Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Magistra Indonesia Padang
Kemerdekan historis (17 Agustus 1945) sangat manis untuk dikenang. Persatuan dan kesatuan seluruh anak bangsa tidak hanya indah pada kata-kata, tetapi lebih jauh menampakkan wujud idealnya. Buktinya, dari Sabang sampai Merauke seluruh elemen perjuangan kemerdekaan melebur dalam satu cita-cita; merdeka!
Selebihnya, Nyaris tidak ditemukan persoalan mendasar dalam aspek strategis dan taktis perjuangan. Perbedaan ideologis pada waktu itu tidak lebih hanya sekedar semangat untuk menggairahkan perjuangan. selain itu, suasana yang sangat heroic dan plural itu saling berterima dalam satu konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Perdebatan penting tentang dasar negara memang sempat menghangat. Umat Islam sempat menginginkan tercerminnya syari’at Islam dalam dasar negara. Kaum Nasionalis juga menghendaki kesatuan bangsa atas dasar nasionalisme (nation state). Begitu juga suara-suara dari kelompok budaya dan agama minoritas juga mendapat respon yang baik dalam menyusun dasar negara. Akhirnya jadilah Pancasila menjadi dasar negara. Tidak heran Pancasila kemudian disebut sebagai titik temu (melting pot) bagi berbagai kepentingan atas nama apapun yang ada di negara Indonesia.
Pelajaran terpenting dari kemerdekaan secara historis itu adalah bahwa dalam waktu singkat, semua elemen perjuangan berbasis agama, suku, dan ras dapat dipersatukan. Betapa tinggi dan luhurnya budi elit dan anak bangsa kala itu. Berikutnya, yang tak kalah penting, sisa proklamasi yang nyaris hilang saat ini adalah semangat persatuan dan kesatuan sebagai wujud partisipasi dalam membangun cita-cita kemerdekaan.
Perjuangan kemerdekaan memang sebuah upaya menghapuskan penjajahan dari muka bumi nusantara, utamanya dari cengkraman kolonialis Belanda, Jepang dan semangat fasisme yang melanda hampir separuh Asia dan Afrika kala itu. Perjuangan itu sudah selesai. Akan tetapi dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, tidak serta merta membuat penjajahan hilang dari negeri ini. Paling tidak sampai saat ini masih tersisa mental penjajah dan mental bangsa terjajah (pecundang) yang menghambat pencapaian kemerdekaan 100 %, istilah Tan Malaka.
Time line perjuangan ke arah kemerdekaan yang sesungguhnya sangat mudah dilihat. Lebih kurang 62 tahun kemerdekaan, penjajahan seperti datang silih berganti. sejatinya, kemerdekaan itu adalah bebasnya anak bangsa dari rasa takut, kekerasan, rasa lapar, kebodohan dan belenggu birokrasi yang menghambat kemajuan anak negeri kepada kesejahteraan. Berbagai kemajuan fisik Indonesia pasca proklamasi tidak dapat menghilangkan kesan bahwa, lepas dari Belanda dan Jepang, secara bergantian negara ini diperintah oleh berbagai rejim yang cenderung korup dan mencekik rakyat.
Selama duapuluh tahun rakyat Indonesia hidup di bawah bayang-bayang Orde Lama yang mabuk kepayang dengan kemerdekaan. Berikutnya, selama tigapuluh dua tahun hidup dalam kebahagian semu (pseudowelfare) yang dibangun Orde Baru di atas pondasi ketakutan, konglomerasi dan hutang luar negeri. Hingga tiba saat yang pada awalnya dirindukan sebaga era kebebasan ke dua yaitu reformasi. Sayangnya pada era reformasi ini, rakyat Indonesia kembali tertunda kemerdekaannya akibat merajalelanya syahwat politik elit dan partai politik. Akhirnya muncul sebuah pertanyaan dari generasi muda sekarang, dan cenderung pesimis, ke mana arah perjuangan kemerdekaan RI akan bergerak?
Malpraktik Demokrasi; Menuju Tirani Baru ?
Enampuluh dua tahun menjadi manusia yang bebas bukanlah waktu yang sedikit. semestinya banyak pelajaran yang bisa diambil oleh para pengurus bangsa ini untuk terus menerus memperbaiki praktik penyelenggaraan negara. Untuk tidak menyebutnya sebagai suatu kebodohan, enampuluh dua tahun sudah cukup untuk belajar dari segala kesalahan dalam menyelenggarakan negara. Sudah banyak model penyelenggaraan negara yang telah diuji coba di negara ini. Semestinya para pemimpin bangsa tinggal menarik sintesa dari dialektika nasional kita.
Bolehlah, pada akhirnya sesuai dengan zeitgeist dunia saat ini, demokrasi memenangkan persaingan dalam menentukan model penyelenggaraan negara. Penyebabnya adalah karena isu demokrasi secara historis adalah perlawanan terhadap totalitarianisme dan otoritarianisme. Banyak contoh yang menunjukkan kemenangan demokrasi berada pada ranah kekuasaan yang mengkebiri hak-hak sipil dan penguasaan yang tak terbatas terhadap warga dalam menentukan nasibnya sendiri.
Secara historis, kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan semangat demokrasi. Demokrasi dalam perspektif kehendak rakyat menjelma dalam bentuk negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Hal ini terwujud karena bangsa Indonesia melalui ratusan suku bangsanya sudah memiliki semangat demokrasi dalam setiap akar budayanya. Oleh sebab itu demokratisasi Indonesia tidak berangkat dari ruang hampa (tabularasa).
Soal berdemokrasi “Mengubah tradisi buruk sebuah bangsa dan memperkenalkannya dengan hal yang baru, meskipun lebih baik, bukan lah hal yang mudah, dan bukan pula pekerjaan sehari (Richard M. Ketchum (ed): 2004). Tetapi bagi Indonesia, mengubah perilaku buruk dalam waktu 62 tahun, terasa cukup lama. Time of response terhadap ide-ide dasar perjuangan kemerdekaan terasa teramat panjang sekaligus menunjukkan kepada dunia, betapa lemahnya daya ingat bangsa Indonesia. Betapa sulitnya bangsa ini belajar dari masa lalunya.
Keharusan dalam menerapkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dewasa ini semestinya diterapkan dalam bentuk persemaian benih keadilan, persamaan hak (duduk sama rendah – tegak sama tinggi), kesejahteraan. Keharusan lainnya yang universal dalam menghidupkan demokrasi adalah kesukarelaan dalam melakukan kewajiban, keikhlasan dalam memberikan hak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan berdunia.
Kekhawatiran terhadap nasib kemerdekaan adalah, jika demokrasi sebagai semangat awal membangun bangsa tidak dapat mengajari seluruh elemen bangsa, maka kemerdekaan itu sendiri berarti suatu proses pembebasan dari satu tirani, kepada tirani lainnya. Sederhananya, 62 tahun kemerdekaan Indonesia tidak lebih sekedar “lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”. Akhirnya otoritarianisme dan despotisme akan selalu menjadi musuh abadi kemerdekaan.
Dimuat di: Haluan, Kamis, 16 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment