Oleh : Muhammad Nasir
Relawan Yayasan Totalitas
Ada pertanyaan yang muncul berkaitan pelaksanaan PILKADA tahun ini, apa peran punggawa arus tengah kita ? Saya tidak tahu persis, mudah-mudahan Arus tengah yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang disebut elit minority, semisal pers, perguruan tinggi, pakar/cendikiawan, Ormas, LSM, Partai politik, mungkin termasuk mahasiswa dsb.
Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan dan status. Setiap individu yang hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya berarti mejalankan suatu peran (Soekamto,1987). Merujuk definisi ini, pertanyaan di atas jika dirinci akan menjadi, apa hak dan kewajiban kelompok arus tengah sesuai dengan kedudukannya/posisinya pada Pilkada 2005?.
Adalah sebuah keniscayaan bila semua komponen masyarakat dituntut berpartisipasi dalam pelaksanaan Pilkada. Tanpa bermaksud membagi stratifikasi masyarakat kedalam kelas-kelas, terma arus atas (pemerintah), arus tengah (sebagaimana dirinci di atas), dan arus bawah, rakyat akar rumput (grassroot) tentu memiliki perannya masing-masing. Pemerintah atau aparatur penyelenggara Negara berperan sebagai penanggungjawab penyelenggaraan Pilkada. Rakyat dituntut partisipasinya sebagai pemilih. Sementara komunitas yang disebut arus tengah ini dalam problem statement saya terkesan belum menjelaskan perannya.
Jika LSM memang bagian dari arus tengah, saya ingin fokus mengusut peran LSM sebagai mitra pemerintah yang kritis, sahabat masyarakat yang arif. Terlepas dari apakah penyataan ini berdasar atau tidak, agaknya LSM mesti segera mengambil sikap, sebelum peran mereka dipinggirkan oleh kepentingan calon kepala daerah yang tengah bertarung !. Keterpinggiran ini akan semakin nyata apabila masyarakat diracuni oleh keyakinan dan fanatisme bahwa calon pilihannya adalah satu-satunya orang yang mampu mengatasi masalah di daerah ini. Bahkan LSM akan semakin redup bila rakyat banyak kehilangan kesadaran bahwa masih ada komunitas yang bisa taken for granted mampu menjadi problem solver.
Tidak termasuk LSM yang menyatakan diri bagian dari Tim Sukses Cagub/Cabup/cawako, LSM yang selama ini concern dalam bidang pendampingan masyarakat (community assistance) atau secara vertikal mejadi mitra pemerintah yang kritis, semestinya melihat moment pilkada sebagai peristiwa penting membangun apa yang disebut Rustam Ibrahim (LP3ES-1992 dan KPMM ; Workshop Good ‘NGO’ Governance, 2003 ) jaringan kerja pemerintah-LSM (Government-NGO Networking).
Sebagai komunitas yang tercerahkan, LSM jangan sampai kalah populer dengan parpol, LSM tiba-tiba atau Tim Sukses yang mengorganisir rakyat, mendesain partisipasi semu untuk kepentingan sesaat (quantity participatory). Sementara masyarakat mempunyai peluang yang nyaris nihil dalam menetukan program calon kepala daerah. Disinilah peran LSM dibutuhkan sebagai kekuatan penyeimbang. Mimpi LSM rasanya tidak jauh dari keinginan meningkatnya kualitas partisipasi masyarakat, tidak hanya meningkatnya angka kunjungan ke TPS atau keikutsertaan masyarakat dalam pencoblosan.
Kembali ke soal keterpinggiran, bila masyarakat awam telah diracuni dengan keyakinan dan fanatisme calon, maka ini sama saja kematian perlahan-lahan bagi kelompok tengah yang tercerahkan. LSM murni (istilah penulis) yang tidak larut dalam politik praktis, akan dibungkus oleh citra LSM yang menceburkan diri ke dalam “arus primodial/partisan” bertajuk parpol atau calon kepala daerah. Hal ini tentu tidak menguntungkan bagi peran dan agenda LSM murni ke depan. Pencitraan negatif yang mungkin timbul dari masyarakat selama durasi pilkada terhadap LSM partisan akan nempel erat di benak sosial masyarakat, bahkan akan menjadi stigma bagi LSM murni. Langkah taktis untuk mengatasi ini adalah bagaimana mengupayakan advokasi untuk LSM sebagai lembaga masyarakat di satu pihak, dan LSM partisipan politik pilkada di lain pihak.
Karena itulah perlu penyadaran dini terhadap masyarakat, bahwa PILKADA hanya sebagai penentu calon Kepala daerah, dan bukan satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Tidak ada jaminan satu orang kepala daerah yang cerdas mampu mengalahkan ribuan anggota arus tengah Sumatera Barat. Jika satu calon kepala daerah hanya memiliki satu atau dua keahlian, maka Sumatera Barat dengan potensi ratusan bahkan ribuan intelektual bisa saja menjadi sebuah konsorsium yang tidak kalah hebatnya dari sang calon.
Soal pilih-memilih adalah persoalan sesaat. Kemenangan dapat diketahui dalam sekejap pascapemilihan. Benar saja argumen yang mengatakan moment sekejap ini sangat menentukan nasib daerah ini 5 tahun kedepan. Setuju, tetapi tidak sepenuhnya. Bagi saya, argumen ini justru melegalkan peminggiran terhadap peran arus tengah yang “kurang serius” ini.
Yang pasti, pascapilkada akan ada satu kepala daerah terpilih, yang akan menjadi penentu kebijakan daerah. Apakah sudah terlambat atau belum, sepertinya masih ada kesempatan untuk melakukan semacam kontrak sosial antara calon kepala daerah dengan arus tengah, khususnya dengan LSM. Tujuannya agar Pemerintah atau LSM keluar dari “kotak-kotak kecil” yang dibangun sendiri. Pemerintah sibuk membangun birokrasinya dengan judul Good Government, begitupun LSM dengan tema transparansi dan akuntabilitas, dus status pengakaran, keberpihakan (the siding of/to) ke masyarakat. Sementara belum ada jaminan kesamaan pandangan tentang masyarakat, dan pendekatan apa yang mesti digunakan dalam membangun masyarakat.
Sebelum kepala daerah itu terpilih, sang calon sedang sibuk memetakan kantong suara. Namun masih ada peluang mengusik calon dengan menawarkan langkah-langkah menuju penyusunan “networking” antara LSM dengan Pemerintah (dalam hal ini ; an inquiry to calon kepala pemerintahan). Untuk tahap awal kontrak yang perlu ditawarkan cukup dua saja, pertama; kesungguhan untuk mengutamakan pembangunan berbasis masyarakat, kedua; kelancaran komunikasi -termasuk bermitra strategis- antara LSM dan Pemerintah.
Padang, April 2005
Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Pagi Padang Ekspres.
No comments:
Post a Comment