Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana (S.2) IAIN Imam Bonjol Padang
Sabtu, 5 Mei 2007 lalu Pascasarjana IAIN Imam Bonjol membahas “Masa Depan Studi Islam.” Pembahasan yang langsung menjadi topik Kuliah Umum itu mendapat sambutan hangat dari peserta diskusi yang terdiri dari Pengajar Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, mahasiswa peserta program (S.3 dan S.2), serta Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Suwito dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dua nama terakhir selain bertindak selaku narasumber, mempunyai tujuan khusus yaitu “menjajakan” ide kerjasama antarpascasarjana dalam pengembangan kapasitas lembaga (capacity building) dalam mengembangkan studi keislaman di Perguruan Tinggi (Agama).
Satu fenomena yang dapat disebut pangkal diskusi yang hangat adalah “pada saat semangat keIslaman meninggi, minat studi di fakultas-fakultas agama UIN/IAIN/ STAIN justru menurun. Kenapa? Itulah salah satu pertanyaan ironis yang muncul pada tayangan slide powerpoint Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Pertanyaan itu menemukan relevansinya, karena bagaimanapun lembaga pendidikan tinggi agama semisal UIN/IAIN/STAIN mestinya dapat menangkap semangat itu dan memperkuatnya dengan ilmu-ilmu agama/ keislaman. Jika semangat itu dibiarkan tumbuh liar di hati sebagian besar umat yang meninggi ghirah keagamaannya, dipastikan Islam yang lahir dari artikulasi tanpa ilmu itu tidak mencerahkan (true but useless).
Tetapi, lagi-lagi bukannya memberikan pencerahan, UIN/IAIN/STAIN justru sepi peminat. Ini merupakan suatu problem yang serius bagi umat Islam, utamanya kalangan perguruan tinggi, intelektual muslim yang bertanggung jawab mencerahkan umat dengan ilmunya. Azyumardi bahkan menilai, bahwa semangat berIslam yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kajian Islam yang komprehensif akan melahirkan Islam yang emosional dan keropos. Ini merupakan tantangan bagi terberat.
Tidak heran banyak fenomena berislam yang salah seperti artikulasi Islam melalui jalur kekerasan dan sikap yang kaku tanpa minat dialog telah memperburuk citra Islam di mata umat lain. Di kalangan internal Islam sendiri gejala itu juga menjadi perdebatan sengit yang menghabiskan energi. Bahkan fenomena ini telah menambah rentetan kegagalan umat Islam dalam menunjukkan reputasi dan prestasinya sebagai agama yang unggul (al Islam ya’lu wala yu’la alaih).
Apakah ini bisa dianggap sebagai bentuk kelemahan institusi pendidikan Islam semisal UIN/IAIN/ STAIN dalam melahirkan konsep islam yang positif (pilosofis dan empiris)? Berikutnya, siapakah yang mensuplai (mendidik/menyemangati) aktivisme Islam yang sepi dari kajian komprehensif itu, apakah ada peran UIN/IAIN/STAIN atau ada kekuatan lain seperti pemikiran politik institusionalisasi islam (formalisasi syari’at/ khilafah) yang diusung beberapa organisasi yang dituding berhaluan keras? Pertanyaan itu menggambarkan betapa perguruan tinggi Islam sebagaimana tersebut di atas tidak memegang kendali terhadap kecendrungan aktivisme Islam dewasa ini.
Rentetan pertanyaan di atas merupakan kutipan dari ratusan pertanyaan yang tengah beredar di masyarakat. Pertanyaan itu sepertinya sangat relevan dijawab oleh para akademisi Islam dan perguruan tinggi Islam. Alasan yang menyatakan itu penting adalah perguruan tinggi Islam cukup syarat untuk menjawabnya karena 1) otoritas keilmuan, 2) penguasaan medan issu dan 3) pertanyaan itu merupakan tantangan terbesar bagi maju atau mundurnya lembaga pendidikan Islam.
Berkaitan denga tema “masa depan studi Islam” di atas, studi Islam bagaimana yang mesti dikembangkan UIN/IAIN/ STAIN dalam menjawab tantangan tersebut?
Beberapa waktu yang lalu, studi Islam di IAIN terkesan sangat historis, tekstual, normative, namun perkembangan berikutnya terjadi dinamika yang cukup menggairahkan dalam kajian Islam. Sejak kedatangan beberapa dosen yang berpendidikan dan berpikir/bermetodologi Barat, kajian Islam tidak lagi dogmatis, kaku dan terkesan nostalgia. Tetapi belum lama model studi ini berkembang, tiba-tiba mendapat serangan luar biasa dari pihak yang tidak setuju, dengan alasan sangat kental semanagt orientalismenya.
Sebaliknya, aspek yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan praktis umat semisal fikih muncul dalam wajah binner yang menyesakkan. Halal vs Haram berdialektika dan hanya melahirkan utopia, kapankah itu bisa terwujud? Oleh sebab itu perlu ditindaklanjuti ide pengembangan studi Islam hingga ranah yang lebih kongkrit, yaitu menyentuh kebutuhan terdekat dan tersegera manusia. ranah empiris.
Orientalisme dalam Studi Islam
Beberapa waktu yang lalu Prof. Dr. Nasrun Haroen pada saat dikukuhkan kembali menjadi Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Sumatera Barat periode 2005-2010, menyatakan, "para dosen IAIN yang mengikuti strata-2 (master) dan strata-3 (philoso¬phy of doctor/Ph.D), baik di Barat (pendidikan tinggi di Amerika atau Eropa) maupun di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ja¬karta (sebelumnya Institut Agama Is¬lam Negeri/ IAIN Syarif Hidayatullah) cenderung "menjadi orientalis dan atau digunakan oleh para orientalis" (Padang Ekspres, 8 Agustus 2006).
Begitu juga Ketua MUI Pusat Dr. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, saat pembukaan Musda MUI Sumbar Minggu (6/8) malam, mengatakan, sejak beberapa tahun terjadi pengiriman para dosen IAIN studi ke Barat dan cenderung orientalis - bahkan di-using orien¬talis untuk studi Islam.
Persoalan di atas menggambarkan bahwa di kalangan internal UIN/IAIN/STAIN tengah terjadi ketegangan dalam menentukan arah dan tujuan studi Islam. Satu pihak menuduh pihak lain telah salah kaprah menerapkan studi Islam yang menggunakan pendekatan Barat. Pihak ini didukung oleh intelektual muslim yang berpegang kuat pada tradisi tekstual dalam memahami agama. Pihak lain berdalih bahwa yang mereka lakukan tidak lebih sebagai bentuk kontekstualisasi ajaran Islam.
Mereka berusaha menggeser dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari. Kadang- kadang pihak ke dua ini juga dituduh sebagai agen orientalis dan mengkaji Islam layaknya orientalis.
Pihak yang disebut pertama bertahan (defensive) dengan corak studi Islam yang mereka sebut dengan Tafaqquh fi al diin. Pola bertahan golongan ini tidaklah pasif, tetapi mereka memilih bertahan dengan prinsip “pertahanan yang baik adalah menyerang.” Setidaknya indikasi itu dapat dilihat dari pernyataan Nasrun Haroen dan Yunahar Ilyas di atas. Pihak kedua secara ofensif menggelar isu pembaharuan studi islam yang tekstual dan literer menjadi studi islam kontekstual dan berusaha menjawab tantangan zaman.
Benarkah ada indikasi orientalisme dalam kajian Studi Islam? Benarkah ada Dosen IAIN yang used by orientalist untuk kepentingan Barat?
World view sebagian umat Islam telah meletakkan Orientalisme sebagai bentuk sisnisme Barat (Kristen) terhadap Timur (Islam). Bicara orientalis seolah-olah berbicara tentang musuh Islam yang sedang memata-matai dan mencari kelemahan umat islam dan kemudian menghantamnya. Kondisi tidak bisa disalahkan, karena secara historis orientalisme mempunyai catatan kelam, khususnya dalam kajian-kajian Islam yang cendrung mengambil studi kelemahan-kelemahan Islam. hasil kajian itu rata-rata tidak menguntungkan Islam.
Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry mengatakan orientalisme dalam pengertian melewati empat fase, pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekerasan terhadap dunia Timur. Mekanisme orientalisme al Damiry inilah yang dianggap mewakili kebobrokan orientalis.
Berdasarkan pendapat al Damiry di atas, apakah layak dikatakan dosen IAIN telah digunakan oleh orientalis untuk memukul Islam? Atau mungkinkah dosen IAIN yang kuliah ke Barat itu serta merta menjadi orientalis?
Rasanya terlalu sadis dan naif jika menyebutkan mereka orientalis atau di using oleh orientalis. Persolannya apakah mereka sedang melakukan (secara sadar dan penuh tanggungjawab) upaya penghancuran Islam? Persoalannya menjadi lain ketika apa yang dilakukan oleh para intelektual didikan barat itu mempunyai ekses terhadap kesempurnaan Islam.
Adalah benar, bila beberapa wacana yang dimunculkan sangat mengganggu dan tidak nyaman, apalagi bila itu menjadi stereotip bagi agama Islam. Misalnya, masalah poligami, kesetaraan gender, demokrasi dan formalisasi syari’at. Tetapi ketidaknyamanan itu tentu saja disebabkan oleh ajaran (tafsir) masa lalu yang telah mapan, berurat berakar dalam nalar umat Islam hari ini. Tetapi kemapanan itu bukan berarti kebenaran mutlak (absolut). Selama itu masih berada dalam wilayah tafsir, maka apa yang dilakukan oleh intelektual yang dituduh nyeleneh dan orientalis itu dapat dibenarkan.
Jika terpaksa harus menegur intelektual yang demikian itu, maka perlu disusun semacam indikator islami atau tidak cara berfikir intelektual Islam didikan Barat. Ini berguna untuk menghindari tendensi berlebihan terhadap mereka (intelektual) yang sama-sama komitmen dalam ber-tafaqquh fi al din.
Dari fenomena dan wacana yang dikembangkan di atas, paling tidak menggambarkan bahwa ada upaya untuk membagi wilayah kekuasaan ilmiyah Islam, antara wilayah tekstual normatif dengan wilayah faktual empiris. Tetapi amat disayangkan, kesadaran bahwa kedua wilayah itu tetap berasal dari satu wilayah teks! Al Qur’an dan hadis. Hanya saja sikap terhadap tekslah yang berbeda.
Tentang studi Islam di IAIN, memang ada plus minusnya. Tetapi tidak perlu ada kata-kata kasar, menyinggung dan memojokkan segelintir pihak. Persoalan pendapat nyeleneh tidak lepas dari arah studi Islam yang kabur, tidak jelas. Ungkapan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya H. Mas'oed Abidin curiga ada pemikiran liar di IAIN, memang pantas dicermati, tetapi tidak perlu tendensius.. "Selama ini yang terjadi di IAIN adanya pemikiran-pemiki¬ran yang lepas kontrol dan tidak menguntungkan bagi Islam. Kalau sudah hilang raso jo pareso, akan membuat seseorang liar. Liar dalam akhlak dan liar dalam akidah," ujarnya.( Haluan, 1 Agustus 2006)
Paling tidak, mereka yang berhaluan tafaqquh fiddin juga perlu memikirkan aspek al din yang empiris, agar keseimbangan al din dan al dunya dalam berbagai perspektifnya terjaga. Begitu pula mereka yang berhaluan empirik kontekstual juga perlu memperhatikan aspek penyerahan (taslim) dalam ajaran Islam yang qath’i agar tidak terlalu jauh mararah ke wilayah mubazir, yaitu kajian yang jauh dari surga dunia dan surga sebenarnya. Kajian model yang salah itu bisa bernilai benar tapi sia-sia (true but useless). Wallahu a’lam bi al Shawab
Padang, 20/05/2007
No comments:
Post a Comment