Oleh : Muhammad Nasir,SS
Yayasan Totalitas Padang
Staf Humas IAIN Imam Bonjol
Nita Indrawati telah menulis di harian ini (Senin, 4/7/2005) tentang pendayagunaan dana community development PT. Semen Padang (PTSP) serta memaksimalkan tugas community care -nya dalam bentuk Semen Padang Foundation (untuk mempermudah penyebutan selanjutnya ditulis SPF). Apresiasi untuk tulisan ini harus diberikan oleh pegiat sosial dengan kata setuju. Nita, telah berhasil membakukan ide-ide liar yang sejak lama berkembang di tengah komunitas LSM mengenai profesionalitas pendanaan kegiatan sosial kemasyarakatan PTSP dalam bentuk yayasan. Ide ini berarti mengupayakan peralihan dari model penyandang dana (Fund agency) menjadi yayasan dengan kewenangan yang lebih besar mengelola kegiatannya (Foundation).
Ada beberapa referensi untuk ide SPF. Maaf, bukan plagiat nama, SPF pertama untuk mempermudah sebutan sementara yang tersebut berikut ini, Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Semua masalah harus didekati secara multi disiplin dalam perspektif multilateral. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Dapat dipastikan, banyak perusahaan nasional, multinasional bahkan internasional melakukan hal yang sama untuk memaksimalkan dana community development mereka. Reebok, perusahaan sepatu raksasa, juga melakukannya. Nita juga menyebut Sampoerna Foundation dalam tulisannya.
Tanpa bermaksud latah, namun untuk profesionalitas kerja amal (charity) dan kerja membangun masyarakat (community development), SPF mesti segera dipikirkan oleh PTSP. Tujuannya adalah agar rasa kepemilikan masyarakat terhadap PTSP, sebagai perusahaan kebanggaan anak nagari Minangkabau tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan.
Jika dipetakan, hampir dapat dipastikan organisasi pemerintahan, organisasi masyarakat, UKMK,OKP, LSM, masjid, panitia acara sosial dan sebagainya melirik dan menempatkan PTSP sebagai list utama dalam pendanaan kegiatan mereka. Ini terjadi karena mereka yang tersebut di atas memandang PTSP sebagai perusahaan yang tajir sekaligus pemurah terhadap masyarakat. Hal ini pula yang menurut penulis dapat menjadi potensi dasar menuju foundation yang dicita-citakan itu.
Kami Telah Melakukan Sebelum Anda Memikirkan
Motto PTSP yang sudah terkenal itu dikaitkan dengan kepedulian perusahaan ini terhadap lingkungan, merupakan hal yang tidak pantas disanggah. Buktinya, PTSP sudah mewujudkan kegiatan bina lingkungannya dengan memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pedirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances). Wujud kegiatan bina lingkungan ini pada dasarnya adalah model spesifikasi program pengembangan masyarakat yang diusung oleh lembaga donor internasional semisal Ford Foundation, The Asia Foundation, OXFAM, CIDA, USAID dan sebagainya.
Barangkali “pr” PTSP selanjutnya adalah memunculkan “pendekatan baru” dalam pemberdayaan masyarakat. Keunggulan donatur asing dibandingkan donatur lokal menurut pengamat sosial (diantaranya LP3ES; 1997) adalah pendekatan pemberdayaan terukur, wilayah (space) program berskala priotitas, maaf, tidak LUKI minded, menafikan ketergantungan (depended), mendorong kemandirian, berasas keberlanjutan (Sustainability) dan mencapai kesejahteraan yang terukur (measured welfare).
Kembali merujuk motto, niat baik yang telah dilaksanakan PTSP selama ini jika tidak salah pengamatan, tidak lebih ibarat dermawan melayu yang begitu royal memberi bantuan tanpa mempertimbangkan efek pascapemberian bantuan tersebut. Beberapa waktu yang lalu sebuah komunitas pantai di kota ini baku hantam lantaran bantuan speedboad, sementara lembaga amal yang berbaik hati sudah pergi meninggalkan masyarakat tersebut tanpa tahu peristiwa apa yang terjadi setelah bantuan berpola karitatif itu. Peristiwa ini tidak lebih sesuatu yang disebut benar tapi sia-sia (true but useless). Nah, agar semua bantuan PTSP tidak sia-sia, barangkali perlu dirumuskan pendekatan pemberdayaan khas PTSP yang kira-kira berpahala untuk PTSP dan berdaya guna bagi lingkungan (masyarakat).
Kenapa Harus Foundation?
Tidak dapat dipungkiri, pengaruh manajemen PTSP sangat dominan dalam memutuskan memberi atau tidak memberi bagi setiap permohonan yang masuk. Setidaknya ini tercermin dalam lembar disposisi yang memuat urutan pesan singkat dari berbagai level kepemimpinan PTSP. Foundation atau bahasa tengahnya yayasan, sudah mempunyai Undang-Undang tersendiri. Dalam UU disebutkan organ yayasan terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas sudah cukup menjamin kebebasan dari intervensi manajemen PTSP. Hal ini berarti berapapun keuntungan yang didapatkan PTSP tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan di yayasan. Ini alasan pertama.
Kedua,PTSP tidak perlu repot memikirkan model pemberdayaan masyarakat. Cukuplah memikirkan bagaimana lepas dari pengaruh Cemex, meningkatakan keuntungan produksi dan tidak rugi. Persoalan bagaimana menguatkan masyarakat sipil, meminimalisir dampak lingkungan akibat limbah pabrik lebih baik diserahkan kepada yayasan (masyarakat).
Ketiga, sesuatu yang menjadi ciri pemberdayaan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat (partisipasi) dalam mengelola, mengambil keputusan dan mempertanggungjawaban kinerja yayasan. Dengan ini diharapkan, program-program pemberdayaan masyarakat betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak, sesuai rencana strategis yayasan yang notabene dibuat masyarakat. Dengan demikian masyarakat bisa mengetahui item apa yang dibiayai saat ini dan sekaligus lebih mudah mengaksesnya.
Keempat, dalam konteks transparansi dan akuntabilitas (T&A), manajemen PTSP bisa berbagi beban dengan yayasan dalam terma sentral Good Coorporate Governance ini. PTSP barangkali tidak perlu menguras energi berhadapan langsung dengan masyarakat dalam urusan bina lingkungan. Cukuplah wakil masyarakat di yayasan. Dengan ini apa yang dinamakan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam prinsip partisipasi bisa terpenuhi.
Kelima, yang lebih tahu tentunya manajemen PTSP, namun kira-kira pengalihan beban bina lingkungan kepada pihak yayasan bisa jadi mengurangi beban struktural dalam manajemen PTSP (?)
Keenam; keberadaan yayasan dengan program kemitraan dengan LSM lokal justru dapat mengurangi angka pengangguran. Fasilitator LSM dapat diimbali dengan layak, jika mereka bekerja memfasilitasi program yayasan.
Sekarang persoalannya kembali ke PTSP. Sebagai anggota masyarakat, pengguna jasa dan produk PTSP, penulis telah berpikir meski belum berbuat. Akankah Community Development PTSP memilih model mengelola sendiri Funding Agency, atau menyerahkan pengelolaan kegiatan plus dana kepada masyarakat dalam betuk Foudation ?. Kita tunggu. Selamat Ulang Tahun ke -95 PT Semen Padang.
Padang, 4 Juli 2005
Telah dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 11 Juli 2005
No comments:
Post a Comment