09 April 2008

TASAPO

Oleh: Muhammad Nasir

Jam 06.40 Waktu Indonesia Barat. Embun serasa enggan melepas pagi, sementara siang memaksakan diri menguasai hari. Demi sunnatullah. Pagi itu Jorong* Batu Baru didatangi tamu tak diundang. Maling tidak, lanunpun entah. Tamu itu berjumlah tiga orang. Sepertinya mereka orang asing. Tak sekalipun wajah mereka pernah tampak di Jorong tersebut.
Satu orang pria gemuk, tidak terlalu pendek. Berputar-putar seperti bocah kehilangan kelereng di rerumputan. Satu lagi lelaki kurus, agak tinggi. Berkumis jarang dan memegang ladiang.* Satu yang terakhir adalah seorang wanita putih, berkacamata hitam. Bibir tipisnya makin manis ditimpa gincu. Sayang ia sudah tua, sekitar limapuluh lima atau enampuluh tahunan.

"Siapa mereka?" tanya Mak* Katik
"Entahlah" Kutar langsung menyerah.
Kedua laki-laki yang bicara tadi adalah warga Batu Baru. Mak Katik enampuluhan. Kutar tigapuluhlimaan. Mereka berdua baru saja pulang dari surau Angku Mudo Ka'anin. Biasa, habis sholat shubuh. Ketiga tamu asing itu acuh tak acuh. Rumput di Parak Sati tempat mereka berdiri masih basah embun. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kurus sibuk merambah perdu dengan golok di tangan. Pria gemuk sedang asyik menyibak dan menginjak semak. Nenek yang cantik cuma berdiri saja di atas semak.
"Ini mobil mereka?" Mak Katik mendekati sedan biru tua yang parkir anggun di aspal kacang. Kutar juga mendekat.
"Iya mungkin" Kutar menjawab tak yakin. seperti agar-agar dilempar ke batu saja agaknya.
Tuit...tuit...tuit...
"Ya Allah!"
"Putus tali jantung saya!"
Tuit...tuit...tuit...
Sedan itu berteriak marah. Sirene alarm itu memanggil tuannya.
"Apa yang kau lakukan Kutar?" Mak Katik mendelik ke arah utara. Kaget bercampur malu. Betapa tidak, ketiga orang asing itu memandang kompak ke arah mereka.
"Anu...saya hanya menyentuhnya, lalu..."
Pria gemuk itu mendekat. Selepas memandang keduanya ia berkata, "Tidak apa-apa, itu hanya alarm." Setelah itu ia kembali ke semak-semak. Tidak peduli dengan keheranan Mak Katik dan Kutar. Tinggallah mereka berdua bertukar pandang.
"Dasar kutar!" umpat Mak Katik.
"Apa ? Kenapa saya?" protes Kutar.
"Kurang taratik!"*
"Siapa?"
"Mereka!" tunjuk Mak Katik.
Tak lama kemudian, tiga makhluk aneh itu kembali menuju mobil. Mak Katik dan Kutar bersiap-siap. Entah untuk apa. Berkelahi mungkin. Pria kurus berkumis makin mendekat ke arah Mak Katik.
"Ini, Jorong Batu Baru, Pak?" tanyanya.
"Iya, kenapa?" jawab dan tanya Kutar.
Tak ada jawaban. Pria kurus itu menoleh ke arah temannya. Sepasang sejoli tua itu tersenyum aneh seraya mengangguk. Anggukan itu dijawab dengan membukakan pintu mobil untuk kedua pasangan tua tersebut. Sebentar saja mereka bertiga sudah di atas mobil untuk orang kaya tersebut.
Cuit...bruuuumm mesin mobil menyala lembut. Beberapa saat mobil itu sudah hilang di balik alang-alang. Tinggalah bau asam dari knalpot mobil.
"Bertegur sapa tidak, bersalaman juga tidak, apalagi berkenalan. dasar tidak sopan!" Mak Katik kembali menyemburkan umpat.
"Sabar mak, begitulah adat orang kaya. Biar mereka terima pembalasan di neraka sana" Kutar berusaha menyabarkan lelaki tua sesepuh Jorong Batu Baru.
"Pantang bagiku dianggap angin lalu. Apalagi oleh orang yang dikenal. belum tahu mereka siapa saya?" Mak Katik makin panas.
"Sabar Mak, mereka belum tahu kalau mamak itu parewa,* tapi itu kan dulu, mak. Ha...ha...ha..." Kutar tertawa selepas-lepasnya.
"Tenang mak, naik pula tensi mamak nanti!"
"Kutar ada adat yang pantang dilanggar dariku. Adat bila salam wala kalam!"
"Apa pula itu mak?"
"Ini Bahasa Arab, Kutar! Belum tahu kamu rupanya, hee?"
"Hey, kapan pula Mak Katik belajar Bahasa Arab? Kutar tertawa campur cemeeh.
"Haa...? Bodoh waang Kutar. Makanya kalau Angku Mudo Ka'anin ceramah dengarkan baik-baik. Jangan tidur atau maota* saja kerja kamu. Bila salam wala kalam itu artinya tanpa salam dan tanpa bicara langsung kabur seperti hantu aru-aru," terang Mak Katik panjang lebar.
"Iya mak, aku tertidur, soalnya kaji Angku Mudo terlalu panjang"
"Kalau mereka tasapo bagaimana? Aku juga yang susah. ِApalagi harga rempah, kunik bau dan kemenyan lagi mahal. Dengan apa aku sembur?"
"Hiii...sudahlah Mak, mari kita pulang!"

-------------

Peristiwa tadi masih menyangkut di benak Mak Katik. Siapa pula gerangan ketiga orang itu? Maling, rampok atau siapakah? Jangan-jangan mereka orang kaya dari kota yang sedang membuang anak haram jadah. Atau mereka sedang membuang potongan kepala korban yang sudah mereka bunuh. pikiran Mak Katik berbalik ke acara TV yang ia tonton tadi malam.
"Aneh, siapa orang-orang tadi? Berani-beraninya ia menginjak Parak Sati tanpa seizinku. Tidak tahukah mereka jika sewaktu-waktu hantu si Angku Radin bangkit dan mencekik mereka, matilah mereka dengan mata mendelik," desis Mak Katik untuk dirinya sendiri.
Mak Katik menghirup kopi. Tak lengkap pagi ini tanpa lintingan tembakau dan daun enau. Sebentar saja, lintingan rokok daun enau itu hinggap di bibirnya dan crick...mancis antik itu membakar ujung rokok. "pufff...aahh....asap mengepul. Mak Katik mengebul.
Tok...tok...tok...
Suara ketukan pintu mebuyarkan kenikmatan Mak Katik, namun asap rokok masih bersileweran.
"Masuk!" perintah Mak Katik layaknya pejabat eselon satu A.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam"
Seorang pria gemuk masuk dan langsuk duduk. Ia langsung menjulurkan kaki layaknya di rumah sendiri. Sungguh tak sopan.Mak Katik terpana seperti melihat buaya.
"Mak Katik?" tanya pria itu tiba-tiba.
"He...eh!" jawab Mak Katik curiga.
Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama. Mak Katik langsung menyambarnya seperti elang menangkap mangsa. Ia mengeja kartu nama itu. mulutnya mendesis, matanya reflek memandang ke arah pria gemuk itu.
"Doktorandus Haji Ajirun Radin Esha" eja Mak Katik.
"Pengacara garis miring Lawyer" lanjutnya.
"Ya, saya mak. Saya Drs. H. Ajirun Radin,SH.," jawab pria itu membenarkan.
"Wa'ang* si Ajin? Anak angku Radin?" jerit Mak Katik tak percaya. begitulah Mak Katik melafalkan nama pria tersebut. Ajin. Seperti kebiasaan orang kampungnya, tak ada nama seseorang yang dipanggil dengan becus. Syamsiah menjadi Ciah. Nur menjadi Inun. Angku Radin sendiri sebenarnya bernama Ardin, tetapi dilafalkan Radin. Begitulah, Ajirun-pun dipanggil Ajin.
"Iya, maaf tadi tak menyapa," jawab Drs H.Ajirun Radin,SH biasa saja.
Tiba-tiba Mak Katik menggigil seperti orang diserang demam Chikunguya. Tak tahu apa yang hendak dikata.
"Begini saja, mak. Nantilah kita bicara. Saya hendak ke pusara Angku Radin, ayah saya. Permisi Mak, Assalamu'alaikum." Drs H.Ajirun Radin, SH pergi begitu saja meninggalkan Mak Katik yang terpana.
Mak Katik mendadak mati rasa. Peluh dingin menyembur di sela-sela ketiaknya. Semestinya ia menahan pria itu agak sejenak. Hilanglah sifat parewa-nya. Tanggal kehormatannya. Setelah itu mak katik tak ingat apa-apa.

-----------------------
"Mak Katik...Mak...Mak...Mak Katik!"
Tok...tok...tok...
Mak Katik terjaga. Sedikit pusing di kepala dan nanar di mata.
"Siapa?"
"Saya, Mak. Si Kutar"
Kutar masuk tergesa-gesa. Langsung duduk terjerembab seperti orang tak bertenaga.
"Ada apa Kutar, kenapa seperti dikejar hantu?" tanya Mak Katik.
"Celaka mak. Laki-laki yang kita lihat tadi pagi..."
"Kenapa? Ada apa dengan dia?"
"Dia mati, Mak!"
"Innalillahi wainna ilaihi raji'un! Kutar cepat kau pergi ke surau. Guguah tabuah tiga-tiga!"* perintah Mak Katik.
Kutar segera pergi ke surau.
Mak Katik kembali terpana. Entah kenapa ia merasa tak berdaya. Tak biasanya terjadi pada parewa seperti dia. Ia kembali mati rasa, pingsan untuk kedua kalinya.
--------------------
Begitu terjaga, Mak Katik bergegas ke arah jendela. Tak kuat melihat cahaya ia kembali duduk. Jam dinding menunjukkan angka 08.11 WIB.
"Oi Ajin, kenapa begini jadinya?" Mak Katik menangis seperti anak remaja. Meremas dada, menepuk paha dan memukul kepala. Ia merebahkan badannya ke lantai. Pikirannya menerawang ke masa silam.
"Aku membunuh ke dua-duanya! Ya Allah, ampuni aku.
Mak Katik tak menyangka kedatangan Drs H.Ajirun Radin,SH yang tiba-tiba. Ia teringat masa mudanya sebagai parewa.
Mak Katik melayang ke pertengahan tahun 1958, Mak Katik hampir lupa tanggal pastinya. Zaman itu digenal zaman bagolak. Orang tua-tua menyebutnya zaman peri-peri. yang benarnya adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI, perang saudara antara pendukung PRRI di Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat. Orang kampung Mak Katik menyebutnya tentara pusat. Konon tentara pusat itu didrop dari pulau Jawa. Ibu kota negara.
Tentang Angku Radin, ayah Drs H. Ajirun Radin,SH adalah orang yang dipercaya jadi mata-mata. Menurut laporan Angku Radin, tentara pusat akan masuk menyerang kampung Batu Baru hari Rabu. Ia bicara tergesa-gesa dan penuh curiga. Seolah-olah ada banyak rahasia di kepalanya. Sekarang hari Selasa. berarti tentara pusat akan masuk esok hari. Maka pemuka kampung segera memerintahkan penduduk mengungsi. Termasuk keluarga Angku Radin. Tinggallah di kampung beberapa orang muda-muda sekedar berjaga-jaga. Juga Mak Katik sebagai ketua pemuda.
Batu Baru adalah negeri di lingkung bukit. Penat mata memandang, hanya bertumbuk dengan bukit berkeliling. Satu-satunya jalan masuk ke Batu Baru adalah Jorong tetangga, Batu Gaba-Gaba. sesuai namanya, gaba-gaba mirip gapura. Di situlah Angku Radin berjaga-jaga. Hari itu masih hari Selasa. penduduk sudah diungsikan semua. Tanpa diduga-duga hari itu juga tentara pusat memasuki desa. Tidak hari Rabu sebagaimana laporan intelijen Angku Radin. Sebentar saja api menyala di angkasa Batu Baru. Langit Batu Baru merah saga. asap hitam seolah menjeput senja. Tentara pusat merajalela membakar rumah yang ada. Setiap rumah gadang disatroni, diperiksa lalu dibakar. Maklum rumah gadang merupakan tempat berembuknya para penghulu penggerak massa.
Melihat kondisi itu, Mak Katik muda naik pitam. Waktu itu ia sedang bersembunyi di belakang rumah Angku Radin tempat Drs H.Ajirun Radin,SH tergeletak tanpa nyawa tadi pagi. Di tengah angkara murka, Mak Katik melihat sosok Angku Radin bergegas memasuki rumahnya. Begitu keluar ia menggengam selembar bendera merah putih. Penggalan penopang batang pisang di depan rumah dijadikan tiang. Akhirnya bendera itu berkibar megah melambai-lambai menghimbau senja. Angku Radin berdiri tegap, mengambil sikap hormat ke arah bendera. Persis seperti Jenderal Sudirman, atau Letkol Ahmad Husein.
Melihat hal itu Mak Katik muda makin terbakar dan keluar dari persembunyian. Dengan ladiang terhunus ia melompat ke arah Angku Radin seraya berteriak, "Matilah kau pengkhianat!" Angku Radin mati seketika.
Seraya menyeret jasad Angku Radin, Mak Katik muda terus mengomel, Jangan coba-coba mengambil muka mengibar bendera. Ternyata kau antek-antek tentara pusat!" tubuh Angku Radin ia lemparkan ke luak* di samping rumah. Luak itu langsung menjadi kuburnya.
Tak puas sampai di sana, bendera yang tengah berkibar ia turunkan. "Tak pantas kau berkibar dalam perang saudara. Tak seorangpun yang sungguh-sungguh menghormatimu," umpat Mak Katik. Bendera ia cabut dari tiangnya, lalu ia lemparkan ke dalam luak. Mungkin jadi selimut Angku Radin. "Jika sebangsa berbunuh-bunuhan, kita tak butuh lagi bendera," Mak Katik melanjutkan ocehannya sebelum kabur ke semak-semak.
Tiga hari sesudah kejadian itu, Mak Katik kembali ke rumah Angku Radin. Kampung Batu Baru masih lengang. Ia mencoba menggali kubur untuk Angku Radin. Tetapi ia putus asa kehabisan tenaga. Tiba-tiba ia dapat akal. Tanah penggalian yang belum selesai ia jadikan gundukan. Anggap saja ini kubur Angku Radin.
Satu setengah bulan setelah peristiwa itu Mak Katik baru tahu, ternyata Angku Katik bukan pengkhianat. Bendera yang ia kibarkan ternyata seperintah Sersan Busra Sutan Mangkuto, mantan komandan PRRI di kecamatan. "Bendera itu tanda cinta kita, PRRI dan tentara pusat, sebagai orang Indonesia," kata Sersan Busra.
Mak Katik menyesal sejadi-jadinya. Itulah, kenapa sampai sekarang mendengar nama Angku Radin ia berpeluh. Pias seperti habis ditegur hantu.
"Untunglah ada kuburan buatan," batin Mak Katik ketika keluarga Angku Radin yaitu yang menjadi Drs H.Ajirun Radin,SH sekarang ini bertanya tentang bapaknya. Waktu itu ia masih remaja.
"Angku Radin mati ditembak tentara, ini kuburnya. Aku yang menyelenggarakannya," jelas Mak Kati kepada Ajin atau Drs H.Ajirun Radin,SH, dahulu, empat puluh tahun yang lalu. Semenjak itu keluarga Angku Radin merantau ke Medan. ٍSampai waktu yang lama, tak ada lagi kabar beritanya.
---------------------------
Lokasi rumah dan kuburan palsu Angku Radin itu sekarang dikenal dengan Parak Sati. Luak tempat berkuburnya Angku Radin menjadi Luak Sati. Kata orang lokasi itu angker. Tetapi sejauh ini, hanya Mak Katik yang dapat merasakan keangkerannya.
-------------------------
"Mak Katik, semua orang sudah diberi tahu. Mayat itu sudah diangkat dari luak. Mungkin ia terpeleset dan langsung mati ketakutan," lapor Kutar.
"Ehem..." Mak Katik cuma berdehem.
"Bersama mayat itu ditemukan juga satu tengkorak kepala. Mungkin saja ia mati karena tak kuat melihat tengkorak itu," terang Kutar melanjutkan laporannya.
"Apa? Mak Katik berteriak kaget. Tengkorak kepalanya seolah lepas.
"Tengkorak mak, tengkoraaak!!!" tegas Kutar.
Mata Mak Katik juga ingin lepas.
"Aku tidak membunuhnya, Angku Radin!" Mak Katik berteriak histeris.
"Angku Radin? Siapa dia Mak?" tanya Kutar tak mengerti.
Mak Katik tak menjawab. Sebab ia pingsan untuk ketiga kalinya.

Padang 20 Oktober 2006
Tasapo : Kerasukan roh halus.
Jorong : Unit terkecil dalam pemerintahan nagari di Sumatera Barat
Ladiang : Parang, golok.
Mak : Panggilan yang lazim untuk mamak (paman) di Minangkabau
Taratik : Sopan santun, tata tertib.
Parewa : Preman di Minangkabau. Meski preman, orang ini berfungsi penjaga nagari (paga nagari), dan bertugas membela kehormatan anak dan kemenakan.
Maota : Bercakap-cakap, ngobrol
Wa'ang : Engkau, (laki-laki)
Guguah tabuah tiga-tiga : Memukul bedug dengan tiga ketukan berulang-ulang. Biasanya di daerah tertentu di Minangkabau berarti ada kemalangan, orang meninggal dan sebagainya.
Luak : Sumur gali

1 comment:

Anonymous said...

selamat atas blog barunya! jangan lupa klik juga kita di, www.abdullahkhusairi.wordpress.com... salam hangat selalu. Awas tasapo!