29 May 2008

Rapun


Oleh: Muhammad Nasir

Mak Maun, perempuan beranjak tua itu kembali termenung-menung di palanta depan rumahnya. Sendiri menikmati hampanya senyap. Hanya ada seekor anjing di halamannya. Sekedar untuk penjaga rumah. Saat-saat seperti inilah ia sangat mersakan dan memaknai kepunahannya. Sebelumnya ia tidak begitu memikirkan perkataan orang-orang tentangnya.

"Beginilah rasanya jadi orang punah" bisik Mak Maun selaras dengan hembusan angin yang membuatnya terkantuk-kantuk.

"Di mana kamu sekarang, Maun? Apa yang kamu lakukan bersama istrimu di Mudiak sana?"

Untung saja orang kampung tidak menganggapnya gila. Orang-orang sudah mengetahui kebiasaan Mak Maun di sore hari. Berdendang melagukan nyanyian rindu perempuan-perempuan Minang.

"Aku sudah katakan, kenapa harus jauh-jauh babini ke kampung orang? Apa di sini sudah tidak ada lagi perempuan yang ingin menjadi suamimu?"

Mak Maun kembali teringat saat-saat Maun, putra tungga babeleang bersikeras hendak menikah dengan gadis muda dari kampung Mudiak. Mak Maun sudah habis alasan untuk mencegah niat Maun. Meski alasan utama Mak Maun cuma tak ingin putra satu-satunya itu jauh dari sisinya.

Di Minangkabau, jika anak laki-laki menikah ia akan tinggal di rumah istrinya. Seandainya Mak Maun berhasil mencegah Maun, dan Maun bersedia menikah dengan orang kampungya, mungkin saja setiap saat Maun bisa pulang ke rumah ibunya untuk melihat kesedihan dan kesepian yang dialami perempuan gaek itu.

"Mak, bukan aku tidak mau menikah dengan orang kampung sini. Tetapi apa mak tidak tahu kalau setiap saat aku mencintai gadis sini, selalu ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Meskipun anak gadisnya sudah menyembah-nyembah mohon dinikahkan denganku? Mak, katanya kita ini orang-orang palasik, aku anak palasik!"

Palasik itu juga manusia biasa, hanya saja mereka berperangai aneh lagi mengerikan, yaitu gemar memakan daging dan tulang orang mati yang sudah dikubur. Ada juga yang berpendapat, palasik itu suka menghisap darah.

Kata orang, jika seseorang yang berperangai palasik bertemu dengan seorang anak berusia di bawah tiga tahun atau anak yang dalam gendongan ibunya, bila digoda seperti layak biasanya seseorang menggoda anak kecil, maka sakitlah anak tersebut. Atau ditatap melalui mata batinnya, maka sehari atau dua hari kemudian sakitlah anak itu. Ia demam berkepanjangan, suhu badannya meninggi, badannya menjadi kurus, kulitnya mengeriput, matanya selalu bercirit, bila menangis seperti berhiba-hiba, jika tidak segera diobati, dipastikan anak itu akan meninggal dunia.

Mak Maun terhenyak. Meski sudah berulangkali ia menyatakan bahwa ia bukan palasik, tetapi orang kampung tidak pernah peduli. Sekali palasik tetap palasik. "Mana ada maling yang mengaku" demikian analogi mereka.

Anjing putih kesayangan Mak Maun menyalak. Entah apa yang disalaknya.
"Husy… diam. Gara-gara kau anjing sial, aku dan keluargaku dituduh palasik" umpat Mak Maun.

Entah mengapa, anjing putih itupun menjadi penguat tuduhan orang kepada Mak Maun. Dalam cerita palasik disebutkan, anjing putih itu muncul secara tiba-tiba. Anjing itulah nantinya yang datang menyeruak di kegelapan malam, barulah sesudah itu muncul sang palasik.

Kata orang badannya besar sebesar gajah, daun telinga lebar selebar nyiru dan wajahnya hitam menakutkan. Maka dikeluarkannya mayat anak yang baru dikubur itu dengan lidi keramatnya dan segera dibawa pulang ke rumah untuk disembelih.

