ABU YAZID AL BUSTHAMY (188-261 H)
I.PENDAHULUAN
Istilah "tasawuf"(sufism), telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, mengingatkan bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad SAW, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam, ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf. Abdul Mun’im Khafaji mengatakan, orang pertama yang digelari sufi adalah Abu Hasyim al Shufy (w.150 H/761 M). Orang yang pertama berbicara atas nama kaum shufi adalah Abu Hamzah al Shufi. Hal ini terungkap dalam pertanyaan Ibn Hanbal kepada Hamzah tentang suatu hal; "apa pendapatmu tentang (masalah) ini hai Shufi?" Menurut Reynold Allen Nicholson, orang pertama yang digelari shufi adalah Jabir bin Hayyan. Ia juga dikenal dengan sebutan Jabir al Shufi.
Beberapa pendapat di atas dapat mewakili anggapan bahwa sufi secara isthilahya mendapat arti yang bermacam-macam. Tidak hanya dari segi istilah, dari segi asalnya pun tidak luput dari perbedaan. Ada yang mengkaitkannya dengan ajaran Hindu semisal Nirvana dan Vedanta. Ada yang mengakaitkan silsilahnya kepada praktek ruhbaniyah al masihiyah (Nasrani) dan sebagainya. Meskipun demikian tidak sedikit pendapat yang mengatakan sufisme lahir dari ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam upaya mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perdebatan di atas tidak berhenti sampai di situ. Beberapa tokoh sufi sendiri tidak luput dari kontroversi. Bahkan disebabkan keadaan, pemikiran dan ucapannya yang tidak lazim, para sufi pun tidak luput dari tuduhan gila dan kafir. Misalnya, seperti yang dialami al Hallaj, Suhrawardy al Maqtul dan lain-lain. Lain halnya dengan Abu Yazid yang akan dibahas dalam makalah ini. Sufi Persia yang menggagas pemikiran, fana’, baqa dan ittihad ini, tak kalah fenomenal dan besar dengan mazhabnya itu.
Berdasarkan objek dan sasarannya, tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah, pembidangan ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Abu Yazid, berdasarkan pendapat di atas dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.
Untuk mengenal lebih lanjut Abu Yazi al Busthamy dan corak sufistiknya, berikut ini penulis akan membagi pembahasan kepada dua sub bahasan yaitu Profil Abu Yazid al Busthamy dan Pemikiran Sufistiknya.
II.PROFIL ABU YAZID AL BUSTHAMY
1. Riwayat Singkat
Abu Yazid al Busthamy yang mempunyai nama kecil Thaifur dilahirkan di Bistham Khurasan, Persia pada tahun 188 H. Nama lengkapnya Sulthan al ‘Arifin Abu Yazid al Akbar Thaifur bin Isa. Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Dalam literatur berbahasa Inggris sering ditulis dengan Bayazid Bistami, atau Bayazid Bustamy al Khurasany. Kadang-kadang juga digunakan nama Abu Yazid Thaifur bin Isa. Literatur berbahasa Indonesia cenderung menggunakan kata al Busthamy untuk menulis penisbahan namanya pada kota kelahirannya, Bistham. Bagaimanapun cara penulisannya, yang jelas ia tetap mengacu pada sosok sufi kontroversial dari Bistham Persia.
Perbedaan cara orang menyebut dan menulis namanya, tidak mengurangi ketenaran Abu Yazid al Busthamy (selanjutnya ditulis Abu Yazid) sebagai seorang sufi. Akan tetapi riwayat hidupnya tidak banyak diketahui, kecuali pada fase hidup sufistiknya. Berbagai ungkapan dan hal ihwal kesufiannya (ahwaluhu al shufiyyah) tercatat dalam sejarah sebagai satu corak pemikiran sufi Persia, bahkan sangat mewarnai pada masanya.
Sekilas tentang riwayat hidupnya yang dapat ditulis adalah, bahwa Abu Yazid sejak kecilnya dikenal sebagai pribadi yang saleh. Ia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Ibunya secara rutin mengirmnya mengaji ke Mesjid untuk belajar al Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Kakeknya seorang Majusi namun telah masuk Islam. Setelah besar ia melanjutkan pelajaran ke berbagai daerah. Di antara gurunya adalah Abu Ali dari Sind, yang mengajarinya ilmu tauhid dan tasawuf yang sangat bertentangan dengan paham Sunni.
Abu Yazid mengawali kehidupannya sebagai sufi melalui jalan pertama yaitu zuhd. Zuhd adalah merupakan awal dari gerakan Sufi. Gerakan Zuhud pada prinsipnya merupakan gerakan Islam itu sendiri. Bahkan Nicholson sendiri menyatakan bahwa kelahiran zuhud merupakan keharusan bagi aktifitas berpikir tentang Allah.
Pilihan hidup zuhud bagi Abu Yazid merupakan pilihan sadar, begitu juga untuk menjadi ahl al shufi. Sepertinya pilihan itu merupakan jalan tengah baginya. Jika memang demikian keadaannya sangat sesuai dengan analisis al Afify yang menyatakan; Sufisme merupakan sintesa dari pertentangan fuqaha’ dan mutakallimin dalam memahami Islam. Kaum Sufi/ ahli ibadah tidak dapat menerima ke dua model atau corak pemahaman Islam tersebut, sehingga amalan kaum sufi itu menjadi trend tersendiri dalam beribadah kepada Allah SWT.
Selama 30 tahun ia berkelana di sepanjang padang pasir Syiria dengan keadaan yang sederhana, sedikit makan, sedikit minum dan sedikit tidur. Abu Yazid pernah ditanya, "Bagaimana Anda dapat sampai pada tahap ini?" Ia menjawab, "Dengan perut yang lapar dan tubuh yang telanjang." Apa yang ia lakukan dapat disebut sebagai bentuk “perlawanan” kepada model pemikiran fuqaha’ dan mutakallimin tentang Islam.
Selanjutnya bukti kesadarannya masuk ke dalam dunia sufi sebagaimana pernyataannya berikut:
"Aku bermujahadah selama tigapuluh tahun. Tidak ada yang lebih memberatkan diriku, kecuali ilmu dan melaksanakannya. Kalau bukan karena adanya perbedaan pandangan antar ulama, tentu aku masih muncul. Sedangkan perbedaan di antara para ulama merupakan rahmat, kecuali dalam masalah konsentrasi (tajrid) tauhid."
Pernyataan Abu Yazid di atas menunjukkan titik tolak keberangkatannya ke dalam dunia sufi. Perbedaan dalam memahami Islam antara fuqaha’ dan Mutakallimin (ulama) sebagaimana ia sebutkan pada dasarnya bukanlah pemicu utama. Namun selaku ahli ibadah, persoalan tauhid adalah persoalan yang sangat mendasar dan hanya didapatkan melalui latihan (tajribat) khusus sebagaimana dilakukan ahli ibadah.
Abu Yazid juga memakai pakaian yang sangat sederhana dan cendrung lusuh. Pakaian kaum sufi Persia dikenal dengan basynemabusy (بشنيمابوش), istilah khusus untuk pakaian kaum sufi (ahl al Shufiy).
2.Posisi Abu Yazid Al Busthami dalam Sejarah Sufi
Abu Yazid al Busthamy tidak hanya menjadi bagian dari wacana sufistik pada zamannya, tetapi lebih dari itu ia adalah pendiri dari perkumpulan tarikat yang dinamakan oleh muridnya “Thariqah Thaifuriyah”. Tarikat yang dinisbahkan kepada nama kecilnya Taifur itu mengajarkan konsep al fana’. Ajaran inilah yang menjadikannya terkenal di kalangan sufi. Thaifuriyah merupakan aliran tasawuf yang diterima oleh Islam.
Tasawuf itu terdiri dari dua belas aliran: dua di antaranya dikutuk (mardud), sementara sisanya yang sepuluh diterima (maqbul). Yang diterima ini ialah Muhasibiyah, Qashshariyah, Thayfuriyah, Junaydiyah, Nuriyah, Sahliyah, Hakimiyah, Kharraziyah, Khafifiyah, dan Sayyariyah. Dua aliran yang dituduh sesat itu, pertama, Hululiyah, yang mengambil namanya dari doktrin inkarnasi (hulul) dan inkorporasi (imtizaj), dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran kaum antropomorfis Salimi, dan kedua, Hallajiyah, yang meninggalkan hukum suci (Syari'at), dan telah menempuh jalan bid'ah, dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran Ibahatiyah dan aliran Farisiyah. Doktrin utama aliran ini adalah kegairahan (ghalabat) dan kemabukan (sukr). Mengenai etika, Abu Yazid menjauhkan diri dari pergaulan dan memilih mengundurkan diri dari dunia. Menurutnya, itulah tindakan yang terpuji. Ia menyuruh murid-muridnya melakukan tindakan yang sama. Ajaran lainnya adalah konsepsi (ittihad).
Abu Yazid juga dikenal dengan ucapannya yang aneh, seperti ungkapan orang mabuk dan tidak sadarkan diri yang dikenal dengan ungkapan al Syathah. Syath (the Paradoxes of the Sufis) atau 'perkataan ekstatis' adalah 'cara-cara pengungkapan teofanik' namun tidak dapat diterima ‘aqly dan naqly muslim pada waktu itu. Karena dari sudut pandang manusia murni, perkataan semacam ini tidak masuk akal. Misalnya, teriakan ekstatis yang diucapkan Abu Yazid "Subhani- Mahasuci aku, betapa besar Kemuliaan-ku!"
Dalam sastra Persia, syatah yang diawali Abu Yazid menjadi genre baru dan mencapai puncaknya. Dalam kalangan Sufi, genre ini mewakili sebagian besar keabsahan spiritual pada Sufisme Persia awal.
Corak sufistik Abu Yazid seringkali menjadi bahan diskusi para penulis tentang dunia sufi. Hal ini disebabkan posisinya sebagai orang Persia yang punya akar sendiri dalam praktek kesufian. Disamping itu, ajarannya juga dicurigai sebagai perpaduan mysticism India dan sufistik Islam. Tentang pendapat ini sangat sulit diterima. Von Kremer juga mengindikasikan hal yang sama. Ia berpendapat Tasawuf Islam terinspirasi dan terpengaruh dari pemikiran Nirvana atau Vedanta dalam agama Hindu. Tetapi Nicholson menolak dengan tegas. Alasannya, tidak mungkin orang Islam beramal dengan amalan orang Hindu yang jelas-jelas menyembah berhala (musyrik).
Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, kecuali sebuah kitab berjudul al Nur min Kalimat Abi Taifur, karangan Al Sahlaji. Dalam kitab ini banyak ditemukan kalimat-kalimat atau perkataannya yang aneh dan kadang-kadang terkesan paradok. Bisa dikatakan, kitab itu merupakan rekaman perkataan yang dicatat oleh muridnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Yazid al Busthamy merupakan seorang Sufi besar. Kebesarannya itu ditunjang oleh kepeloporannya dalam menggagas doktrin al fana’ dan al ittihad yang banyak dianut dan dikembangkan oleh berbagai aliran tasawuf sejak dahulu hingga saat ini. Kerana itulah ia berhak mendapatkan posisi khusus dalam sejarah sufi.
