Oleh : Muhammad Nasir
Mantan Redaktur Tabloid Suara Kampus
IAIAN Imam Bonjol Padang
Cita-cita rakyat tidak jauh-jauh dari cita-cita pemimpinnya, begitu tulis almarhum Mahbub Djunaidi, kolumnis kondang yang pernah lahir di negeri ini. Artinya kira-kira begini; Jika pemimpin menginginkan uang, punya handphone terbaru, rumah, mobil mewah dan sebagainya, rakyat mungkin juga begitu. Rasanya tidak ada yang berbeda dari rakyat dan pemimpin. Persoalan berpikir, rakyat juga dipusingkan tujuh lingkar obat nyamuk memikirkan dapur hingga kembali lagi ke dapurnya. Bekerja keras apalagi. Tidak hanya pemimpin. Rakyat juga begitu. Apa kurang keras bantingan tulang rakyat untuk mendapatkan uang untuk hari itu juga dan untuk dimakan hari itu juga?
Yang jadi masalah sekarang…, adakah kewajiban rakyat untuk meniru pemimpinnya? Atau malah sebaliknya, adakah kewajiban pemimpin meniru rakyatnya?
Dalam dunia persilatan dikenal satu kumpulan orang-orang yang terdiri dari pengemis. Yang mengepalakantori, kira-kira tidak jauh lebih baik dari mereka. Pengemis. Tampilan sang kepala pengemis ?. tentu saja sama dengan anggotanya. Penuh tambalan, dekil dan bau. Mungkin lebih bau. Soalnya yang diangkat jadi kepala adalah orang yang paling pintar ngemis, paling nestapa potongannya, paling jelek bajunya dan paling bau tubuhnya. Nah…hebatnya mereka punya identitas. Tongkat, batok kelapa atau kaleng rombeng serta baju penuh tambalan. Bila bertemu di jalan dan ada orang yang bertanya, jawaban orang akan relative sama. Siapa dia ?. Pengemis!
Sekarang, kondisi di atas rasanya masih relevan. Persoalannya cuma ketidak samaan identitas antara pemimpin dan rakyat. Ekstreemnya identitas itu nyaris tidak ada. Kalau tidak salah mata memandang, beda pemimpin dan rakyat itu sejauh Jakarta – Amerika bila ditempuh dengan jalan kaki. Perbedaan itu tidak muncul bukan karena baju yang dijual di Indonesia itu beraneka ragam. Misalnya baju Itali, Perancis atau Bandung. Atau disebabkan rakyat itu “ada tampang” jadi gembel, dan pemimpin itu ada “takah” untuk jadi raja. Sehingga kalau rakyat disandingkan dengan pemimpin akan terlihat bedanya. Minimal dari kilat kening dan minyak rambutnya, atau kilat sepatunya.
Kembali ke identitas. Jika dibuat profil orang Indonesia, manakah yang laku di jual ke penyandang dana?. Misalnya, jika ada sebuah LSM membuat profil orang Indonesia yang sedang “sakit”, manakah yang layak disehatkan (diberdayakan) dalam program community development?. Rakyat dulu atau pemimpinnyakah?. Ujar-ujar orang bijak menyatakan “ kalau pemimpinnya kencing berdiri, bagaimana rakyatnya?. Atau “kalau rakyat kencing berdiri, bagaimana cara kencing pemimpinnya?”. Nah, mengenai mana yang harus diberdayakan lebih dahulu, jawabannya mungkin sama sebangun dan sama sisi dengan pertanyaan “mana yang dulu ayam dari telur?”.
Mengingat dan menimbang perbedaan yang mencolok antara rakyat dan pemimpin itu, sepertinya perlu disusun identitas baru bagi orang Indonesia. Soalnya sulit juga merumuskan orang Indonesia jika masih ada multi sigi dan sebutan untuk orang Indonesia. Ada rakyat, ada pemimpin, ada teroris dan sebagainya.
LSM yang bergiat dalam program good governance mengusulkan agar pemerintah yang pertama harus diberdayakan. Segenap aparatur pemerintah harus dibekali ketrampilan mengenai tata cara mengatur pemerintah yang baik, dan tata cara mengelola asset dan potensi daerah dengan baik, atau bagaimana cara mengambil keputusan yang baik agar rakyat tidak merasa “nggak dianggap”. Semuanya bertujuan agar layanan (public service) lancar ibarat air terjun.
Begitupun LSM yang bergiat dibidang pendampingan masyarakat (community assistances) atau pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Mereka mengusulkan agar rakyat yang harus diberdayakan lebih dahulu. Karena sokogoru pembangunan itu memang rakyat, kata pegiat LSM. Semua harus didasari oleh kehendak rakyat. Bottom Up, istilah kerennya. Tidak heran jika dalam usulan ini ikut tenar istilah partisipatif (baca: bukan mobilisasi) keberpihakan dan sebagainya. Tujuannya tidak lain agar rakyat punya identitas.
Asal tahu saja, “usulan” yang dimaksud oleh LSM yang main “di atas” (pemerintahan) dan yang main “di bawah” (rakyat) adalah “proposal”. Nah. Siapakah yang mau membiayai program memperbaiki identitas orang Indonesia ini ?. Moralis atau kapitalis?
Tetapi persoalan tidak harus selesai sampai di sini. Tidak cukup menunggu kucuran dana perbaikan identitas. Kedalampun harus ada kesadaran bersama bahwa “orang kita”, baik rakyat dan pemimpin itu harus sama-sama belajar. Kalau bisa dikenakan wajib belajar. Misalnya belajar akur kepada kehendak bersama. Rasanya kehendak bersama “orang kita” saat ini adalah bagaimana bisa merdeka dari rasa lapar dan aman dari godaan dan ancaman.
Bagaimana mungkin bisa terwujud identitas baru jika salah satu pihak bertepuk sebelah tangan? Kata pemimpin rakyat harus ikut dan patuh kepada kehendak pemimpin. Kata rakyat, pemimpin yang harus ikut rakyat, karena rasanya dari dulu permintaan rakyat tidak banyak, Cuma minta kesejahteraan. Jika rakyat ikut pemimpin konsekwensinya adalah kesejahteraan rakyat minimal beda tipis dengan kesejahteraan pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin ikut rakyat, maka siap-siaplah jadi rakyat, bergabung dengan penderitaan rakyat. Setelah itu kita buat Gerakan Rakyat Miskin untuk Kesejahteraan. Siapa yang memimpin? Ya, pemimpin itu tadi!. Dengan demikian pemimpin tidak kehilangan roh kepemimpinannya. Begitulah kira-kira! ***
Padang, Januari 2006
No comments:
Post a Comment