Oleh: Muhammad Nasir
1. Nasib Pemuda
Hitungan kuantitatif menunjukkan alangkah besarnya jumlah anak muda di negeri ini. Dalam jumlah yang besar ini, berbagai hal dilakukan. Dalam rentang usia 15-30 tahun anak-anak muda negeri ini menghabiskan waktunya di bangku pendidikan, terpaksa bekerja dan mencari kerja. Bagi yang tidak beruntung, tertangkap oleh data statistik sebagai sebagai penganggur. Kadang-kadang mengisi grafik turun naik data-data kriminalitas di kantor-kantor polisi.
Jika dirinci, bagi yang menjadi peserta didik, usia 15-18 tahun berada di bangku SLTA baik SMA/MA/SMK dan Pondok Pesantren. Selanjutnya pada usia 18-22 tahun atau selambat-lambatnya usia 25 tahun berhasil menyelesaikan studi sarjana (S.1), program keahlian D.III, D.II, D.I. Jikalau beruntung, mereka yang berminat dan bermodal cukup, melanjutkan studi ke program magister (S.2) hingga mencapai usia 30 tahun. Selama 15 tahun itu diiringi berbagai fenomena, di antaranya bekerja, mencari kerja, menikah dan sebagainya.
Beruntunglah anak muda yang terdidik ini. Pendidikan yang baik menumbuhkan idealisme mereka. Otak mereka berkembang mengikuti zaman. Pada masa pendidikan itu, mereka juga mendapatkan kesempatan berorganisasi.
Bagi yang tidak melanjutkan pendidikan, keluarga dan masyarakat memaksa mereka untuk terjun ke dunia kerja. Sebagian mau dan berhasil, sebagian mau dan gagal. Yang lainnya tidak mau dan mencari pelampiasan kepada hal-hal yang tidak produktif. Nongkrong di mall-mall, di pinggir jalan, menyendiri di kamar sempit dan bergaul dengan NAPZA. Begitulah, jika dipetakan alangkah banyak titik-titik yang perlu ditarik sehingga bermuara pada pernyataan masalah, bagaimana keadaan pemuda kita hari ini? Apa yang dapat dilakukan untuk mereka?
Sejalan dengan fenomena di atas, organisasi pemuda dan berbagai kelompok yang mengasosiasikan dirinya dengan kepentingan pemuda lahir, tumbuh, berkembang, jaya dan beberapa di antaranya perlahan-lahan redup. Akan tetapi dari masa ke masa persoalan anak-anak muda di negeri ini tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Adalah benar, jika selagi kehidupan kemanusia terus berlanjut, persoalan akan terus mendampingi meski dalam bentuk yang berbeda. Paling tidak respon yang harus ditampilkan terhadap setiap persoalan harus semakin cerdas dan menunjukkan tingkat kematangan intelektual dalam proses penyelesaiannya. Sayangnya, setiap upaya penyelesaian selalu saja mengambil satu format yang latent yaitu politik!
Sekali lagi tentang politik, wadah, proses dan tujuan yang diharapkan selalu saja beraroma politik. Terma politik dalam organisasi dan kepemimpinan pemuda dari waktu ke waktu selalu menemukan momentnya, yaitu kemenangan elit pemuda dan kekalahan komunitasnya dalam menyelesaikan permasalahan mendasar. Permasalahan mendasar kepemudaan yang selalu muncul dalam problem statement-nya adalah bagaimana nasib pemuda pada masa yang akan datang?
2. Terminologi Kepemimpinan yang Salah Kaprah
Kepemimpinan dalam pengertian yang sangat popular berkaitan dengan aktivitas mengelola kehidupan bersama. Kehidupan bersama yang dimaksud bisa berupa pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat dicapai secara sepihak oleh manusia yang ada dalam satu lingkup sosial kehidupan. Ketergantungan satu sama lain menjadi alasan terpenting dari kepemimpinan. Oleh sebab itu, kepemimpinan dalam konteks sosial merupakan keharusan universal dalam sejarah pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan dan saling ketergantungan merupakan titik pangkal dari segala persoalan kepemimpinan.
Kepemimpinan secara historis selalu berhubungan dengan formula politik elit (dalam bungkusan istilah the rulling class) yang mengatur proses pencapaian tujuan. Karena persoalan mengatur juga bersahabat erat dengan kemampuan dan kekuasaan para elitnya (the power of elite) maka perdebatan ini menjadi semakin panjang dan pencapaian tujuan tidak lagi menjadi penting. Misalnya, beberapa organisasi pemuda selau sibuk berbicara tentang kemampuan elitnya dalam memimpin organisasi. Waktu yang berlalu menjadi percuma, karena kemampuan yang dibahas hanya menjadi isu politik praktis dalam suksesi, dan tidak menjadi isu dalam mewujudkan perubahan yang berarti bagi nasib pemuda dalam lingkup yang lebih luas dari organisasi.
Bagaimanapun keadaannya, saat ini kepemimpinan pemuda telah menjadi penyerta dari proses sosial yang sedang berlangsung. hanya saja golongan elit pemuda tidak terlalu dipertanyakan tanggungjawabnya dalam merealisasikan tujuan-tujuan sosial yang utama. Kepemimpinan pemuda tidak sama artinya dengan proses mempertahankan hidup jutaan pemuda Indonesia, apalagi memperbincangkan kemungkinan runtuhnya satu generasi bangsa oleh sebab tidak beruntungnya nasib generasi muda. Adapun tantangan yang dihadapi sebagaimana yang disebut dalam pembuka tulisan ini antara lain, rendahnya mutu pendidikan, kurangnya akses modal usaha, pengangguran, penyalahan narkoba serta satu hal yang mungkin belum tersebut; pelacuran politik atas nama pemuda!
Satu yang disebut terakhir inilah yang menjadi titik tekan persoalan kepemimpinan pemuda yang terkini. Kepemimpinan pemuda termasuk kepemimpinan sosial yang disebut Suzanne Keller sebagai kekuatan penyangga masyarakat yang teratur (Keller, 1984: 3). Keteraturan itu dalam hemat penulis terletak pada ruang sejarah yang selalu memberi tempat pada elit pemuda untuk memainkan perannya.
Helat politik yang setiap saat dapat diikuti telah membantu menciptakan ketergantungan pemuda pada kenikmatan sesaat yang dihidangkan oleh sistem perpolitikan kita. Misalnya, sirkulasi pemilu yang berlangsung dalam waktu relatif singkat, pemilihan kepala daerah dalam beberapa level, serta jabatan-jabatan penting dalam asesoris demokrasi begitu menggiurkan elit pemuda. Akibatnya, terminologi kepemimpinan tidak lagi bergerak dalam kepentingan perbaikan nasib pemuda sebagai sebuah komunitas penerus (successor) bangsa. Tetapi lebih rendah dari itu, terbatas pada pemenuhan hasrat politik dan kepentingan pribadi para elit pemuda dan organisasi pemuda. Jadi jangan harap elit dan organisasi pemuda berpikir tentang perubahan dalam lingkup yang lebih besar, yaitu perubahan peradaban bangsa.
Jika sedemikian rupa wajah pemuda dan penampakan politiknya, semestinya tidak perlu ada istilah pemuda dan orang tua. Tokh, pemuda dan orang tua juga manusia yang perilaku politiknya juga sama. Kepemimpinan yang ditampilkan tentu saja tidak berangkat dari ruang hampa, tetapi berakar pada kelahiran elit pemuda sebagai elit politik (political elite) yang disebut Vilpredo Paretto sebagai unsur yang tetap dalam masyarakat dan lambat laun bergerak menjadi kelas penguasa (the rulling class).
Gerak perubahan dari kelas elit politik kepada elit penguasa itu sebenarnya gerakan yang yang sangat tradisional dan histories. sejarah bangsa Indonesiapun tidak lepas dari peran politik pemuda yang pada akhirnya menjadi penguasa negeri ini. Tetapi apakah tidak salah kaprah, bila puluhan jutaan pemuda Indonesia yang sedang menunggu perubahan nasib, justru ditinggalkan oleh para elitnya (yaitu orang-orang yang terpilih dan mereka pilih).
3. Perubahan; Reformasi dari Bawah
Julukan terpopuler untuk pemuda adalah agent of change. Sejarah bangsa telah berkali-kali mengukuhkan julukan itu. Contoh teranyar adalah kesuksesan mendobrak pintu reformasi 1998 melalui subagent pemuda yaitu mahasiswa. Mahasiswa Indonesia berhasil mencatat sejarah gemilang dengan tesis bahwa perubahan dari bawah itu sangat strategis dan menguntungkan bagi pemuda.
Satu kondisi yang unik pada diri pemuda, bahwa pada dasarnya elit pemuda Indonesia belum tentu lebih baik dan lebih mampu dari elit politik incumbent. Tetapi kritik demi kritik terhadap pemerintah selalu dapat dilakukan oleh pemuda secara kolektif. Alasan mendasarnya adalah meskipun pemuda belum tentu mapu, namun pemerintah yang sedang menjalankan tugas kepemerintahannya juga tidak lebih baik dari pemuda.
Buktinya dalam banyak hal, dalam penilaian masyarakat awam –termasuk pemuda-, kebijakan dan perilaku pemerintah seringkali terlihat konyol dan tidak masuk akal. Makanya, pemuda atau mahasiswa dengan enjoy melancarkan kritik dan demonstrasi. al hasil, mantan Presiden Soeharto yang menjadi lambang kemapanan, status quo, kekonyolan dan irasional-nya pemerintah Orde Baru berhasil diturunkan. Reformasi pun terjadi dan hingga kini berjalan melewati masa sewindu.
Setelah sewindu, ternyata reformasi mengambil pola top down. Relasi atas - bawah sebagai penggambaran hubungan penguasa – rakyat sangat kentara. Parahnya relasi tersebut sebenarnya jarak special yang menyatakan tidak ada hubungan kongkrit antara program pemerintah dengan kebutuhan rakyat. Penderitaan rakyat tidak lebih komoditas yang mesti ditampilkan dalam latarbelakang masalah pembangunan agar program pembangunan itu layak dibiayai.
Di sisi lain, meskipun pintu partisipasi di segala bidang dibuka selebar-lebarnya, reformasi tetap dijalankan oleh pemerintah dengan mengikuti tata cara yang tak berbeda dari Orde Baru. Kesan lamban dan berbelit-belit masih saja terlihat. Ironisnya, reformasi itu dijalankan oleh para alumnus pergerakan reformasi yang mengaku reformis. Tetapi apa daya, pola top down sebagai pengalaman sejarah bangsa terlanjur lekat dalam sikap perilaku birokrasi pemerintahan. Cita-cita pembangunan itu terlalu berat dalam pola top down yang sedikit sekali memberikan rembesan kesejahteraan bagi bangsa ini. Barangkali itulah ciri birokrasi.
Meskipun demikian, reformasi yang telah terjadi tidak boleh henti. Pemuda yang telah berkomitmen menjalankannya harus kembali mendorong gerbong reformasi. Rakyat yang bersatu dalam kesulitan akan mudah mendahului proses reformasi yang dijalankan birokrasi pemerintahan (Cleveland,1995:16)
Pesan penting yang ingin disampaikan tulisan ini adalah, untuk mencapai perubahan, peran masyarakat bawah dalam relasi atas - bawah tersebut di atas harus diperkuat. Pemuda yang telah terlanjur menjadi elit tradisional perubahan harus kembali ke bawah, menjadi agen perubahan dan memimpin gerakan menuju perubahan itu. Pemuda harus kembali menjadi akar rumput (grass root) yang menghidupkan reformasi dari bawah. Bahasa Marx, pemuda harus jadi proletar (mustadhafin)!
4. Tugas Keproletariatan
Persoalan bangsa ini memang tidak dapat selesai dengan aksi demonstrasi. Tetapi ia juga tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan politik birokrasi. Kondisi ini juga tidak memaksa pemuda harus apolitis dan meninggalkan posisi empuk di tingkat elit penguasa. Pascaperan kemustadhafinan itu, elit pemuda dan organisasi kepemudaan harus bergerak di lapangan yang lebih kongkrit, yaitu pemberdayaan pemuda.
Persoalan yang disinggung di awal tulisan ini harus diselesaikan dengan cara yang kongkrit. Misalnya pemberdayaan pemuda putus sekolah, pemberdayaan usaha ekonomi kecil yang dikelola oleh pemuda, kenakalan remaja dan kondisi tidak menguntungkan yang dialami pemuda lainnya. setidak-tidaknya memperkuat barisan aktivis pemuda yang bergerak di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pascareformasi, LSM memang tumbuh bak jamur di musim hujan. Tetapi itu belum menjadi jaminan bagi kesejahteraan rakyat, karena masih banyaknya LSM yang bergerak pada proyek aksesoris demokrasi seperti isu Hak Asasi Manusia (HAM), Good Governance, dan sebagainya. Memang tujuan ini utamanya dialamatkan pada organisasi kepemudaan yang cendrung bergerak pada ranah administrasi organisasi dengan program yang paling rutin berupa rapat-rapat intern organisasi, pergantian pengurus dan seminar-seminar. Organisasi pemuda kantoran ini sepertinya tidak relevan dengan tuntutan perubahan nasib pemuda.
Setidaknya, tawaran tulisan ini adalah bagaimana elit pemuda yang cendrung birokratis dan organisasi yang cenderung kantoran itu mengusung paradigma baru, memperkuat agen perubahan itu sendiri, yaitu pemuda-pemuda Indonesia yang sampai hari ini belum jelas duduk tegaknya (masa depannya).
Padang, 10 Juli 2007
28 April 2008
Tentang Ninik Mamak
Oleh : Muhammad Nasir, SS
Mahasiswa PPs IAIN “IB” Padang
Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Secara fungsional ninik mamak merupakan salah satu unsur dari tungku tigo sajarangan. Keberadaannya sangat mempengaruhi pelaksanaan kontrol sosial terhadap masyarakat. Tidak salah kalau ketimpangan dan langkah sumbang anak kemenakan dialamatkan pada “ketidakawasan” (awareless) ninik mamak.
Meskipun pernyataan ini belum mewakili pendapat masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini telanjur menjadi opini yang berkembang di tengah masyarakat. Setidaknya untuk menambah kenyataan empirik, dalam bahasa pergaulan sehari-hari muncul istilah “ninik mamak” dan “ninik ngangak”. Beberapa pameo di atas memunculkan asumsi bahwa pertama; ada pergeseran peran ninik mamak dalam mengatur anak kemenakannya (masyarakat), kedua; ada pemerosotan (penurunan) peran ninik mamak dalam hubungan antar status di komunitasnya.
Untuk menyingkap judul tulisan ini, setidaknya ada seuntai pengertian yang harus dikemukakan. (1) Respon adalah tanggapan terhadap hal-hal yang ditangkap panca indra. (Albert;1997). Respon disini adalah segala sesuatu yang diketahui masyarakat melelui panca indra, kemudian di nilai, diberi makna dan memutuskan untuk bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna tersebut. (2) Masyarakat adalah sistem yang merupakan hubungan antar status dalam masyarakat yang saling mempengaruhi dalam pembentukan prilaku individu dalam satu komunitas (Mac Iver;1972). Definisi ini lebih dekat dengan pola hubungan antar individu pada masyarakat Minangkabau. Sementara, (3) Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan dan status. Setiap individu yang hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya berarti mejalankan suatu peran (Soekamto,1987). Dalam konteks ini adalah gambaran hak dan kewajiban individu yang berperan sebagai ninik mamak.
(4) Ninik Mamak versi Abdul Kadir Usman dalam Kamus Umum Bahasa Minangkabau Indonesia (Pustaka Anggrek;2002) menyebutkan ninik mamak adalah pemuka adat Minangkabau dalam pengertian umum.
Apa Masalahnya ?
Ninik Mamak adalah salah satu unsur tepenting dalam pengambilan kebijakan pembangunan masyarakat Minangkabau. Dengan demikian segala perubahan yang terjadi berada di bawah kendali ninik mamak. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis ini ninik mamak bisa menjadi pilar yang kokoh dalam membangun masyarakat Minangkabau.
Namun saat ini posisi dan peran ini terlemahkan dengan beberapa kasus seperti, pemerkosaan terhadap dokter gigi di Solok (2002), dan wacana pembubaran LKAAM yang notabene limbago-nya ninik mamak yang terkesan tidak punya pengaruh penting dalam pelestarian adat dan kebudayaan Minangkabau. Termasuk tidak bagusnya pola hubungan (koordinasi) Tungku Tigo Sajarangan saat ini. Bahkan contok teranyar, munculnya organisasi MTKAAM yang dinakhodai “Sang Datuk” Irfianda Abidin pantas dijadikan contoh sekaligus menjadi pertanyaan besar; ada apa dengan ninik mamak?
Berangkat dari persoalan kekinian (current issues) di atas muncul pertanyaan sebagai berikut: Apa peran ninik mamak selaku pemuka adat di tengah anak kemenakannya (baca; masyarakat), bagaimana respon masyarakat terhadap peran ninik mamak saat ini?, dan apa faktor yang mempengaruhi pergeseran dan penurunan peran ninik mamak di tengah anak kemenakannya ?
Persoalan di atas layak ditemukan jawabannya sesegera mungkin agar dapat menjadi obat mujarab sekaligus menjadi program untuk mengisi niat babaliak ka nagari disamping itu kajian-kajian yang komprehensif berikut hasilnya diharapkan bermanfaat bagi ninik mamak agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anak kemenakannya. Kemudian bagipembuatan kebijakan (pemerintah) dalam program baliak ka nagari bukan hanya kembali ke bentuk pemerintahan nagari saja tetapi kembali kepada terwujudnya nilai-nilai dasar penyelenggaraan pembangunan masyarakat nagari dengan ninik mamak sebagai salah satu ujung tombak pembangunan.
Perlu kajian kritis
Ada semacam pesisimisme dari kaum intelek yang membahas fenomena ninik mamak ini. Bahwa sudah menjadi kelaziman bila seminar, penelitian lokakarya dan semacamnya tidak menghasilkan apa-apa, kecuali orasi dan onani pembicara seminar, atau forum maajan-ajan tuah para pembentang makalah. Padahal kebutuhan sekarang adalah program mewujudkan peran ideal ninik mamak setelah didahului kajian kritis.,yang didasarkan pada pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Maksudnya untuk melakukan pengukuran yang cermat dan akurat terhadap fenomena sosial seputar ninik mamak (merujuk pada Singarimbun;1987). Harapannya sejumlah data dan fakta yang terkumpul dapat memberikan informasi umum tentang aktifitas sosial ninik mamak.
Jadi, sebagai sumbang saran, program ba baliak ka nagari diharapkan tidak hanya mejadi program (baca;proyek) besar otonomi daerah, tetapi lebih jauh dapat menjadi gerakan sosial dan kultural (social/cultural movement). (16/8/2007)
Wallahu A’lam
Mahasiswa PPs IAIN “IB” Padang
Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang lenggokkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Secara fungsional ninik mamak merupakan salah satu unsur dari tungku tigo sajarangan. Keberadaannya sangat mempengaruhi pelaksanaan kontrol sosial terhadap masyarakat. Tidak salah kalau ketimpangan dan langkah sumbang anak kemenakan dialamatkan pada “ketidakawasan” (awareless) ninik mamak.
Meskipun pernyataan ini belum mewakili pendapat masyarakat secara keseluruhan, namun hal ini telanjur menjadi opini yang berkembang di tengah masyarakat. Setidaknya untuk menambah kenyataan empirik, dalam bahasa pergaulan sehari-hari muncul istilah “ninik mamak” dan “ninik ngangak”. Beberapa pameo di atas memunculkan asumsi bahwa pertama; ada pergeseran peran ninik mamak dalam mengatur anak kemenakannya (masyarakat), kedua; ada pemerosotan (penurunan) peran ninik mamak dalam hubungan antar status di komunitasnya.
Untuk menyingkap judul tulisan ini, setidaknya ada seuntai pengertian yang harus dikemukakan. (1) Respon adalah tanggapan terhadap hal-hal yang ditangkap panca indra. (Albert;1997). Respon disini adalah segala sesuatu yang diketahui masyarakat melelui panca indra, kemudian di nilai, diberi makna dan memutuskan untuk bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna tersebut. (2) Masyarakat adalah sistem yang merupakan hubungan antar status dalam masyarakat yang saling mempengaruhi dalam pembentukan prilaku individu dalam satu komunitas (Mac Iver;1972). Definisi ini lebih dekat dengan pola hubungan antar individu pada masyarakat Minangkabau. Sementara, (3) Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan dan status. Setiap individu yang hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya berarti mejalankan suatu peran (Soekamto,1987). Dalam konteks ini adalah gambaran hak dan kewajiban individu yang berperan sebagai ninik mamak.
(4) Ninik Mamak versi Abdul Kadir Usman dalam Kamus Umum Bahasa Minangkabau Indonesia (Pustaka Anggrek;2002) menyebutkan ninik mamak adalah pemuka adat Minangkabau dalam pengertian umum.
Apa Masalahnya ?
Ninik Mamak adalah salah satu unsur tepenting dalam pengambilan kebijakan pembangunan masyarakat Minangkabau. Dengan demikian segala perubahan yang terjadi berada di bawah kendali ninik mamak. Dengan posisi dan perannya yang sangat strategis ini ninik mamak bisa menjadi pilar yang kokoh dalam membangun masyarakat Minangkabau.
Namun saat ini posisi dan peran ini terlemahkan dengan beberapa kasus seperti, pemerkosaan terhadap dokter gigi di Solok (2002), dan wacana pembubaran LKAAM yang notabene limbago-nya ninik mamak yang terkesan tidak punya pengaruh penting dalam pelestarian adat dan kebudayaan Minangkabau. Termasuk tidak bagusnya pola hubungan (koordinasi) Tungku Tigo Sajarangan saat ini. Bahkan contok teranyar, munculnya organisasi MTKAAM yang dinakhodai “Sang Datuk” Irfianda Abidin pantas dijadikan contoh sekaligus menjadi pertanyaan besar; ada apa dengan ninik mamak?
Berangkat dari persoalan kekinian (current issues) di atas muncul pertanyaan sebagai berikut: Apa peran ninik mamak selaku pemuka adat di tengah anak kemenakannya (baca; masyarakat), bagaimana respon masyarakat terhadap peran ninik mamak saat ini?, dan apa faktor yang mempengaruhi pergeseran dan penurunan peran ninik mamak di tengah anak kemenakannya ?
Persoalan di atas layak ditemukan jawabannya sesegera mungkin agar dapat menjadi obat mujarab sekaligus menjadi program untuk mengisi niat babaliak ka nagari disamping itu kajian-kajian yang komprehensif berikut hasilnya diharapkan bermanfaat bagi ninik mamak agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anak kemenakannya. Kemudian bagipembuatan kebijakan (pemerintah) dalam program baliak ka nagari bukan hanya kembali ke bentuk pemerintahan nagari saja tetapi kembali kepada terwujudnya nilai-nilai dasar penyelenggaraan pembangunan masyarakat nagari dengan ninik mamak sebagai salah satu ujung tombak pembangunan.
Perlu kajian kritis
Ada semacam pesisimisme dari kaum intelek yang membahas fenomena ninik mamak ini. Bahwa sudah menjadi kelaziman bila seminar, penelitian lokakarya dan semacamnya tidak menghasilkan apa-apa, kecuali orasi dan onani pembicara seminar, atau forum maajan-ajan tuah para pembentang makalah. Padahal kebutuhan sekarang adalah program mewujudkan peran ideal ninik mamak setelah didahului kajian kritis.,yang didasarkan pada pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Maksudnya untuk melakukan pengukuran yang cermat dan akurat terhadap fenomena sosial seputar ninik mamak (merujuk pada Singarimbun;1987). Harapannya sejumlah data dan fakta yang terkumpul dapat memberikan informasi umum tentang aktifitas sosial ninik mamak.
Jadi, sebagai sumbang saran, program ba baliak ka nagari diharapkan tidak hanya mejadi program (baca;proyek) besar otonomi daerah, tetapi lebih jauh dapat menjadi gerakan sosial dan kultural (social/cultural movement). (16/8/2007)
Wallahu A’lam
Tahun Baru, Identitas Baru
Oleh : Muhammad Nasir
Mantan Redaktur Tabloid Suara Kampus
IAIAN Imam Bonjol Padang
Cita-cita rakyat tidak jauh-jauh dari cita-cita pemimpinnya, begitu tulis almarhum Mahbub Djunaidi, kolumnis kondang yang pernah lahir di negeri ini. Artinya kira-kira begini; Jika pemimpin menginginkan uang, punya handphone terbaru, rumah, mobil mewah dan sebagainya, rakyat mungkin juga begitu. Rasanya tidak ada yang berbeda dari rakyat dan pemimpin. Persoalan berpikir, rakyat juga dipusingkan tujuh lingkar obat nyamuk memikirkan dapur hingga kembali lagi ke dapurnya. Bekerja keras apalagi. Tidak hanya pemimpin. Rakyat juga begitu. Apa kurang keras bantingan tulang rakyat untuk mendapatkan uang untuk hari itu juga dan untuk dimakan hari itu juga?
Yang jadi masalah sekarang…, adakah kewajiban rakyat untuk meniru pemimpinnya? Atau malah sebaliknya, adakah kewajiban pemimpin meniru rakyatnya?
Dalam dunia persilatan dikenal satu kumpulan orang-orang yang terdiri dari pengemis. Yang mengepalakantori, kira-kira tidak jauh lebih baik dari mereka. Pengemis. Tampilan sang kepala pengemis ?. tentu saja sama dengan anggotanya. Penuh tambalan, dekil dan bau. Mungkin lebih bau. Soalnya yang diangkat jadi kepala adalah orang yang paling pintar ngemis, paling nestapa potongannya, paling jelek bajunya dan paling bau tubuhnya. Nah…hebatnya mereka punya identitas. Tongkat, batok kelapa atau kaleng rombeng serta baju penuh tambalan. Bila bertemu di jalan dan ada orang yang bertanya, jawaban orang akan relative sama. Siapa dia ?. Pengemis!
Sekarang, kondisi di atas rasanya masih relevan. Persoalannya cuma ketidak samaan identitas antara pemimpin dan rakyat. Ekstreemnya identitas itu nyaris tidak ada. Kalau tidak salah mata memandang, beda pemimpin dan rakyat itu sejauh Jakarta – Amerika bila ditempuh dengan jalan kaki. Perbedaan itu tidak muncul bukan karena baju yang dijual di Indonesia itu beraneka ragam. Misalnya baju Itali, Perancis atau Bandung. Atau disebabkan rakyat itu “ada tampang” jadi gembel, dan pemimpin itu ada “takah” untuk jadi raja. Sehingga kalau rakyat disandingkan dengan pemimpin akan terlihat bedanya. Minimal dari kilat kening dan minyak rambutnya, atau kilat sepatunya.
Kembali ke identitas. Jika dibuat profil orang Indonesia, manakah yang laku di jual ke penyandang dana?. Misalnya, jika ada sebuah LSM membuat profil orang Indonesia yang sedang “sakit”, manakah yang layak disehatkan (diberdayakan) dalam program community development?. Rakyat dulu atau pemimpinnyakah?. Ujar-ujar orang bijak menyatakan “ kalau pemimpinnya kencing berdiri, bagaimana rakyatnya?. Atau “kalau rakyat kencing berdiri, bagaimana cara kencing pemimpinnya?”. Nah, mengenai mana yang harus diberdayakan lebih dahulu, jawabannya mungkin sama sebangun dan sama sisi dengan pertanyaan “mana yang dulu ayam dari telur?”.
Mengingat dan menimbang perbedaan yang mencolok antara rakyat dan pemimpin itu, sepertinya perlu disusun identitas baru bagi orang Indonesia. Soalnya sulit juga merumuskan orang Indonesia jika masih ada multi sigi dan sebutan untuk orang Indonesia. Ada rakyat, ada pemimpin, ada teroris dan sebagainya.
LSM yang bergiat dalam program good governance mengusulkan agar pemerintah yang pertama harus diberdayakan. Segenap aparatur pemerintah harus dibekali ketrampilan mengenai tata cara mengatur pemerintah yang baik, dan tata cara mengelola asset dan potensi daerah dengan baik, atau bagaimana cara mengambil keputusan yang baik agar rakyat tidak merasa “nggak dianggap”. Semuanya bertujuan agar layanan (public service) lancar ibarat air terjun.
Begitupun LSM yang bergiat dibidang pendampingan masyarakat (community assistances) atau pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Mereka mengusulkan agar rakyat yang harus diberdayakan lebih dahulu. Karena sokogoru pembangunan itu memang rakyat, kata pegiat LSM. Semua harus didasari oleh kehendak rakyat. Bottom Up, istilah kerennya. Tidak heran jika dalam usulan ini ikut tenar istilah partisipatif (baca: bukan mobilisasi) keberpihakan dan sebagainya. Tujuannya tidak lain agar rakyat punya identitas.
Asal tahu saja, “usulan” yang dimaksud oleh LSM yang main “di atas” (pemerintahan) dan yang main “di bawah” (rakyat) adalah “proposal”. Nah. Siapakah yang mau membiayai program memperbaiki identitas orang Indonesia ini ?. Moralis atau kapitalis?
Tetapi persoalan tidak harus selesai sampai di sini. Tidak cukup menunggu kucuran dana perbaikan identitas. Kedalampun harus ada kesadaran bersama bahwa “orang kita”, baik rakyat dan pemimpin itu harus sama-sama belajar. Kalau bisa dikenakan wajib belajar. Misalnya belajar akur kepada kehendak bersama. Rasanya kehendak bersama “orang kita” saat ini adalah bagaimana bisa merdeka dari rasa lapar dan aman dari godaan dan ancaman.
Bagaimana mungkin bisa terwujud identitas baru jika salah satu pihak bertepuk sebelah tangan? Kata pemimpin rakyat harus ikut dan patuh kepada kehendak pemimpin. Kata rakyat, pemimpin yang harus ikut rakyat, karena rasanya dari dulu permintaan rakyat tidak banyak, Cuma minta kesejahteraan. Jika rakyat ikut pemimpin konsekwensinya adalah kesejahteraan rakyat minimal beda tipis dengan kesejahteraan pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin ikut rakyat, maka siap-siaplah jadi rakyat, bergabung dengan penderitaan rakyat. Setelah itu kita buat Gerakan Rakyat Miskin untuk Kesejahteraan. Siapa yang memimpin? Ya, pemimpin itu tadi!. Dengan demikian pemimpin tidak kehilangan roh kepemimpinannya. Begitulah kira-kira! ***
Padang, Januari 2006
Mantan Redaktur Tabloid Suara Kampus
IAIAN Imam Bonjol Padang
Cita-cita rakyat tidak jauh-jauh dari cita-cita pemimpinnya, begitu tulis almarhum Mahbub Djunaidi, kolumnis kondang yang pernah lahir di negeri ini. Artinya kira-kira begini; Jika pemimpin menginginkan uang, punya handphone terbaru, rumah, mobil mewah dan sebagainya, rakyat mungkin juga begitu. Rasanya tidak ada yang berbeda dari rakyat dan pemimpin. Persoalan berpikir, rakyat juga dipusingkan tujuh lingkar obat nyamuk memikirkan dapur hingga kembali lagi ke dapurnya. Bekerja keras apalagi. Tidak hanya pemimpin. Rakyat juga begitu. Apa kurang keras bantingan tulang rakyat untuk mendapatkan uang untuk hari itu juga dan untuk dimakan hari itu juga?
Yang jadi masalah sekarang…, adakah kewajiban rakyat untuk meniru pemimpinnya? Atau malah sebaliknya, adakah kewajiban pemimpin meniru rakyatnya?
Dalam dunia persilatan dikenal satu kumpulan orang-orang yang terdiri dari pengemis. Yang mengepalakantori, kira-kira tidak jauh lebih baik dari mereka. Pengemis. Tampilan sang kepala pengemis ?. tentu saja sama dengan anggotanya. Penuh tambalan, dekil dan bau. Mungkin lebih bau. Soalnya yang diangkat jadi kepala adalah orang yang paling pintar ngemis, paling nestapa potongannya, paling jelek bajunya dan paling bau tubuhnya. Nah…hebatnya mereka punya identitas. Tongkat, batok kelapa atau kaleng rombeng serta baju penuh tambalan. Bila bertemu di jalan dan ada orang yang bertanya, jawaban orang akan relative sama. Siapa dia ?. Pengemis!
Sekarang, kondisi di atas rasanya masih relevan. Persoalannya cuma ketidak samaan identitas antara pemimpin dan rakyat. Ekstreemnya identitas itu nyaris tidak ada. Kalau tidak salah mata memandang, beda pemimpin dan rakyat itu sejauh Jakarta – Amerika bila ditempuh dengan jalan kaki. Perbedaan itu tidak muncul bukan karena baju yang dijual di Indonesia itu beraneka ragam. Misalnya baju Itali, Perancis atau Bandung. Atau disebabkan rakyat itu “ada tampang” jadi gembel, dan pemimpin itu ada “takah” untuk jadi raja. Sehingga kalau rakyat disandingkan dengan pemimpin akan terlihat bedanya. Minimal dari kilat kening dan minyak rambutnya, atau kilat sepatunya.
Kembali ke identitas. Jika dibuat profil orang Indonesia, manakah yang laku di jual ke penyandang dana?. Misalnya, jika ada sebuah LSM membuat profil orang Indonesia yang sedang “sakit”, manakah yang layak disehatkan (diberdayakan) dalam program community development?. Rakyat dulu atau pemimpinnyakah?. Ujar-ujar orang bijak menyatakan “ kalau pemimpinnya kencing berdiri, bagaimana rakyatnya?. Atau “kalau rakyat kencing berdiri, bagaimana cara kencing pemimpinnya?”. Nah, mengenai mana yang harus diberdayakan lebih dahulu, jawabannya mungkin sama sebangun dan sama sisi dengan pertanyaan “mana yang dulu ayam dari telur?”.
Mengingat dan menimbang perbedaan yang mencolok antara rakyat dan pemimpin itu, sepertinya perlu disusun identitas baru bagi orang Indonesia. Soalnya sulit juga merumuskan orang Indonesia jika masih ada multi sigi dan sebutan untuk orang Indonesia. Ada rakyat, ada pemimpin, ada teroris dan sebagainya.
LSM yang bergiat dalam program good governance mengusulkan agar pemerintah yang pertama harus diberdayakan. Segenap aparatur pemerintah harus dibekali ketrampilan mengenai tata cara mengatur pemerintah yang baik, dan tata cara mengelola asset dan potensi daerah dengan baik, atau bagaimana cara mengambil keputusan yang baik agar rakyat tidak merasa “nggak dianggap”. Semuanya bertujuan agar layanan (public service) lancar ibarat air terjun.
Begitupun LSM yang bergiat dibidang pendampingan masyarakat (community assistances) atau pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Mereka mengusulkan agar rakyat yang harus diberdayakan lebih dahulu. Karena sokogoru pembangunan itu memang rakyat, kata pegiat LSM. Semua harus didasari oleh kehendak rakyat. Bottom Up, istilah kerennya. Tidak heran jika dalam usulan ini ikut tenar istilah partisipatif (baca: bukan mobilisasi) keberpihakan dan sebagainya. Tujuannya tidak lain agar rakyat punya identitas.
Asal tahu saja, “usulan” yang dimaksud oleh LSM yang main “di atas” (pemerintahan) dan yang main “di bawah” (rakyat) adalah “proposal”. Nah. Siapakah yang mau membiayai program memperbaiki identitas orang Indonesia ini ?. Moralis atau kapitalis?
Tetapi persoalan tidak harus selesai sampai di sini. Tidak cukup menunggu kucuran dana perbaikan identitas. Kedalampun harus ada kesadaran bersama bahwa “orang kita”, baik rakyat dan pemimpin itu harus sama-sama belajar. Kalau bisa dikenakan wajib belajar. Misalnya belajar akur kepada kehendak bersama. Rasanya kehendak bersama “orang kita” saat ini adalah bagaimana bisa merdeka dari rasa lapar dan aman dari godaan dan ancaman.
