28 April 2008

Konflik dan Komitmen Politik Pemimpin Umat

Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa PPs IAIN Imam Bonjol Padang

Hampir menjadi kenyataan sejarah, bahwa setiap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan, umat Islam selalu muncul di panggung politik nasional dan menjadi topik pembicaraan. Kemunculan ini tidak lebih seperti panggung ketoprak (humor), dimana seluruh lakon mempresentasikan berbagai kalangan dan berbagai karakter.

Dalam seni panggung, menurut Emha Ainun Najib, setiap orang berupaya menampilkan seluruh kemampuannya, akting dan kekuatan karakternya. Termasuk busana, make up dan umbul-umbul yang dibawanya. Namun sayang, penonton tidak memandang seluruh aspek yang ditampilkan, meski sang aktor sudah secara total beraksi. Ada yang memandang busana aktor, ada yang menilai menor dan seksinya penampilan aktor-aktris, bahkan ada yang melihat kelap-kelip lampu panggung saja. Sementara pesan dan misi yang dibawa dalam pementasan sering dilupakan oleh penonton. Pertanyaannya, akankah hyperaktif umat Islam dalam panggung politik nasional ini senasib dengan penampilan ketoprak atau randai dan sejenisnya?. Siapakah yang menjadi dalang atau sutradaranya ?. Siapakah yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini?

Seandainya memang umat Islam bernasib sama dengan pementasan ketoprak atau pertunjukan lainnya, alangkah menyedihkan. Biasanya pertunjukan akan memberi kesempatan kepada sutradara untuk secara bebas mengotak atik peran aktor dan mengubah cerita menurut kemauannya dan tentu saja harus sesuai dengan selera pasar. Jika kejadiannya seperti ini, bukankan itu berarti menjadikan umat yang sedang beraksi diatas pentas politik itu komoditas politik belaka?

Serunya pementasan atau cerita pertunjukan akan sangat tergantung pada konflik yang muncul dalam cerita. Dihubungkan dengan panggung politik, bukan tidak mungkin umat Islam akan digiring kedalam konflik yang maha dahsyat agar cerita politiknya maha seru.

Ironisnya, dalam berapa scene cerita sedih umat Islam ada pemilu 2004 lalu, tokoh-tokoh umat Islam justru muncul sebagai pengibar isu dan penebar konflik. Misalnya, menduanya Gus Dur dalam menetukan capres dari PKB (NU?), apakah Kiyai Hasyim Muzadi atau Gus Sholah. Nahdhiyyin pasti bingung menetukan sikap. Secara kultural PKB dan NU hampir bisa disebut kembar identik. Apakah harus memilih KH Hasyim Muzadi yang Ketua PB NU atau Gus Sholah yang calon resmi PKB yang juga NU tulen sampai ke tulang sum-sum.

Dalam sequel yang lain, Amien Rais yang mantan orang nomor satu Muhammadiyah menyatakan bahwa PAN bukan partai orang Muhammadiyah, meski mayoritas orang Muhammadiyah memimpin PAN sampai ke level pimpinan terendah. Amien juga menyatakan bahwa PAN adalah partai terbuka karena asasnya nasionalis plus religius. Ironisnya, di beberapa wilayah yang mayoritas Muhammadiyah dan PAN menjadi pemenang Pemilu legislatif memunculkan isu bahwa caleg partai anu non muslim, jangan pilih. Apakah ini tidak jadi bumerang bagi umat Islam termasuk Muhammadiyah, karena di PAN juga ada anggota legislatif yang non muslim ?. Alangkah tidak bijaknya.

Pada bagian yang lain, tokoh-tokoh umat kembali memunculkan wacana boleh tidaknya pemimpin wanita (presiden, tentunya). Hal ini tentu menimbulkan preseden buruk bagi umat Islam. Pihak luar Islam menilai ini sebagai phobia umat Islam terhadap kepemimpinan Megawati, yang tidak mewakili ormas islam atau parpol Islam. Dan bagi pihak lain, wacana ini dianggap sebagai trik politik untuk menjegal Megawati. Lagi-lagi umat Islam menjadi sorotan.

Bagi pihak non muslim beberapa peristiwa di atas merupakan tontonan menarik yang harus disebarluaskan kemana-mana. Inilah model umat Islam. Kalau bisa pihak non muslim atau mungkin kaum yang berusaha membawa Indonesia ke paham sekuler berupaya memperbesar konflik ini dengan menambah komentar dan teriakan dari bawah panggung. Sesekali, jika memungkinkan penonton non muslim berusaha memprovokasi dengan naik ke panggung politik dengan harapan umat Islam yang sedang berada di atas panggung protes dan ramai-ramai berteriak, “Kita tidak ingin dipimpin oleh non muslim!”. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh non muslim agar konflik internal umat Islam ini berkepanjangan. Jika ini terus berlangsung, bisa saja umat Islam akan kehilangan wibawa. Umat Islam akan hanyut dalam konflik yang tidak jelas muaranya.

Konflik dan Peran Pemimpin Umat

Pemimpin umat kemungkinan besar mempunyai andil dalam mempertahankan konflik. Merujuk Fathi Yakan (1998) salah seorang aktivis muslim mensinyalir bahwa hubungan individu yang kurang baik antar pemimpin umat menyebabkan konflik antar jamaah yang dipimpinnya. Mungkin ada benarnya analisis Fathi Yakan tersebut. Terlepas apakah konflik tersebut masuk dalam skenario pemimpin umat, kacamata awam dapat melihat secara jelas ketidakakuran antar pemimpin umat Islam. Misalnya, perbedaan pendapat antara Amien dan Gus Dur dipandang sebagai perbedaan Muhammadiyah dan NU.

Selanjutnya perbedaan ini diwarisi oleh pengikut kedua tokoh ini di organisasi masing-masing. Yang muncul kemudian adalah fanatisme kelompok yang menyebabkan aktitifitas utama terabaikan. Semangat keislaman yang dilandasi ukhuwah Islamiyah terpinggirkan.

Persoalannya, mungkinkah konflik ini diminimalisir, jika tidak bisa dihapuskan sama sekali?. Jawabannya bisa saja, jika ada kesadaran bersama dari para pemimpin umat tentang kebutuhan umat, sumber konflik atau pengenalan terhadap penyebab konflik.

Ditingkat penyelesaian konflik, ada beberapa hal yang patut dicatat.

Pertama, ketidakmampuan pemimpin umat dalam mengadakan konsolidasi dalam menyelesaikan masalah umat. Hal ini dibuktikan dengan cara pemimpin mencari jalan sendiri-sendiri untuk berjuang. Misalnya fenomena pecah kongsi antar pemimpin umat.Dengan alasan tidak cocok atau tidak sama visi, para tokoh umat rela pisah organisasi, pisah partai bahkan perang opini. Ghibah sana, fitnah sini untuk mencari simpati umat (baca: memecah belah umat).

Kedua, kurangnya toleransi (tasamuh) ditengah pluralitas umat Islam. Umat berharap agar golongan muslim yang lain jangan dijadikan komoditas politik. Yang terjadi justru mencap satu ormas Islam atau parpol tertentu dengan sebutan sekuler, bid’ah, Islamnya tidak benar dan sebagainya.

Ketiga, egosentrisme, apalagi bila bersentuhan dengan kekuasaan atau kedudukan. Masing-masing merasa ingin di atas dan merasa lebih pantas untuk memimpin.

Keempat, kurangnya kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Umat Islam masih banyak terjebak dalam kemiskinan dan kebodohan. Mereka butuh pemimpin yang akan mengangkat derajat mereka ke tempat yang lebih baik. Sayangnya para pemimpin justru menjanjikan dari ata untuk mengangkat mereka dari lembah kemiskinan dan kebodohan itu dengan cara menginjak punggung muslim lain yang juga terbenam di jurang yang sama. Belum lagi bahaya laten yang dalam al-Qur’an disebut kelompok yang tidak rela akan kejayaan Islam (Q.S al Baqarah : 120).

Pemimpin, Bangunlah Komitmen !

Komitmen yang dimaksud adalah bagaimana caranya meredam konflik internal umat islam. Jangan saling menjelekkan dan menginjak kelompok muslim yang lain. Maksimalnya, harus ada komitmen untuk memulihkan kondisi umat Islam yang hancur lebur didera isu radikalisme sampai terorisme. Score yang diharapkan adalah menurunnya jumlah problema dan krisis umat Islam di mata dunia. Umat Islam terbebas dari fitnah al masih dan dajjal.

Lebih rinci lagi, ada tiga komitmen yang harus diperjuangkan. Pertama Komitmen kebangsaan sebagai upaya mengembalikan citra umat islam sebagai pembawa kasih sayang bagi bangsa ini (rahmatan lil alamin). Kedua, komitmen keislaman, artinya mengupayakan umat Islam menjadi umat yang mendasari aktifitasnya dengan tauhid.

Tauhid juga berarti agar umat Islam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, ber amar ma’ruf dan nahi munkar dalam segenap aspek kehidupan bernegara. Ketiga, komitmen keummatan dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umat dan kebahagiaan umat Islam. Oleh karena itu ukhuwah harus ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dari kepentingan pribadi, pemimpinan golongan dan partai. Dalam hal ini debat tidak berguna harus dihentikan

Semua harapan ini tentu ditompangkan kepada pemimpin umat. Kenapa harus pemimpin?. Emimpin dalam konsepsi Toynbee adalah individu yang kreatif. Menurutnya individu kreatif itulah yang akan menjadi juru selamat masyarakat. Begitu juga M. Yamin menyatakan orang besarlah (termasuk pemimpin) yang dapat menyelamatkan bangsa (muslim) dari kehancuran. Umat saat ini disibukkan oleh aktifitas mensejahterakan diri mereka tanpa sepengetahuan pemimpin. Karena pemimpin adalah kepala rombongan dan perintis jalan, yakinlah umat akan mengikut.

Jika enggan memakai jasa memimpin, umat akan ikut anjuran Abu Dzar al Ghifari adalah sahabat Nabi yang miskin itu: “Aku bingung dengan orang yang tidak punya sepotong rotipun di rumahnya. Mengapa ia tidak bangkit melawan orang-orang dengan pedang terhunusnya?”Wallahu A’lam.

1 comment:

infogue said...

Artikel di Blog ini bagus dan berguna bagi para pembaca.Anda bisa lebih mempromosikan artikel anda di Infogue.com dan jadikan artikel anda topik yang terbaik bagi para pembaca di seluruh Indonesia.Telah tersedia plugin/widget.Kirim artikel dan vote yang terintegrasi dengan instalasi mudah dan singkat.Salam Blogger!!!

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/konflik_dan_komitmen_politik_pemimpin_umat