Muhammad Nasir
Ingatkah engkau teman,
di mana kita hidup 32 tahun yang lalu?
Di tempat yang tinggi, di sangkar emas,
di kaki awan, di pohon rindang,
di... ? (sementara angin bertiup kencang)
Di dahan lapuk!
Orang-orang menyebutnya orde baru
Tiba-tiba saja dahan itu runtuh,
dan kita menfardhukan dahan baru
untuk bertengger. Kita namakan itu reformasi
Pada saat yang bersamaan,
ada yang tidak sabar mencarikan pijakan baru
untuk kembali ke atas pohon.
Alih-alih mencari pijakan,
justru yang terjadi saling injak
untuk menggapai dahan –yang celakanya-
Dahan itu tidak ada lagi di sana.
Sebagian orang berteriak,
inilah akibat pembangunan yang tidak
diletakkan pada dahan yang kokoh.
Jangankan dijadikan pegangan
untuk memanjat lebih tinggi,
sisa patahannyapun tidak ada lagi.
Apatah daya?
Satu dekade reformasi, seraya merenung,
Orang-orang kembali melihat ke atas,
di mana dahan bernama Orde Baru itu dulu bergantung?.
Ah, seandainya dahan itu masih di sana.
Ah, tiba-tiba ingat Soeharto. Kakek Pemilik dahan itu.
Ia sudah meninggal beberapa waktu yang lalu
Dua bagian terakhir ini yang perlu dilupakan.
Sekarang ini tinggal sebatang pohon tinggi
menjulang ke langit. Tanpa dahan
tempat berpegang dan berpijak.
Sekarang lupakan dahan yang patah,
lihatlah akar tunjang yang menghujam dalam ke bumi.
Masihkan ada harapan untuk hidup?
Jika ada mengapa tidak disiram bersama-sama?
Bukankah masih ada harapan
bagi tunas-tunas kecil yang akan tumbuh
menjadi dahan yang kokoh?
Sabtu, 22 Maret 2008
No comments:
Post a Comment