Oleh Muhammad Nasir
Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
tidak bisa dapat semuanya, jangan dibuang semuanya
-Kaidah Ushul Fiqh-
Demokrasi lahir dari debat. Namun di Indonesia seperti ada garis yang hilang dalam perdebatan demokrasi antara kelompok pro-demokrasi dan kelompok anti-demokrasi. Wacana-wacana debat beterbangan, simpangsiur kian kemari tanpa arena dan garis yang pasti laksana tawuran. Ya, perdebatan itu nyaris menyerupai tawuran!
Garis tersebut adalah saling kesepahaman akan argument masing masing kelompok dan ruang bersama di mana nilai mashlahat dan manfaat masing-masing argument dapat ditempatkan. Akibat hilangnya garis tersebut, muncul sikap sinis dan saling ejek di dalam diri masing-masing peserta debat. Sungguh kurang produktif.
Debat sangat penting dilakukan dan demokrasi membutuhkan perdebatan. Dalam sebuah perdebatan eksplorasi dilakukan sangat ketat dan argumen-argumen brilian dipertarungkan. Secara ‘boros’ kontestan debat pasti akan mengeluarkan pemikiran terbaiknya untuk memenangkan “kebenaran”.
Kepada kontestan debat
Dalam dialektika debat demokrasi, setiap kontestan debat mesti juga menegaskan posisinya masing-masing dan menyatakan sikapnya terhadap opini kontestan lain. Hal ini berguna untuk mengatur traffic debat agar tidak keluar dari target pencarian solusi.
Justru yang mengkhawatirkan saat ini adalah pertarungan supremasi teori yang berarti satu teori harus mengalahkan teori yang lain. Dalam praktek, suatu praktek politik harus menggantikan atau menghapus praktek yang lain. Dalam hal ini perdebatan berlangsung dalam logika Nasikh wal Mansukh (ada yang menghapus dan ada yang dihapus).
Debat yang berlangsung dalam semangat nasikh wal mansukh itu berpotensi melahirkan sikap fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme, secara konseptual dan semangat yang dianutnya berupaya menafikan kelompok yang lain dan sebesar mungkin menghindar dari kompromi.
Iklim debat mesti didukung oleh satu pemahaman bersama akan titik tolak debat. Dalam konteks Indonesia, titik tolak perdebatan itu mestinya praktek demokrasi yang sedang dijalankan di negara ini. Artinya arah debat nantinya menuju pada satu penilaian, apakah demokrasi yang sedang dipraktekkan hari ini sudah memenuhi harapan serta akomodatif untuk seluruh elemen bangsa.
Kemudian jika ternyata hasilnya kurang memuaskan, apakah harus ada perbaikan terhadap konsep dan penerapan demokrasi atau malah menggantinya dengan sistem yang lain.
Oleh sebab itu, debat demokrasi tidak harus semata-mata diletakkan dalam konteks proses politik, tetapi secara moderat dijadikan sebagai upaya mencari kemashlahatan dan asas manfaat dari teori-teori yang diajukan kontestan perdebatan.
Garis tersebut harus dipertegas lagi dengan membangun lajur-lajur yang harus ditempuh oleh masing-masing kontestan debat dalam memajukan teorinya dan lajur-lajur alternatif di mana secara bersama-sama para kontestan menyimpan mashlahat dan manfaat dari perdebatan tersebut.
Lajur alternatif yang dimaksud adalah Indonesia itu sendiri yang secara empiris sangat terbuka terhadap masukan-masukan yang berharga dari kelompok prodemokrasi dan kelompok antidemokrasi. Lihat saja, bagaimana kedua kelompok tersebut hidup berdampingan (coexistence), meski dalam waktu-waktu tertentu terjadi ketegangan antara ke dua belah pihak.
Sengaja dibahasakan sebagai alternatif, mengingat sejauh ini Indonesia sudah terlalu jauh ditinggalkan oleh anak bangsanya sendiri. Biasanya, alternatif sebagai jalan ketiga, cendrung disukai. Sekedar penegas: lajur alternatif itu adalah musyawarah.
Kaidah Ushul Fikih yang mendahului tulisan ini dapat saja dijadikan sebagai keranjang untuk mengumpulkan hasil debat. Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, jika tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan dibuang semuanya.
Peran Negara
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kenyataan dan benar-benar ada. Bukti adanya didukung oleh perdebatan-perdebatan mengenai masa depan negara ini. Segala puja dan caci maki juga sering teralamat ke negara ini.
Negara adalah arus moderat yang menjadi titik temu (melting point)semua ide-ide dalam perdebatan. Oleh sebab itu, daya serap negara terhadap hasil perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara warga negara harus tinggi.
Jika demokrasi berarti partisipasi, maka debat demokrasi merupakan bentuk partisipasi warga dalam membangun tatanan hidup bernegara yang lebih baik. Konsekuensinya, dalam membangun iklim partisipasi yang baik, negara harus mampu menjadi penjaga garis agar debat tidak keluar dari koridor bernegara.
Partisipasi yang baik adalah bentuk keterlibatan warga negara terhadap hal-hal yang diperlukan dan menjadi kebutuhan bersama (common need). Partisipasi yang buruk adalah bila peserta debat mengutamakan kepentingan sepihak yang parsial dan mengabaikan pihak lain.
Lagi-lagi, kaidah Ushul Fikih sebagaimana ditulis pada awal tulisan ini sepertinya layak dijadikan dasar berpikir. Negara dapat saja mengakomodir hasil-hasil perdabatan itu meski sedikit mengandung kebenaran namun dapat diterapkan untuk semuanya.
Penolakan (negasi) bahkan ketidakawasan (awareless) negara terhadap wacana yang berkembang dalam perdebatan justru menjadi indikasi negara yang tidak demokratis. Adalah suatu kesombongan saat semua warga negara sedang berdebat tentang kebaikan negara, tentang bagaimana negara ini harus diurus, sementara negara menutup kuping; acuh tak acuh! (Padang,13/06/2009)
*Draft diskusi Magistra Indonesia- Padang. Topik: Etika dan Asesoris Demokrasi
No comments:
Post a Comment