Muhammad Nasir
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Demokrasi Historis
Demokrasi historis adalah perlawanan terhadap totalitarianisme dan otoritarianisme. Banyak contoh yang menunjukkan kemenangan demokrasi berada pada ranah kekuasaan yang mengkebiri hak-hak sipil dan penguasaan yang tak terbatas terhadap warga dalam menetukan nasibnya sendiri. Tak heran demokrasi ketika diangkat sebagai isu perjuangan memenangkan pertempuran di wilayah Eropa Timur yang cendrung dikuasai sosialisme dan komunisme. Begitu juga di beberapa wilayah Asia Timur dan beberapa negara di Amerika latin.
Akan tetapi bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, bila Amerika Serikat selalu ada dalam isu demokratisasi pada beberapa kawasan tersebut di atas. Demokrasi merupakan dagangan utama Amerika dalam memenangkan persaingan global. Agaknya hal itu pula yang mendorong seorang Francis Fukuyama untuk membicarakan keunggulan demokrasi –terutama demokrasi liberal– sebagai jaminan mutu dalam menyelenggarakan pemerintahan. Demokrasi tampaknya memenangkan pertempuran pada beberapa kawasan yang tersebut di atas. Paling tidak kemenangan itu didukung oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya.
Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.
Akan tetapi akankah manusia mengakhiri sejarahnya sendiri dengan bernaung di bawah bendera demokrasi? Dapatkah demokrasi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya cara baik dalam menyelenggarakan hajat hidup orang banyak? Disinilah titik tolak masalahnya.
Sejarah tidak hanya melahirkan demokrasi sebagai satu-satunya ideology. Demokrasi tidak lebih sebagai sintesis terhadap sistem totalitarianisme, absolutisme dan penafian potensi individu dalam menyelanggarakan kehidupannya. Dengan kata lain, demokrasi bukanlah hal yang final. Dalam sejarah proyek demokratisasi selalu bersentuhan dengan kawasan atau negara yang sedang mengalami permasalahan dalam hal kesejahteraan (krisis ekonomi).
Sejarah manusia membuktikan bahwa akal dan nalar manusia selalu survive mengatasi tantangan yang dihadapinya. beberap ideology lain juga mencoba memformulasi ulang segenap langkah untuk mengatasi persoalan yang dialami oleh penganutnya. sesuai dengan kodratnya, ideology diperuntukkan oleh pembangunnya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu pertentangan ideologi-ideologi lainnya (misalnya Islam) dengan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi demokrasi yang diformulasi oleh satu kelompok atau bangsa tertentu semisal Amerika Serikat. Maka kekhawatiran Amerika Serikat terhadap kelangsungan proyek demokrasinya adalah kebangkitan ekonomi Asia dan progresivitas aktivisme Islam dalam memperbaiki nasibnya.
Pertentangan itu akan meluas pada perang terbuka (global) seandainya terjadi pemaksaan untuk penerapan satu ideology yang direformulasi. Misalnya pemaksaan untuk menerima demokrasi liberal sebagai bentuk terakhir ideology umat manusia. Begitu pula pemaksaan Islam sebagai satu sistem ideology untuk diterapkan sebagai ideology terakhir yang harus diterapkan umat manusia.
Berangkatat dari asumsi itu, demokrasi kontemporer mestilah disesuaikan dengan level masalah dan konteksnya. Tidak ada model penyeragaman dalam penerapan demokrasi, apalagi harus liberal. Sementara liberalisme pada intinya adalah persoalan kesiapan sumber daya untuk infrastruktur dan suprastruktur ekonomi dalam mengartikulasi kebebasannya.
Demokrasi; Kembalikan ke makna asal
Prinsipnya, demokrasi merupakan sebuah proses interaksi manusia dimana setiap manusia dapat ikut serta secara aktif menjalankan kehidupan bersama. Setiap manusia secara proporsional menunaikan kewajiban pribadinya terhadap manusia lain dalam kehidupan kolektif, begitu juga secara individu manusia mendapatkan hak privatnya dari manusia lain dan dari kehidupan kolektif.
Demokrasi akan menjadi isu penting, utamanya di daerah yang kehilangan sikap ketidak adilan. Begitu pula negara lain yang kehilangan kesempatan yang sama untuk mengakses kehidupan, berterima dengan agama atau ideology tertentu untuk menyelesaikan persoalannya. Hal ini menjadi bukti, bahwa demokrasi bukanlah satu-satunya solusi. Contoh terdekat, Brunai Darussalam yang monarchy demokrasi tidak menemukan tempatnya. Barangkali demikian juga halnya di bumi kelahiran demokrasi, demokrasi tak lebih isu pemenuhan hasrat politik kelas menengah ke atas. Itu juga yang menjadi penyebab, demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia, dicurigai sebagai tongkat pemukul yang melemahkan punggung bangsa yang sedang bangkit. Pesakitan Indonesia dituduh tidak demokratis.
Namun demikian demokrasi tidak bebas nilai. Demokrasi harus lahir dari sesuatu yang dianggap baik, baik secara vertical maupun horizontal. Karena itu demokrasi tidak dapat diseragamkan. Demokrasi yang diseragamkan adalah otoritarianisme dan imperialisme.
Keharusan dalam menerapkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dewasa ini semestinya diterapkan dalam bentuk persemaian benih keadilan, persamaan hak (duduk sama rendah – tegak sama tinggi), kesejahteraan. Keharusan lainnya yang universal dalam menghidupkan demokrasi adalah kesukarelaan dalam melakukan kewajiban, keikhlasan dalam memberikan hak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan berdunia.
Demokrasi Salingka Nagari
Demokrasi kata kuncinya adalah partisipasi. Jika terjadi dorongan yang kuat bahkan pemaksaan diluar kesadaran berarti mobilisasi. Sayangnya, kecenderungan proyek demokrasi kita adalah mobilisasi. Semua diharapkan demokratis dalam sangkar yang dibuat sendiri oleh agen demokrasi, yaitu birokrasi. Semestinya demokrasi hidup di dalam rumah yang dibuat sendiri oleh warganya sendiri.
Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak anti dengan demokrasi. Indonesia, pascareformasi sudah dipuji sedemikian rupa sebagai negara yang dengan sukarela melakukan proses demokratisasi di segala bidang. Utamanya, pemilihan umum pertama pascareformasi dapat dijadikan ukuran kesukarelaan dalam menerapkan prinsip demokrasi dalam menyelenggarakan kepemimpinan negara. Meskipun cara-caranya mengimpor dari negara tetangga.
Secara historis, kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan semangat demokrasi. Demokrasi dalam perspektif kehendak rakyat menjelama dalam bentuk negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Hal ini terwujud karena bangsa Indonesia melalui ratusan suku bangsanya sudah memiliki semangat demokrasi dalam setiap akar budayanya. Oleh sebab itu demokratisasi Indonesia tidak berangkat dari ruang hampa (tabularasa)
Dalam adat Minangkabau yang relative demokratis, ditemukan teori adat salingka (selingkar) nagari. Bahwa tatanan adat dan nilai-nilai dikandungnya hidup di lingkar nagari (negeri) itu sendiri, tanpa harus dipaksakan dalam kehidupan warga minangkabau yamg tidak hidup di negeri itu, misalnya di perantauan. Maka Demokrasi pun semestinya juga demikian. Demokrasi Salingka Nagari. Demokrasi bukan berarti Westernisasi atau mungkin Amerikanisasi. Demokrasi Indonesia adalah Indonesianisasi. Demokrasi Indonesia berarti menjadikan orang Indonesia hidup dengan peradabannya sendiri, dan dengan cara-cara yang dibangunnya sendiri. Itulah demokrasi kita, duduk bersama menyelesaikan masalah utama kita berikut dengan turunan masalahnya.
(Minangkabau, 23 Juli 2007)
No comments:
Post a Comment