Apabila seseorang yang diduga berperangai palasik datang ke rumah seorang ibu yang mempunyai anak kecil, maka si empunya rumah atau yang lainnya segera mengu¬nyah pinang sinawal atau pinang penawar lalu disemburkan kepada tamu yang tidak diundang itu. Kalau benar seorang palasik, ketika itu juga jatuhlah ia terguling. Bercucuran keringatnya dan dari mulutnya keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan.

Namun yang umum dilakukan or¬ang, ialah membuat sebungkus obat penangkal yang diletakkan di dalam baju atau selimut anak yang dilindungi itu. Adapun isi bungkusan tersebut ialah obat penyembur seperti lada kecil (merica hitam), dasun (bawang putih tunggal), pinang sinawal, buah pala, cengkeh dan kunyit. Dengan demikian palasik tidak akan berani mendekat, apalagi mengusik anak yang telah diberi penangkal tersebut.

"Aku tidak pernah jatuh terguling. Bercucuran keringat dan dari mulutku keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan. Jelas aku bukan palasik" Mak Maun menyesali orang-orang kampung.

Tapi, lagi-lagi mana peduli orang-orang kampung, meski Mak Maun mengaku orang biasa layaknya perempuan-perempuan lain di kampungnya.

Kata orang-orang kampung, "palasik itu ialah manusia biasa seperti kita-kita juga. Dalam pergaulan sehari-hari mustahil dapat dibedakan mana yang palasik dan mana pula yang bukan. Orang berperangai palasik itu tidak hilang bangsa dalam adat. Sebab mereka turunan yang jelas asal usulnya dan bukan berasal dari bangsa budak.

Dalam jamuan yang terkembang atau medan yang sekata, mereka dapat setanding duduk. Demikian juga mereka makan dapat sejambar (makan bersama satu talam atau piring besar) dengan orang lain yang tidak berperangai palasik. Kalau ia seorang penghulu, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan penghulu lain di nagarinya.

Hanya saja yang dikhawatirkan orang, ialah kalau-kalau terambil menjadi urang sumando (menantu laki-laki). Bila hal semacam itu terjadi, bisa celaka tiga belas. Sebab anak-cucu kaum tersebut akan berperangai palasik pula seperti bapaknya.

"Maun juga bukan palasik. Ia pemuda biasa" gumam Mak Maun.
"Mauun, Maun. malangnya nasibmu nak"

Bersamaan dengan azan maghrib, Mak Maun masuk ke rumah, hendak menunaikan shalat Maghrib.

Mak Maun menghela nafas sepanjang tubuh rentanya. Maun putranya memang pantas membenci orang kampungnya. Gara-gara tuduhan palasik yang tidak pernah ada bukti dan kebenarannya, Maun terpaksa berkali-kali putus cinta. Kalau saja Maun tidak ia sekolahkan ke pesantren Angku Katik, mungkin saja Maun sudah bunuh diri. Rasa marah inilah yang membuat Maun bersikukuh kawin dengan Herni anak kampung Mudiak yang jaraknya kurang lebih 90 Km.

Mak Maun kembali mengingat peristiwa itu.

"Maun, Kampung Mudiak itu jauh. Mak takut, tak kuat menjenguk cucu mak nantinya".

"Jauh Mak? Tidak Mak. Dulu memang jauh, karena Mak dulu ke sana pakai pedati. Sekarang ada bus Mak".

Sekarang apa buktinya? Maun tidak pernah lagi pulang menjenguk badan tua itu semenjak menikah delapan bulan yang lalu. Mak Maun merasakan jauhnya Kampung Mudiak itu dalam kesepiannya.


Seusai shalat maghrib, Mak Maun kembali termenung. Masih bermukena di atas sajadah lusuh.

"Terasa benar malang nasibku sebagai orang punah. Siti, kenapa umurmu begitu pendek. Coba saja kau dan anakmu hidup, mungkin masih ada penerus keturunan kita"

Siti adalah adik perempuan Mak Maun. Dua puluh lima tahun yang lalu Siti meninggal dalam usia yang masih sangat muda, enambelas tahun. Siti meninggal waktu melahirkan bayi pertamanya yang kebetulan perempuan. Limabelas belas menit setelah melahirkan Siti pun pergi menghadap ilahi. Kini tinggal bayi perempuan merah. Harapan kembali muncul. Namun harapan itu tidak bertahan lama. Dua hari setelah kematian Siti, bayi perempuan itupun menyusul ibunya ke alam baka.

Di Minangkabau, perempuan adalah pelanjut silsilah keturunan. Maklum Minangkabau menganut system matrilineal, menurut garis ibu. Suku seseorangpun mengikut kepada suku ibu.

Duka masih terus berlanjut. Belum lagi kering tanah pekuburan muncul lagi isu, bayi perempuan itu mati karena palasik. Palasiknya siapa lagi, kalu bukan Mak Maun, kata masyarakat.

Ketika Mak Maun melahirkan bayi laki-laki, Maun sekarang, ia tidak begitu gembira. Sebenarnya ia berharap kelahiran anak perempuan biar keturunannya berkembang dan dapat berkuasa atas segenap tanah ulayat. Tanah ulayat itu sekarang, satu persatu sudah dipakai oleh mamak jauhnya, mamak sepesukuan. Terakhir tanah yang di bawah penguasaannya sudah dihibahkan untuk membangu mushalla.

Sayang sekali, saat ia tengah berusaha mendapatkan keturunan baru, seorang anak perempuan, suaminya meninggal dunia diseruduk babi hutan. Maun saat itu masih berumur 6 bulan. Sejak saat itu Mak Maun hidup menjanda. Bukan ia tak mau kawin lagi, tetapi tak seorangpun pria yang sudi menikah dengan dirinya. Takut anaknya menjadi palasik. Padahal, Mak Maun tidak kalah cantik bila di banding perempuan lain seusianya. Kalau tidak tercantik ke dua, mungkin ke tiga di kampungnya.

Mak Maun, mau tidak mau, terpaksa menerima kenyataan bahwa ia termasuk orang-orang punah.


Di sebuah dapur yang sangat sederhana duduklah seorang perempuan yang beranjak tua. Mak Maun. Di depan tungku Mak Maun terlihat sibuk mengacau rendang. Sesekali ia berbicara seolah-olah hanya untuk dirinya sendiri.

“Mmh… makan sendiri, tidur sendiri, segalanya sendiri” keluhnya sambil menghela nafas. Bikin kalio…, dimakan sendiri. Bikin rendang…, tak ada yang makan. Yoo… beginilah nasib padusi di Minangkabau.

Mak Maun terus mengaduk-aduk sesuatu yang berbau enak di dalam kuali. Dan mulutnyapun tetap komat-kamit meneruskan curhatnya kepada tungku api yang menyala-nyala…

“Punya anak laki-laki, ini mah… susah.. susaaah..!” Selusinpun anak laki-laki, kalau tak ada yang padusi, eeh, setelah besar, terbang semuanya ke rumah orang. Inilah contohnya.. kapan lagi bisa makan enak.

Mak Maun mendadak kesal dan berhenti mengaduk. Mungkin isi kuali itu kalio. Mungkin juga sudah jadi randang.

Tiba-tiba terdengar suara laki-laki berdehem. Berdehem, batuk-batuk kecil. Begitulah orang laki-laki Minang, sebelum mengucap salam, terlebih dahulu berdehem, supaya perempuan yang ada di rumah itu bersiap-siap, siapa tahu pada saat itu auratnya tersingkap.

“Assalamu’alaikum, Ondee, harumnya. Masak apa mak? Bikin rendang ya. Sepertinya aku akan makan enak nih. Mmmh, lapar perutku jadinya,mak…ada nasinya, mak?”

Sesosok wajah muncul dan langsung bertanya bertubi-tubi dan langsung mencari-cari tempat nasi.

“Oi, waang Maun. Masih ingat waang sama amak rupanya. Rupanya waang belum lupa dengan rendang amak sejak waang tergadai ke Mudiak? ucap Mak Maun tanpa sempat menjawab salam Maun.

Ya, ternyata lelaki itu adalah Maun anak lelakinya yang babini ke Kampung Mudiak. Blok M, bahasa kerennya.

“Kenapa sih mak, protes Maun sambil memijit sayang bahu emaknya. Mana mungkin seorang anak lupa sama ibunya.. Ada-ada saja si Amak ini. Cepat lah mak…saya sudah tak tahan lagi, lapar sekali aku Mak” pinta Maun manja.

Mak Maun berjalan ke sudut dapur. Disitu terletak rak-rak piring yang sudah lusuh, tetapi masih terawat sehingga meninggalkan kesan bersih. Nampaknya Mak Maun cukup memperhatikan masalah kebersihan dapurnya. Apalagi yang menyangkut peralatan makan. Piring yang di tangannya ia isi dengan nasi hangat. Buktinya nasi itu mengepulkan asap.

“Makanlah,Nak, rendang ini enak apalagi sedang hangat-hangat. Aa..ini gulai pangek yang amak bikin kemarin. Cobalah..!”

“Amak betul-betul mengerti dengan selera aku. Ayo, Mak. makanlah Amak sekalian, kita makan sama-sama”

Segera Maun mencuci tangan dengan bersih dan setelah mengucek nasi yang bercampur lauk, tangannyapun rajin turun naik dari piring ke mulut. Mak Maun memandang anaknya dengan penuh kasih sayang. Ia pun ikut makan bersama Maun.

“Ondeh, Enak sekali makan Amak, Nak. Sudah lama Amak tidak dapat menikmati makanan yang Amak masak”

“Iya mak, sampai berkeringat aku...

“Karena makan bersama kamu mungkin. E..ee, itu lah Amak kan sudah bilang dahulu, bila waang memang sayang sama Amak,, jika…

“Apa mak?” Maun langsung memotong.“Cepat-cepat beranak, itu kan mak?”

“Iya, kalau begini terus , rumah ini akan lengang selamanya. Kesepian kata anak-anak sekarang. Apa lagi istrimu yang cantik itu tidak mau pula tinggal di sini. Oi, sekarang di mana dia?” Kenapa tidak diajak kemari?, Apa dia jajok naik ke rumahku yang jelek ini?” Mak Maun mengejar dengan pertanyaan beruntun.

Maun menghela nafas. Perlahan nasi yang ada dimulutnya ia telan. Entah sudah lumat atau belum.

“Tidak Mak. Tadi dia mampir ke rumah bidan Mai, sebentar lagi mungkin tiba di sini”

“Rumah bidan Mai?, Apa yang dia lakukan di sana?. Apa ia sudah terlambat?” Mendadak Mak Maun melurus punggungya yang sebentar lagi bongkok. Tangannya berhenti menyuap.

“Tidak Mak! Masih belum Mak. Herni, menantu Amak itu 'kan baru tujuhbelas tahun umurnya” Maun menghela nafas panjang. Lantas ia bertanya, suaranya sangat pelan, nyaris seperti orang berbisik. “Mak, padi yang masih muda itu apa bisa dijadikan benih? Apa bagus tumbuhnya?”

“Bisa! sahut Mak Maun sigap. Kenapa tidak! Ampo barek saja bisa tumbuh, tapi hasilnya kurang bagus.”

“Ooh...Iya..ya. Kalau begitu, orang pasti seperti itu juga Mak! Si Herni, jika aku paksa, mungkin ia bisa hamil. Tapi, seperti apalah anaknya nanti,” Maun membela diri.

“Phuah..! sudah pintar kamu sekarang ya. Sejak kapan istri kamu itu kau samakan dengan tanaman?. Percuma saja waang sekolah tinggi. Diberi apa kamu oleh wanita mandul itu, ha?..” Mak Maun langsung tegak, tangannya bertumpu di pinggang. “Biarlah, sekarang saya cari dia ke rumah Bidan Mai. Kenapa ia di sana? Apa dia bersuntik KB?”

Maun ikut berdiri sembari memegang bahu ibunya, tentunya menenangkan orang tua itu.

“Amak…tenanglah amak dulu. Tak ada yang bisa kita selesaikan dengan muka kusut dan hati panas seperti ini! KB itu tidak selalu dengan suntik, Mak, haa…haa…ha…”

“Apa katamu? apa kamu tidak malu. Lihatlah si Lepai, baru kemarin menikah, kini sudah besar pula perut istrinya”

Mak Maun masih emosi. Maun kembali duduk. Nasi yang masih tersisa dipermainkan dengan ujung jarinya.

