15 September 2019

Ekspedisi Pamalayu: Rintisan Tulisan


Ekspedisi Pamalayu: Rintisan Tulisan
Muhammad Nasir



Arti Pamalayu
Arca Amoghapasa (Wikipedia)
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra.[1][T1] 

Nagarakretagama[2][T2]  mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi[T3]  ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.[3][T4] 

Adapun Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi pada abad ke-13, atau 22 Agustus 1286. Ekspedisi itu dilakukan oleh Kerajaan Singasari untuk menjalin persahabatan dengan Malayu-Dharmasraya di bawah pemerintahan Raja Kertanegara. Ekspedisi itu sebagai bentuk bala bantuan untuk mencegah invasi Kekaisaran Mongol yang dipimpin Kubilai Khan.[4]

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, terdapat kesamaan informasi bahwa Ekspedisi Pamalayu merupakan ekspedisi yang dijalankan pada masa pemerintahan Raja Kertanegara, Raja Kerajaan Singasari yang terakhir yang memerintah antara tahun 1268 –1292 M.
Kata kunci: Singasari, Melayu, Dharmasraya


Sumber Sejarah
1. Kitab Nagarakretagama 
Kitab Nagarakretagama (1365) menyebutkan Kartanegara menyuruh menundukkan Melayu. Berikut kutipannya:


Pupuh 41 Nomor (5)
(5) Khathakna muwah narendra krtanagaranilanaken/ katunka kujan, manama cayaraja çirnna rikanaɳ çakabda bhujagoçaçaksaya pjah, nagasyabhawa çaka saɳ prabhu kumon dumona rikanaɳ tanah ri malayu, lwes mara bhayanya sanka ri khadewamurttinira nuni kalahan ika.
Terjemahan:
(5) Tersebut Sri Baginda Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat, Bersama Cayaraja, musnah pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192), Tahun Saka muda bermuka rupa (1197) Baginda menyuruh tundukkan Melayu, Berharap Melayu takut kedewaan beliau, tunduk begitu saja.[5]

          2. Serat Pararaton[6]
Naskah Serat Pararaton menyebutkan bahwa pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang ke Jawa sepuluh hari setelah kepergian bangsa Mongol tahun 1294[7][T5] 

      3. Prasasti Padangroco
Punggung Amoghapasa, (Wikipedia)
Prasasti Padang Roco pertamakali ditemukan pada tahun 1911 di hulu sungai Batanghari. Kompleks percandian Padangroco berada di nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Prasasti ini berangka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi, dituliskan pada arca Amoghapāśa hadiah dari śrī mahārājādhirāja keṛtanagara wikrama dharmmottunggadewa raja dari kerajaan Singhasari di Jawa untuk rakyat dan Raja Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatra. Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun 1208 Saka, atas perintah raja Kertanegara dari Singhasari, sebuah arca Amoghapasalokeswara dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa

4. Catatan dari Dinasti Ming 
  Catatan dari Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, San-fo-tsi tidak wajib bermakna Sriwijaya, karena pada tahun tersebut Sriwijaya sudah tidak ada.

5. Catatan Dinasti Song 
    Dalam catatan Dinasti Song (960-1297) kata San-fo-tsi memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi[8] yang ditulis tahun 1225, San-fo-tsi identik dengan Dharmasraya. Dengan ujar lain, San-fo-tsi menjadikan ujar bangsa Cina untuk pulau Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan ujar Cho-po.

Sumber yang disebutkan pada poin no 4 dan 5 menuliskan kata San-fo-tsi. Itu dapat dimaknai bahwa istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sebagai simpulan, bahwa Ekspedisi Pamalayu sesuai dengan waktu dan aktor Singhasarinya jelas sebuah ekspedisi politik diplomasi ke sebuah daerah di Sumatera yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Dharmasraya.

Tujuan Ekspedisi
Berdasarkan sumber-sumber yang disebutkan di atas dapat dipahami tujuan Ekspedisi Pamalayu ini, yaitu:

      Tujuan Penaklukan
Tujuan ini sesuai dengan informasi dari Kitab Nagarakretagama dan Serat Pararaton. Tujuan ini diklaim berhasil karena kerajaan Malayu (Dharmasraya) tunduk di bawah kekuasaan Sighasari dan berlanjut hingga kekuasaan Kerajaan Majapahit. Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya
2.       
      Tujuan Persahabatan
Terutama pada prasasti Padangroco, terbaca bahwa penaklukan ini berakhir dengan perjanjian persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, Kertanagara mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di Dharmasraya. Sebaliknya, Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan Kertanagara di Singhasari.

Namun dalam hubungan persahabatan ini masih terbaca bahwa Dharmasraya telah menjadi bawahan dari Singhasari, terutama jika dilihat dari gelar yang dipakai oleh kedua raja tersebut. Perhatikan teks Srimaharajadiraja yang digunakan Kartanegara pada nama dan gelarnya Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa dan teks Sri Maharaja pada nama  Raja Dhramasraya Maharaja Tribhuawanaraja yaitu Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa.

Perdebatan Kekinian

Ekspedisi Pamalayu tak ayal mengundang perdebatan di kalangan penghikmat kebudayaan, sejarawan dan peneliti kerajaan-kerajaan Nusantara. Perdebatan yang paling hangat adalah tentang pertama, apakah penaklukan ini merupakan supremasi kerajaan Sighasari dan Majapahit di Jawa atas Kerajaan Dharmasraya sebagai pelanjut kerajaan Sriwijaya, kedua, apakah makna persahabatan kedua kerajaan tersebut.

Persoalan pertama terlihat dalam penggunaan gelar yang dipakai oleh kedua raja tersebut. Perhatikan teks Srimaharajadiraja yang digunakan Kartanegara pada nama dan gelarnya Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa dan teks Sri Maharaja pada nama  Raja Dhramasraya Maharaja Tribhuawanaraja yaitu Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa. Gelar yang dipakai kedua raja tersebut terbaca bahwa Dharmasraya telah menjadi bawahan dari Singhasari.

Persoalan kedua, bahwa persahabatan itu pada dasarnya tidak menunjukkan supremasi Singhasari atas Dharmasraya. Perbedaan gelar kebesaran hanya tinggal gelar, karena faktanya, pasca ekspedisi tersebut Kertanegara justru telah wafat. Dara Petak dan Dara Jingga yang dikirim untuk Kertanegara justru menjadi tanda kekerabatan yang diikat dengan hubungan perkawinan dengan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau, Raden Wijaya justru adalah Sumando atau menantu Sri Maharaja Tribhuwanarata Mauliwarmmadewa.





[1] Anthony Reid, (2001). Understanding Melayu (Malay) as a Source of Diverse Modern Identities. Journal of Southeast Asian Studies. 32 (3): 295–313. doi:10.1017/S0022463401000157.
[2] Naskah ini ditulis oleh Mpu Prapanca, diduga nama samaran dari Dang Acarya Nadendra bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit. Nakah selesai ditulis pada bulan Aswina tahun Saka 1287 (September – Oktober 1365 Masehi) 
[3] Slamet Muljana,  Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006
[4] Tempo.co (24/08/2019), Festival Pamalayu, Mengartikan Ulang Ekspedisi Pamalayu, https://travel.tempo.co/read/1239793/festival-pamalayu-mengartikan-ulang-ekspedisi-pamalayu/full&view=ok, diakses 14 September 2019
[5] Disalin dari https://oediku.wordpress.com/2017/08/17/kitab-negarakertagama-naskah-asli-dan-terjemahannya/. Menurut keterangan penulis blog, naskah yang dikutip merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia versi Prof. Slamet Muljana, diakses tanggl 14 September 2019
[6] R.M. Mangkudimedja, (1979), Serat Pararaton, Jilid 2, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Tentang Serat Pararaton tidak diketahui siapa penulisnya. Serat Pararaton diperkirakan ditulis pada tahun 1535 Saka atau 1613 M.
[7] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2005
[8] Naskah Chu-fan-chi atau Zhufan Zhi ditulis tahun 1255 oleh Zhao Rugua atau Chau Ju-Kua atau Chou Ju-kua (1170–1228) seorang pemeriksa pabean di kota Quanzhou di Tiongkok pada masa akhir wangsa Song.

 [T1]Naskah jurnal belum bisa dibuka, berbayar
 [T2]Cari Referensi
 [T3]Cari Referensi tentang Swarnabumi
 [T4]Cari buku Slamet Muljana,  Tafsir Sejarah Nagarakretagama, Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara, 2006
 [T5]Cari buku Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Yogyakarta: LkiS, 2005

No comments: