Oleh : Muhammad Nasir
Masyarakat biasa tinggal di Lubuk Lintah
Saruan PILKADAL ternyata cukup mangkus memanggil si anak hilang ataupun bujang rantau Minangkabau. Bahkan mereka yang telah ikhlas dilepas masyarakat untuk bertarung mempertaruhkan tuah ranah Minang pun merasa perlu kembali ke kubangan. Maaf, kan ada pepatah, setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya tetap ke kubangan. Ada apa ? apakah ini panggilan nurani atau panggilan masyarakat ?
Penulis pernah berbincang-bincang dengan beberapa kelompok masyarakat badarai berkaitan alek nagari bertajuk pilkadal ini. Berikut sarinya ;
”Kamu kenal dengan calon ini ? tanya seorang bapak pada penulis. “ Ooh, ini. rasanya saya pernah dengar aktivitasnya sebagai pengusaha di Pekanbaru (maaf,Kota ini mewakili sebuatan rantau rang Minang lainnya) jawab penulis hati-hati. Moga-moga tidak salah. Kenapa Pak ?, tanya penulis sekenanya. “Anu, soalnya, kenapa pada moment –moment politis saja mereka pulang. Sedangkan pada saat anak kamanakannya baralek saja jarang pulang, alasannya sibuk terus. Ha..ha..haa…”, Bapak itu tertawa selepasnya.
Komentar seperti di atas bukan sekali dua terdengar. Hampir semua majlis yang penulis hadiri, selalu bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang mau memimpin Kadaprov, kadakab atau kadako ini ? Dan ini tentunya tugas yang bersangkutan untuk memperkenalkan dirinya atau tidak memungkinkan mintalah tim kampanye atau tim sukses mensosialisasikan. Begitu adat memenangkan pemilihan. Namun menariknya komentar teman dialog penulis tadi adalah kenapa pulangnya selalu pada moment pemilihan ?
Paling tidak ada empat alasan terpenting bagi para balon yang pulang kandang ini. Pertama ; ada semacam kepedulian dari perantau ini terhadap kondisi kampung halaman yang mereka anggap perlu perbaikan. Dan mereka (perantau) punya kompetensi untuk itu. Untuk alasan ini, bisa dipahami dan diancungkan jempol untuk sense of motherland mereka. Mereka untuk sementara bisa dianggap orang yang punya visi, mengingat mereka punya keinginan pulang kampung. Keinginan ini tentu didasari pemahaman terhadap kondisi kampung mereka yang dianggap perlu dikembangkan. Ini juga berarti mereka punya perhatian terhadap kampung halaman.
Kedua ; ada seruan dari anak kemenakan di kampung untuk menjadi pucuk pimpinan nagari (baca : gubernur,bupati atau walikota). Alasan ini cukup bagus untuk disimak. Dalam konteks demokrasi, bahwa pemimpin itu dikehendaki dan dipilih oleh rakyat, sudah dipenuhi kriterianya. Pegiat LSM atau ilmuan politik mengistilahkan dengan politik partispatif. Artinya dalam menentukan calon pemimpin, partisipasi rakyat sudah terkedepankan. Untuk alasan ini, anak kemenakan bisa bermacam-macam wujudnya. Bisa saja mereka terhimpun dalam satu persukuan, satu nagari,kota atau kabupaten. Wujud lainnya adalah ormas seperti Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah,Perti, atau NU. Yang paling sering adalah Partai Politik.
Alasan ketiga; Ingin menambah curriculum vitae. Lumayan, perbendaharaan gelar pangkat dan jabatan bisa bertambah jika natinya nasib baik berpihak kepadanya dan terpilih menjadi kepala daerah. Untuk alasan ini rasanya perlu diwaspadai. Bedanya sangat tipis dengan alasan pertama, meskipun dua alasan ini berangkat dari keinginan pribadi. Jika yang pertama karena visi, yang kedua mungkin karena nafsu.
Untuk alasan yang berikut, harus diungkapkan dengan hati-hati, sebab ini menyangkut muru’ah para konstituen rang rantau ini. Yaitu Keempat : urang rantau tersebut tidak kuasa bertarung di tingkat pusat (perantauan) (?). Argumen untuk pernyataan ini adalah bahwa mereka yang telah didaulat untuk menjadi tokoh Minang di perantauan tidak semestinya mencederai amanat masyarakat Minang. Bukankah mereka didaulat untuk memperjuangkan Minangkabau di perantauan ? Bukankan sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk memilih mereka sebagai wakil Sumbar di pusat kekuasaan? Misalnya jadi anggota DRR RI, DPD atau jabatan lain yang mengatasnamakan dan atau mewakili masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat). Maka yang menjadi kewajiban mereka di perantauan adalah memperjuangkan aspirasi daerah yang sempat dikenal dengan jama’ah koruptor-nya . Kalau argumen ini ternyata benar, maka perlu dipertimbangkan untuk mem PAW-kan mereka, dengan kata lain ganti dengan yang mampu.
Lalu, apa persoalannya ?
Sebenarnya tidak ada yang salah jika Urang Rantau pulang kampung untuk menjadi Kepala daerah. Bukankah pulang kampung itu dianjurkan untuk melihat situasi dan kondisi kampung halaman. Hanya saja ada yang perlu jadi catatan bagi perantau yang pulang kampung ini.
Minangkabau beberapa tahun belakangan kekurangan tokoh yang berlabel tokoh nasional. Saat ini Indonesia baru mengenal Harun Zain, Azwar Anas, Emil Salim, Syamsu Djalal, Djamari Chaniago atau yang seangkatan dengan mereka. Perlu diingat tokoh-tokoh yang baru disebutkan ini sudah memasuki usia senja. Terakhir muncul tokoh-tokoh muda yang mulai berkuku di tingkat nasional. Sebut saja Patrialis Akbar, Irwan Prayitno, Irman Gusman, terakhir ada Jefrie Geovanni, M. Kapitra Ampera dan sebagainya. Mereka yang muda-muda ini diharapkan mampu melanjutkan estafet kepemimpinan masyarakat Minangkabau di tingkat nasional. Jangan karena kepulangan mereka kaderasi kepemimpinan etnik Minangkabau terputus.
Meski ada beberapa alasan yang muncul membela situasi ini, misalnya bahwa ketokohan mereka (yang muda/perantau) ini perlu diuji dengan memimpin daerah sendiri, namun seberapa kuat ujian ini berpengaruh terhadap kepemimpinan mereka ?
Tulisan ini memang opini dari sebagian kecil masyarakat. Tujuannya adalah agar pemimpin Minangkabau atau Sumatera Barat yang sudah berkiprah ditingkat nasional agar terus berkarir dan bertarung mempertaruhkan nasib masyarakat di kampung halaman. Tidak harus jadi gubernur, bupati atau walikota. Atau , jangan-jangan pengaruh ketokohan perantau belum kuat untuk membangun kampung halaman sebelum jadi gubernur, bupati atau walikota ?
Kampus M.Yunus, 15 Maret 2005
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis, 17 Maret 2005
No comments:
Post a Comment