III.PEMIKIRAN ABU YAZID AL BUSTHAMY
1.Sekilas Sufisme Persia
Pada abad-abad pertama, praktis semua perkembangan penting dalam sejarah awal sufi secara geografis berkaitan dengan Persia. Meskipun tidak hanya terbatas pada wilayah Persia yang sekarang dikenal sebagai Iran, namun kebanyakan tokoh besar sufi berasal dari Persia.
Bagi yang berpendapat bahwa terma dan segenap amalan sufi berasal dari pengaruh Persia (mu’atsarat al Farisiah), seperti Annemarie Schimmel, mendasari pendapatnya pada kenyataan bahwa sebagian besar tokoh sufi Islam yang terkenal berasal dari Tanah Persia. Misalnya Ma’ruf al Karkhy dan Abu Yazid al Busthamy.
Secara umum, kajian sufistik bergerak dalam dimensi tuhan dan manusia. Jika boleh bereksperimen, alam sufi merupakan dimensi ketiga. Tetapi bagaimanapun, debat tentang wacana sufistik sering menghangat pada kajian ketuhanan. Karena itu fokus kajian berikut juga berangkat dari titik ini. Dengan memperhatikan perkembangan tasawuf serta tipologinya, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu; konsepsi etikal, konsepsi estetikal dan konsepsi union mistikal. Sufistik Persia pada umumnya menganut konsepsi yang ketiga, union mistikal.
Konsepsi yang ketiga itu menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya. Abu Yazid berdasarkan latarbelakang kehidupannya diduga kuat menjadi bagian dari pendukung konsep tasawuf yang juga dikenal dengan istilah teosofi sebagai sintesa falsafi terhadap teologi dan sufistik
Pada umumnya, mereka yang bermazhab Syi'ah dan atau yang berpola pikir Muktazilah dalam teologi dapat merima konsep-konsep tasawuf falsafi. Oleh karena itu, aliran tasawuf ini berkembang pesat di kawasan di mana umat Islamnya bermazhab Syi'ah dan atau beraliran Muktazilah. Hal ini menjadi sebab utama kenapa sebagian orang menamainya dengan Tasawuf Syi'i. Diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, dimungkinkan mengingat kawasan itu jauh sebe¬lum Islam sudah mengenal filsafat.
2. Konsep Al Fana’Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana'an nafs). Fana'an nafs, adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal tentang al fana’ sebagaimana cerita berikut:
“Pertama kali saya masuk ke rumah suci (Baitullah-pen), saya melihat rumah suci itu. Ketika saya masuk untuk kedua kalinya, saya melihat Penguasa rumah itu. Ketika saya masuk untuk ketiga kalinya, aku tidak melihat rumah itu, maupun penguasanya”
Dengan ungkapan di atas, Abu Yazid bermaksud mengatakan bahwa “Saya menjadi hilang dalam Tuhan, sehingga saya tidak tahu apa-apa. Ketika saya melihat sama sekali, saya telah menjadi Tuhan.” Ungkapan yang berarti sama terjadi saat seseorang mendatangi rumah Abu Yazid dan memanggil-manggilnya. Abu Yazid menjawab;
“Siapa yang kamu cari?” Abu Yazid bertanya.
“Abu Yazid,” jawab orang itu.
“Orang yang malang!” kata Abu Yazid. “Saya telah mencari Abu Yazid selama tigapuluh tahun dan tidak menemukan jejak dan tanda-tandanya.”
Pada perkembangannya yang awal, kelihatannya ada dua aliran al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana fi't tauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma'rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.
Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi berikut ini:
Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi:
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-sakar (mabuk) al-syathahat (ucapan/ocehan), al-zawal al-hijab (keluar dari dimensi kemanusiaan/keluar dari alam materi ) dan ghalab al-syuhud (kesempurnaan penglihatan). Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa AS di Tursina.
Secara bahasa, syathahat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar, al-zawal al hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber"ada" di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana sebagai "the passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence".
Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ka-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan al Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Zat Mutlak.
Dengan demikian, pada umumnya diasumsikan bahwa tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan, yang diistilahkan dalam simbol "fana". Sebelum masa Abu Yazid, fana diartikan kaum sufi sebagai "pengabdian", sehingga fana diri berarti pengabdian kesadaran diri atau pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah munculnya Ibn Arabi, ia mendefinisikan fana kepada dua pengertian, yakni:"
1.Fana dalam pengertian mistis, yaitu "hilangnya" ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia "menyadari" non-eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.
2.Fana dalam pengertian metafisika, yang berarti "hilangnya bentuk-bentuk" dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah "fananya" bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu kata Ibn Arabi, fana yang benar itu adalah hilangnya "diri" dalam keadaan pengetahuan intuitif di mana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.
Sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dan "dirinya" sendiri di dalam pengalaman mistikal, baik dengan pengetahuan mistikal maupun dengan penghayatan esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk (form), tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non-eksistensi dari form atau bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi.
3. Konsep Al Baqa’Al Baqa’ adalah kelanjutan dari al fana. Apabila Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Sedangkan seorang sufi yang notabenenya manusia (materi) dianggap hilang tinggallah yang maha kekal, yaitu Allah SWT. Diduga kuat, pemikiran ini didasari pada Firman Allah dalam al Qur’an, surat al Rahman (55) ayat 27 sebagaimana berikut: Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Keterserapan atau kefanaan sangat uth sehingga yang benar-benar tinggal dan kekal (Baqa’) adalah Allah. Pada suatu saat Abu Yazid dipanggil oleh seorang muridnya yang telah tinggal bersamanya selama duapuluh tahun. Setiap bertemu Abu Yazid justru bertanya nama muridnya itu;
============================================
“Wahai anakku, siapa namamu?” Tanya Abu Yazid.
“Guru, engkau mengolok-olokku. Selama duapuluh tahun aku melayanimu, selama itu pula engkau bertanya tentang namaku,” jawab sang murid.
“Anakku,” balas Abu Yazid. “Aku tidak mengejekmu, tetapi Nama-NYA telah masuk ke dalam hatiku dan mengeluarkan nama-nama yang lain. Begitu aku tahu nama-nama baru, aku segera melupakannya.”
============================================
4. Konsep Al Ittihad
Sebagaimana diuraikan dalam point al Baqa’ di atas, seorang sufi telah hilang karena ke fana’ annya, dan tinggalah wajah Allah yang kekal, (Baqa). Al Fani, telah lebur dan menyatu dengan Allah. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang Maha Esa.
Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriahnya, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid yang puitis berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad itu. Abu Yazid berkata:
Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya la berkata, hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab hiasilah aku dengan keEsaan-Mu, dan pakailah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: "Kami telah melihat Engkau. Tetapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana.
Rangkaian ungkapan Abu Yazid itu merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihad. Pada bagian awal ungkapannya itu melukiskan alam ma'rifat dan selanjutnya memasuki alam fana'an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad itu diperjelas lagi oleh Abu Yazid dalam ungkapannya :
Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau , adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana'an nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan:
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Firaun. Proses ittihad menurut versi Abu Yazid ini adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya kakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.
IV.PENUTUP
Memahami pemikiran sufi, ibarat menyelami samudera yang penuh misteri, sekaligus hikmah (bihar al hikmah). Untuk mencari apa yang dimaksudkan para sufi dalam tajrib al ruhy-nya membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan bebas dari prasangka negative. Sebagaimana ungkapan Abu Yazid,”Sesuatu yang kita tunjukkan tidak dapat ditemukan dengan keinginan, tetapi hanya pencari yang menemukannya.” Dalam pencarian singkat dan penyelaman yang dangkal ini, penulis ingin menyimpulkan;
1.Abu Yazid al Busthami adalah sufi besar Persia yang muncul setelah mensintesa perbedaan antara fuqaha’ dan Mutakallimin (Ulama) dalam memahami Islam. Pilihan Abu Yazid akhirnya jatuh pada jalan sufi.
2.Abu Yazid selain seorang sufi, bisa dianggap sebagai seorang seorang filosof. Pendapat ini didasari fakta bahwa tidak mungkin Abu Yazid mensintesa perbedaan fuqaha’ dan mutakallimin tanpa pengetahui corak fikir kedua model ulama tersebut.
3.Abu Yazid, dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.
4.Pemikiran Abu Yazid tentang al fana’, al baqa’ dan ittihad, memang kontroversial. Tetapi belum dapat dianggap sesat karena semua itu ia lakukan karena/ untuk menuju Allah. dan ia tidak pernah mengaku sebagai tuhan.
5.Pada batas dan keperluan tertentu, mabuk dan kegilaan Abu Yazid terhadap Allah dapat ditiru sebagai pendekatan untuk khusyu’ saat beribadah kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Padang, April 2007
(Muhammad Nasir)
DAFTAR BACAAN
Muhammad Nasir, Atsar al Harakah al Shufiyah fi al Adab al ‘Abbasy, (Skripsi, IAIN Imam Bonjol Padang, 2002) h. 6-14
Muhammad Abd. Mun’im Khafaji, al Adab fi al Turatsi al Shufy, (Maktabah Gharib: Fujalah), h. 14
R.A. Nicholson, fi al tashaufi al Islamy wa al tarikhihy
Abd. Mun’im al Khafajy, al Mausu’ah al Shufiyah, (al Qahirah: Dar al Irsyad, 1992), h. 51
Leonard Lewisohn, The Heritage of Sufism; Classcal Persian Sufism form its Origin to Rumi (England: Oneworld Publication, 1999)
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 85
R.A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1966) h.3
Abu al Wafa’ al Ghanimy al Taftazany, Madkhal ila Tashawwufi al Islamy, (Fujalah/ t.t.p.) h.61
http://www.sufinews.com, diakses tanggal 28/03/2007 jam 19:07:52
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islamy, (Kairo: al Maktabah al Nahdhah al Mishriyyah, 1979) h. 220
Al Hujwiry, Kasyful Mahjub, edisi bahsa Indonesia oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1994), h. 126
Sayyed Hossein Nasr, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia, dalam Warisan Sufi (Jakarta: Pustaka Sufi, 2002) h. 33
Endang Saifuddin Anshary, Wawasan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) h. 392
Prof. H.A Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 141
Ibrahim Basyuni, Nas’ah al Tasawuf al Islam, (Kairo, Dar al Ma’arif, 1969), h 138
Al Qusyairy, al Risalah al Qusyairiyah, Kairo, 1966,h. 33
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h.85
A. Kadir Mahmud, Falsafah al Shufiyah fi al Islam, Dar al Fikri al Arabi, Kairo, 1966.
I.PENDAHULUAN
Istilah "tasawuf"(sufism), telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, mengingatkan bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad SAW, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.
Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam, ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf. Abdul Mun’im Khafaji mengatakan, orang pertama yang digelari sufi adalah Abu Hasyim al Shufy (w.150 H/761 M). Orang yang pertama berbicara atas nama kaum shufi adalah Abu Hamzah al Shufi. Hal ini terungkap dalam pertanyaan Ibn Hanbal kepada Hamzah tentang suatu hal; "apa pendapatmu tentang (masalah) ini hai Shufi?" Menurut Reynold Allen Nicholson, orang pertama yang digelari shufi adalah Jabir bin Hayyan. Ia juga dikenal dengan sebutan Jabir al Shufi.
Beberapa pendapat di atas dapat mewakili anggapan bahwa sufi secara isthilahya mendapat arti yang bermacam-macam. Tidak hanya dari segi istilah, dari segi asalnya pun tidak luput dari perbedaan. Ada yang mengkaitkannya dengan ajaran Hindu semisal Nirvana dan Vedanta. Ada yang mengakaitkan silsilahnya kepada praktek ruhbaniyah al masihiyah (Nasrani) dan sebagainya. Meskipun demikian tidak sedikit pendapat yang mengatakan sufisme lahir dari ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam upaya mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perdebatan di atas tidak berhenti sampai di situ. Beberapa tokoh sufi sendiri tidak luput dari kontroversi. Bahkan disebabkan keadaan, pemikiran dan ucapannya yang tidak lazim, para sufi pun tidak luput dari tuduhan gila dan kafir. Misalnya, seperti yang dialami al Hallaj, Suhrawardy al Maqtul dan lain-lain. Lain halnya dengan Abu Yazid yang akan dibahas dalam makalah ini. Sufi Persia yang menggagas pemikiran, fana’, baqa dan ittihad ini, tak kalah fenomenal dan besar dengan mazhabnya itu.
Berdasarkan objek dan sasarannya, tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah, pembidangan ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Abu Yazid, berdasarkan pendapat di atas dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.
Untuk mengenal lebih lanjut Abu Yazi al Busthamy dan corak sufistiknya, berikut ini penulis akan membagi pembahasan kepada dua sub bahasan yaitu Profil Abu Yazid al Busthamy dan Pemikiran Sufistiknya.
II.PROFIL ABU YAZID AL BUSTHAMY
1. Riwayat Singkat
Abu Yazid al Busthamy yang mempunyai nama kecil Thaifur dilahirkan di Bistham Khurasan, Persia pada tahun 188 H. Nama lengkapnya Sulthan al ‘Arifin Abu Yazid al Akbar Thaifur bin Isa. Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Dalam literatur berbahasa Inggris sering ditulis dengan Bayazid Bistami, atau Bayazid Bustamy al Khurasany. Kadang-kadang juga digunakan nama Abu Yazid Thaifur bin Isa. Literatur berbahasa Indonesia cenderung menggunakan kata al Busthamy untuk menulis penisbahan namanya pada kota kelahirannya, Bistham. Bagaimanapun cara penulisannya, yang jelas ia tetap mengacu pada sosok sufi kontroversial dari Bistham Persia.
Perbedaan cara orang menyebut dan menulis namanya, tidak mengurangi ketenaran Abu Yazid al Busthamy (selanjutnya ditulis Abu Yazid) sebagai seorang sufi. Akan tetapi riwayat hidupnya tidak banyak diketahui, kecuali pada fase hidup sufistiknya. Berbagai ungkapan dan hal ihwal kesufiannya (ahwaluhu al shufiyyah) tercatat dalam sejarah sebagai satu corak pemikiran sufi Persia, bahkan sangat mewarnai pada masanya.
Sekilas tentang riwayat hidupnya yang dapat ditulis adalah, bahwa Abu Yazid sejak kecilnya dikenal sebagai pribadi yang saleh. Ia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Ibunya secara rutin mengirmnya mengaji ke Mesjid untuk belajar al Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Kakeknya seorang Majusi namun telah masuk Islam. Setelah besar ia melanjutkan pelajaran ke berbagai daerah. Di antara gurunya adalah Abu Ali dari Sind, yang mengajarinya ilmu tauhid dan tasawuf yang sangat bertentangan dengan paham Sunni.
Abu Yazid mengawali kehidupannya sebagai sufi melalui jalan pertama yaitu zuhd. Zuhd adalah merupakan awal dari gerakan Sufi. Gerakan Zuhud pada prinsipnya merupakan gerakan Islam itu sendiri. Bahkan Nicholson sendiri menyatakan bahwa kelahiran zuhud merupakan keharusan bagi aktifitas berpikir tentang Allah.
Pilihan hidup zuhud bagi Abu Yazid merupakan pilihan sadar, begitu juga untuk menjadi ahl al shufi. Sepertinya pilihan itu merupakan jalan tengah baginya. Jika memang demikian keadaannya sangat sesuai dengan analisis al Afify yang menyatakan; Sufisme merupakan sintesa dari pertentangan fuqaha’ dan mutakallimin dalam memahami Islam. Kaum Sufi/ ahli ibadah tidak dapat menerima ke dua model atau corak pemahaman Islam tersebut, sehingga amalan kaum sufi itu menjadi trend tersendiri dalam beribadah kepada Allah SWT.
Selama 30 tahun ia berkelana di sepanjang padang pasir Syiria dengan keadaan yang sederhana, sedikit makan, sedikit minum dan sedikit tidur. Abu Yazid pernah ditanya, "Bagaimana Anda dapat sampai pada tahap ini?" Ia menjawab, "Dengan perut yang lapar dan tubuh yang telanjang." Apa yang ia lakukan dapat disebut sebagai bentuk “perlawanan” kepada model pemikiran fuqaha’ dan mutakallimin tentang Islam.
Selanjutnya bukti kesadarannya masuk ke dalam dunia sufi sebagaimana pernyataannya berikut:
"Aku bermujahadah selama tigapuluh tahun. Tidak ada yang lebih memberatkan diriku, kecuali ilmu dan melaksanakannya. Kalau bukan karena adanya perbedaan pandangan antar ulama, tentu aku masih muncul. Sedangkan perbedaan di antara para ulama merupakan rahmat, kecuali dalam masalah konsentrasi (tajrid) tauhid."
Pernyataan Abu Yazid di atas menunjukkan titik tolak keberangkatannya ke dalam dunia sufi. Perbedaan dalam memahami Islam antara fuqaha’ dan Mutakallimin (ulama) sebagaimana ia sebutkan pada dasarnya bukanlah pemicu utama. Namun selaku ahli ibadah, persoalan tauhid adalah persoalan yang sangat mendasar dan hanya didapatkan melalui latihan (tajribat) khusus sebagaimana dilakukan ahli ibadah.
Abu Yazid juga memakai pakaian yang sangat sederhana dan cendrung lusuh. Pakaian kaum sufi Persia dikenal dengan basynemabusy (بشنيمابوش), istilah khusus untuk pakaian kaum sufi (ahl al Shufiy).
2.Posisi Abu Yazid Al Busthami dalam Sejarah Sufi
Abu Yazid al Busthamy tidak hanya menjadi bagian dari wacana sufistik pada zamannya, tetapi lebih dari itu ia adalah pendiri dari perkumpulan tarikat yang dinamakan oleh muridnya “Thariqah Thaifuriyah”. Tarikat yang dinisbahkan kepada nama kecilnya Taifur itu mengajarkan konsep al fana’. Ajaran inilah yang menjadikannya terkenal di kalangan sufi. Thaifuriyah merupakan aliran tasawuf yang diterima oleh Islam.
Tasawuf itu terdiri dari dua belas aliran: dua di antaranya dikutuk (mardud), sementara sisanya yang sepuluh diterima (maqbul). Yang diterima ini ialah Muhasibiyah, Qashshariyah, Thayfuriyah, Junaydiyah, Nuriyah, Sahliyah, Hakimiyah, Kharraziyah, Khafifiyah, dan Sayyariyah. Dua aliran yang dituduh sesat itu, pertama, Hululiyah, yang mengambil namanya dari doktrin inkarnasi (hulul) dan inkorporasi (imtizaj), dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran kaum antropomorfis Salimi, dan kedua, Hallajiyah, yang meninggalkan hukum suci (Syari'at), dan telah menempuh jalan bid'ah, dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran Ibahatiyah dan aliran Farisiyah. Doktrin utama aliran ini adalah kegairahan (ghalabat) dan kemabukan (sukr). Mengenai etika, Abu Yazid menjauhkan diri dari pergaulan dan memilih mengundurkan diri dari dunia. Menurutnya, itulah tindakan yang terpuji. Ia menyuruh murid-muridnya melakukan tindakan yang sama. Ajaran lainnya adalah konsepsi (ittihad).
Abu Yazid juga dikenal dengan ucapannya yang aneh, seperti ungkapan orang mabuk dan tidak sadarkan diri yang dikenal dengan ungkapan al Syathah. Syath (the Paradoxes of the Sufis) atau 'perkataan ekstatis' adalah 'cara-cara pengungkapan teofanik' namun tidak dapat diterima ‘aqly dan naqly muslim pada waktu itu. Karena dari sudut pandang manusia murni, perkataan semacam ini tidak masuk akal. Misalnya, teriakan ekstatis yang diucapkan Abu Yazid "Subhani- Mahasuci aku, betapa besar Kemuliaan-ku!"
Dalam sastra Persia, syatah yang diawali Abu Yazid menjadi genre baru dan mencapai puncaknya. Dalam kalangan Sufi, genre ini mewakili sebagian besar keabsahan spiritual pada Sufisme Persia awal.
Corak sufistik Abu Yazid seringkali menjadi bahan diskusi para penulis tentang dunia sufi. Hal ini disebabkan posisinya sebagai orang Persia yang punya akar sendiri dalam praktek kesufian. Disamping itu, ajarannya juga dicurigai sebagai perpaduan mysticism India dan sufistik Islam. Tentang pendapat ini sangat sulit diterima. Von Kremer juga mengindikasikan hal yang sama. Ia berpendapat Tasawuf Islam terinspirasi dan terpengaruh dari pemikiran Nirvana atau Vedanta dalam agama Hindu. Tetapi Nicholson menolak dengan tegas. Alasannya, tidak mungkin orang Islam beramal dengan amalan orang Hindu yang jelas-jelas menyembah berhala (musyrik).
Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, kecuali sebuah kitab berjudul al Nur min Kalimat Abi Taifur, karangan Al Sahlaji. Dalam kitab ini banyak ditemukan kalimat-kalimat atau perkataannya yang aneh dan kadang-kadang terkesan paradok. Bisa dikatakan, kitab itu merupakan rekaman perkataan yang dicatat oleh muridnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Yazid al Busthamy merupakan seorang Sufi besar. Kebesarannya itu ditunjang oleh kepeloporannya dalam menggagas doktrin al fana’ dan al ittihad yang banyak dianut dan dikembangkan oleh berbagai aliran tasawuf sejak dahulu hingga saat ini. Kerana itulah ia berhak mendapatkan posisi khusus dalam sejarah sufi.
III.PEMIKIRAN ABU YAZID AL BUSTHAMY
1.Sekilas Sufisme Persia
Pada abad-abad pertama, praktis semua perkembangan penting dalam sejarah awal sufi secara geografis berkaitan dengan Persia. Meskipun tidak hanya terbatas pada wilayah Persia yang sekarang dikenal sebagai Iran, namun kebanyakan tokoh besar sufi berasal dari Persia.
Bagi yang berpendapat bahwa terma dan segenap amalan sufi berasal dari pengaruh Persia (mu’atsarat al Farisiah), seperti Annemarie Schimmel, mendasari pendapatnya pada kenyataan bahwa sebagian besar tokoh sufi Islam yang terkenal berasal dari Tanah Persia. Misalnya Ma’ruf al Karkhy dan Abu Yazid al Busthamy.
Secara umum, kajian sufistik bergerak dalam dimensi tuhan dan manusia. Jika boleh bereksperimen, alam sufi merupakan dimensi ketiga. Tetapi bagaimanapun, debat tentang wacana sufistik sering menghangat pada kajian ketuhanan. Karena itu fokus kajian berikut juga berangkat dari titik ini. Dengan memperhatikan perkembangan tasawuf serta tipologinya, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu; konsepsi etikal, konsepsi estetikal dan konsepsi union mistikal. Sufistik Persia pada umumnya menganut konsepsi yang ketiga, union mistikal.
Konsepsi yang ketiga itu menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya. Abu Yazid berdasarkan latarbelakang kehidupannya diduga kuat menjadi bagian dari pendukung konsep tasawuf yang juga dikenal dengan istilah teosofi sebagai sintesa falsafi terhadap teologi dan sufistik
Pada umumnya, mereka yang bermazhab Syi'ah dan atau yang berpola pikir Muktazilah dalam teologi dapat merima konsep-konsep tasawuf falsafi. Oleh karena itu, aliran tasawuf ini berkembang pesat di kawasan di mana umat Islamnya bermazhab Syi'ah dan atau beraliran Muktazilah. Hal ini menjadi sebab utama kenapa sebagian orang menamainya dengan Tasawuf Syi'i. Diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, dimungkinkan mengingat kawasan itu jauh sebe¬lum Islam sudah mengenal filsafat.
2. Konsep Al Fana’Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana'an nafs). Fana'an nafs, adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal tentang al fana’ sebagaimana cerita berikut:
“Pertama kali saya masuk ke rumah suci (Baitullah-pen), saya melihat rumah suci itu. Ketika saya masuk untuk kedua kalinya, saya melihat Penguasa rumah itu. Ketika saya masuk untuk ketiga kalinya, aku tidak melihat rumah itu, maupun penguasanya”
Dengan ungkapan di atas, Abu Yazid bermaksud mengatakan bahwa “Saya menjadi hilang dalam Tuhan, sehingga saya tidak tahu apa-apa. Ketika saya melihat sama sekali, saya telah menjadi Tuhan.” Ungkapan yang berarti sama terjadi saat seseorang mendatangi rumah Abu Yazid dan memanggil-manggilnya. Abu Yazid menjawab;
“Siapa yang kamu cari?” Abu Yazid bertanya.
“Abu Yazid,” jawab orang itu.
“Orang yang malang!” kata Abu Yazid. “Saya telah mencari Abu Yazid selama tigapuluh tahun dan tidak menemukan jejak dan tanda-tandanya.”
Pada perkembangannya yang awal, kelihatannya ada dua aliran al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana fi't tauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma'rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.
Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi berikut ini:
Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi:
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-sakar (mabuk) al-syathahat (ucapan/ocehan), al-zawal al-hijab (keluar dari dimensi kemanusiaan/keluar dari alam materi ) dan ghalab al-syuhud (kesempurnaan penglihatan). Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa AS di Tursina.
Secara bahasa, syathahat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar, al-zawal al hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber"ada" di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana sebagai "the passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence".
Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ka-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan al Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Zat Mutlak.
Dengan demikian, pada umumnya diasumsikan bahwa tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan, yang diistilahkan dalam simbol "fana". Sebelum masa Abu Yazid, fana diartikan kaum sufi sebagai "pengabdian", sehingga fana diri berarti pengabdian kesadaran diri atau pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah munculnya Ibn Arabi, ia mendefinisikan fana kepada dua pengertian, yakni:"
1.Fana dalam pengertian mistis, yaitu "hilangnya" ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia "menyadari" non-eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.
2.Fana dalam pengertian metafisika, yang berarti "hilangnya bentuk-bentuk" dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah "fananya" bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu kata Ibn Arabi, fana yang benar itu adalah hilangnya "diri" dalam keadaan pengetahuan intuitif di mana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.
Sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dan "dirinya" sendiri di dalam pengalaman mistikal, baik dengan pengetahuan mistikal maupun dengan penghayatan esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk (form), tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non-eksistensi dari form atau bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi.
3. Konsep Al Baqa’Al Baqa’ adalah kelanjutan dari al fana. Apabila Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Sedangkan seorang sufi yang notabenenya manusia (materi) dianggap hilang tinggallah yang maha kekal, yaitu Allah SWT. Diduga kuat, pemikiran ini didasari pada Firman Allah dalam al Qur’an, surat al Rahman (55) ayat 27 sebagaimana berikut: Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Keterserapan atau kefanaan sangat uth sehingga yang benar-benar tinggal dan kekal (Baqa’) adalah Allah. Pada suatu saat Abu Yazid dipanggil oleh seorang muridnya yang telah tinggal bersamanya selama duapuluh tahun. Setiap bertemu Abu Yazid justru bertanya nama muridnya itu;
============================================
“Wahai anakku, siapa namamu?” Tanya Abu Yazid.
“Guru, engkau mengolok-olokku. Selama duapuluh tahun aku melayanimu, selama itu pula engkau bertanya tentang namaku,” jawab sang murid.
“Anakku,” balas Abu Yazid. “Aku tidak mengejekmu, tetapi Nama-NYA telah masuk ke dalam hatiku dan mengeluarkan nama-nama yang lain. Begitu aku tahu nama-nama baru, aku segera melupakannya.”
============================================
4. Konsep Al Ittihad
Sebagaimana diuraikan dalam point al Baqa’ di atas, seorang sufi telah hilang karena ke fana’ annya, dan tinggalah wajah Allah yang kekal, (Baqa). Al Fani, telah lebur dan menyatu dengan Allah. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang Maha Esa.
Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriahnya, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid yang puitis berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad itu. Abu Yazid berkata:
Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya la berkata, hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab hiasilah aku dengan keEsaan-Mu, dan pakailah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: "Kami telah melihat Engkau. Tetapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana.
Rangkaian ungkapan Abu Yazid itu merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihad. Pada bagian awal ungkapannya itu melukiskan alam ma'rifat dan selanjutnya memasuki alam fana'an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad itu diperjelas lagi oleh Abu Yazid dalam ungkapannya :
Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau , adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku
Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana'an nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan:
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Firaun. Proses ittihad menurut versi Abu Yazid ini adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya kakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.
IV.PENUTUP
Memahami pemikiran sufi, ibarat menyelami samudera yang penuh misteri, sekaligus hikmah (bihar al hikmah). Untuk mencari apa yang dimaksudkan para sufi dalam tajrib al ruhy-nya membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan bebas dari prasangka negative. Sebagaimana ungkapan Abu Yazid,”Sesuatu yang kita tunjukkan tidak dapat ditemukan dengan keinginan, tetapi hanya pencari yang menemukannya.” Dalam pencarian singkat dan penyelaman yang dangkal ini, penulis ingin menyimpulkan;
1.Abu Yazid al Busthami adalah sufi besar Persia yang muncul setelah mensintesa perbedaan antara fuqaha’ dan Mutakallimin (Ulama) dalam memahami Islam. Pilihan Abu Yazid akhirnya jatuh pada jalan sufi.
2.Abu Yazid selain seorang sufi, bisa dianggap sebagai seorang seorang filosof. Pendapat ini didasari fakta bahwa tidak mungkin Abu Yazid mensintesa perbedaan fuqaha’ dan mutakallimin tanpa pengetahui corak fikir kedua model ulama tersebut.
3.Abu Yazid, dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.
4.Pemikiran Abu Yazid tentang al fana’, al baqa’ dan ittihad, memang kontroversial. Tetapi belum dapat dianggap sesat karena semua itu ia lakukan karena/ untuk menuju Allah. dan ia tidak pernah mengaku sebagai tuhan.
5.Pada batas dan keperluan tertentu, mabuk dan kegilaan Abu Yazid terhadap Allah dapat ditiru sebagai pendekatan untuk khusyu’ saat beribadah kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Padang, April 2007
(Muhammad Nasir)
DAFTAR BACAAN
Muhammad Nasir, Atsar al Harakah al Shufiyah fi al Adab al ‘Abbasy, (Skripsi, IAIN Imam Bonjol Padang, 2002) h. 6-14
Muhammad Abd. Mun’im Khafaji, al Adab fi al Turatsi al Shufy, (Maktabah Gharib: Fujalah), h. 14
R.A. Nicholson, fi al tashaufi al Islamy wa al tarikhihy
Abd. Mun’im al Khafajy, al Mausu’ah al Shufiyah, (al Qahirah: Dar al Irsyad, 1992), h. 51
Leonard Lewisohn, The Heritage of Sufism; Classcal Persian Sufism form its Origin to Rumi (England: Oneworld Publication, 1999)
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 85
R.A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1966) h.3
Abu al Wafa’ al Ghanimy al Taftazany, Madkhal ila Tashawwufi al Islamy, (Fujalah/ t.t.p.) h.61
http://www.sufinews.com, diakses tanggal 28/03/2007 jam 19:07:52
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islamy, (Kairo: al Maktabah al Nahdhah al Mishriyyah, 1979) h. 220
Al Hujwiry, Kasyful Mahjub, edisi bahsa Indonesia oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1994), h. 126
Sayyed Hossein Nasr, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia, dalam Warisan Sufi (Jakarta: Pustaka Sufi, 2002) h. 33
Endang Saifuddin Anshary, Wawasan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) h. 392
Prof. H.A Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 141
Ibrahim Basyuni, Nas’ah al Tasawuf al Islam, (Kairo, Dar al Ma’arif, 1969), h 138
Al Qusyairy, al Risalah al Qusyairiyah, Kairo, 1966,h. 33
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h.85
A. Kadir Mahmud, Falsafah al Shufiyah fi al Islam, Dar al Fikri al Arabi, Kairo, 1966.
No comments:
Post a Comment