam bentuk non verbal dari dakwah. Seorang da’i harus berkepribadaan, beriman, dan punya keseimbangan jiwa apalagi bila berhadapan dengan reaksi masyarakat. Sesuai dengan firman Allah:



“Alif, Lam, Shad (inilah) kitab yang diturunkan kepada kamu sekalian, maka janganlah sesak dadamu karenanya, supaya kamu dapat memberi peringatan dengannya (kepada mereka yang sesat) dan (sebagai) penyegar ingatan bagi mereka beriman” (QS 7: 1-2).



M. Natsir menambahkan, selain persiapan yang telah dikemukakan di atas, persiapan yang tidak kalah pentingnya selain persyaratan yang telah di singgung di muka persiapan ilmiah, mereka harus benar-benar tafaqquh fid diin artinya memahami benar-benar risalah yang hendak diteruskan, di samping pengetahuan modern sekarang ini.



Kemampuan berhadapan dengan massa yang heterogen juga diperlukan, karena dakwah tidak hanya disampaikan dalam ruangan atau kelas saja, tetapi berhadapan dengan ribuan massa, karena dakwah merupakan pendidikan massal. Untuk itu juru dakwah juga perlu menguasai retorika.



Sehubungan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh para mubaligh, Munir Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah “kompetensi”. Menurut Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah mubaligh ada tiga, yaitu kompetensi mubaligh, kompetensi substantif dan kompetensi metodologis.



Jadi, menjadi mubaligh itu tidak mudah, perlu mempersiapkan diri sematang mungkin, persiapan fisik dan mental, persiapan materi dan metodologis, karena permasalahan dakwah yang dihadapi semakin hari semakin komplit pula.



Melihat begitu komplitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh mubaligh, disanalah dituntut kepada umat sama-sama menyadari kewajibannya terhadap dakwah. Karena kegiatan dakwah itu tidak hanya merupakan kegiatan sesaat, tetapi merupakan kegiatan yang bersifat kontinuitas, untuk menjadikan Islam ini milik umatnya. Pada akhirnya Islam itu tidak saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetepi efek sosialnya yang dirasakan oleh orang lain.



Menurut hasil pengamatan sementara, kegiatan dakwah di Kota Padang berjalan lancar, namun belum diketahui bagaimana persepsi jemaah terhadap tugas yang dilakukan mubaligh di Kota Padang. Bagaimana persepsi jemaah mesjid terhadap tugas mubaligh, apakah akan sekedar merupakan kegiatan rutinitas, atau suatu budaya yang berkembang di Kota Padang.



Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, ada yang mengatakan bahwa mubaligh yang datang memberikan ceramah di mesjid-mesjid, merupakan tugas suci tanpa harus diberi imbalan yang sesuai oleh jemaah atau masyarakat, dan sebagian dialog di mesjid menginginkan supaya imbalannya ditingkatkan.



Pembicaraan ini akan semakin meningkat pada bulan Ramadhan, ketika para mubaligh menjadi sosok yang paling dicari untuk memenuhi jadwal pelaksanaan ceramah Ramadhan yang telah disusun oleh pengurus Masjid. Jauh hari bahkan beberapa bulan sebelum Ramadhan, para mubaligh, terutama mubaligh kondang telah di-booking oleh pengurus Masjid/ Mushalla di Kota Padang.



Problemnya, bagi Masjid/ Mushalla yang terlambat, dipastikan mendapatkan mubaligh yang mempunyai kemampuan ala kadarnya. Dalam kasus ini dianggap penting lebih jauh membaca dinamika mubaligh Ramadhan di Kota Padang mengingat kompetensi mubaligh sangat berkaitan dengan hasil atau pencapaian tujuan ceramah ramadhan yaitu meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT., memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.



Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tablig bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat.



Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

No comments: