10 June 2008

Sejarah: Komoditas Elit


Oleh : Muhammad Nasir

Kegagalan reformasi, lemahnya (pemimpin) negara, resesi ekonomi, eskalasi kekerasan dan kerusuhan, berjubelnya partai politik, korupsi, pengangguran merupakan sejumlah daftar saja dari kompleksitas permasalahan Indonesia menjelang perhelatan politik Pemilu 2009.

Berbagai peristiwa tersebut saling berkaitan dan diperlukan suatu pemaknaan khusus sebelum dicatat sebagai sebuah peristiwa sejarah. Tanpa pemaknaan dan pemahaman yang benar, peristiwa-peristiwa itu hanyalah catatan-catatan mati yang berstatus silam belaka.

Dengan menaruh sedikit kecurigaan, adakah beberapa peristiwa tersebut di atas sengaja direkayasa sebagai prakondisi menjelang 2009? Siapakah tangan-tangan ajaib dibalik peristiwa tersebut?

Rekayasa antagonistik

Sesungguhnya, bangsa Indonesia di era reformasi sedang berusaha melanjutkan sejarahnya. Biarlah pada masa Orde Baru dianggap sebagai periode kelam (politik), tetapi harapan di era reformasi adalah bagaimana menjadikan periode kelam itu sebagai periode yang terang benderang (mencerahkan) dan menyejahterakan.

Merujuk beberapa peristiwa yang disebut di atas, sepertinya ada kesan kegagalan bangsa Indonesia menjadikan reformasi sebagai semangat perubahan ke arah yang lebih baik (change into progress). Persyaratan yang prinsip dalam sejarah sebagai bentuk perkembangan kehidupan kemanusiaan adalah bagaimana tingkat keseriusan melanjutkan hidup ke arah yang lebih baik (continuity) dan bagaimana perubahan itu menjadi suatu yang diciptakan secara serius pula. Dan ini telah gagal dilakukan.

Bagaimanapun negara adalah produk rekayasa sosial. citra Determinasi rakyat. Bagaimana persamaan nasib telah mendorong masyarakat nusantara membuat negara bangsa (nation state) bernama Indonesia. Begitu juga persoalan bagaimana negara ini dijalankan, juga tidak lepas dari partisipasi seluruh warga negara. Dengan demikian, sebenarnya, sejarah negara Indonesia adalah sejarah warga (civic history).

Berdasarkan paradigma di atas, sudah waktunya peran tokoh elit dikurangi dalam menentukan sejarah Indonesia. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat barisan warga sebagai pemilik sah sejarah bangsa.

Beberapa peristiwa di atas, jika diduga sebagai rekayasa atau di bawah kendali tangan-tangan elit politik, maka itu sesungguhnya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap reformasi. Peristiwa-peristiwa jelek tersebut tidak lebih sebagai rekayasa antagonistik elit-elit politik.

Lemahnya Masyarakat Warga

Setiap orang di Indonesia adalah warga dari masyarakat (komunitasnya) masing-masing. Dalam masyarakat dan komunitasnya itu, setiap orang dapat hidup dan berinteraksi dengan cara-cara yang diatur oleh komunitasnya sesuai dengan semangat komunitasnya.

Masyarakat atau komunitas itu bisa berupa ikatan keluarga, agama, organisasi keagamaan, suku, wilayah adat, profesi dan sebagainya. Semua ikatan itu dalam ranah yang lebih luas –terutama bila sudah menegara- mesti tunduk kepada tata tertib pergaulan bernegara.

Tetapi dalam suasana amburadulnya tata tertib hidup bernegara terutama tidak inklusifnya dan universalnya tata tertib, negara cendrung berlepas tangan. Suasana amburadul itu justru disikapi dengan sikap saling tuding antar penyelenggara negara. Tidak jarang suasana amburadul itu dijadikan komoditas politik untuk saling serang dan menyalahkan.

Bentuk amburadulnya tata tertib itu antara lain benturan horizontal antar komunitas warga semisal Front Pembela Islam (FPI) dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB), di Silang Monas 1 Juni 2008 yang lalu. Sudahlah amburadul, tiba-tiba santer terdengar benturan antar massa komunitas itu direkayasa oleh kekuatan tertentu.

Jika itu benar, semestinya itu pelajaran untuk warga komunitas untuk berhati-hati dan memperkuat diri. Upaya untuk memperbenturkan komunitas itu sepertinya akan terus berlangsung menjelang terselenggaranya Pemilu 2009.

Berbagai isu dikemas, isu keagamaan, kebangsaan, kesenjangan sosial dan sebagainya merupakan komoditas yang “sexy” dan rentan konflik. Justru karena rentan konflik itulah ia digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Misalnya, Tragedi Monas Kelabu yang lalu telah dianggap sebagai ‘test case’ pertarungan ideologi jelang Pemilu 2009. Utama kelompok pendukung Islamisme versus pendukung Nasionalisme. Berbagai komentar yang muncul pascatragedi itu dapat membantu ‘aktor intelektual’-nya memetakan kekuatan.

Memang ada persoalan yang lebih nyata di balik peristiwa itu, yaitu pembubaran Ahmadiyah sebagai kepentingan ‘umat Islam’ dan kenaikan harga BBM sebagai kepentingan rakyat. Jika menilai itu sebagai pengalihan isu, maka status tragedi Monas adalah sangat rendah sekaligus berpotensi konflik besar, dan targedi Monas hanyalah isu yang melintas (cross cutting issues) jika tidak ingin disebut sebagai ekses.

Tetapi yang jelas, tragedi tersebut telah menunjukkan betapa lemahnya warga masyarakat atau komunitas sehingga begitu mudah dibenturkan. Apalagi diiringi lemahnya kewaspadaan, bahwa mereka merupakan komoditas bagi pihak lain yang berkepentingan.

Sejarah Elit

Berbagai tafsir yang muncul tentang tragedi Monas antara lain, diskursus pembubaran Ahmadiyah, pengalihan isu kenaikan harga BBM, konflik internal umat Islam, dilema kebangsaan (nasionalisme) dan test case Pemilu 2009 merupakan bentuk ‘berguna’-nya peristiwa itu bagi aktor-aktor yang tidak bertanggungjawab.

Kelemahan warga komunitas ini pada akhirnya memberikan peluang kepada orang-orang tertentu untuk mengukir sejarah. Sejarah sebagai determinasi antar komunitas akhirnya berubah menjadi sejarah para elit. Tetapi sejarah seperti ini tidak dapat disebut sebagai sejarah, karena perubahan yang terjadi tidak membawa kepada kemajuan.


Bangsa ini tentu tidak ingin sejarahnya semata-mata digerakkan oleh elit yang menghasilkan sejarah elit. Kemungkinannya dua saja; pertama, elit yang benar dan membawa kepada kemajuan, kedua, elit yang tangannya berlumuran darah.
Minggu, 08 Juni 2008

2 comments:

Anonymous said...

Toean Penoelis! kami tak ingin sekedar makna khusus. tapi sikap yang perlu diambil.

Muhammad Kosim said...

Assalamu'alaika ya Kanda...
Kanda juga hebat... pemikiran brilliant. Tapi Saya berharap pemikiran yang telah tertulis bisa dijadikan buku, agar lebih bermakna. tapi, jika buat buku, ajak-ajak yo Bang...
Bang, sambungkan juga ke mhdkosim.blogspot.com
makasih.... SALAM YUS