06 July 2009

Debat Capres : The Lost Message

Muhammad Nasir

Masyarakat harus arif bahwa pertarungan sekarang bukanlah semata-mata pertarungan 3 pasang calon menuju kursi RI-1 dan RI-2. Di balik itu ada pertarungan tersembunyi di dalam tubuh tim pendukung masing-masing calon presiden. Itu belum terungkap ke "alam nyata". Jika hal ini tidak diungkap dan diwaspadai, maka jangan-jangan apa yang disebut Yudi Latif sebagai "Koalisi Tuna Nilai" (Kompas, 28/04/ 2009) bebar-benar nyata adanya.

Tiga orang calon presiden sudah menyampaikan sebagian visi dan misinya dalam debat calon presiden (selanjutnya ditulis capres) yang ditayangkan langsung oleh beberapa stasiun televisi Jum'at (18/06/2009) yang lalu. Secara umum penampilan para calon lebih dari cukup untuk menarik garis pembanding di antara ketiga calon. Namun, apakah peristiwa itu dapat mengubah opini masyarakat sekaligus memengaruhi grafik dukungan terhadap masing-masing calon?

Selain itu, sedikit yang dapat disimpulkan, semua yang telah disampaikan jika itu memang orisinil hasil olah pikir dan pembacaan yang komprehensif dari para calon presiden tersebut, maka itu tidak lebih sekedar repetisi dari pendapat-pendapat yang sudah terlontar sebelumnya dari para pakar, pengamat dan penulis-penulis dalam dan luar negeri.

Dan jika itu tidak orisinil, maka tim masing-masing calon sudah berhasil 'mendandani' calon pemimpin negeri ini dengan berbagai isu yang dianggap penting. Artinya, secara tidak langsung, capres kita merupakan konstruksi multidimensi dan ekslopedi berjalan bagi para tim suksesnya.

Setelah itu, debat capres akan diselenggarakan dua episode lagi dan debat capres juga akan berlangsung selama dua episode. Formalnya, debat sebagai seremonial kampanye yang melibatkan kontestan langsung pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum cukup baik untuk pembelajaran demokrasi di negeri ini.

Soal lainnya, adakah materi debat para capres itu merupakan isu bersama, saripati pergumulan ide dan agenda perjuangan partai-partai pendukungnya?



Ke mana Suara Parpol Koalisi?

Bagaimanapun, para capres adalah fragmentasi kepentingan-kepentingan politik elit, dan lebih lanjut hasil fragmentasi ini akan diuji oleh rakyat dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.Seandainya yang disampaikan oleh capres dalam debatnya itu merupakan kerangka pikir untuk membangun bangsa ke depan, maka hal ini akan mendapat tantangan berat dari elit politik yang mengusungnya.

Presiden bukanlah semata-mata kepala pemerintahan dan kepala negara. Tetapi lebih dari itu, presiden adalah kepala dan pengusung segala kepentingan politik yang tersebar di antara partai-partai pendukungnya. Betapa tidak, sebelumnya sebelum koalisi dibangun oleh partai-partai pendukung, pembicaraan tentang koalisi partai di parlemen sudah mengapung meskipun belum tuntas dibicarakan.

Konsekuensinya, betapun bagus dan indahnya pandangan masing capres tentang masa depan bangsa akan segera berhadapan dengan kepentingan partai-partai pendukung di parlemen. Mau-tidak mau, pandangan dan 'calon' kebijakan presiden ke depan mesti menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan partai pendukung.

Paling tidak pemenang pilpres mendatang akan dihadapkan pada soal-soal perbedaan orientasi politik, ideologi dan pembagian kekuasaan. Hal ini disebabkan masih sumir-nya peran, karakter dan agenda partai pendukung dalam materi debat yang dipertontonkan secara luas.

Agak riskan membayangkan bahwa kedudukan presiden akan menguat pasca helat demokrasi 2009 ini. Selain partai Demokrat yang perolehan suaranya melebihi duapuluh persen, dua kontestan lain akan berhadapan dengan persoalan bagi-bagi kekuasaan jika memenangkan pemilihan. Partai Demokrat-pun juga belum tentu aman jika memenangkan pemilihan.

Bagi partai pendukung Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subijanto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, persoalan ideologi mungkin saja sudah selesai. Rata-rata partai pendukung mereka berasal dari blok nasionalis. Lain halnya dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Tantangan pasangan presiden incumbent ini mungkin lebih berat.

Sebagaimana diketahui, SBY-Boediono diusung oleh Partai Demokrat bersama beberapa Partai berbasis Islam dan partai-partai kecil lainnya bertarif nol hingga satu koma persen. Konfigurasi partai pendukung SBY ini jauh lebih rumit dan rentan konflik berbasis ideologi. Belum lagi konflik bertajuk pembagian kekuasaan.



Perlu ditampilkan

Kontestasi pemilihan presiden tidak semata-mata didasari oleh capaian 20 persen suara saat partai pemilu legislatif. Tetapi juga didasari kesepakan koalisi beberapa parpol untuk memperoleh 20 persen suara sebagai syarat pencalonan presiden. Artinya ada banyak kepentingan yang dikompromikan menjelang pendaftaran calon.

Jika kompromi itu atas nama kepentingan, maka sudah pasti ada konsekuensi dan kompensasi atas kompromi tersebut. Begitu juga jika kompromi itu atas nama agenda perjuangan partai. Maka juga sudah pasti agenda-agenda tersebut tertompang pada calon presiden yang didukungnya.

Berdasarkan hal ini, masyarakat sangat memerlukan kejelasan dan keterusterangan dari masing-masing calon presiden serta tim suksesnya. Agak sulit menerima logika bahwa apapun yang disuarakan oleh calon presiden dalam materi debatnya adalah untuk kepentingan bangsa.

Oleh sebab itu jika ada pertanyaan tentang apa saja kepentingan-kepentingan yang dirangkum dalam koalisi harus dijelaskan supaya masyarakat tidak hanya terpesona oleh performance capres. Begitu juga jika ada agenda-agenda perjuangan partai politik yang tergabung dalam koalisi yang ditompangkan kepada capres, juga harus dikemukakan secara gamblang.

Ringkasnya, dengan mengesampingkan kepentingan kampanye, masing-masing pasangan calon harus mau dan mampu mengungkapkan fakta di balik dukungan parpol. Semuanya demi prinsip "transparansi dan akuntabilitas" yang sedang getol-getolnya dikampanyekan oleh masing-masing capres.
dimuat di : http://psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=109

No comments: