14 May 2008

Quo Vadis Kebangkitan Nasional

Oleh: Muhammad Nasir
Magistra Indonesia Padang

KEBANGKITAN NASIONAL merupakan sebuah titik dalam narasi besar perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di awal abad keduapuluh. Di dalamnya mengalir arus-arus kecil yang bermuatan elemen-elemen perjuangan dalam berbagai identitas. Semuanya mengalir pada satu muara; Indonesia merdeka!

Pernyataan di atas berupaya memberi jawaban terhadap keraguan yang berdasar pada klaim-klaim sejarah. Misalnya pertanyaan; mengapa KEBANGKITAN NASIONAL?, bukankah itu upaya pembajakan terhadap sejarah oleh elemen gerakan politik tertentu, terutama elemen gerakan yang berideologi nasionalis? Bagaimana dengan elemen gerakan lainnya seperti gerakan umat Islam dan gerakan berbasis kearifan lokal yang tersebar di seluruh daerah yang kini bernaung di bawah NKRI? Terakhir, mengapa berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dipandang sebagai Hari Kebangkitan Nasional?
Rangkaian pertanyaan tersebut sejatinya merupakan persoalan kesejarahan yang belum tuntas. Namun di balik itu, ada sinyal yang memberi petunjuk bahwa kebangkitan nasional merupakan produk dari determinisme sosial seluruh anak bangsa Indonesia.
Sinyal tersebut apabila dibaca dalam salah satu perspektif perenialisme bergerak dalam arus keyakinan bahwa bangsa-bangsa (syu'ûb:arab/nations: inggris) sudah ada sejak dahulunya. Dalam terminologi Islam misalnya perenialisme model ini dapat dirujuk pada Q.S. Hujurat (49):31. Versi penulis lainnya digambarkan dengan istilah bangsa yang telah terbentuk entah sejak kapan.

Namun dalam persepsi primordialisme, bangsa merupakan merupakan individu-individu yang ada dalam tatanan alamiah. Dengan kata lain, bangsa-bangsa itu primordial dan telah ada ketika dimulainya waktu dan terletak pada akar dari segala proses dan perkembangan yang muncul berikutnya (Abbé Siéyès dalam Anthony D. Smith,2003).
Jalan tengah yang paling mungkin menjawab asal-usul kebangkitan nasional Indonesia adalah dengan pendekatan determinisme sebagai bentuk dinamis dari pergulatan anak bangsa. Bahwa kebangkitan nasional pasti berangkat dari proses sosial yang amat panjang, dan melibatkan semuanya tanpa mesti membedakan identitas suku, agama, ras dan antara golongan sebagai sumber rekrutmen kaum nasionalis.

Tonggak Kebangkitan

KEBANGKITAN NASIONAL pada masa awal merupakan reaksi natural terhadap kolonialisme dan imperialisme. Wilayah Nusantara sebelumnya sudah saling kenal pada era kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan kerajaan-kerajaan Islam. Pasca kedatangan bangsa Eropa, wilayah-wilayah itu tenggelam dalam satu "perasaian"; penjajahan yang menyakitkan.
Kolonialisme sebagai musuh sentral bila direnungi merupakan grafik menurun dari kendali kekuasaan yang dipegang oleh kerajaan-kerajaan Nusantara klasik. Persatuan nasional (Sumpah Palapa Gajah Mada[?]) yang diharapkan pada era kerajaan klasik belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Kecendrungan klenik telah mempermudah bangsa Eropa menguasai Nusantara.

Kedatangan bangsa Eropa pada sisi lain telah berhasil mempersatukan wilayah nusantara dalam satu rasa sebagai bangsa terjajah. Meskipun ada upaya kaum penjajah seperti Belanda menerapkan politik devide et impera, rasa seperasaian ini tidak mudah hilang. Rasa ini dipertegas dengan kenyataan bahwa Belanda ternyata satu bangsa yang sangat berbeda (Eropa) dengan pesan yang jelas; menjajah!

Selanjutnya Kemana?

Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dipandang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena peristiwa itu memang telah mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Bagaimana memposisikan gerakan-gerakan kebangkitan Islam sebelum itu?
Misalnya, pada 17 Juli 1905 di Jakarta berdiri perkumpulan al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Kurikulumnya modern, karena yang diajarkan di sekolah itu bukan hanya pelajaran agama, tetapi juga berhitung, sejarah, geografi dan lain-lain. Berikutnya 16 Oktober 1905 Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.
Tahun 1905 Gerakan reformasi dan modernisasi juga meluas di Minangkabau dan perintisnya adalah Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah al-Iman adalah alat penyebar reformisme keluar Minangkabau, di samping memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.

Sedikit organisasi yang sempat tersebut di atas sudah menyumbang peran yang tidak sedikit, terutama dalam hal investasi sumberdaya manusia untuk kebangkitan nasional. Pemikiran kebangkitan Islam secara umum telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan nasional dan kemerdekaan, sebab pemikiran tersebut berkonsentrasi pada masalah-masalah dan konsep-konsep anti keterbelakangan. Maka gerakan-gerakan sebagai mana disebut di atas dapat dianggap sebagai prakondisi bagi kebangkitan nasional.

Oleh sebab itu, Budi Utomo haruslah dipandang sebagai anak kandung gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia, baik gerakan Islam atau gerakan berbasis etnis dan kesukuan. Paling tidak, yang dapat dimengerti dari gerakan Budi Utomo itu, semangat nasionalisme dengan satu tujuan yang senada; Indonesia Merdeka. Indonesia Merdeka adalah hasil kerja keras pada masa gerakan prakondisi.
Bulan ini pada saat usia kebangkitan nasional beranjak satu abad, peran kesejarahan gerakan Islam mesti terus berlanjut. Sejarah bukanlah persoalan masa lalu belaka. Tetapi sejarah adalah kehidupan yang dinamis yang mempunyai arah dan tujuan yang pasti, ”mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka berdaulat adil dan makmur.”

Hanya saja kemerdekaan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran itu masih jauh dari harapan, dan sepatutnya gerakan umat Islam harus kembali menjadi pengawal menuju cita-cita kebangkitan nasional Indonesia. Penjajahan, ketertindasan, ketidakadilan dan kemiskinan merupakan musuh Islam, yang hampir semuanya nyaris melekat di tubuh umat.

Kebangkitan Nasional Indonesia ke depan secara langsung menunjuk Kebangkitan Umat Islam Islam Indonesia, sebab lebih dari delapan puluh lima persen bangsa Indonesia adalah umat Islam, tanpa mengeluarkan (exlusionary) anak bangsa lainnya yang tidak beragama Islam. Artinya kata al Syu’ub al Indunisiy bisa disetarakan dengan al Syu’ub al Arabiy.

Sikap umat Islam Indonesia terhadap nasionalisme semestinya –mengutip Hassan al-Banna- realisasi loyalitas terhadap negara untuk mengembangkan kecintaan, kasih sayang, kebanggaan, dan kesetiaan tanpa merusak kepatuhan terhadap agama.
[14/5/2008]
Sudah dimuat di Harian HAluan, Sabtu, 15 Mei 2008

No comments: