Oleh : Muhammad Nasir
Islam telah mewariskan dan memberi pengayaan terhadap peradaban dunia. Sebagai agama, Islam telah menjadi konsepsi terpenting dalam membangun peradaban. Kemajuan dimulai dan berdiaspora setelah Bani Abbas menggantikan Bani Umayah sebagai khalifah, dan mendirikan ibu kotanya yang baru di Baghdad dalam tahun 762 M. Pada abad kesembilan dan kesepuluh Masehi dunia menyaksikan puncak kemajuan peradaban Islam. Kerajinan, perdagangan, kesenian bangunan, dan beberapa kesenian yang kurang penting, berkembang dengan subur. Dengan model peradaban yang terbuka, umat Islam berhasil mensintesa peradaban mediterania yang pernah jaya dan sekaligus memberi pengayaan, seperti peradaban Persia, Mesopotamia, Syiria, dan Mesir. Dengan semangat Islam semua komponen pembangun peradaban Islam ini bekerja dan memberi sokongan bagi kemajuan peradaban Islam.
Sepertinya tepat yang ditulis oleh Roger Garaudy bahwa "Islam telah membawakan kepada manusia suatu dimensi transenden (ketuhanan) dan dimensi masyarakat. (Roger Garaudy, 1985
Selain Islam, di dunia ini dijumpai beberapa peradaban lain, yaitu: Pertama, sinik di China. Kedua, Jepun. Ketiga, Hindu di India. Keempat, Orthodox di Russia. Kelima, Barat yang melingkupi Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Latin. keenam, Amerika Latin yang meliputi Mexico, Amerika Tengah, Peru, Bolivia, Argentina dan Chili. Peradaban ini merupakan sub-peradaban Barat. Ketujuh, Afrika (Samuel P. Huntington,1998). Dalam waktu yang tidak begitu lama, Islam telah menyisir keenam kawasan peradaban tersebut. (Harun Nasution: 1982). Dalam perjalanannya ini, tentu saja, agama Islam ada yang berubah dari segi non-akidah, sebab telah berakulturasi dengan kawasan setempat.
Terhadap diaspora (penyebaran) agama Islam ini, W. Montgomery Watt berkomentar:”Saya tidak akan memandang kaum Muslim sebagai sekelompok orang yang memaksakan sesuatu yang asing kepada Eropah. Saya malah akan memandang mereka lebih sebagai wakil sebuah peradaban dengan capaian-capaian besar, yang mengatasi capaian-capaian besar di wilayah lain di bumi, yang manfaatnya sangat melimpah di wilayah ini [Eropah]. (W. Montgomery Watt:1997)
Seusai memberikan pencerahan terhadap berbagai peradaban dunia, tiba-tiba Islam mengalami berbagai kemunduran. Islam mulai masuk ke “kamar gelap peradaban”. Suara Islam masih lantang terdengar. Tetapi hanya menjadi gaung dan tidak pernah terealisasi. Kemunduran itu dipercepat oleh malapetaka yang berturut-turut terjadi di Asia Barat dalam abad ketiga belas dan keempat belas. Penyerbuan pertama kaum Mongol penyembah berhala, membumihanguskan propinsi-propinsi bagian Timur Laut sekitar abad ke-13.
Kebangkitan Islam; Tanpa Sintesa
Peradaban Islam sedang sakit! Di manapun Islam dianut dan berkembang sebagai agama tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, baik dari segi ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan sebagainya. Meskipun demikian, keberadaannya tetap menjadi hambatan terbesar bagi peradaban barat. Tidak kurang, Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of civilizations and the Remaking of World Order (1996) meletakkan Islam sebagai sparring partner peradaban Barat. Eksplorasinya yang sangat luas dilengkapi data yang cukup memadai membawanya pada tesa tentang dominasi benturan peradaban dalam kancah politik global, terutama antara Barat dan Islam. Bagi Huntington, sumber utama konflik dunia baru bukan lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya.
Dipengaruhi sejarawan Perancis Fernand Braudel, Huntington memandang peradaban sebagai the broadest cultural entity. Maksudnya kebudayaan merupakan sebuah representasi dari wilayah yang lebih sempit dan karena itu bervariasi menurut wilayah, misalnya Jerman, Inggris, dan Perancis adalah kebudayaan, sedangkan wilayah kesatuannya yang disebut Eropa adalah peradaban. Demikian pula Arab adalah kebudayaan, sedangkan Islam adalah peradaban; Taiwan adalah kebudayaan, sedang Cina adalah peradaban, dan seterusnya (Ismail Fahmi, 2003). Pascaperang dingin, Islam tampil sebagai tantangan terhadap Barat, sebuah tesis yang kemudian dikukuhkan oleh Huntington.
