Rakyat Jadi Kudo Palajang Bukik

Oleh : Muhammad Nasir
Sekretaris Presidium Gerakan Peduli Tarbiyah Islamiyah Sumbar

Sekarang musimnya membahas partai dan Pilkadal. Isu ini tak kalah hangat dari gempa Nias atau gempa 6,8 SR yang melanda Padang baru-baru ini. Buktinya, kolom Pilkadal di koran-koran tidak serta merta habis karena bencana alam ini. Saking serunya, siapa saja merasa perlu mebicarakannya. Kaum intelek dan praktisi parpol tentu sudah fasih berbicara tentang ini. LSM juga merasa tahu dan menyatakan diri harus terlibat. Bahkan di lapaupun, diskusi tentang partai dan Pilkadal menjadi pencuci mulut menemani secangkir kopi, ketan dan goreng pisang.

Pagi itu di sebuah lapau di kawasan Padang Timur, tiba-tiba beberapa stiker cagub mendadak kuyu. Mungkin kedinginan disepuh embun pagi. Gara-gara bendera itulah ota lapau berkibar-kibar. Satu termen diskusi mengenai siapa yang memasang stiker berhasil diselesaikan. Penyelesaiannya adalah tidak seorangpun yang tahu siapa yang memasang. Yang pasti, partainya berhasil dikenali dan pemasangnya pasti dalam rangka menggelar kampanye, begitu simpul para peserta diskusi yang rata-rata memang rakyat badarai.

Berikutnya tentang kampanye. Saya tidak mengira kampanye ini jadi bahan menarik bagi masyarakat. Setiap diskusi di lapau itu, tidak ada tanda-tanda bahwa kampanye adalah topik menarik sekaligus “masalah” bagi masyarakat. Soalnya, ada pendapat menarik dari salah seorang palapau setia ini. Begini ceritanya:

“Dek ambo kampanye tu indak ado gunonyo doh. Kalau ambo pikia, berdasarkan pengalaman kampanye tahun 2004 dulu, tekor ambo. Kini baitu pulo. Soalnya banyak dampak negatifnyo ka ambo. Misalnyo, pulang kampanye ambo basitegang jo urang rumah. Pitih masuk indak pulo ado. Sabananyo kampanye patang, dak usah lah ambo sabuik partainyo, ambo lai diagiah transport 10.000 rupiah dek manager kampanye, itupun karano ambo ketua rombongan. Anak buah ambo antah bara dapeknyo. Ongkos ambo pulang baliak 3000 rupiah. Bali rokok agak 3000. minum kopilo 1000. Alunlai bakwan agak 1000 rupiah. Total kasadonyo 8.000 rupiah. Jadi transport dari partai tu balabiah 2.000 rupiah. Kok ka dihituang, iyo tekor banyak ambo, tekor abis kecek anak kini. Soalnyo sahari pitih masuak kalau ambo karajo 20.000 rupiah barasiah dilua kopi jo rokok. Haa.. apo dak tekor namonyo tu. Apo lagi kampanye sampai ampek kali. Sudah itu ambo ndak nio lai pai kampanye”.

Kalau saja apa yang diceritakan uda palapau tadi diarifi oleh cagub, cabup dan cawako yang akan bertarung nati, tentu mereka akan berpikir-pikir tentang strategi kampanye yang efektif yang berpihak kepada rakyat kecil. Secara ekonomi, berapa banyak rakyat yang tidak berhasil mendapatkan penghasilannya untuk menghidupi dapurnya. Jika menurut uda tadi penghasilannya mencapai Rp. 20.000 perhari, berapa jumlahnya jika peserta kampanye itu mencapai 1000 orang ?. Angka fantastis, bukan ?.

Bayangkan jika ada 100.000 peserta kampanye!. Nah, kalau apa yang dikampanyekan kontestan itu tidak ada realisasinya pasca menjadi pemenang Pilkadal, apakah mereka dapat disebut koruptor ?. Atau setidak-tidaknya disebut menghambat rezki rakyat. Zhalim tentunya.

Ada pendapat pelapau lainnya tentang korupsi model ini. Berikut petikannya :

“kalau itu takahnya, namonyo pemanfaatan. Awak jadi kudo palajang bukik. Iyo, ambo setuju kalau dikecekaan bahwa parpoltu hanyo memanfaatkan awak. Indak tabayang dek parpol tu awak nan indak makan gara-gara kampanyeko doh. Kadang-kadang untuk maminta air aqua, karano awak lah haus dek basorak-sorak bantuak baruak dipantak salimbado, susah dapeknyo. Apolagi isuak seandainyo jurkam itu lah duduk jadi pejabat, apo yang bisa awak mintak?. Sudah itu urang rumah indak lo dapek manuka lauk jo dagiang ayam. Alamat badan ka makan lauk busuak tibo di rumah. Jadi kalau dipikia baliak, banyak rugi awak dek kampanyeko. Kalau kecek mahasiswa nan kos dakek rumah den, awak tu dieksploitasi. Baitulah kiro-kiro makasuiknyo.

Ternyata, tidak perlu tinggi-tinggi bicara tentang korupsi, karena kalau tidak salah, korupsi harta rakyat justru dimulai dari kampanye. Apalagi kalau kontestan pemenang Pilkadal lupa pada konstituennya. Dan bukanlah kesalahan jika partai kalah Pilkadalpun berhak minta maaf pada rakyat. Mungkin juga wajib.

Kalau menang, konsekwensinya jelas. Bayar hutang kepada rakyat

***

Lubuk Lintah, April 2005
Tulisan ini telah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres