Prof Mestika Zed (1955-2019)
Di mana saja Asal di Surga
Oleh Muhammad Nasir
Suatu siang di sebuah seminar (30 Agustus 2014).
Seseorang pria yang amat saya kenal menggamit saya yang baru masuk ke ruangan
sebuah seminar. “Sini!” katanya seraya menggeser sebuah kursi kosong di
sampingnya. Di barisan paling belakang ruangan. Nervous dan agak grogi saya
duduk di sampingnya. Di samping Prof. Dr. Mestika Zed, Guru Besar Sejarah
Universitas Negeri Padang. Guru saya juga.
“Bagaimana Tesis anda? Jadi membahas terorisme?
Tanya Prof Mestika Zed singkat dan hangat. “Alhamdulillah Prof. Sudah selesai. Ya
Allah, Prof. Masih ingat itu,” jawabku sedikit kaget dengan pertanyaan yang
lebih mirip sapaan hangat itu. “Ya, ingatlah. Tapi saya hanya agak-agak lupa nama anda,” jawabnya. Demikian tegur
sapa singkat saya dengan beliau di awal pertemuan ilmiah siang itu. Saya
terkesan.
Usai tegur sapa hangat itu, beliau berbisik, “tema
seminarnya lucu dan menggemaskan.” O, ya...kenapa begitu prof? Kemudian kami
ngobrol-ngobrol di sela-sela pembicaraan narasumber yang sedang berkuhampas di
depan. Tema seminar itu tentang Islam dan Radikalisme. Beliau menyatakan bahwa
radikalisme sejatinya sebuah respon atas situasi yang berlangsung lama. Dalam
jangka pendek merupakan reaksi atas suatu peristiwa. “Jadi, ia (radikalis) hadir
karena ada yang lain” Demikian ia berpendapat.
Tanpa bermaksud mendalami, saya mengajukan pertanyaan singkat, takut-takut
sekadar memberi respon. Saya takut mengajukan pertanyaan yang dianggap tak
bermutu. “Apa kira-kira maksud “yang lain” itu Prof?” tanyaku. Ia menjawab, “Politik
dan Kekuasaan. Coba periksa catatan (sejarah) lama. Ideologi (radikal) itu
muncul sebagai respon atas tindakan penguasa (kekuasaan) dan konstalasi politik.”
Tak lama ia memegang lenganku dan berkata, “sekarang mari kita dengar apa kata
narasumber di depan itu!”
Bincang singkat itu, saya tulis di block note hadiah
panitia seminar.
From Somewhere in The Jungle
Buku Mestika Zed. Foto diambil dari Tokopedia |
Tak lama setelah membaca berita wafatnya beliau di
lini masa facebook, saya membuka Wikipedia untuk melihat tahun berapa beliau
lahir. Saya kaget, Wikipedia teramat cepat mengupdate berita. Silakan simak
narasi ensiklopedi bebas dunia maya ini:
Prof. Dr. Mestika Zed, M.A. (lahir di Batu Hampar,
Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 19 September 1955 – meninggal di Padang, 1
September 2019 pada umur 63 tahun) adalah sejarawan Indonesia. Ia merupakan
guru besar sejarah di Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas. Ia
aktif menulis buku serta sebagai kolumnis.
Ternyata wikipedia menyitir dari Singgalang dan
Langgam.id. "BREAKING NEWS; Guru Besar Sejarah UNP Mestika Zed
Meninggal". Harian Singgalang. 1 September 2019. Diakses tanggal 1
September 2019. Selanjutnya, Indonesia Berduka:
Sejarawan Mestika Zed Tutup Usia". Langgam.id. 1 September 2019. Diakses tanggal 1 September 2019.
Begitulah, orang baik dan orang besar dalam ilmu sejarah. Cerita tentang
dia begitu cepat tersebar.
Saya menyukai gaya bicaranya yang datar dan ringan.
Saya sukacaraia menyapa saya. Saya ingat gaya bicaranya, gestur tubuhnya dan
tas kain yang ia sering bawa untuk mengangkut buku referensi yang akan
diperkenalkan kepada mahasiswanya, bahkan jika ia percaya, ia akan menyuruh
kami memfotokopinya.
“Silakan difoto kopi dan dikembalikan. Saya tak
begitu ingat siapa yang memfoto kopi bahan ajar saya. Tapi saya akan ingat
siapa yang mengembalikannya.” Demikian kata Prof. Mestika kepada saya saat
diberi kesempatan untuk memperoleh buku dan bahan ajar yang ia bawa di
perkuliahan. Tempo bicaranya pelan tapi pasti. Saya mengira struktur bahasanya
mengikut gaya berbicara orang Inggris atau Belanda.
Sejatinya saya mengenal beliau sejak aksi reformasi
1998. Saya melihatnya di forum seminar, di pertemuan para aktivis Sumatera
Barat. Di Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, teman-teman saya se almamater,
terutama Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) sering menyebut nama
beliau. Apa daya, saya mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab. Secara formal, tentu
tak dapat belajar langsung dengan beliau.
Waktu berganti, masa berlalu. Tiba masanya saya
dipertemukan langsung sebagai murid dan guru. 2006-2007. Dalam waktu yang
pendek, hanya tiga semester, saya menimba ilmu langsung dari beliau dalam empat
matakuliah di Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Filsafat Sejarah,
Historiografi, Historiografi Islam dan Metode Penelitian Sejarah. Yang paling
berkesan dan membentuk pengetahuan dan minat saya terhadap sejarah adalah matakuliah
Filsafat Sejarah. Di sana saya mulai paham siapa Ibnu Khaldun,Thomas Carlyle, A.J. Toynbee, GWF Hegel, F. Ankersmith,
Francis Fukuyama, Mohammad Yamin, Soedjatmoko dan lain-lain.
Bersama Prof Mestika Zed dan Dr. Yulizal Yunus (2019) |
“Jangan asal kutip. Mereka tidak sedang membuat
kata-kata indah. Mereka sedang membuat abstraksi persoalan manusia yang amat
besar, sebuah pola sejarah yang filosofis,” katanya suatu ketika di sebuah
kelas sambil memberi catatan atas tugas kuliah yang ia berikan.
Demikianlah, bagaimana ia berjasa besar terhadap
diri saya untuk memahami belantara ilmu sejarah yang sebelumnya ibarat Somewhere
in the Jungle, sebuah istilah yang saya ambil dari buku beliau: Somewhere
in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti,
1997.
Selebihnya, interaksi saya dengan beliau
berlangsung dalam forum-forum seminar, pertemuan, diskusi.
Anywhere! in all parts of heaven
(maaf kalau bahasa Inggrisnya salah)
Dalam sebuah bimbingan tugas mata kuliah Metode
Penelitian Sejarah beliau pernah mencandai saya. “Kalau saya masuk surga tak
mau pilih-pilih. Boleh di mana saja, asal masih di surga,” ujarnya sambil
tertawa-terkekeh usai membaca separagraf uraian saya tentang fenomena bom bunuh
diri (suicide bombing). Saya memang
menulis proposal tesis “Transformasi Gerakan Fundamentalisme Islam di Indonesia
Pascaperistiwa 9/11”.
Lupakanlah proposal tesis saya yang kemudian berubah
judul “Implikasi Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Melawan Terorisme terhadap
Citra Islam di Indonesia Pascaperistiwa 11 september 2001.” Beliau memang tak
jadi menjadi pembimbing tesis saya. Tapi, Insya Allah beliau memang berhak atas
Di mana Saja Tempat di Surga. Asalkan itu di Surga. Begitulah harapan dan do’a
dari seorang murid.
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fuanhu.
Paraklaweh Pulau Aie Nan XX
1 Muharram 1441 H/ 1 September 2019
Tulisan ini atas izin penulis juga dikutip oleh:
Langgam.id
Warta Pembaruan
Sumbar Online
Faktual.Net
Tulisan ini atas izin penulis juga dikutip oleh:
Langgam.id
Warta Pembaruan
Sumbar Online
Faktual.Net
Hanya ini "kesaksian kecil" yang dapat kuberikan untukmu Prof.
No comments:
Post a Comment