Mengikuti alur berpikir Huntington di atas, peradaban Islam yang dimaksud pada prinsipnya bukanlah peradaban Islam yang luhur seperti yang pernah jaya. Tetapi sayangnya, Huntington cenderung menilai Peradaban Islam sebagai wajah kelompok-kelompok penganut Islam yang disebut barat sebagai penganut Islam fundamental. Ia tidak melihat nilai-nilai Islam sebagai semangat pembangun peradaban luhur.
Hal tersebut sebelumnya juga disinggung oleh Francis Fukuyama melalui bukunya, The End of History and The Last Man (1993). Meskipun Fukuyama mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, ia justru membuat akar tesis Huntintong tentang kekuatan Islam sebagai tandingan kekuatan barat semakin kuat. Adalah Islam, sebagaimana liberalisme dan komunisme, yang juga memiliki ideologi yang sistematik dan koheren. Dan di sebagian besar dunia Islam, Islam benar-benar telah berhasil mengalahkan demokrasi liberal dan memposisikan dirinya sebagai ancaman terhadap praktik-praktik liberal bahkan di Negara di mana Islam tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung. Meskipun demikian, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang ide-ide liberal dalam jangka panjang ketimbang sebaliknya. Karena tampaknya ide-ide liberal lebih memikat para pengikut Islam sepanjang satu setengah abad yang lalu. Sebagai reaksinya adalah lahirnya apa yang kemudian disebut fundamentalisme.
Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme tanpa ada kompetitornya.
Tentang tidak adanya kekuatan tandingan barat itu dibantah oleh Huntington. Ada tiga bantahan yang dikemukakannya: pertama, kebangkitan kembali adalah hal yang mung¬kin. Munculnya Keynisianisme dalam teori ekonomi pada tahun 1940-an sampai tahun 1960-an membuat teori liberalisme klasik seakan tidak mendapat tempat. Tapi pada tahun 1970-an, Liberalisme klasik muncul kembali dan menjadi teori dominan yang dipakai oleh banyak negara maju sampai sekarang. Kedua, penerimaan universal demokrasi liberal tak menghindarkan konf¬lik-konflik di dalam Liberalisme. Ketiga, kemenangan suatu idiologi tidak menyingkir¬kan kemungkinan munculnya idiologi-idiolo¬gi baru. Peradaban adalah konsep yang tidak berdasar. Peradaban dan budaya itu sendiri sangat susah dibatasi dan didefinisikan, ia menyu¬sup dan menyebar melintasi batas wilayah teritorial. Budaya dan peradaban datang dan pergi silih berganti, dianut dan dicam¬pakkan sesuai kebutuhan dan ketersediaan. (Huntington dalam A. Fawaid Sjadzili,2004)
Argumen kedua ideolog Barat itu semestinya dapat dicerna dan beberapa bagian tertentu dapat dimentahkan oleh umat Islam. Jika Barat melandasi peradabannya pada dua hal; liberalisme dan demokrasi, maka Islam harus mencari sintesa mengatasi kedua hal tersebut. Terbukti, hari ini tidak semua negara yang menggunakan liberalisme sebagai roh peradabannya tidak dapat berdemokrasi dengah baik. Begitu pula negara-negara yang menerapkan demokrasi sebagai ruh pemerintahannya berupaya keras menentang praktik liberalisasi di negaranya. Satu hal lagi yang justru tidak dianggap ancaman serius oleh barat, yaitu bangkitnya peradaban Cina dan Amerika Latin. Cina mulai menggeliat sebagai raksasa baru perekonomian dengan mensintesa komunisme dan kapitalisme barat. Amerika Selatan dimotori Venezuela, Brazil, Mexico, Peru, Bolivia, Argentina, Chili dan beberapa kompatriotnya bangkit dengan semangat etnic solidarity-nya.
Sebenarnya, mengikuti perkembangan sekarang, semua orang menunggu Fukuyama membatalkan tesisnya, jika harus memaksakan tesis itu ia sebagai ideolog demokrasi liberal mesti berteriak lebih keras menyuruh barat berjuang dengan upaya yang juga sangat keras untuk mewujudkan mimpinya. Menggunakan metode falsifikasi Karl Popper (1975) dedengkot posmodernisme, umat Islam tidak perlu ragu akan sesumbar Fukuyama.
Tetapi lebih penting dari itu, Islam harus mencari sintesa bagi kebangkitan peradabannya. Jika kebangkitan Cina dan menggeliatnya Ekonomi Amerika Selatan didasari semangat yang berbeda dengan demokrasi liberal barat, umat Islam tentu saja sudah memiliki ruh tersendiri bagi peradabannya. Paradaban bagi umat Islam tidak lebih dari pertarungan nilai baik dan buruk. Visi peradaban Islam adalah mewujudkan kemenangan nilai baik atas nilai buruk. Visi ini sudah tercerahkan dengan nilai-nilai yang sifatnya transendental (ilahiyah).
Apa arti peradaban barat bagi umat Islam?. Boleh jadi saat ini yang dimulai pada awal abad kesembilan belas, barat telah berhasil mengimport system demokrasi dan liberalisasi ke berbagai penjuru negara di dunia. Tetapi Peradaban Islam dapat saja mengambil sisi baik (nilai baik) dari prinsip demokrasi liberal yang dianut barat dan membuang sisi gelapnya.
Untuk hal ini tentu saja diperlukan reformasi dalam pemikiran umat Islam. Reformasi dalam Islam identik dengan islāh, yakni memperbaiki dan menyempurnakan sesuatu yang belum sempurna, termasuk mengganti yang usang dan rusak (Said Aqiel Sirajd, 1999). Kata islāh berasal dari kata aslaha-yuslihu- islāh yang berarti lawan daripada kata rusak (fasad) (Louis Ma‘luf,1986) Reformasi dalam Islam bukan bermakna mengubah ajaran Islam, namun lebih kepada gerakan untuk kembali kepada Islam, kepada pesan-pesan aslinya, yaitu mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Dalam al-Qur’an, istilah ini sering dikaitkan dengan perbuatan yang merusak dan perbuatan yang buruk (Ragib al Asfahani, t.t). Al-Qur’an memuat istilah islāh dalam beberapa ayat. Antaranya: Surah al-Baqarah (2): 220, Surah An-Nisā’ (4): 114, Surah Hud (11): 88, Surah al-A‘rāf (7): 56, dan Surah al-A‘rāf (7):85.
Dari beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa konsep islāh memiliki beberapa karakteristik. Pertama, berkenaan dengan kegiatan ekonomi, yaitu perbaikan dalam hal kesempatan untuk menikmati hidup, sama dalam hal pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Kedua, berkenaan dengan perbuatan baik, yaitu amar ma‘rūf . Ketiga, adanya potensi manusia untuk berbuat kejahatan, maka perbaikan untuk itu merupakan suatu yang wajar. Dalam konteks inilah peradaban Islam harus dibangun. Pada dasarnya, manusia dimanapun dalam tataran parktis akan cendrung kepada sesuatu yang dianggap baik. Maka tawaran kebaikan dalam peradaban Islam harus dikemukakan.
Untuk melakukan hal ini, menurut M. Amin Abdullah, ada dua model yang ditempuh oleh para pemikir Islam. Pertama, dengan cara menekankan perlunya tajdīd al-fahm (memperbaharui pemahaman Islam).
Menurut Hassan Hanafi, umat Islam harus mempelajari tradisi barat dengan Pertama, mempelajari tradisi Barat untuk memindah ilmu pengetahuan, Kedua, mempelajari tradisi Barat sebagai bagian dari analisa terhadap realitas kontemporer, Ketiga, mengkaji tradisi Barat sebagai bahagian dari kajian tentang tradisi lama umat Islam, Keempat, mempelajari tradisi Barat sebagai bagian dari partisipasi kita dalam kajian kemanusiaan umum. (Hamid Algar,2001)
Apa yang dikemukakan Hasan Hanafi di atas termasuk dalam mata kajian tentang nilai-nilai baik, termasuk kebaikan ruh peradaban barat untuk melawan nilai-nilai buruk. Barat hanya dianggap sebagai ilmu perantara (‘ulūm al-wasā’il), bukan ilmu tujuan. Maka peradaban Islam adalah sintesa dari pertarungan antara nilai-nilai baik islam (ma’ruf) plus keunggulan barat hari ini dengan kegagalan beberapa aspek peradaban barat seumpama hilangnya semangat transendental dan terlu berorientasi kebendaan. Dan bahwa kemajuan peradaban tidak tergantung pada capaian yang bersifat kebendaan (materialisme) belaka. (22/02/07)
Wallahu’alam bi alshawab.
No comments:
Post a Comment