Ekspedisi Pamalayu: Rintisan Tulisan
Muhammad Nasir
Arti Pamalayu
Arca Amoghapasa (Wikipedia) |
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui
operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah
Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya
di Pulau Sumatra.[1][T1]
Nagarakretagama[2][T2]
mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan
Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan
karena raja Swarnnabhumi[T3]
ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap
berhasil memperoleh kemenangan.[3][T4]
Adapun Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi pada
abad ke-13, atau 22 Agustus 1286. Ekspedisi itu dilakukan oleh Kerajaan
Singasari untuk menjalin persahabatan dengan Malayu-Dharmasraya di bawah
pemerintahan Raja Kertanegara. Ekspedisi itu sebagai bentuk bala bantuan untuk
mencegah invasi Kekaisaran Mongol yang dipimpin Kubilai Khan.[4]
Berdasarkan sumber-sumber sejarah, terdapat
kesamaan informasi bahwa Ekspedisi Pamalayu merupakan ekspedisi yang dijalankan
pada masa pemerintahan Raja Kertanegara, Raja Kerajaan Singasari yang terakhir
yang memerintah antara tahun 1268 –1292 M.
Kata
kunci: Singasari, Melayu, Dharmasraya
Sumber Sejarah
1. Kitab Nagarakretagama
Kitab Nagarakretagama (1365) menyebutkan Kartanegara menyuruh
menundukkan Melayu. Berikut kutipannya:
Pupuh 41 Nomor (5)
(5)
Khathakna muwah narendra krtanagaranilanaken/ katunka kujan, manama cayaraja çirnna
rikanaɳ çakabda bhujagoçaçaksaya pjah, nagasyabhawa çaka saɳ prabhu kumon
dumona rikanaɳ tanah ri malayu, lwes mara bhayanya sanka ri khadewamurttinira
nuni kalahan ika.
Terjemahan:
(5)
Tersebut Sri Baginda Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat, Bersama
Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192), Tahun Saka muda
bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh tundukkan Melayu, Berharap Melayu takut
kedewaan beliau, tunduk begitu saja.[5]
2. Serat Pararaton[6]
Naskah Serat Pararaton
menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke
Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294[7][T5]
3. Prasasti Padangroco
Punggung Amoghapasa, (Wikipedia) |
Prasasti
Padang Roco pertamakali ditemukan pada tahun 1911 di hulu sungai Batanghari. Kompleks
percandian Padangroco berada di nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, Kabupaten
Dharmasraya, Sumatra Barat. Prasasti ini berangka tahun 1208 Saka atau 1286
Masehi, dituliskan pada arca Amoghapāśa hadiah dari śrī mahārājādhirāja keṛtanagara
wikrama dharmmottunggadewa raja dari kerajaan Singhasari di Jawa untuk rakyat
dan Raja Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatra. Prasasti ini menceritakan
bahwa pada tahun 1208 Saka, atas perintah raja Kertanegara dari Singhasari,
sebuah arca Amoghapasalokeswara dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk
ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Swarnabhumi
bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya śrī mahārāja śrīmat
tribhuwanarāja mauliwarmmadewa
4. Catatan dari Dinasti Ming
Catatan dari Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa pada
tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun
demikian, San-fo-tsi tidak wajib bermakna Sriwijaya, karena pada tahun tersebut
Sriwijaya sudah tidak ada.
5. Catatan Dinasti Song
Dalam catatan Dinasti Song (960-1297) kata San-fo-tsi memang
identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi[8]
yang ditulis tahun 1225, San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan ujar
lain, San-fo-tsi menjadikan ujar bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana
mereka menyebut Jawa dengan ujar Cho-po.
Sumber yang disebutkan pada poin no 4 dan 5
menuliskan kata San-fo-tsi. Itu dapat dimaknai bahwa istilah San-fo-tsi yang
semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut
Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah
Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan
Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah
San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sebagai simpulan, bahwa Ekspedisi
Pamalayu sesuai dengan waktu dan aktor Singhasarinya jelas sebuah ekspedisi
politik diplomasi ke sebuah daerah di Sumatera yang menjadi wilayah kekuasaan
Kerajaan Dharmasraya.
Tujuan Ekspedisi
Berdasarkan sumber-sumber yang disebutkan di atas dapat
dipahami tujuan Ekspedisi Pamalayu ini, yaitu:
Tujuan Penaklukan
Tujuan ini
sesuai dengan informasi dari Kitab Nagarakretagama dan Serat Pararaton. Tujuan
ini diklaim berhasil karena kerajaan Malayu (Dharmasraya) tunduk di bawah
kekuasaan Sighasari dan berlanjut hingga kekuasaan Kerajaan Majapahit. Setelah
kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286
Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya
2.