“Mak, anak itu amanah dari Allah. Makanya perlu dipersiapkan”
“Entahlah, sekarang ini, orang tidak menikah saja bisa bunting. Malang nasib ku, dapat menantu mandul” sungut Mak Maun.

"He…he… itu kecelakaan namanya Mak, hamil di luar nikah. Kambing yang tidak nikah juga bisa bunting, Mak"

Mak Maun membelakangi Maun dan merajuk seperti anak remaja.

“Mak, Herni tidak mandul. Ia cuma menunda kehamilannya saja. Usianya masih tujuhbelas tahun. Saya khawatir, kalau ia hamil sekarang, nanti mengganggu kesehatannya. Mak tidak lupa 'kan, dengan etek Siti?Ia meninggal dalam usia muda. Anak perempuannya meninggal bukan karena palasik, tetapi karena memang tidak sehat sejak dalam kandungan" terang Maun panjang lebar.

"Iya, Maun. Amak ingat. Tetapi meskipun kita ini orang punah, Amak tidak ingin mati dalam kesepian. Biarlah Amak terhibur dengan tangis dan keceriaan anak-anakmu nantinya. Kalau bisa lahirkan anak-anak perempuan. Usahakanlah, tak usah lah bini waang ber-KB"

"Begini saja Mak, habiskan saja makan Mak, dulu. Nanti kita lanjutkan ceritanya "

"Maun, Amak sudah tak tahan lagi sendiri di hari tua. Kau bisa enak-enak tidur bersama istrimu. Sementara Amak di sini?

"Biarlah, Mak, kita terima kenyataan ini apa adanya. Nanti kalau Allah mempercayai akau, kotrasepsi itu akan jebol sendiri. Herni pasti hamil Mak. Nanti anak-anaknya akan aku bawa ke sini, menemani Amak"

"Maun, Amak sudah putus harapan. Selusinpun anakmu, tetap akan tinggal di rumah istrimu.kalau kau tidak cepat-cepat punya anak biarlah Amak mati saja, biar punah sekalian"

"He..he… jangan begitu, Mak. Saya janji, akan segera punya anak. Tetapi dengan syarat"

“Baik, dengan syarat istrimu kau larang ber KB. Habiskan nasimu, mari kita ke rumah bidan Mai. Tanyakan ke bidan, kenapa sampai sekarang istrimu belum hamil juga..? Kalau kau tak mau bertanya, biar Amak yang bertanya…!”. Mak Maun bersemangat.

“Ondeh!”, Maun geleng-geleng kepala. (Padang Agustus 2006)


Catatan kata-kata /istilah Minangkabau :
1.Ondeeh, kata seru, aduh
2.Rapun , habis, punah, hancur lebur.
3.Palanta, tempat duduk santai di halaman rumah, warung. Biasanya terbuat dari bambu.
4.Babini, kawin
5.Tungga babeleang, anak tunggal, semata wayang
6.Palasik, mitos orang Minangkabau tentang orang yang suka menghisap darah anak kecil di bawah tiga tahun. Dalam kepercayaan orang Minangkabau, mereka suka menggunakan ilmu hitam
7.Bercirit, berkotoran, tahi mata
8.Sajamba, makan bersama satu talam atau piring besar
9.Kalio, gulai daging sebelum menjadi rendang. Rendang merupakan makanan penting dan persyaratan yang mesti ada dalam perjamuan adat Minangkabau.
10.Padusi, perempuan.
11.Ondee, kata seru, sama dengan aduhai.
12.Amak, ibu, mandeh.
13.Pangek, gulai pepes ikan.
14.Jajok, jijik
15.Waang, kamu (untuk anak laki-laki)
16.Ampo barek, sisa gabah yang selesai dianginkan. Biasanya berbentuk padi hampa, tak berisi. Jika terserak di sawah bisa tumbuh dan berbuah bulir padi yang kurang bagus.
17.Etek, bibi, adik perempuan ibu atau ayah.

Special Thank to :
Terima Kasih Buat Inyiak Anas Nafis atas informasinya tentang Palasik

No comments: