Oleh : Muhammad Nasir
Sekretaris Presidium Gerakan Peduli Tarbiyah Islamiyah Sumatera Barat
Di lapau kopi ada diskusi. Berikut petikan dialog di lapau yang haqqul yaqin dihuni oleh rakyat biasa ;
“Manga urang di ateh tu (elite politik) nan sibuk mancari gubernur sarato wagubnyo, samantaro nan kamamiliah gubernur lah jaleh awak rakyat badarai ko ?. kadang kadang kalau den pikia, indak tau diri urang parpol tu. Indak pernah bagai batanyo ka awak ko, rakyat nan akan mamiliah !. ujar salah seorang pe lapau. ”Iyo tu da, nampaknyo awakko ka dipacah balah dek elit parpol sasuai jo banderanyo masiang-masiang, kasudahannyo awak sa lapauko bacakak gara-gara tuan calon kepala daerah”, sambut yang lain.
Masyarakat memang sudah cerdas, mengutip pendapat beberapa pakar mengenai sikap masyarakat tentang proses pelaksanaan pemilu beberapa waktu yang lalu. Indikator kecerdasan ini antara lain kemampuan mereka menilai untuk kemudian memilih partai yang menurut mereka mampu memperjuangkan mereka. Termasuk untuk tidak memilih lagi partai yang dulunya mereka jadikan tumpuan harapan merubah nasib rakyat. Silakan lihat hasil akhir pemilu 5 April lalu, terakhir hasil pemilihan presiden.
Berdasarkan hal di atas, jika elit parpol tidak ikut-ikutan cerdas menyikapi perubahan pola pikir rakyat ini, barangkali akan kembali terjadi keterpurukkan calon kepala daerah yang diapungkan oleh parpol pada Pilkadal Juni mendatang. Dan sepertinya tidak terlambat bagi parpol dan tim suksesnya untuk menempatkan rakyat bawah (grass roots) sebagai indikator kuatnya dukungan terhadap salah seorang balon kepala daerah bawaannya.
Dari dialog di lapau kopi diatas, meski tidak mewakili pendapat umum masyarakat pada umumnya, namun perlu diarifi oleh elit parpol dan tim suksesnya. Betapa rakyat merindukan keterlibatan mereka secara aktif dalam proses penentuan kepala daerah. Sebab nantinya yang akan menentukan terpilih atau tidaknya seorang calon adalah rakyat.
Saat ini ada kecendrungan bahwa yang mengotak atik pasangan balon kada dan wakilnya adalah parpol. Dengan penuh percaya diri, tim sukses parpol mencoba bernegosiasi dengan parpol lain untuk mengharapkan dukungan terhadap calon partainya. Tetapi bila calon tersebut kurang acceptable, dengan gampangnya parpol mencari calon lain. Proses ini sebenarnya cukup bagus. Namun sayangnya baru ditingkat parpol. Mestinya model ini diperluas lagi dengan cara bernegosiasi dengan rakyat untuk mengetahui sejauh mana rasa suka rakyat terhadap seorang bakal calon.
Paling banter, pendekatan yang dilakukan parpol adalah organisasi berbasis massa semisal Muhammadiyah atau NU, organisasi profesi dan sebagainya yang katanya punya massa potensial. Apakah ini tidak klaim dari ormas saja ?. Sementara jika disimak keinginan rakyat dalam dialog lapau di atas adalah keterlibatan langsung rakyat kecil dalam proses jajag calon kepala daerah ini. Rakyat kecil akan sangat dihargai bila dimintai pendapatnya tentang calon pemimpin pilihan hati dan akal mereka.
Percaya diri, atau tidak tahu dirikah parpol dalam hal jajag calon kepala daerah ini ?. Yang jelas menurut ungkapan pelapau tadi, parpol terkesan tidak tahu diri karena dengan jumlah dukungan suara mereka dalam pemilu legislatif 5 April lalu dan hasil pilpres, parpol seolah-olah telah memiliki rakyat sesuai angka perolehan suaranya. Padahal trend rakyat saat ini dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden yang telah berlalu sangat berbeda. Berikut petikan dialog lainnya ;
“Ambo piliah partai “A” karano urang-urang di partaitu lai berpengalaman dan cocok untuk duduak di dewan (DPRD/DPR-RI). Tapi untuak calon presidennyo, alun tau lai. Untuak calon presiden ambo lah punyo calon sorang, dak bisa diganggu-gugat”, samantaro untuk kapalo daerah, paling indak harus dikenal sampai ka bawah (rakyat-pen), indak mendadak seperti calon juara KDI yang terkenal waktu audisi atau waktu kontes”,ujarnya pasti.
Atau pendapat lainnya mengenai terma dikenal atau tidak dikenal sebagai berikut ;
"Ambo kenal calon tu dari kalender atau stiker nan di bagi perai ka ambo. Siapo urang tu dek ambo ndak penting, yang jaleh organisasi ambo manyuruah mamilih inyo"
Bisa dipahami apa yang dilakukan parpol dalam proses jajag calon kepala daerah ini. Mereka sedang berusaha mencari legitimasi politik dari parpol lainnya atau ormas tertentu. Karena saat ini legitimasi politik memang dipegang oleh partai politik atau organisasi sosial politik. Setiap parpol hampir bisa dipastikan memaklumi ini. Namun bagi rakyat adalah persoalan etika dan kesantunan partai politik terhadap konstituennya, atau orang-orang yang telah mendukungnya.
Satu hal lagi yang cukup menarik dari ungkapan rakyat kecil di ota lapau diatas ;
”Iyo tu da, nampaknyo awakko ka dipacah balah dek elit parpol sasuai jo banderanyo masiang-masiang, kasudahannyo awak sa lapauko bacakak gara-gara tuan calon kada”,
Benar atau tidak ungkapan pe-lapau itu, yang jelas itu merupakan ungkapan perasaan rakyat. Betapa tidak, tim sukses dari berbagai tingkatan sudah memetakan masa atau konstituennya masing-masing. Kalau parpol tidak hati-hati bermain, bisa saja hal ini menimbulkan konflik horizontal ditengah masyarakat. Apalagi bila tim sukses parpol atau capres tersebut menyentuh ranah emosional para konstituennya yang berpotensi menimbulkan rasa patriotik yang berlebih-lebihan (chauvinism). Minimal resikonya sebagaimana ungkapan berikut ;
”kasudahannyo awak sa lapauko bacakak gara-gara tuan calon gubernur, bupati/walikota”, untuk tidak membahasakan resiko konflik yang lebih besar.
Wallahu a’lam bis-shawab
Andaleh,April 2005
Tulisan ini telah dimuat pada Harian Padang Ekspres
No comments:
Post a Comment