Oleh : Muhammad Nasir*
5 Februari 2006 HMI berusia 59 tahun sejak didirikan 5 Februari 1947/ 14 Rabiul Awal 1366 H yang lalu. Kelahiran HMI tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang tengah bertaruh mempertahankan kemerdekaan. Mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan diperguruan tinggi larut dengan organisasi primordial semisal Himpunan Mahasiswa Djakarta (HMD), Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD) dan sebagainya. Umat Islampun tengah larut dengan isu Islam santri - Islam abangan, Kaum Tua – Kaum Muda, Islam Pembaharu – Islam Tradisional yang sengaja diperbesar oleh Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa. Lafran Pane, mahasiswa tahun I di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta gelisah dan tergetar hatinya untuk menyatukan kepentingan umat hanya pada “satu Islam” tanpa dikotomi. Gerakan ini ia mulai dengan mendirikan HMI.
Pada perkembangannya HMI telah melewati masa sulit era revolusi fisik, masa tantangan pada 1960-1966, masa emas dengan menyumbang sejumlah besar kader terbaik dalam pembangunan nasional, hingga kini kembali mengalami kemerosotan pascagerakan reformasi 1998.
HMI memang belum mati. Saat ini adalah masa kritis yang perlu diwaspadai oleh HMI. Beberapa komisariat terancam tutup karena kekurangan anggota, tidak diminati dan kehilangan taji. Kader-kader HMI tidak lebih hanya pendongeng tentang kesuksesan masa lalu, tentang Deliar Noer, Sulastomo,Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Mar’ie Muhammad, dan kader-kader terbaiknya yang tengah memegang posisi kunci, hingga teranyar Jusuf Kalla yang juga menjabat orang kedua di republik ini. Tidak terbayang, seandainya generasi emas ini meninggal dunia menyusul guru bangsa “Cak Nur”, HMI tidak bisa lagi bercerita sejarah kebesaran dirinya yang memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
HMI dan Kampus
Yang patut dibanggakan saat ini, dari sekian banyak organisasi mahasiswa seusianya, barangkali yang bisa dikatakan eksis adalah HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Sayangnya, di usia paruh bayanya ini, HMI tidak populer lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ironisnya, komunitas kampus sebagai basis utama HMI nyaris tidak mengenal HMI apalagi harus menaruh segan dan hormat terhadap organisasi mahasiswa Islam yang satu ini. Sebenarnya penulis tidak enak hati untuk mengatakan ; HMI pecundang !!!.
Sejak 5 tahun terakhir, HMI mulai mengalami penurunan drastis. Dominasi HMI pada beberapa kampus besar di Sumatera Barat mulai berkurang, bahkan habis sama sekali. Yang tinggal cuma kepengurusan dan anggota HMI. Sementara dinamika kampus tidak lagi dimotori oleh HMI. Sekedar nostalgia, sebelumnya kader-kader HMI pernah memegang posisi kunci pada beberapa organisasi intra kampus semisal Senat Mahasiswa (BEM sekarang), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hingga organisasi di level fakultas dan jurusan.
Hal lainnya yang patut dibanggakan HMI pada waktu itu adalah keunggulan pada sistem perkaderan. Paling tidak, mahasiswa yang pernah mengikuti latihan perkaderan semisal LK-I (Basic Training) merasakan nuansa yang berbeda yang tidak didapatkan pada perkaderan di organisasi lainnya. Tidak heran, pasca LK-I biasanya kader HMI terampil dalam berbicara, mempunyai keberanian lebih dan kepercayaan diri yang meningkat. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi akademis anggota HMI. Kemampuan berbicara , daya kritis dan semangat kemandirian ini menjadi metode pembelajaran tersendiri bagi anggota HMI untuk mencapai prestasi. Ditambah lagi dengan follow up sebagai program capacity building pasca LK-I yang memberikan jaminan terpenuhinya hasrat pengembangan bakat dan minat mahasiswa.
Di luar kampus, HMI dapat menunjukkan eksistensi dan peran keummatan, sosial dan politik lokal. Disamping keterlibatan HMI secara institusi, para kader HMI pun membentuk buffer institution sebagai ajang aktivitas dan kreativitas anggota-anggotanya.Saat ini kondisi berbalik. Dengan pencapaian seperti itu wajar saja HMI menjadi idola dan prioritas mahasiswa dalam menentukan organisasi yang akan dimasukinya.
Bagaimana Kompetitor HMI?
Pada saat yang bersamaan, di tengah merosotnya pamor HMI berikut kader-kadernya, organisasi mahasiswa yang lahir dari lembaga dakwah kampus menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Fenomena ini tidak lebih dan nyaris sama dengan kemunculan partai Islam semisal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga didirikan oleh mantan aktivis lembaga dakwah kampus. Bahkan ada indikasi organisasi mahasiswa Islam semisal KAMMI, sebagai ruang integrasi aktivis Forum Studi Islam, Kelompok Studi Islam, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) punya ikatan historis yang kuat. Embel-embel dan slogan PKS juga ada pada KAMMI.
Peningkatan yang sama juga terjadi pada organisasi mahasiswa primordial berbasis kampung, almamater dan sebagainya. Hal ini disinyalir sebagai dampak otonomi daerah yang memberikan peran besar kepada mereka untuk berpartisipasi pada peristiwa sosial politik di daerah mereka masing-masing. Tercatat, masa-masa Pemilihan Kepala daerah langsung (Pilkada langsung) beberapa waktu lalu organisasi primordial atau paguyuban ini laku keras.
Sementara organisasi mahasiswa lainnya seperti IMM tidak jauh berbeda kondisinya. Namun IMM dapat mempertahankan eksistensinya karena Muhammadiyah sebagai payung organisasi masih dapat menampung aktivitas dan kreativitas mereka. Sementara organisasi mahasiswa di bawah payung NU seperti PMII dan GP Anshor tidak berkembang dengan baik. Begitu juga organisasi independen yang seusia dengan HMI yaitu PII yang lahir Mei 1947 nyaris senasib dengan HMI .
HMI Pemalas!
Beberapa mahasiswa yang sempat diwawancarai menyatakan saat ini HMI tidak punya prestasi di kampus. Komentar – komentar seperti -- “apa yang akan kami lakukan di HMI, jika sehari-hari kampus sepi dari kegiatan HMI ?”-- semakin sering terdengar. Artinya akan semakin sulit bagi HMI untuk merekrut anggota baru apabila mahasiswa tidak melihat aktivitas HMI di kampus. Realitanya, saat ini kampus-kampus besar di Sumatera Barat dibanjiri spanduk, panflet, leaflet dan media komunikasi lainnya darim oragnisasi kompetitor HMI. Media tersebut tentu saja menjadi ajang promosi bagi kompetitor HMI. Jaminan kebenaran promosi tersebut dapat mereka lihat dari maraknya aktivitas kompetitor di kampus.
Berdasarkan informasi di atas, persoalan merosotnya popularitas dan peran HMI bila disederhanakan adalah sepinya aktivitas organisasi di berbagai level kepemimpinan. Pola perkaderan HMI saat ini belum bisa dikatakan out of date. Paling tidak metode-metode yang dipakai HMI dalam aktivitas perkaderan yang menggunakan metode pembelajaran orang dewasa, menekankan pada partisipasi aktif anggota, ternyata masih relevan. Hanya saja, kader HMI yang bergiat sekarang, sepertinya diserang penyakit malas dan tidak suka bekerja keras. Sanggupkan HMI keluar dari kemalasan ini?.
Indikator kemalasan itu semakin nyata terlihat. Ada banyak kesempatan berdiskusi dengan pentolan HMI di kampus. Beberapa rencana besar terungkap dari pembicaraan tersebut. Namun rencana besar itu tidak pernah terwujud. Indikator lainnya, beberapa program yang pernah diangkatkan pengurus, ternyata hanya dihadiri oleh beberapa gelintir anggota saja. HMI, dingin !!!.
Saat ini, yang diperlukan HMI cuma bangkit dari kemalasan. Memang banyak persoalan yang dihadapi HMI, banyak cara telah dilakukan untuk menemukan masalah di tubuh HMI, dengan berbagai pendekatan penuh strategi dan rinci. Konflik internal HMI yang sering dijadikan alasan kemunduran HMI tidak lebih dari alasan dari orang-orang kalah. Sekali lagi, bangkitlah dari kemalasan.(Padang, 1 Februari 2006)
Penulis Mantan Pengurus HMI Cabang Padang
Periode 1999-2000
No comments:
Post a Comment