Tujuan Persahabatan
Terutama
pada prasasti Padangroco, terbaca bahwa penaklukan ini berakhir dengan
perjanjian persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, Kertanagara mengirim Arca
Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Sebaliknya, Setelah penyerahkan
arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan
Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.
Namun
dalam hubungan persahabatan ini masih terbaca bahwa Dharmasraya telah menjadi
bawahan dari Singhasari, terutama jika dilihat dari gelar yang dipakai oleh
kedua raja tersebut. Perhatikan teks Srimaharajadiraja yang digunakan
Kartanegara pada nama dan gelarnya Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama
Dharmmottunggadewa dan teks Sri Maharaja pada nama Raja Dhramasraya Maharaja Tribhuawanaraja
yaitu Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa.
Perdebatan Kekinian
Ekspedisi Pamalayu tak ayal mengundang perdebatan
di kalangan penghikmat kebudayaan, sejarawan dan peneliti kerajaan-kerajaan
Nusantara. Perdebatan yang paling hangat adalah tentang pertama, apakah
penaklukan ini merupakan supremasi kerajaan Sighasari dan Majapahit di Jawa
atas Kerajaan Dharmasraya sebagai pelanjut kerajaan Sriwijaya, kedua, apakah
makna persahabatan kedua kerajaan tersebut.
Persoalan pertama terlihat dalam penggunaan gelar
yang dipakai oleh kedua raja tersebut. Perhatikan teks Srimaharajadiraja
yang digunakan Kartanegara pada nama dan gelarnya Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama
Dharmmottunggadewa dan teks Sri Maharaja pada nama Raja Dhramasraya Maharaja Tribhuawanaraja
yaitu Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa. Gelar yang dipakai
kedua raja tersebut terbaca bahwa Dharmasraya telah menjadi bawahan dari
Singhasari.
Persoalan kedua, bahwa persahabatan itu pada
dasarnya tidak menunjukkan supremasi Singhasari atas Dharmasraya. Perbedaan
gelar kebesaran hanya tinggal gelar, karena faktanya, pasca ekspedisi tersebut
Kertanegara justru telah wafat. Dara Petak dan Dara Jingga yang dikirim untuk
Kertanegara justru menjadi tanda kekerabatan yang diikat dengan hubungan
perkawinan dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam sistem
kekerabatan matrilinial Minangkabau, Raden Wijaya justru adalah Sumando atau
menantu Sri Maharaja Tribhuwanarata Mauliwarmmadewa.
[1] Anthony Reid, (2001). Understanding Melayu (Malay)
as a Source of Diverse Modern Identities. Journal of Southeast Asian
Studies. 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
[2] Naskah ini ditulis oleh Mpu Prapanca, diduga nama
samaran dari Dang Acarya Nadendra bekas pembesar urusan agama Buddha di istana
Majapahit. Nakah selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September –
Oktober 1365 Masehi)
[3] Slamet Muljana,
Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006
[4] Tempo.co (24/08/2019), Festival Pamalayu,
Mengartikan Ulang Ekspedisi Pamalayu, https://travel.tempo.co/read/1239793/festival-pamalayu-mengartikan-ulang-ekspedisi-pamalayu/full&view=ok, diakses 14 September 2019
[5] Disalin dari https://oediku.wordpress.com/2017/08/17/kitab-negarakertagama-naskah-asli-dan-terjemahannya/. Menurut keterangan penulis blog, naskah yang dikutip
merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia versi Prof. Slamet Muljana, diakses
tanggl 14 September 2019
[6] R.M. Mangkudimedja, (1979), Serat Pararaton, Jilid 2,
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah. Tentang Serat Pararaton tidak diketahui siapa penulisnya.
Serat Pararaton diperkirakan ditulis pada tahun 1535 Saka atau 1613 M.
[7] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2005
[8] Naskah Chu-fan-chi atau Zhufan Zhi ditulis tahun 1255
oleh Zhao Rugua atau Chau Ju-Kua atau Chou Ju-kua (1170–1228) seorang pemeriksa
pabean di kota Quanzhou di Tiongkok pada masa akhir wangsa Song.
[T1]Naskah
jurnal belum bisa dibuka, berbayar
[T2]Cari
Referensi
[T3]Cari
Referensi tentang Swarnabumi
[T4]Cari
buku Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta:
PT LKiS Pelangi Aksara, 2006
[T5]Cari
buku Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta:
LkiS, 2005
No comments:
Post a Comment