Oleh Muhammad Nasir
Pada akhir khutbahnya Nabi Muhammad SAW di Padang Arafah (haji wada’) bersabda, “Rubba muballighîn aw’â min sâmi’in—Orang yang menyampaikan lebih sering dapat memelihara dari pada yang hanya mendengarkan.”
Sejak itu, sepanjang sejarah Islam, ada sekelompok umat yang bekerja menyampaikan pesan Nabi. Ia bukan saja dihormati Nabi karena memelihara khazanah ilmu Islam, tapi juga disegani umat karena dialah yang sebenarnya memelihara eksistensi Islam. Dialah pewaris para Nabi. Tradisi kemubalighan ini bertahan sampai sekarang, termasuk di Kota Padang yang saat ini tengah berhelat dalam tradisi ceramah Ramadhan.
Ceramah Ramadhan merupakan tradisi khas mengiringi pelaksanaan ibadah puasa wajib dan shalat sunnah tarwih. Kehadirannya datang sehingga menigai (ja’a tsalitsan) ramadhan menjadi trilogy, puasa, tarawih dan ceramah ramadhan. Ia menjadi fenomena tersendiri bagi umat Islam Indonesia selama bulan ramadhan.
Kegiatan itu ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.
Ceramah Ramadhan memang bukan hanya tradisi umat muslim Sumatera Barat. Tetapi lebih dari itu ternyata juga menjadi prilaku umum umat muslim di seluruh penjuru tanah air. Tidak heran dalam taraf tertentu gaung ceramah Ramadhan menjadi besar karena melibatkan elit muslim yang disebut mubaligh.
Di Kota Padang, ceramah Ramadhan sudah melewati sejarah yang panjang. Pendapat masyarakat yang sudah mengikuti ibadah ramadhan semenjak tahun 60-an menyatakan tradisi tersebut mulai marak di penghujung tahun 1960, khususnya saat konsolidasi umat Islam pasca peristiwa Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pada waktu itu para mubaligh mulai rutin berceramah dari satu masjid ke masjid lain atau dari satu tempat penyelenggaraan ibadah shalat Tarawih ke tempat yang lain.
Pada tahun 70-an, hampir setiap masjid/mushalla telah memiliki jadwal untuk mubaligh. Dalam jumlah mubaligh yang tidak seberapa, syiar ramadhan akibat pelaksanaan ceramah ramadhan itu meningkat tajam. Tempat-tempat ibadah umat Islam di Kota Padang ramai dikunjungi jama’ah karena ada aktivita dakwah di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih.
Pada era tujuhpuluhan itu pula pelaksanaan ceramah Ramadhan semakin semarak karena sebagian masjid/ mushalla mulai menggunakan media massa untuk mengumumkan jadwal ceramah ramadhan beserta mubaligh yang menyertainya.
Dalam rentang waktu tahun 60-an hingga 70-an itu, ada banyak sebutan untuk kegiatan ceramah ramadhan. Misalnya, tabalia (Tabligh), mangaji (mengaji agama), badakwah (berdakwah), siraman rohani, santapan rohani dan sebagainya.
Di tengah maraknya aktivitas berdakwah tersebut, ternyata belum dikoordinir dengan rapi. Mubaligh menjadi elit agama yang cendrung diperebutkan. Tidak heran satu mubaligh terkadang harus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu malam yang sama demi memenuhi keibginan jama’ah.
Sementara di beberapa masjid/mushalla terpaksa “mencarter” mubaligh dengan cara membagi jadwal ceramah berdasarkan hari tertentu atau minggu tertentu. Dengan cara tersebut, seorang mubaligh dapat berceramah paling sedikit empat kali di satu tempat.
Tradisi Ceramah Ramadhan semakin meningkat pada decade berikutnya, 1980-an hingga sekarang. IAIN Imam Bonjol Padang sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam terbesar di Sumatera Barat dianggap memberi andil terhadap peningkatan gebyar dan kuantitas ceramah Ramadhan pada waktu itu. Mubaligh tidak begitu sulit dicari, karena IAIN Imam Bonjol Padang mulai dari mahasiswa, karyawan hingga para dosen sudah menyediakan diri untuk pelaksanaan aktivitas ceramah ramadhan.
Sejarah singkat di atas memberi pesan bahwa aktivitas dakwah di Kota Padang berada dalam trend positif, yaitu mengalami peningkatan dari waktu-ke waktu. Bahkan fenomena sekarang ini, mubaligh tidak hanya berasal dari orang-orang yang mempunyai pendidikan agama saja semisal pesantren hingga IAIN, tetapi juga muncul dari kalangan umum, pengusaha, akademisi dengan berbagai disiplin non-agama bahkan mantan penjahat kambuhan (residivis).
Tradisi ceramah ramadhan ini sangat positif dan menjadi potensi sendiri bagi Sumatera Barat untuk mewujudkan impiannya sebagai propinsi religius yang hidup dalam filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang
No comments:
Post a Comment