28 September 2009

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.2)

Oleh: Muhammad Nasir


Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.

M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)

Tetapi tradisi kemubalighan ini sedikit terganggu dengan segelintir mubaligh yang melakukan tugas dengan motif-motif yang tidak sesuai dengan tujuan dakwah. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh mubaligh, tetapi juga disebabkan oleh ta’mir ramadhan yang mengutamakan popularitas di banding materi dakwah yang dibutuhkan jama’ah. Hasilnya, tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop.

Karena dakwah menjadi budaya pop, mubaligh-pun sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan mubaligh dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan “fans”. Di wajahnya tidak ada lagi aura sakral. Yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu hemat energy. Nasehat agama yang diharapkan muncul dari mulut penasehat agama itu, tak lebih hanya suara-suara indah yang dipoles dengan teknologi sound system yang canggih.

Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tabligh bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat Islam sendiri.


Penguasaan Topik

Mubaligh dapat digolongkan sebagai subkonsep elit agama Islam. Sebutan lainnya adalah da’i, ustadz, buya, kiyai dan sebagainya. Setiap sebutan sebenarnya mempunyai makna sendiri. Tetapi pada umumnya masyarakat terlanjur naïf menyamaratakan saja sebutan tersebut. Berkaitan dengan tradisi ceramah ramadhan, jika harus disamakan sebutan mubaligh merupakan sebutan yang tepat, mengingat pekerjaan tabligh yang dilakukannya.

Sebagai penyampai pesan, mubaligh menjadi unjung tombak dalam mensosialisasikan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah-masalah umat Islam baik internal maupun eksternal. Hanya saja, selama pengamatan yang dilakukan dalam rentang waktu 2008-2009 ini terkesan mubaligh justru kurang menguasai persoalan-persoalan itu sendiri.

Topik utama yang sering diungkapkan dalam ceramah ramadhan adalah tentang puasa dan pernak-perniknya, serta anjuran untuk meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tetapi topik ini tidak akan dibahas secara mendalam karena dianggap tidak bermasalah. Justru yang akan didalami adalah persoalan-persoalan umat islam baik internal maupun eksternal.

Tentang persoalan internal, dalam rentang waktu 2008-2009 ditemukan beberapa persoalan yang sering menjadi topic pembicaraan mubaligh. Di antara masalah tersebut antara lain masalah khilafiyah, masalah dalam membedakan mana yang agama dan mana yang tradisi, fenomena Islam yang benar dan yang sesat, serta membedakan isu-isu yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam seperti, tradisionalisme, modernisme, islamisme, liberalisme dan sebagainya.

Dalam masalah khilafiyah, ditemukan kelemahan dalam memahami masalah yang bersifat fiqhiyah dan tidak toleransi terhadap perbedaan cara beribadah sekalipun masih dalam konteks yang diperbolehkan.

Begitu juga sikap ceroboh dalam menyampaikan anjuran dalam beribadah sehingga umat tidak lagi dapat memahami mana-mana saja yang termasuk bagian dari agama dan bukan dari agama, mana yang sesuai syariat dan mana yang tidak.

Sementara itu, fenomena pengkafiran (takfiry) semakin menguat terutama dialamatkan kepada kelompok yang berseberangan dengan mubaligh, seperti kelompok rasionalis yang menggunakan akal fikiran (ar- ra’yu) dalam memahami agama dan kelompok masyarakat yang masih enggan terlibat dalam aktivitas dakwah di masjid dan mushalla.

Lain halnya dengan topik mengenai masalah eksternal. Nyaris seluruh ceramah yang berkaitan dengan kondisi ekternal didominasi semangat peperangan terhadap musuh-musuh Islam (sering disebut Yahudi dan Nashara), serta masalah westernisasi (terutama Amerika Serikat) dan penghancuran nilai-nilai moral pemuda Islam oleh kebudayaan barat.

Sementara topik sekitar terorisme hanya disinggung sedikit dan itupun didapati opini yang terbelah, antara yang menghujat pelaku pemboman sebagai orang Islam yang tidak benar serta opini yang mendukung pelaku pemboman dalam arti bukan teroris sebagai barisan yang dijanjikan Allah untuk melawan dominasi Barat.

Hanya saja, dari beragamnya topik yang disampaikan itu, belum terlihat kedalaman pembahasan. Ada kesan yang ditangkap, bahwa sumber-sumber yang digunakan dalam mendukung bahasan topik tersebut adalah sumber-sumber yang tak jelas. Misalnya, jarang sekali ditemukan mubaligh yang dengan tegas menyebutkan sumber atau referensi yang ia gunakan. Dan tak jarang pula seorang mubaligh itu mengada-ada terutama dalam mendefinisikan sesuatu.

Semakin jelaslah tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop, dengan mubaligh yang menggunakan sumber-sumber ’ngepop’ dan tradisi ramadhan berubah menjadi tradisi popular tanpa muatan dan tujuan yang jelas.

Namun, upaya perbaikan harus terus dilakukan, terutama dengan menganjurkan para mubaligh untuk terus meningkatkan kompetensinya, baik dalam bidang disiplin kegamaan (tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf dsb) maupun mengenai disiplin atau wawasan kebudayaan dan peradaban Islam (sejarah, politik, ekonomi dsb).


Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

No comments: