Oleh : Muhammad Nasir
Relawan Yayasan Totalitas
Dari mana?
Selain APBD, dari mana sumber pembangunan sumberdaya masyarakat kita?. Swadaya, jawab beberapa kalangan. Bukankah APBD itu wujud swadaya ? Betul, jika ternyata terbukti + 60 % APBD berasal dari pajak (masyarakat). Bukankah itu swadaya ?. Ya !!!. lalu, dari mana lagi dana pembangunan itu bisa diambil ? Dari dana bina lingkungan atau community development perusahaan yang beroperasi di daerah ini. Apakah itu mungkin terwujud ?. Bagaimana ya ?, kita tanya dulu kepada para dermawan yang rajin menyumbang. Demikian sari bincang-bincang mendalam (depht interview) penulis dengan beberapa anggota masyarakat.
Metro TV, pascatsunami Aceh dan Nias beberapa waktu yang lalu berupaya membantu beban korban dengan membuka dompet kemanusiaan yang mereka namai “Indonesia Menangis”. Hasilnya luar biasa. Hasil “tangisan” rakyat Indonesia itu berhasil terkumpul dengan nominal triliyunan rupiah. Dana itu digunakan untuk rekonstruksi Aceh, jika tidak diselewengkan. Tahap awal pengucuran bantuan ini mengambil bentuk charity karena kondisi Aceh dan Nias yang dalam status emergency rescue menuntut itu.
Apa yang dilakukan Metro TV di atas merupakan ungkapan spontan dari rasa kemanusiaan bangsa Indonesia, sebelum spontanitas itu di up-grade menjadi pengelolaan profesional dalam bentuk yayasan yang punya program terencana pembangunan Aceh yang berjangka waktu dan target yang diharapkan terukur.
Pengalaman yang sama juga dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika. Jika pada awalnya Dompet Dhuafa hanya menjadi lembaga pengumpul dan penyantun, maka berkat sentuhan profesionalisme, Dhompet Dhuafa pun akhirnya mempercantik diri menjadi lembaga filantropi yang menjadi agen dalam berbagai bentuk penyedia kebutuhan pengembangan umat. Buktinya, DD demikian penyingkatannya telah memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pendirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances).
Pertanyaannya, bagaimana kejadiannya di Sumatera Barat ?. Pihak yang telah berbuat, tentu akan tersinggung jika model pendanaan pembangunan berbasis swadaya ini dianggap tidak ada. Boleh disebut, GeSor, Gebu Minang, lembaga masyarakat Sumbar di perantauan, dermawan individual dan sebagainya. Bahkan calon gubernur/ bupat/walikota pun jor-joran mengeluarkan bantuan sosial. Bisa dipastikan arus dana pembangunan Sumbar dari bantuan masyarakat ini kemungkinan mencapai ratusan milyar rupiah/tahun.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa Sumatera Barat miskin. Dari segi APBD mungkin benar, hanya sekitar 800-an milyar rupiah. Idenya kedepan adalah bagaimana memadukan sumber pendanaan pembangunan yang bersumber dari APBD dan dari masyarakat non pajak (matching fund).
Dana Abadi Minangkabau, Mungkinkah ?
Tidak bermaksud latah meniru Dana Abadi Umat milik Departemen Agama yang sedang disorot sekarang ini, kira-kira perlukah dibentuk sistem pendanaan pembangunan sosial yang mirip itu ?. Kasihan rakyat, bila terpaksa menggantungkan selera pembangunan demi menunggu kucuran dana pemerintah, yang kadadang teranggarkan, terkadang tidak. Paling tidak dengan adananya dana abadi ini bisa menjaga keberlanjutan pembangunan sosial. Berdasarkan pengalaman masyarakat, pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat cendrung langgeng (sustainable).
Bagaimana potensinya?. Sekecil apapun dana yang disumbangkan masyarakat untuk pembangunan, pasti mempunyai nilai apalagi bila dikumpulkan dan dikelola secara profesional. Mungkin bisa dikira-kira mereka yang mungkin jadi donatur. Wajib Zakat (Muzakki), pengusaha, paguyuban perantau, dana community development/bina lingkungan perusahaan swasta/pemerintah, dermawan individual, berkemungkinan bisa berpartisipasi di dalamnya.
Persolannya adalah, apakah ini bisa diwujudkan ?. Bagaimana meraup kepercayaan masyarakat tentang dana abadi ini dan yang tidak kalah penting bagaimana pendekatan pengalokasiannya agar sesuai dengan prinsip keswadayaan.
Atau,Minangkabau Fund ?
Artinya bagaimana mewujudkan lembaga pelaksana (ámil) atau Funding Agency untuk pembiayaan pembangunan sosial. Beberapa teman-teman aktivis berkomentar, “jangankan membuat Funding Agency, amil zakat, infak dan shadaqah yang sudah ada saja belum berfungsi maksimal, jadi jangan mengada-ada”, katanya.
Sebenarnya tidak mengada-ada, tetapi mencoba mengumpulkan semua yang telah ada agar lebih kuat. Ada beberapa referensi untuk ide ini. Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana. Perlu dicatat, yang mengumpulkan dana ini adalah masyarakat penggemar balapan perahu bermotor.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Padang, 5 Juli 2005
No comments:
Post a Comment