03 June 2008

Screaming Face FPI, Duri Demokrasi


Oleh: Muhammad Nasir

Lagi-lagi FPI. Organisasi gerakan massa yang menyebut dirinya Front Pembela Islam kembali membuat berita, dan selamanya jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah, FPI akan terus menjadi news maker. Saya khawatir (memangnya siapa saya?)

Minggu, 1 Juni 2008, saat Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama (AKKB) diserang secara brutal oleh FPI. 12 hingga 26 orang dilaporkan luka-luka akibat serangan itu. Tercatat dalam aliansi itu Gunawan Muhammad (budayawan), Maman Imanulhaq (pengasuh sebuah Pondok Pesantren) dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Atas alasan apapun, penyerangan itu tidak dapat dibenarkan. Apakah mereka tidak punya cara lagi untuk menyatakan perbedaan pendapat?

Front Pembela Islam (FPI) yang secara resmi berdiri pada 17 Agustus 1998M/ 24 Rabi’ al Tsani 1419 H di Pondok Pesantren Al Umm, Kampung Utan Ciputat. FPI didirikan oleh Habib Rizieq Shihab, telah memulai aktivitasnya melalui pengajian, tabligh akbar, audiensi dengan pemerintah serta aksi demonstrasi menentang kemaksiatan. (Al-Zastrouw Ng., 2006).

Riwayat organisasi ini penuh dengan catatan yang beraroma militerisme, premanisme dan kekerasan. Berbagai aksi yang mereka lakukan cendrung brutal dan jauh dari tatakrama masyarakat yang hidup dalam budaya demokrasi.

FPI lupa bahwa mereka hidup karena berkah demokrasi meskipun secara prinsip, demokrasi mereka tolak. Penolakan demokrasi karena dianggap sebagai sistem pemerintahan taghut dan menyesatkan. Mereka juga lupa bahwa dalam masa Orde Baru yang otoritarian dan militeristik, mereka hanya kelompok yang bisa membuat majelis taklim dan tabligh akbar.

Atas beberapa catatan di atas, sudah layak FPI dimasukkan ke dalam kategori organisasi fundamentalis radikal. Kaum fundamentalis radikal sepertinya duri dalam daging bagi demokrasi Indonesia yang sedang membaik.

Sikap mereka terhadap kekerasan, meminjam skala Satrio Arismunandar (Islamika,1994) berhak mendapat nilai E. Nilai E disimbolkan untuk gerakan Islam yang membolehkan dan pernah melakukan aksi kekerasan dan masih meneruskan aksi itu secara kurang selektif. Misalnya melakukan menyerang warga sipil atau sarana kepentingan umum yang bukan merupakan representasi langsung dari regim atau musuhnya.

Lalu, bagaimana FPI dan aksi kekerasan yang mereka lakukan harus dipahami?
Ernest Gellner (1994) memberi tips khusus cara memahami para fundamentalis. Cara terbaik memahami fundamentalisme katanya, adalah dengan memahami apa yang ditolaknya. Jika FPI adalah kaum fundamentalis, lalu apa yang ditolaknya?
Secara umum FPI dapat dilihat sebagai organisasi Islam dengan tiga agenda perjuangan, yaitu teologi, politik dan sosial (amr ma’ruf, nahy munkar). Secara teologis mereka adalah kelompok salafi penganut mazhab ahlussunnah waljama’ah (aswaja).

Klaim Aswaja FPI sepertinya lebih menekankan pada aspek kebanggaan sebagai pewaris salafus salih. Salafus salih merupakan representasi para sahabah, tabi’in dan tabi’ tabi’in yang dijamin mempraktekkan Islam secara benar. Tetapi agaknya salafus salih diragukan mau bertindak seperti FPI. Mereka sangat sunni, namun menolak aswaja versi NU atau Muhammadiyah. Lalu, apakah ini bentuk lain dari kegagalan NU dan Muhammadiyah?

Secara politik mereka FPI itu banci, tidak punya cita-cita yang jelas. Dikhawatirkan FPI itu hanya sekedar organ gerakan kekuatan politik yang sama sekali kering dari nilai Islam. Sebagian pihak malah mengkaitkannya dengan peran militer. Sebagai gerakan sosial mereka mengusung jargon amr ma’ruf nahi munkar.

Menggunakan tips Gellner di atas, praktis mereka hanya bisa dilihat dari nahy munkar-nya saja (sebagai sesuatu yang ditolaknya). Sisi teologis dan politiknya kabur-tidak menonjol. Amr ma’ruf tidak terlihat kecuali ungkapan lisan. Sementara nahy munkar diunjuk dengan kekuatan tangan. Artinya untuk kebaikan hanya bisa omong doang dan untuk mencegah kemungkiran bisanya hanya dengan kekerasan. Sungguh preman. Jangan-jangan layaknya preman, FPI secara sadar atau tidak justru orderan kekuatan politik tertentu.

Lama-kelamaan FPI menjadi mirip dengan prototype gerakan radikal Islam awal: Khawarij. Tetapi sejarah khawarij-pun terlalu agung untuk disandingkan dengan FPI. Khawarij awal merupakan sahabat yang taat. Meski keras, khawarij mempunyai pesan yang jelas. Kembali ke al Qur’an, pemerintahan yang egaliter dan mungkin saja ide demokrasi dalam Islam, karena mereka menolak tribalisme meskipun mereka itu tribal.
FPI adalah wajah seram umat Islam dan itu tidak boleh ada. Dalam film-film horor, the screaming face muncul dalam moment-moment ritual kaum psikopat. Semua orang perlu khawatir, jangan-jangan FPI itu organisasi sesat kaum psikopat.

Sepertinya ada relasi yang ganjil antara ideolog FPI (Habaib) dengan massanya. Lihatlah, rekruitmen FPI dominant dari unsur preman dengan dalih pembinaan. Preman-preman putus asa itu diberi janji-janji surga dengan syarat menghancurkan neraka-neraka dunia. Saya khawatir jangan-jangan keputusasaan Habaib dalam melaksanakan dakwah lisannya dilampiaskan dengan menggunakan kekuatan massa yang rentan aksi kekerasan.

Sekali lagi, kekerasan adalah setback demokrasi Indonesia. Kenanglah Orde Baru yang militeristik dan suka kekerasan, telah menghancurkan bangunan civil sosiety. Atau jangan-jangan FPI ada hubungannya dengan Orde Baru, terutama otoritas militerime (tulisan ini tidak menuding, hanya menduga)!

Padang, 1 Juni 2008
Sumber Foto: http://www.liputan6.com

No comments: