14 September 2019

Prof Mestika Zed dan Historiografi Minangkabau

Oleh Muhammad Nasir


Saya harus buru-buru menulis ini sebagai ucapan terimakasih atas ilmu yang diberikan guru saya, Prof. Dr. Mestika Zed, MA dalam mata kuliah Historiografi sekitar tahun 2007 yang lalu. Ia pada hari pertama bulan Muharram 1441 Hijriah (1/9/2019) telah berpulang ke rahmatullah. Berita kepulangannya tampil bergantian di beranda facebook saya, antara ucapan selamat tahun baru hijriah, berita rusuh di Papua dan aneka foto-foto kuliner.

Harian Khazanah, 3 September 2019
Berita itu mengagetkan saya. Akhir-akhir ini tak ada yang saya tunggu dari beliau kecuali karya beliau tentang sejarah Minangkabau. Amat sangat saya tunggu. Sebuah karya yang saya yakini sebagai sumbangan Historiografi terbaru tentang Minangkabau. Karya yang sedang ia tulis, bersama dengan sejarawan Unand “spesialis Pantai Barat” Prof Gusti Asnan dan jurnalis senior yang mengemari penulisan sejarah dan biografi tokoh, yaitu Hasril Caniago.

Karya itu menurut beliau merupakan sebuah pengkajian dan penulisan kembali sejarah Minangkabau secara total dan komprehensif dengan periodesasi yang lengkap dari perspektif orang Minangkabau sebagai tokoh dan sumber sejarahnya. Demikian saya kutip dari ucapan beliau kala mengawal Kongres Sejarah Minangkabau di Bukittingi, 16-18 Desember 2018.


Ia menambahkan, memang ada beberapa karya yang cukup baik tentang Minangkabau namun, untuk penulisan sejarah Minangkabau hendaknya melibatkan beberapa ahli dari beberapa disiplin keilmuan, seperti dengan melibatkan para arkeolog dan juga filolog. Oleh sebab itu, sebelum melakukan penulisan hendaklah dilakukan penyamaan persepsi terhadap konten yang akan ditulis. Sekarang ia telah pergi dan saya berada dalam kesedihan dan kegalauan yang akan berlangsung terus, entah sampai beberapa lama.

Bukan Sekadar Sejarawan
Prof Mestika Zed, M.A. lahir di Batu Hampar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 19 September 1955. Ia merupakan salah seorang dari sejarawan asal Minangkabau menulis peristiwa-peristiwa penting di tanah kelahirannya. Namanya layak berdampingan dengan pengkaji Minangkabau, (atau boleh juga Sumatera Barat) yang berasal dari luar. Misalnya Christin Dobbin, Elizabeth E Graves, Audrey Kahin, Tsuyosi Kato dan terakhir mendiang Jeffrey Hadler.

Sementara dari kalangan sejarawan “orang dalam” karya-karya Mestika Zed dapat kita susun dalam satu rak yang sama dengan buku-buku babon Minangkabau karya Taufik Abdullah (Gerakan Kaum Muda), Mochtar Naim (merantau), MD Mansoer (Sedjarah Minangkabau), Rusli Amran, (Plakat Panjang) dan nama-nama sejarawan lainnya yang lupa tersebutkan. Mereka semua adalah sejarawan akademis Minangkabau modern yang mulai mengkaji Minangkabau dengan menggunakan kaidah-kaidah akademik. Oleh sebab itu, karya-karya mereka senantiasa hadir dalam bentuk paling minimal dalam rujukan makalah mahasiswa. Periksalah!

Dalam Historiografi modern, pembaruan penulisan sejarah muncul akibat tuntutan ketepatan teknik untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah didapat melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan, dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Contoh historiografi modern karya Mestika Zed, Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, 1997. Buku ini merupakan sebuah contoh karyanya mengenai sejarah Pemerintah Darurat Repubilk Indonesia (PDRI) yang paling komprehensif, sekaligus merupakan sebuah rekonstruksi sejarah yang terasa sangat hidup.

Setelah karya ini, Mestika menjadi aktor penting di luar statusnya sebagai ahli sejarah. Ia adalah aktivis! Ia telah berjasa mendorong PDRI sebagai satu tonggak sejarah dikukuhkannya Hari Bela Negara yang diperingati setiap tanggal 19 Desember.

Kehadirannya di pelbagai seminar dan diskusi serta tulisan-tulisannya menjadi bukti aktivisme yang berbasis pada ilmu. Orang-orang dapat memeriksa pula jasa-jasanya dalam meng-endorse secara akademis tokoh-tokoh yang belakangan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional, seperti M. Natsir (2008), Hamka dan Syafruddin Prawiranegara (2011). Bukan karena tanah Tan Malaka kurang subur untuk menumbuhkan sejarawan, tetapi sejarawan yang aktivis seperti Mestika Zed ini yang amat langka. Sejarawan yang menjual mobil starlet [?) nya dan tak terlihat akrab dengan telepon cerdas yang nyinyir.

Mestika Zed dan Sejarah Lokal
Karya Profesor Mestika Zed pada umumnya mengambil latar waktu (tempo) di awal abad ke-20, sekitar satu dekade menjelang kemerdekaan hingga satu atau dekade sesudahnya. Oleh sebab itu, karya-karya menyediakan penjelasan yang memadai tentang orang-orang Minangkabau dalam administrasi wilayah Sumatera Barat dalam rentang waktu setengah abad sebelum kemerdekaan hingga sesudahnya.

Kuntowijoyo (2003) menggolongkan Mestika Zed sebagai pegiat sejarah penulisan sejarah lokal dengan pendekatan yang lebih sosiologis. Ia berkontribusi dalam menumbuhkan semangat penelitian sejarah dengan pendekatan sosial dan interdisipliner.  Dengan demikian, sejarah lokal mulai mengalami kemajuan sehingga dapat menjelaskan sejarah secara struktural dalam pola-pola sosial dalam dinamika lokalitas yang dibicarakan. Sejarah struktural, Taufik Abdullah (1985) mengistilahkan sebagai upaya melepaskan sejarah lokal dari sekadar cerita kegemilangan masa lampau tanpa mencari sebabnya dalam masyarakat.

Tentang sejarah lokal yang penuh mistik dan glorifikasi, Mestika Zed (2007) pernah menjelaskan bahwa ia pada dasarnya percaya dengan cerita tersebut. namun zaman sekarang, menurutnya diperlukan suatu kaidah dan pendekatan ilmiah untuk meneliti dan menuliskannya. Ini terkonfirmasi dengan berita yang diturunkan Singgalang (1/9/2019), bahwa suatu saat akan menulis buku-buku mistik Orang Minang.

Mestika Zed dan Historiografi Minangkabau
Beberapa karyanya sangat dikenal di kampus, terutama bagi pengkaji Minangkabau Studies. Sebutlah Melayu Kopi Daun (tesis:1983) Eksploitasi Kolonial dalam Sistim Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847-1908), Pemberontakan Komunis Silungkang 1927: Studi Gerakan Sosial di Sumatera Barat (2004), Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995 (1998).

Periksalah akun google schoolar miliknya, dan perhatikan betapa banyak karya akademisnya dan betapa cemerlang jumlah sitasi terhadap karya-karyanya itu. Namun, setidaknya diperlukan pengklasifikasian yang sekaligus menunjukkan minatnya terhadap suatu bidang ilmu.

Saya melihat, secara akademik karya-karyanya yang berkisar sekitar metodologi sejarah dan peminatan pada sejarah lokal dan sejarah sosial, menunjukkan keandalannya secara metodologis. Secara konten, ia banyak sekali menulis tentang Minangkabau dan Sumatera Barat, terutama tentang kegiatan ekonomi dan perlawanan-perlawanan di sekitar sektor tersebut.

Oleh sebab itu, saya merasa ia sangat patut dihormati karena kekuatan metodologinya serta intensitas perhatiannya pada tema-tema lokalitas Minangkabau. Ia, sebagai sejarawan yang “tinggal di dalam” adalah icon sejarawan Minangkabau yang langka dan sulit tergantikan. Pastinya, ia telah memberi sumbangan besar terhadap perkembangan penulisan sejarah (historiografi) Minangkabau modern.



Note:
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Khazanah,
Edisi Selasa 3 September 2019, halaman 1









No comments: