Oleh: Muhammad Nasir
Nagari di Minangkabau sebagaimana disyaratkan, mesti memiliki beberapa institusi penyangga, di antaranya babalai bamusajik, bapandam bapakuburan, batapian tampek mandi dan sebagainya. semua institusi sosial itu tentu saja ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) nagari. Di tengah gencarnya keinginan membangun nagari dalam semangat babaliak ka nagari tentu saja perlu diurus secara serius dan diperkuat kapasitasnya.
Khusus tentang persyaratan babalai bamusajik ini, sering hanya menjadi pelengkap penderita dalam beberapa topic pembangunan nagari. Memang, dalam taraf tertentu orang Minangkabau tidak dapat meninggalkan Masjid atau Surau dalam konteks sarana ibadah. Namun tidak jarang dalam konteks lainnya semisal institusi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan terlupakan.
Misalnya, pada moment pelatihan Imam dan Khatib Nagari yang diselenggarakan Pusat Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) IAIN Imam Bonjol Padang 16-20 Desember 2006 di Balai Pelatihan Pangan dan Holtikultura Padang, peserta yang notabene Angku Imam dan Angku Katik di nagarinya masing-masing mengeluh; “kami dalam banyak hal kurang diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat, kecuali hanya pelengkap struktur nagari.”
Di samping keluhan, juga muncul harapan yang sangat besar dari pengelola masjid dan mushalla yang mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah dan masyarakat nagari. Harapan itu berupa support dari pihak luar untuk mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis masjid/ surau. Misalnya, asistensi dan penguatan modal untuk kegiatan koperasi masjid, atau baitul mal wa al tamwil (BMT). Harapan itu tentu saja berangkat dari kemajuan berpikir pengelola rumah ibadah itu untuk mengembangkan program ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berbasis masjid/surau. Sayang sekali seandainya harapan itu dibiarkan begitu saja.
Pengalaman di atas menggambarkan bahwa masjid/surau selain tempat aktivitas beribadah, juga dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas lainnya. Jika diinventaris, masjid, surau atau mushalla ada juga yang memiliki perpustakaan, koperasi/BMT,remaja masjid, klinik, LAZ dan kegiatan lain-lain.
Masjid berasal dari akar kata sajada yang artinya sujud. Dari akar kata tersebut, pada dasarnya setiap tempat yang bisa dipergunakan untuk bersujud maka disebut masjid. Tetapi masjid tidaklah tabu untuk dijadikan aktivitas selain untuk bersujud kepada Allah SWT, termasuk untuk menjalankan kegiatan perekonomian. Berdasarkan itu, khusus mengenai masjid/ surau yang memiliki kegiatan ekonomi antara lain melalui koperasi/BMT atau LAZ, merupakan potensi yang bisa dikembangkan ke arah pemberdayaan masjid dalam rangka pengurangan tingkat kemiskinan di masyarakat.
Dalam konteks ini, masjid dapat dijadikan wahana penguatan ekonomi umat. Potensi yang besar ini sangatlah disayangkan jika tetap diabaikan, karena masjid sebenarnya berpeluang dalam mendorong kemandirian ekonomi umat. Cuma yang terjadi sekarang ini, pemberdayaan ekonomi masjid untuk pengentasan kemiskinan tersebut belum dikelola secara profesional, transparan, akuntabel, jujur, dan penuh keikhlasan dan tanpa dukungan berarti dari dunia perbankan.
Koperasi/BMT atau LAZ yang dimiliki masjid/ surau yang sangat jelas mempunyai masyarakat basis tentu dapat membuat skema-skema program pengembangan ekonomi produktif untuk wilayah mereka yang memiliki kantong-kantong kemiskinan. Seandainyapun tidak mempunyai konsep pengembangan program, maka kewajiban bagi pemerintah, lembaga konsultan, swasta, perbankan dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendampinginya.
Bank Nagari; Menoleh ke Masjid
Pemberdayaan ekonomi masjid untuk pengentasan kemiskinan sangat perlu digalakkan. Semua pihak dapat melakukan penguatan sesuai dengan kemampuannya. Termasuk Bank Nagari sebagai lembaga keuangan milik masyarakat Sumatera Barat.
Tahun ini pertumbuhan kredit Bank Nagari sangat menggembirakan, mencapai 24,85 persen. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit perbankan Sumbar yang hanya 6,45 persen. Sedangkan angka nasional hanya mencapai level 8,73 persen. Luar biasa dan selamat untuk Bank Nagari.
Berdasarkan itu, Direktur Utama Bank Nagari atau Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat, Nazwar Nazir, mengatakan akan menyalurkan kredit sebesar Rp 986,7 miliar khusus untuk sektor perkebunan unggulan, seperti kelapa sawit, karet, dan kakao. (Kompas, 19/01/2007). Syukur atas niat baik itu. Tetapi di balik itu ada semacam kecemburuan positif plus harapan; “kapankah giliran pengucuran kredit untuk pemberdayaan ekonomi berbasis masjid?”
Masyarakat termasuk yang terkonsentrasi di masjid mulai tertarik menggunakan jasa perbankan untuk membiayai usaha mereka. Dalam hal ini pihak perbankan harus juga melayani keiginan itu dalam bentuk kredit yang mudah dan murah, dengan meninggalkan kriteria pemberian kredit formal yang kaku. Program pemberdayaan ekonomi di masjid akan berkembang melalui program kredit mikro ala Grameen Bank.
Mimpi yang dapat diceritakan pada Bank Nagari mengiringi kesuksesan dan peralihannya menjadi Perseroan terbatas (PT), sekaligus tawaran visi kesadaran bamusajik dalam paradigma baru bagi bank yang berkomitmen membina citra membangun nagari adalah;
Pertama; Haqqul yaqin, bahwa Bank Nagari pada prinsipnya sangat peduli dengan masalah kemiskinan dan program-program pengentasan kemiskinan. Apa yang dilakukan di atas, sesuai dengan ungkapan Direktur Bank Urang Awak tersebut tentu saja dilakukan untuk tujuan baik. Gagasan tulisan yang ditulis oleh warga nagari kelas biasa ini adalah bagaimana bermohon kepada Bank Nagari untuk menjadikan kegiatan perekonomian yang berbasis masjid menjadi kelompok intervensi program Bank ini. Seandainya tidak mungkin perhatian penuh semisal kepada BPR/S, Lumbung Pitih, nasabah atau debitur lainnya, cukuplah ada sedikit atau beberapa nama masjid yang tercantum sebagai mitra binaan Bank Nagari.
Apalagi Bank Nagari tahun 2007 ini menargetkan penyaluran kredit sebesar Rp 4,3 triliun. (Kompas, 19/01/2007). Sungguh angka yang menggiurkan. Orang biasa yang tidak mengerti perbankan saja memperkirakan, jika uang sebanyak itu dibagikan kepada 2 juta penduduk Sumbar yang diasumsikan butuh kredit atau modal usaha, pasti akan mendapat tidak kurang Rp 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus ribu). Tetapi logika perkreditan perbankan tentu tidak seperti itu. Tetapi tawaran dalam hal ini, Koperasi/BMT atau LAZ yang dimiliki masjid menjadi outlet sekaligus binaan Bank Nagari.
Kedua; Suatu pemikiran yang terinspirasi dari Grameen Bank, bank alternatif yang digagas oleh Muhammad Yunus, penerima Hadiah Nobel 2006, apakah mungkin menjadikan Bank Nagari seperti itu? Yang jelas Grameen Bank di Banglades itu bekerja di luar jalur birokrasi. Program kredit mikro Grameen Bank berfokus pada keberlanjutan program bukan profit. Grameen Bank dengan programnya menyentuh langsung wajah kaum dhuafa’. Tawarannya adalah Bank Nagari diharapkan menyentuh kebutuhan dasar kaum miskin melalui pemberdayaan ekonomi umat di masjid. Otomatis program ini lebih menekankan pada aspek tanggung jawab sosial perusahaan (Community Social Responsibility) dan jelas berorientasi non profit.
Ketiga: Niat beribadah karena Allah Swt. Bagaimanapun Bank Nagari hidup di Sumatera Barat (Minangkabau) yang penduduknya mayoritas Islam. Tanggung jawab suksesnya sebangat babaliak ka nagari babaliak ka musajik/surau di atas semangat Adat Basandi Syara’, Syarak Basandi Kitabullah, tentu saja juga terbebani di pundak Bank Nagari.
Maka di samping memberdayakan ekonomi umat melalui mimpi pertama dan kedua di atas, Bank Nagari juga telah berjasa mengembalikan masyarakat ke masjid/suraunya dan mengikat masyarakat dengan ketergantungan ekonomi umat kepada masjid/surau. Insyaallah, transaksi keuangan yang dilakukan di rumah Allah pasti berkah.
Keempat: Sangat penting dilakukan, meski tanpa harus latah mengembel-embeli dengan bank syari’ah, Bank Nagari dapat membangun kemitraan dengan masjid dan mesti dilandasi atas prinsip-prinsip syari’ah. Jika memungkinkan, masjid dengan segenap usaha ekonominya dapat dijadikan ladang investasi.
Akhirul kalam, Bank Nagari dengan modal finansialnya diharapkan mendorong berkembangnya modal ekonomi sosial di masjid serta dengan modal spiritual, masyarakat ber-ingsut keluar dari kemiskinan.
Wallahu A’lam Bi al Shawab
3 comments:
Tulisan yg sangat menarik Pak,...walau saat ini Bank Nagari telah melakukan pembinaan serta penyertaan modal pada berbagai BPR/S yang ada di Sumbar, tapi pembinaan dan penyaluran kredit ke sektor mikro melalui BMT dan lembaga keuangan mikro lainnya memang perlu menjadi agenda Bank saat ini,..mudah2an ide ini dapat menjadi perhatian bagi Direksi Bank Nagari,...
nah, pak Avartara ini bankir... bankir yang ditulis itu... semoga tulisan bung bisa bermakna sesungguhnya...
Syukurlah...berarti saya sudah menemukan orang yang tepat, yang akan mengerjakannya.Salam kenal pak avartara
Post a Comment