Oleh: Muhammad Nasir
1. Nasib Pemuda
Hitungan kuantitatif menunjukkan alangkah besarnya jumlah anak muda di negeri ini. Dalam jumlah yang besar ini, berbagai hal dilakukan. Dalam rentang usia 15-30 tahun anak-anak muda negeri ini menghabiskan waktunya di bangku pendidikan, terpaksa bekerja dan mencari kerja. Bagi yang tidak beruntung, tertangkap oleh data statistik sebagai sebagai penganggur. Kadang-kadang mengisi grafik turun naik data-data kriminalitas di kantor-kantor polisi.
Jika dirinci, bagi yang menjadi peserta didik, usia 15-18 tahun berada di bangku SLTA baik SMA/MA/SMK dan Pondok Pesantren. Selanjutnya pada usia 18-22 tahun atau selambat-lambatnya usia 25 tahun berhasil menyelesaikan studi sarjana (S.1), program keahlian D.III, D.II, D.I. Jikalau beruntung, mereka yang berminat dan bermodal cukup, melanjutkan studi ke program magister (S.2) hingga mencapai usia 30 tahun. Selama 15 tahun itu diiringi berbagai fenomena, di antaranya bekerja, mencari kerja, menikah dan sebagainya.
Beruntunglah anak muda yang terdidik ini. Pendidikan yang baik menumbuhkan idealisme mereka. Otak mereka berkembang mengikuti zaman. Pada masa pendidikan itu, mereka juga mendapatkan kesempatan berorganisasi.
Bagi yang tidak melanjutkan pendidikan, keluarga dan masyarakat memaksa mereka untuk terjun ke dunia kerja. Sebagian mau dan berhasil, sebagian mau dan gagal. Yang lainnya tidak mau dan mencari pelampiasan kepada hal-hal yang tidak produktif. Nongkrong di mall-mall, di pinggir jalan, menyendiri di kamar sempit dan bergaul dengan NAPZA. Begitulah, jika dipetakan alangkah banyak titik-titik yang perlu ditarik sehingga bermuara pada pernyataan masalah, bagaimana keadaan pemuda kita hari ini? Apa yang dapat dilakukan untuk mereka?
Sejalan dengan fenomena di atas, organisasi pemuda dan berbagai kelompok yang mengasosiasikan dirinya dengan kepentingan pemuda lahir, tumbuh, berkembang, jaya dan beberapa di antaranya perlahan-lahan redup. Akan tetapi dari masa ke masa persoalan anak-anak muda di negeri ini tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Adalah benar, jika selagi kehidupan kemanusia terus berlanjut, persoalan akan terus mendampingi meski dalam bentuk yang berbeda. Paling tidak respon yang harus ditampilkan terhadap setiap persoalan harus semakin cerdas dan menunjukkan tingkat kematangan intelektual dalam proses penyelesaiannya. Sayangnya, setiap upaya penyelesaian selalu saja mengambil satu format yang latent yaitu politik!
Sekali lagi tentang politik, wadah, proses dan tujuan yang diharapkan selalu saja beraroma politik. Terma politik dalam organisasi dan kepemimpinan pemuda dari waktu ke waktu selalu menemukan momentnya, yaitu kemenangan elit pemuda dan kekalahan komunitasnya dalam menyelesaikan permasalahan mendasar. Permasalahan mendasar kepemudaan yang selalu muncul dalam problem statement-nya adalah bagaimana nasib pemuda pada masa yang akan datang?
2. Terminologi Kepemimpinan yang Salah Kaprah
Kepemimpinan dalam pengertian yang sangat popular berkaitan dengan aktivitas mengelola kehidupan bersama. Kehidupan bersama yang dimaksud bisa berupa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicapai secara sepihak oleh manusia yang ada dalam satu lingkup sosial kehidupan. Ketergantungan satu sama lain menjadi alasan terpenting dari kepemimpinan. Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam konteks sosial merupakan keharusan universal dalam sejarah pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan dan saling ketergantungan merupakan titik pangkal dari segala persoalan kepemimpinan.
Kepemimpinan secara historis selalu berhubungan dengan formula politik elit (dalam bungkusan istilah the rulling class) yang mengatur proses pencapaian tujuan. Karena persoalan mengatur juga bersahabat erat dengan kemampuan dan kekuasaan para elitnya (the power of elite) maka perdebatan ini menjadi semakin panjang dan pencapaian tujuan tidak lagi menjadi penting. Misalnya, beberapa organisasi pemuda selau sibuk berbicara tentang kemampuan elitnya dalam memimpin organisasi. Waktu yang berlalu menjadi percuma, karena kemampuan yang dibahas hanya menjadi isu politik praktis dalam suksesi, dan tidak menjadi isu dalam mewujudkan perubahan yang berarti bagi nasib pemuda dalam lingkup yang lebih luas dari organisasi.
Bagaimanapun keadaannya, saat ini kepemimpinan pemuda telah menjadi penyerta dari proses sosial yang sedang berlangsung. hanya saja golongan elit pemuda tidak terlalu dipertanyakan tanggungjawabnya dalam merealisasikan tujuan-tujuan sosial yang utama. Kepemimpinan pemuda tidak sama artinya dengan proses mempertahankan hidup jutaan pemuda Indonesia, apalagi memperbincangkan kemungkinan runtuhnya satu generasi bangsa oleh sebab tidak beruntungnya nasib generasi muda. Adapun tantangan yang dihadapi sebagaimana yang disebut dalam pembuka tulisan ini antara lain, rendahnya mutu pendidikan, kurangnya akses modal usaha, pengangguran, penyalahan narkoba serta satu hal yang mungkin belum tersebut; pelacuran politik atas nama pemuda!
Satu yang disebut terakhir inilah yang menjadi titik tekan persoalan kepemimpinan pemuda yang terkini. Kepemimpinan pemuda termasuk kepemimpinan sosial yang disebut Suzanne Keller sebagai kekuatan penyangga masyarakat yang teratur (Keller, 1984: 3). Keteraturan itu dalam hemat penulis terletak pada ruang sejarah yang selalu memberi tempat pada elit pemuda untuk memainkan perannya.
Helat politik yang setiap saat dapat diikuti telah membantu menciptakan ketergantungan pemuda pada kenikmatan sesaat yang dihidangkan oleh sistem perpolitikan kita. Misalnya, sirkulasi pemilu yang berlangsung dalam waktu relatif singkat, pemilihan kepala daerah dalam beberapa level, serta jabatan-jabatan penting dalam asesoris demokrasi begitu menggiurkan elit pemuda. Akibatnya, terminologi kepemimpinan tidak lagi bergerak dalam kepentingan perbaikan nasib pemuda sebagai sebuah komunitas penerus (successor) bangsa. Tetapi lebih rendah dari itu, terbatas pada pemenuhan hasrat politik dan kepentingan pribadi para elit pemuda dan organisasi pemuda. Jadi jangan harap elit dan organisasi pemuda berpikir tentang perubahan dalam lingkup yang lebih besar, yaitu perubahan peradaban bangsa.
Jika sedemikian rupa wajah pemuda dan penampakan politiknya, semestinya tidak perlu ada istilah pemuda dan orang tua. Tokh, pemuda dan orang tua juga manusia yang perilaku politiknya juga sama. Kepemimpinan yang ditampilkan tentu saja tidak berangkat dari ruang hampa, tetapi berakar pada kelahiran elit pemuda sebagai elit politik (political elite) yang disebut Vilpredo Paretto sebagai unsur yang tetap dalam masyarakat dan lambat laun bergerak menjadi kelas penguasa (the rulling class).
Gerak perubahan dari kelas elit politik kepada elit penguasa itu sebenarnya gerakan yang yang sangat tradisional dan histories. sejarah bangsa Indonesiapun tidak lepas dari peran politik pemuda yang pada akhirnya menjadi penguasa negeri ini. Tetapi apakah tidak salah kaprah, bila puluhan jutaan pemuda Indonesia yang sedang menunggu perubahan nasib, justru ditinggalkan oleh para elitnya (yaitu orang-orang yang terpilih dan mereka pilih).
3. Perubahan; Reformasi dari Bawah
Julukan terpopuler untuk pemuda adalah agent of change. Sejarah bangsa telah berkali-kali mengukuhkan julukan itu. Contoh teranyar adalah kesuksesan mendobrak pintu reformasi 1998 melalui subagent pemuda yaitu mahasiswa. Mahasiswa Indonesia berhasil mencatat sejarah gemilang dengan tesis bahwa perubahan dari bawah itu sangat strategis dan menguntungkan bagi pemuda.
Satu kondisi yang unik pada diri pemuda, bahwa pada dasarnya elit pemuda Indonesia belum tentu lebih baik dan lebih mampu dari elit politik incumbent. Tetapi kritik demi kritik terhadap pemerintah selalu dapat dilakukan oleh pemuda secara kolektif. Alasan mendasarnya adalah meskipun pemuda belum tentu mapu, namun pemerintah yang sedang menjalankan tugas kepemerintahannya juga tidak lebih baik dari pemuda.
Buktinya dalam banyak hal, dalam penilaian masyarakat awam –termasuk pemuda-, kebijakan dan perilaku pemerintah seringkali terlihat konyol dan tidak masuk akal. Makanya, pemuda atau mahasiswa dengan enjoy melancarkan kritik dan demonstrasi. al hasil, mantan Presiden Soeharto yang menjadi lambang kemapanan, status quo, kekonyolan dan irasional-nya pemerintah Orde Baru berhasil diturunkan. Reformasi pun terjadi dan hingga kini berjalan melewati masa sewindu.
Setelah sewindu, ternyata reformasi mengambil pola top down. Relasi atas - bawah sebagai penggambaran hubungan penguasa – rakyat sangat kentara. Parahnya relasi tersebut sebenarnya jarak special yang menyatakan tidak ada hubungan kongkrit antara program pemerintah dengan kebutuhan rakyat. Penderitaan rakyat tidak lebih komoditas yang mesti ditampilkan dalam latarbelakang masalah pembangunan agar program pembangunan itu layak dibiayai.
Di sisi lain, meskipun pintu partisipasi di segala bidang dibuka selebar-lebarnya, reformasi tetap dijalankan oleh pemerintah dengan mengikuti tata cara yang tak berbeda dari Orde Baru. Kesan lamban dan berbelit-belit masih saja terlihat. Ironisnya, reformasi itu dijalankan oleh para alumnus pergerakan reformasi yang mengaku reformis. Tetapi apa daya, pola top down sebagai pengalaman sejarah bangsa terlanjur lekat dalam sikap perilaku birokrasi pemerintahan. Cita-cita pembangunan itu terlalu berat dalam pola top down yang sedikit sekali memberikan rembesan kesejahteraan bagi bangsa ini. Barangkali itulah ciri birokrasi.
Meskipun demikian, reformasi yang telah terjadi tidak boleh henti. Pemuda yang telah berkomitmen menjalankannya harus kembali mendorong gerbong reformasi. Rakyat yang bersatu dalam kesulitan akan mudah mendahului proses reformasi yang dijalankan birokrasi pemerintahan (Cleveland,1995:16)
Pesan penting yang ingin disampaikan tulisan ini adalah, untuk mencapai perubahan, peran masyarakat bawah dalam relasi atas - bawah tersebut di atas harus diperkuat. Pemuda yang telah terlanjur menjadi elit tradisional perubahan harus kembali ke bawah, menjadi agen perubahan dan memimpin gerakan menuju perubahan itu. Pemuda harus kembali menjadi akar rumput (grass root) yang menghidupkan reformasi dari bawah. Bahasa Marx, pemuda harus jadi proletar (mustadhafin)!
4. Tugas Keproletariatan
Persoalan bangsa ini memang tidak dapat selesai dengan aksi demonstrasi. Tetapi ia juga tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan politik birokrasi. Kondisi ini juga tidak memaksa pemuda harus apolitis dan meninggalkan posisi empuk di tingkat elit penguasa. Pascaperan kemustadhafinan itu, elit pemuda dan organisasi kepemudaan harus bergerak di lapangan yang lebih kongkrit, yaitu pemberdayaan pemuda.
Persoalan yang disinggung di awal tulisan ini harus diselesaikan dengan cara yang kongkrit. Misalnya pemberdayaan pemuda putus sekolah, pemberdayaan usaha ekonomi kecil yang dikelola oleh pemuda, kenakalan remaja dan kondisi tidak menguntungkan yang dialami pemuda lainnya. setidak-tidaknya memperkuat barisan aktivis pemuda yang bergerak di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pascareformasi, LSM memang tumbuh bak jamur di musim hujan. Tetapi itu belum menjadi jaminan bagi kesejahteraan rakyat, karena masih banyaknya LSM yang bergerak pada proyek aksesoris demokrasi seperti isu Hak Asasi Manusia (HAM), Good Governance, dan sebagainya. Memang tujuan ini utamanya dialamatkan pada organisasi kepemudaan yang cendrung bergerak pada ranah administrasi organisasi dengan program yang paling rutin berupa rapat-rapat intern organisasi, pergantian pengurus dan seminar-seminar. Organisasi pemuda kantoran ini sepertinya tidak relevan dengan tuntutan perubahan nasib pemuda.
Setidaknya, tawaran tulisan ini adalah bagaimana elit pemuda yang cendrung birokratis dan organisasi yang cenderung kantoran itu mengusung paradigma baru, memperkuat agen perubahan itu sendiri, yaitu pemuda-pemuda Indonesia yang sampai hari ini belum jelas duduk tegaknya (masa depannya).
Padang, 10 Juli 2007
No comments:
Post a Comment