Bagaimana mungkin bisa terwujud identitas baru jika salah satu pihak bertepuk sebelah tangan? Kata pemimpin rakyat harus ikut dan patuh kepada kehendak pemimpin. Kata rakyat, pemimpin yang harus ikut rakyat, karena rasanya dari dulu permintaan rakyat tidak banyak, Cuma minta kesejahteraan. Jika rakyat ikut pemimpin konsekwensinya adalah kesejahteraan rakyat minimal beda tipis dengan kesejahteraan pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin ikut rakyat, maka siap-siaplah jadi rakyat, bergabung dengan penderitaan rakyat. Setelah itu kita buat Gerakan Rakyat Miskin untuk Kesejahteraan. Siapa yang memimpin? Ya, pemimpin itu tadi!. Dengan demikian pemimpin tidak kehilangan roh kepemimpinannya. Begitulah kira-kira! ***
Padang, Januari 2006
Perantau Jangan Tersinggung
Oleh : Muhammad Nasir
Sekretaris Presidium
Gerakan Peduli Tarbiyah Islamiyah Sumbar
Tentang Partisipasi Perantau
Adalah naïf jika ada dikotomi antara urang rantau dengan urang kampuang. Apapun alasannya, kedua terma ini hanya menunjukkan domisili etnis Minangkabau. Namun lebih naïf lagi bila ternyata ada rang rantau yang tersinggung perihal partisipasi mereka dalam pilkadal. Apalagi yang sempat panas dan merasa keinginannya untuk memimpin kampung halaman terhalangi.
Terma rang rantau dan rang kampuang dalam undang-undang pilkada memang tidak pernah disinggung sedikitpun. Istilah ini kalau tidak salah sama ngetren-nya dengan istilah Putra Asli Daerah (PAD) dengan pendatang pada pilkada sebelum bertajuk pilkada langsung ini. Tren ini sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap hasil perolehan suara bakal calon kepala daerah, baik yang merantau ataupun yang tinggal di kampung halaman. Namun yang jadi persoalan adalah partisipasi seperti apa yang lebih bermutu yang perlu diberikan oleh perantau Minang yang berniat menjadi kepala daerah di berbagai jenjang struktur pemerintahan di Sumatera Barat ini?
Rakyat Sumatera Barat yang jadi konstituen diharapkan berpartisipasi dalam pilkada dengan tidak mengabaikan hak pilihnya. Sementara Perantau menjadi partisipan dalam pilkada 2005 ini dengan mendaftarkan diri jadi bakal calon/calon. Disinilah dituntut kearifan dari para perantau untuk memutuskan partisipasi seperti apa yang lebih strategis untuk diambil dalam alek politik ini. Dan isu rang rantau dan rang kampuang yang marak akhir-akhir ini tidak lebih hanya sumbang saran untuk perantau. Apalagi menganggap isu ini hanya permainan rang kampuang yang tidak rela posisinya sebagai tungganai diambil alih oleh perantau. Kalaupun ada itu hanya para penunggang yang manembak di ateh kudo dan mengambil manfaat dari isu ini.
Peran strategis rang rantau
Mengenai peran strategis rang rantau ini, sebagian kalangan tidak ingin perantau Minang yang telah sukses mengikat diri dengan birokrasi pemerintahan yang memperkecil ruang geraknya membangun kampung. Apalagi moment pilkadal ini meniscayakan munculnya pengelompokan yang tentu saja mempersempit pengaruh perantau pada kalangan pemilihnya saja.
Effek pilkadal diprediksi akan menghilangkan status kepemilikan bersama masyarakat Minang terhadap perantau menjadi milik sebagian pendukungnya saja. Jika ini terjadi, alangkah ruginya . Maka sebelum terlanjur sangat diharapkan para perantau Minang di manapun berada, apapun jabatan dan posisinya berkumpul merumuskan bentuk peran strategis yang perlu diambil dalam waktu yang secepatnya. Rasanya lebih mulia dari sekedar berkumpul untuk memutuskan dukungan terhadap satu atau beberapa calon kepala daerah.
Paling tidak ada beberapa tawaran yang perlu dipikirkan perantau. Diantaranya, pertama ; bagaimana segenap rang rantau mampu membuat kontrak sosial dengan para calon kepala daerah yang sudah sekian lama bergumul dengan dinamika daerah di kampung halaman. Kalau bisa diklasifikasi, tokoh yang berkiprah di kampung halaman bisa saja birokrat pemerintahan, akademisi, atau petinggi organisasi massa (ormas) serta LSM di Sumatera Barat.
Kontrak sosial ini penting dilakukan mengingat bahwa kampung halaman menaruh harapan besar terhadap potensi yang dimilik di perantauan. Dan potensi ini alangkah baiknya disumbangkan untuk dikelola secara baik oleh tokoh Minang di Sumatera Barat ini. Pemilik Ranah Minang ini adalah orang Minangkabau, baik di kampung halaman atau di perantauan. Tidak ada yang utama dan tidak ada yang dikucilkan. Ibarat sebuah keluarga, keluaraga inti Minangkabau (nuclear family) adalah mereka yang tinggal di kampung dan di rantau. Jadi sebagai sebuah keluarga rang rantau perlu dilibatkan dalam proses kontrak sosial ini.
Kedua; daya tawar (bargaining position) rang rantau sangat strategis.Saat ini salah satu potensi rang rantau yang terhitung besar adalah kedermawanan. Alangkah baiknya potensi yang lazim disebut sebagai philantrophy ini dikembagkan dengan baik sehingga sumbangan perantau terlihat nyata dan berasas manfaat tinggi. Dengan posisi seperti ini, perantau dapat hidup lebih terhormat dengan sumbangan nyata mereka terhadap masyarakat. Pengelolaannya serahkan pada calon kepala daerah yang terpilih nantinya.
Ketiga; mengingat besarnya cost pilkada yang konon satu orang calon mesti menyediakan kurang lebih dua milyaran, apa tidak mubazir digunakan untuk kebutuhan sesaat (pilkada) ini saja?. Jika dikumpulkan biaya yang harus dikeluarkan untuk alek politik ini, rasanya bisa membiayai program pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang sustainable. Misalnya membentuk konsorsium yang berfungsi sebagai lembaga donor untuk pencerdasan dan pencerahan anak kemenakan di kampung halaman. Perlu dicatat ada banyak lembaga sosial atau masyarakat yang perlu diberdayakan. Dengan tiga dasar pemikiran ini, para perantau akan lebih bermanfaat untuk kampung halaman.
Keempat; potensi kepemimpinan perantau lebih baik digunakan untuk berjuang di perantauan. Ke kampuang halaman cukum melakukan supervise, monitoring dan evaluasi sesuai dengan kapasitasnya. Dasar pemikiran ini tidak hanya moment pilkadal ini saja. Tetapi diniatkan untuk visi jangka panjang perantau. Jadi jangan tersinggung.
Oke, benar tidak ada halangan untuk para perantau secara personal bertarung menjadi pemimpin di kampung halaman. Undang-undang serta peraturan tidak ada yang melarang.
Benar juga, ada pepatah karatau madang di hulu/babuah babungo balun/ marantau bujang dahulu/di rumah(kampung) baguno balun/. Pulanglah kalau merasa berguna untuk kampung dan jika pengabdian menjadi kepala daerah lebih strategis.
Yang jelas, sebagaimana Nanda Oetama (Singgalang,18/03/05) berpendapat, rugi bila perantau pulang kampung, Bang Jeffrie Geovannie (Haluan,18/03/05) semestinya tidak perlu menyatakan, orang yang tinggal di kampung belum tentu berguna di kampung halaman.
Tidak Bang! Urang Rantau dan Urang Kampung sama baiknya. Semoga saja saja nafsu yang biasanya jarang berteman dengan niat baik, tidak berdampak buruk.
Wallahu a’lam bi al shawab
Padang, 18 Maret 2005
Mingguan Garda Minang, Minggu ketiga April 2005
Sekretaris Presidium
Gerakan Peduli Tarbiyah Islamiyah Sumbar
Tentang Partisipasi Perantau
Adalah naïf jika ada dikotomi antara urang rantau dengan urang kampuang. Apapun alasannya, kedua terma ini hanya menunjukkan domisili etnis Minangkabau. Namun lebih naïf lagi bila ternyata ada rang rantau yang tersinggung perihal partisipasi mereka dalam pilkadal. Apalagi yang sempat panas dan merasa keinginannya untuk memimpin kampung halaman terhalangi.
Terma rang rantau dan rang kampuang dalam undang-undang pilkada memang tidak pernah disinggung sedikitpun. Istilah ini kalau tidak salah sama ngetren-nya dengan istilah Putra Asli Daerah (PAD) dengan pendatang pada pilkada sebelum bertajuk pilkada langsung ini. Tren ini sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap hasil perolehan suara bakal calon kepala daerah, baik yang merantau ataupun yang tinggal di kampung halaman. Namun yang jadi persoalan adalah partisipasi seperti apa yang lebih bermutu yang perlu diberikan oleh perantau Minang yang berniat menjadi kepala daerah di berbagai jenjang struktur pemerintahan di Sumatera Barat ini?
Rakyat Sumatera Barat yang jadi konstituen diharapkan berpartisipasi dalam pilkada dengan tidak mengabaikan hak pilihnya. Sementara Perantau menjadi partisipan dalam pilkada 2005 ini dengan mendaftarkan diri jadi bakal calon/calon. Disinilah dituntut kearifan dari para perantau untuk memutuskan partisipasi seperti apa yang lebih strategis untuk diambil dalam alek politik ini. Dan isu rang rantau dan rang kampuang yang marak akhir-akhir ini tidak lebih hanya sumbang saran untuk perantau. Apalagi menganggap isu ini hanya permainan rang kampuang yang tidak rela posisinya sebagai tungganai diambil alih oleh perantau. Kalaupun ada itu hanya para penunggang yang manembak di ateh kudo dan mengambil manfaat dari isu ini.
Peran strategis rang rantau
Mengenai peran strategis rang rantau ini, sebagian kalangan tidak ingin perantau Minang yang telah sukses mengikat diri dengan birokrasi pemerintahan yang memperkecil ruang geraknya membangun kampung. Apalagi moment pilkadal ini meniscayakan munculnya pengelompokan yang tentu saja mempersempit pengaruh perantau pada kalangan pemilihnya saja.
Effek pilkadal diprediksi akan menghilangkan status kepemilikan bersama masyarakat Minang terhadap perantau menjadi milik sebagian pendukungnya saja. Jika ini terjadi, alangkah ruginya . Maka sebelum terlanjur sangat diharapkan para perantau Minang di manapun berada, apapun jabatan dan posisinya berkumpul merumuskan bentuk peran strategis yang perlu diambil dalam waktu yang secepatnya. Rasanya lebih mulia dari sekedar berkumpul untuk memutuskan dukungan terhadap satu atau beberapa calon kepala daerah.
Paling tidak ada beberapa tawaran yang perlu dipikirkan perantau. Diantaranya, pertama ; bagaimana segenap rang rantau mampu membuat kontrak sosial dengan para calon kepala daerah yang sudah sekian lama bergumul dengan dinamika daerah di kampung halaman. Kalau bisa diklasifikasi, tokoh yang berkiprah di kampung halaman bisa saja birokrat pemerintahan, akademisi, atau petinggi organisasi massa (ormas) serta LSM di Sumatera Barat.
Kontrak sosial ini penting dilakukan mengingat bahwa kampung halaman menaruh harapan besar terhadap potensi yang dimilik di perantauan. Dan potensi ini alangkah baiknya disumbangkan untuk dikelola secara baik oleh tokoh Minang di Sumatera Barat ini. Pemilik Ranah Minang ini adalah orang Minangkabau, baik di kampung halaman atau di perantauan. Tidak ada yang utama dan tidak ada yang dikucilkan. Ibarat sebuah keluarga, keluaraga inti Minangkabau (nuclear family) adalah mereka yang tinggal di kampung dan di rantau. Jadi sebagai sebuah keluarga rang rantau perlu dilibatkan dalam proses kontrak sosial ini.
Kedua; daya tawar (bargaining position) rang rantau sangat strategis.Saat ini salah satu potensi rang rantau yang terhitung besar adalah kedermawanan. Alangkah baiknya potensi yang lazim disebut sebagai philantrophy ini dikembagkan dengan baik sehingga sumbangan perantau terlihat nyata dan berasas manfaat tinggi. Dengan posisi seperti ini, perantau dapat hidup lebih terhormat dengan sumbangan nyata mereka terhadap masyarakat. Pengelolaannya serahkan pada calon kepala daerah yang terpilih nantinya.
Ketiga; mengingat besarnya cost pilkada yang konon satu orang calon mesti menyediakan kurang lebih dua milyaran, apa tidak mubazir digunakan untuk kebutuhan sesaat (pilkada) ini saja?. Jika dikumpulkan biaya yang harus dikeluarkan untuk alek politik ini, rasanya bisa membiayai program pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang sustainable. Misalnya membentuk konsorsium yang berfungsi sebagai lembaga donor untuk pencerdasan dan pencerahan anak kemenakan di kampung halaman. Perlu dicatat ada banyak lembaga sosial atau masyarakat yang perlu diberdayakan. Dengan tiga dasar pemikiran ini, para perantau akan lebih bermanfaat untuk kampung halaman.
Keempat; potensi kepemimpinan perantau lebih baik digunakan untuk berjuang di perantauan. Ke kampuang halaman cukum melakukan supervise, monitoring dan evaluasi sesuai dengan kapasitasnya. Dasar pemikiran ini tidak hanya moment pilkadal ini saja. Tetapi diniatkan untuk visi jangka panjang perantau. Jadi jangan tersinggung.
Oke, benar tidak ada halangan untuk para perantau secara personal bertarung menjadi pemimpin di kampung halaman. Undang-undang serta peraturan tidak ada yang melarang.
Benar juga, ada pepatah karatau madang di hulu/babuah babungo balun/ marantau bujang dahulu/di rumah(kampung) baguno balun/. Pulanglah kalau merasa berguna untuk kampung dan jika pengabdian menjadi kepala daerah lebih strategis.
Yang jelas, sebagaimana Nanda Oetama (Singgalang,18/03/05) berpendapat, rugi bila perantau pulang kampung, Bang Jeffrie Geovannie (Haluan,18/03/05) semestinya tidak perlu menyatakan, orang yang tinggal di kampung belum tentu berguna di kampung halaman.
Tidak Bang! Urang Rantau dan Urang Kampung sama baiknya. Semoga saja saja nafsu yang biasanya jarang berteman dengan niat baik, tidak berdampak buruk.
Wallahu a’lam bi al shawab
Padang, 18 Maret 2005
Mingguan Garda Minang, Minggu ketiga April 2005
Kembali ke Kubangan
Oleh : Muhammad Nasir
Masyarakat biasa tinggal di Lubuk Lintah
Saruan PILKADAL ternyata cukup mangkus memanggil si anak hilang ataupun bujang rantau Minangkabau. Bahkan mereka yang telah ikhlas dilepas masyarakat untuk bertarung mempertaruhkan tuah ranah Minang pun merasa perlu kembali ke kubangan. Maaf, kan ada pepatah, setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya tetap ke kubangan. Ada apa ? apakah ini panggilan nurani atau panggilan masyarakat ?
Penulis pernah berbincang-bincang dengan beberapa kelompok masyarakat badarai berkaitan alek nagari bertajuk pilkadal ini. Berikut sarinya ;
”Kamu kenal dengan calon ini ? tanya seorang bapak pada penulis. “ Ooh, ini. rasanya saya pernah dengar aktivitasnya sebagai pengusaha di Pekanbaru (maaf,Kota ini mewakili sebuatan rantau rang Minang lainnya) jawab penulis hati-hati. Moga-moga tidak salah. Kenapa Pak ?, tanya penulis sekenanya. “Anu, soalnya, kenapa pada moment –moment politis saja mereka pulang. Sedangkan pada saat anak kamanakannya baralek saja jarang pulang, alasannya sibuk terus. Ha..ha..haa…”, Bapak itu tertawa selepasnya.
Komentar seperti di atas bukan sekali dua terdengar. Hampir semua majlis yang penulis hadiri, selalu bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang mau memimpin Kadaprov, kadakab atau kadako ini ? Dan ini tentunya tugas yang bersangkutan untuk memperkenalkan dirinya atau tidak memungkinkan mintalah tim kampanye atau tim sukses mensosialisasikan. Begitu adat memenangkan pemilihan. Namun menariknya komentar teman dialog penulis tadi adalah kenapa pulangnya selalu pada moment pemilihan ?
Paling tidak ada empat alasan terpenting bagi para balon yang pulang kandang ini. Pertama ; ada semacam kepedulian dari perantau ini terhadap kondisi kampung halaman yang mereka anggap perlu perbaikan. Dan mereka (perantau) punya kompetensi untuk itu. Untuk alasan ini, bisa dipahami dan diancungkan jempol untuk sense of motherland mereka. Mereka untuk sementara bisa dianggap orang yang punya visi, mengingat mereka punya keinginan pulang kampung. Keinginan ini tentu didasari pemahaman terhadap kondisi kampung mereka yang dianggap perlu dikembangkan. Ini juga berarti mereka punya perhatian terhadap kampung halaman.
Kedua ; ada seruan dari anak kemenakan di kampung untuk menjadi pucuk pimpinan nagari (baca : gubernur,bupati atau walikota). Alasan ini cukup bagus untuk disimak. Dalam konteks demokrasi, bahwa pemimpin itu dikehendaki dan dipilih oleh rakyat, sudah dipenuhi kriterianya. Pegiat LSM atau ilmuan politik mengistilahkan dengan politik partispatif. Artinya dalam menentukan calon pemimpin, partisipasi rakyat sudah terkedepankan. Untuk alasan ini, anak kemenakan bisa bermacam-macam wujudnya. Bisa saja mereka terhimpun dalam satu persukuan, satu nagari,kota atau kabupaten. Wujud lainnya adalah ormas seperti Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah,Perti, atau NU. Yang paling sering adalah Partai Politik.
Alasan ketiga; Ingin menambah curriculum vitae. Lumayan, perbendaharaan gelar pangkat dan jabatan bisa bertambah jika natinya nasib baik berpihak kepadanya dan terpilih menjadi kepala daerah. Untuk alasan ini rasanya perlu diwaspadai. Bedanya sangat tipis dengan alasan pertama, meskipun dua alasan ini berangkat dari keinginan pribadi. Jika yang pertama karena visi, yang kedua mungkin karena nafsu.
Untuk alasan yang berikut, harus diungkapkan dengan hati-hati, sebab ini menyangkut muru’ah para konstituen rang rantau ini. Yaitu Keempat : urang rantau tersebut tidak kuasa bertarung di tingkat pusat (perantauan) (?). Argumen untuk pernyataan ini adalah bahwa mereka yang telah didaulat untuk menjadi tokoh Minang di perantauan tidak semestinya mencederai amanat masyarakat Minang. Bukankah mereka didaulat untuk memperjuangkan Minangkabau di perantauan ? Bukankan sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk memilih mereka sebagai wakil Sumbar di pusat kekuasaan? Misalnya jadi anggota DRR RI, DPD atau jabatan lain yang mengatasnamakan dan atau mewakili masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat). Maka yang menjadi kewajiban mereka di perantauan adalah memperjuangkan aspirasi daerah yang sempat dikenal dengan jama’ah koruptor-nya . Kalau argumen ini ternyata benar, maka perlu dipertimbangkan untuk mem PAW-kan mereka, dengan kata lain ganti dengan yang mampu.
Lalu, apa persoalannya ?
Sebenarnya tidak ada yang salah jika Urang Rantau pulang kampung untuk menjadi Kepala daerah. Bukankah pulang kampung itu dianjurkan untuk melihat situasi dan kondisi kampung halaman. Hanya saja ada yang perlu jadi catatan bagi perantau yang pulang kampung ini.
Minangkabau beberapa tahun belakangan kekurangan tokoh yang berlabel tokoh nasional. Saat ini Indonesia baru mengenal Harun Zain, Azwar Anas, Emil Salim, Syamsu Djalal, Djamari Chaniago atau yang seangkatan dengan mereka. Perlu diingat tokoh-tokoh yang baru disebutkan ini sudah memasuki usia senja. Terakhir muncul tokoh-tokoh muda yang mulai berkuku di tingkat nasional. Sebut saja Patrialis Akbar, Irwan Prayitno, Irman Gusman, terakhir ada Jefrie Geovanni, M. Kapitra Ampera dan sebagainya. Mereka yang muda-muda ini diharapkan mampu melanjutkan estafet kepemimpinan masyarakat Minangkabau di tingkat nasional. Jangan karena kepulangan mereka kaderasi kepemimpinan etnik Minangkabau terputus.
Meski ada beberapa alasan yang muncul membela situasi ini, misalnya bahwa ketokohan mereka (yang muda/perantau) ini perlu diuji dengan memimpin daerah sendiri, namun seberapa kuat ujian ini berpengaruh terhadap kepemimpinan mereka ?
Tulisan ini memang opini dari sebagian kecil masyarakat. Tujuannya adalah agar pemimpin Minangkabau atau Sumatera Barat yang sudah berkiprah ditingkat nasional agar terus berkarir dan bertarung mempertaruhkan nasib masyarakat di kampung halaman. Tidak harus jadi gubernur, bupati atau walikota. Atau , jangan-jangan pengaruh ketokohan perantau belum kuat untuk membangun kampung halaman sebelum jadi gubernur, bupati atau walikota ?
Kampus M.Yunus, 15 Maret 2005
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis, 17 Maret 2005
Masyarakat biasa tinggal di Lubuk Lintah
Saruan PILKADAL ternyata cukup mangkus memanggil si anak hilang ataupun bujang rantau Minangkabau. Bahkan mereka yang telah ikhlas dilepas masyarakat untuk bertarung mempertaruhkan tuah ranah Minang pun merasa perlu kembali ke kubangan. Maaf, kan ada pepatah, setinggi-tinggi terbang bangau, kembalinya tetap ke kubangan. Ada apa ? apakah ini panggilan nurani atau panggilan masyarakat ?
Penulis pernah berbincang-bincang dengan beberapa kelompok masyarakat badarai berkaitan alek nagari bertajuk pilkadal ini. Berikut sarinya ;
”Kamu kenal dengan calon ini ? tanya seorang bapak pada penulis. “ Ooh, ini. rasanya saya pernah dengar aktivitasnya sebagai pengusaha di Pekanbaru (maaf,Kota ini mewakili sebuatan rantau rang Minang lainnya) jawab penulis hati-hati. Moga-moga tidak salah. Kenapa Pak ?, tanya penulis sekenanya. “Anu, soalnya, kenapa pada moment –moment politis saja mereka pulang. Sedangkan pada saat anak kamanakannya baralek saja jarang pulang, alasannya sibuk terus. Ha..ha..haa…”, Bapak itu tertawa selepasnya.
Komentar seperti di atas bukan sekali dua terdengar. Hampir semua majlis yang penulis hadiri, selalu bertanya-tanya, siapa gerangan orang yang mau memimpin Kadaprov, kadakab atau kadako ini ? Dan ini tentunya tugas yang bersangkutan untuk memperkenalkan dirinya atau tidak memungkinkan mintalah tim kampanye atau tim sukses mensosialisasikan. Begitu adat memenangkan pemilihan. Namun menariknya komentar teman dialog penulis tadi adalah kenapa pulangnya selalu pada moment pemilihan ?
Paling tidak ada empat alasan terpenting bagi para balon yang pulang kandang ini. Pertama ; ada semacam kepedulian dari perantau ini terhadap kondisi kampung halaman yang mereka anggap perlu perbaikan. Dan mereka (perantau) punya kompetensi untuk itu. Untuk alasan ini, bisa dipahami dan diancungkan jempol untuk sense of motherland mereka. Mereka untuk sementara bisa dianggap orang yang punya visi, mengingat mereka punya keinginan pulang kampung. Keinginan ini tentu didasari pemahaman terhadap kondisi kampung mereka yang dianggap perlu dikembangkan. Ini juga berarti mereka punya perhatian terhadap kampung halaman.
Kedua ; ada seruan dari anak kemenakan di kampung untuk menjadi pucuk pimpinan nagari (baca : gubernur,bupati atau walikota). Alasan ini cukup bagus untuk disimak. Dalam konteks demokrasi, bahwa pemimpin itu dikehendaki dan dipilih oleh rakyat, sudah dipenuhi kriterianya. Pegiat LSM atau ilmuan politik mengistilahkan dengan politik partispatif. Artinya dalam menentukan calon pemimpin, partisipasi rakyat sudah terkedepankan. Untuk alasan ini, anak kemenakan bisa bermacam-macam wujudnya. Bisa saja mereka terhimpun dalam satu persukuan, satu nagari,kota atau kabupaten. Wujud lainnya adalah ormas seperti Muhammadiyah, Tarbiyah Islamiyah,Perti, atau NU. Yang paling sering adalah Partai Politik.
Alasan ketiga; Ingin menambah curriculum vitae. Lumayan, perbendaharaan gelar pangkat dan jabatan bisa bertambah jika natinya nasib baik berpihak kepadanya dan terpilih menjadi kepala daerah. Untuk alasan ini rasanya perlu diwaspadai. Bedanya sangat tipis dengan alasan pertama, meskipun dua alasan ini berangkat dari keinginan pribadi. Jika yang pertama karena visi, yang kedua mungkin karena nafsu.
Untuk alasan yang berikut, harus diungkapkan dengan hati-hati, sebab ini menyangkut muru’ah para konstituen rang rantau ini. Yaitu Keempat : urang rantau tersebut tidak kuasa bertarung di tingkat pusat (perantauan) (?). Argumen untuk pernyataan ini adalah bahwa mereka yang telah didaulat untuk menjadi tokoh Minang di perantauan tidak semestinya mencederai amanat masyarakat Minang. Bukankah mereka didaulat untuk memperjuangkan Minangkabau di perantauan ? Bukankan sudah banyak biaya yang dikeluarkan untuk memilih mereka sebagai wakil Sumbar di pusat kekuasaan? Misalnya jadi anggota DRR RI, DPD atau jabatan lain yang mengatasnamakan dan atau mewakili masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat). Maka yang menjadi kewajiban mereka di perantauan adalah memperjuangkan aspirasi daerah yang sempat dikenal dengan jama’ah koruptor-nya . Kalau argumen ini ternyata benar, maka perlu dipertimbangkan untuk mem PAW-kan mereka, dengan kata lain ganti dengan yang mampu.
Lalu, apa persoalannya ?
Sebenarnya tidak ada yang salah jika Urang Rantau pulang kampung untuk menjadi Kepala daerah. Bukankah pulang kampung itu dianjurkan untuk melihat situasi dan kondisi kampung halaman. Hanya saja ada yang perlu jadi catatan bagi perantau yang pulang kampung ini.
Minangkabau beberapa tahun belakangan kekurangan tokoh yang berlabel tokoh nasional. Saat ini Indonesia baru mengenal Harun Zain, Azwar Anas, Emil Salim, Syamsu Djalal, Djamari Chaniago atau yang seangkatan dengan mereka. Perlu diingat tokoh-tokoh yang baru disebutkan ini sudah memasuki usia senja. Terakhir muncul tokoh-tokoh muda yang mulai berkuku di tingkat nasional. Sebut saja Patrialis Akbar, Irwan Prayitno, Irman Gusman, terakhir ada Jefrie Geovanni, M. Kapitra Ampera dan sebagainya. Mereka yang muda-muda ini diharapkan mampu melanjutkan estafet kepemimpinan masyarakat Minangkabau di tingkat nasional. Jangan karena kepulangan mereka kaderasi kepemimpinan etnik Minangkabau terputus.
Meski ada beberapa alasan yang muncul membela situasi ini, misalnya bahwa ketokohan mereka (yang muda/perantau) ini perlu diuji dengan memimpin daerah sendiri, namun seberapa kuat ujian ini berpengaruh terhadap kepemimpinan mereka ?
Tulisan ini memang opini dari sebagian kecil masyarakat. Tujuannya adalah agar pemimpin Minangkabau atau Sumatera Barat yang sudah berkiprah ditingkat nasional agar terus berkarir dan bertarung mempertaruhkan nasib masyarakat di kampung halaman. Tidak harus jadi gubernur, bupati atau walikota. Atau , jangan-jangan pengaruh ketokohan perantau belum kuat untuk membangun kampung halaman sebelum jadi gubernur, bupati atau walikota ?
Kampus M.Yunus, 15 Maret 2005
Dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, Kamis, 17 Maret 2005
Konflik dan Komitmen Politik Pemimpin Umat
Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Hampir menjadi kenyataan sejarah, bahwa setiap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan, umat Islam selalu muncul di panggung politik nasional dan menjadi topik pembicaraan. Kemunculan ini tidak lebih seperti panggung ketoprak (humor), dimana seluruh lakon mempresentasikan berbagai kalangan dan berbagai karakter.
Dalam seni panggung, menurut Emha Ainun Najib, setiap orang berupaya menampilkan seluruh kemampuannya, akting dan kekuatan karakternya. Termasuk busana, make up dan umbul-umbul yang dibawanya. Namun sayang, penonton tidak memandang seluruh aspek yang ditampilkan, meski sang aktor sudah secara total beraksi. Ada yang memandang busana aktor, ada yang menilai menor dan seksinya penampilan aktor-aktris, bahkan ada yang melihat kelap-kelip lampu panggung saja. Sementara pesan dan misi yang dibawa dalam pementasan sering dilupakan oleh penonton. Pertanyaannya, akankah hyperaktif umat Islam dalam panggung politik nasional ini senasib dengan penampilan ketoprak atau randai dan sejenisnya?. Siapakah yang menjadi dalang atau sutradaranya ?. Siapakah yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini?
Seandainya memang umat Islam bernasib sama dengan pementasan ketoprak atau pertunjukan lainnya, alangkah menyedihkan. Biasanya pertunjukan akan memberi kesempatan kepada sutradara untuk secara bebas mengotak atik peran aktor dan mengubah cerita menurut kemauannya dan tentu saja harus sesuai dengan selera pasar. Jika kejadiannya seperti ini, bukankan itu berarti menjadikan umat yang sedang beraksi diatas pentas politik itu komoditas politik belaka?
Serunya pementasan atau cerita pertunjukan akan sangat tergantung pada konflik yang muncul dalam cerita. Dihubungkan dengan panggung politik, bukan tidak mungkin umat Islam akan digiring kedalam konflik yang maha dahsyat agar cerita politiknya maha seru.
Ironisnya, dalam berapa scene cerita sedih umat Islam ada pemilu 2004 lalu, tokoh-tokoh umat Islam justru muncul sebagai pengibar isu dan penebar konflik. Misalnya, menduanya Gus Dur dalam menetukan capres dari PKB (NU?), apakah Kiyai Hasyim Muzadi atau Gus Sholah. Nahdhiyyin pasti bingung menetukan sikap. Secara kultural PKB dan NU hampir bisa disebut kembar identik. Apakah harus memilih KH Hasyim Muzadi yang Ketua PB NU atau Gus Sholah yang calon resmi PKB yang juga NU tulen sampai ke tulang sum-sum.
Dalam sequel yang lain, Amien Rais yang mantan orang nomor satu Muhammadiyah menyatakan bahwa PAN bukan partai orang Muhammadiyah, meski mayoritas orang Muhammadiyah memimpin PAN sampai ke level pimpinan terendah. Amien juga menyatakan bahwa PAN adalah partai terbuka karena asasnya nasionalis plus religius. Ironisnya, di beberapa wilayah yang mayoritas Muhammadiyah dan PAN menjadi pemenang Pemilu legislatif memunculkan isu bahwa caleg partai anu non muslim, jangan pilih. Apakah ini tidak jadi bumerang bagi umat Islam termasuk Muhammadiyah, karena di PAN juga ada anggota legislatif yang non muslim ?. Alangkah tidak bijaknya.
Pada bagian yang lain, tokoh-tokoh umat kembali memunculkan wacana boleh tidaknya pemimpin wanita (presiden, tentunya). Hal ini tentu menimbulkan preseden buruk bagi umat Islam. Pihak luar Islam menilai ini sebagai phobia umat Islam terhadap kepemimpinan Megawati, yang tidak mewakili ormas islam atau parpol Islam. Dan bagi pihak lain, wacana ini dianggap sebagai trik politik untuk menjegal Megawati. Lagi-lagi umat Islam menjadi sorotan.
Bagi pihak non muslim beberapa peristiwa di atas merupakan tontonan menarik yang harus disebarluaskan kemana-mana. Inilah model umat Islam. Kalau bisa pihak non muslim atau mungkin kaum yang berusaha membawa Indonesia ke paham sekuler berupaya memperbesar konflik ini dengan menambah komentar dan teriakan dari bawah panggung. Sesekali, jika memungkinkan penonton non muslim berusaha memprovokasi dengan naik ke panggung politik dengan harapan umat Islam yang sedang berada di atas panggung protes dan ramai-ramai berteriak, “Kita tidak ingin dipimpin oleh non muslim!”. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh non muslim agar konflik internal umat Islam ini berkepanjangan. Jika ini terus berlangsung, bisa saja umat Islam akan kehilangan wibawa. Umat Islam akan hanyut dalam konflik yang tidak jelas muaranya.
Konflik dan Peran Pemimpin Umat
Pemimpin umat kemungkinan besar mempunyai andil dalam mempertahankan konflik. Merujuk Fathi Yakan (1998) salah seorang aktivis muslim mensinyalir bahwa hubungan individu yang kurang baik antar pemimpin umat menyebabkan konflik antar jamaah yang dipimpinnya. Mungkin ada benarnya analisis Fathi Yakan tersebut. Terlepas apakah konflik tersebut masuk dalam skenario pemimpin umat, kacamata awam dapat melihat secara jelas ketidakakuran antar pemimpin umat Islam. Misalnya, perbedaan pendapat antara Amien dan Gus Dur dipandang sebagai perbedaan Muhammadiyah dan NU.
Selanjutnya perbedaan ini diwarisi oleh pengikut kedua tokoh ini di organisasi masing-masing. Yang muncul kemudian adalah fanatisme kelompok yang menyebabkan aktitifitas utama terabaikan. Semangat keislaman yang dilandasi ukhuwah Islamiyah terpinggirkan.
Persoalannya, mungkinkah konflik ini diminimalisir, jika tidak bisa dihapuskan sama sekali?. Jawabannya bisa saja, jika ada kesadaran bersama dari para pemimpin umat tentang kebutuhan umat, sumber konflik atau pengenalan terhadap penyebab konflik.
Ditingkat penyelesaian konflik, ada beberapa hal yang patut dicatat.
Pertama, ketidakmampuan pemimpin umat dalam mengadakan konsolidasi dalam menyelesaikan masalah umat. Hal ini dibuktikan dengan cara pemimpin mencari jalan sendiri-sendiri untuk berjuang. Misalnya fenomena pecah kongsi antar pemimpin umat.Dengan alasan tidak cocok atau tidak sama visi, para tokoh umat rela pisah organisasi, pisah partai bahkan perang opini. Ghibah sana, fitnah sini untuk mencari simpati umat (baca: memecah belah umat).
Kedua, kurangnya toleransi (tasamuh) ditengah pluralitas umat Islam. Umat berharap agar golongan muslim yang lain jangan dijadikan komoditas politik. Yang terjadi justru mencap satu ormas Islam atau parpol tertentu dengan sebutan sekuler, bid’ah, Islamnya tidak benar dan sebagainya.
Ketiga, egosentrisme, apalagi bila bersentuhan dengan kekuasaan atau kedudukan. Masing-masing merasa ingin di atas dan merasa lebih pantas untuk memimpin.
Keempat, kurangnya kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Umat Islam masih banyak terjebak dalam kemiskinan dan kebodohan. Mereka butuh pemimpin yang akan mengangkat derajat mereka ke tempat yang lebih baik. Sayangnya para pemimpin justru menjanjikan dari ata untuk mengangkat mereka dari lembah kemiskinan dan kebodohan itu dengan cara menginjak punggung muslim lain yang juga terbenam di jurang yang sama. Belum lagi bahaya laten yang dalam al-Qur’an disebut kelompok yang tidak rela akan kejayaan Islam (Q.S al Baqarah : 120).
Pemimpin, Bangunlah Komitmen !
Komitmen yang dimaksud adalah bagaimana caranya meredam konflik internal umat islam. Jangan saling menjelekkan dan menginjak kelompok muslim yang lain. Maksimalnya, harus ada komitmen untuk memulihkan kondisi umat Islam yang hancur lebur didera isu radikalisme sampai terorisme. Score yang diharapkan adalah menurunnya jumlah problema dan krisis umat Islam di mata dunia. Umat Islam terbebas dari fitnah al masih dan dajjal.
Lebih rinci lagi, ada tiga komitmen yang harus diperjuangkan. Pertama Komitmen kebangsaan sebagai upaya mengembalikan citra umat islam sebagai pembawa kasih sayang bagi bangsa ini (rahmatan lil alamin). Kedua, komitmen keislaman, artinya mengupayakan umat Islam menjadi umat yang mendasari aktifitasnya dengan tauhid.
Tauhid juga berarti agar umat Islam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, ber amar ma’ruf dan nahi munkar dalam segenap aspek kehidupan bernegara. Ketiga, komitmen keummatan dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umat dan kebahagiaan umat Islam. Oleh karena itu ukhuwah harus ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dari kepentingan pribadi, pemimpinan golongan dan partai. Dalam hal ini debat tidak berguna harus dihentikan
Semua harapan ini tentu ditompangkan kepada pemimpin umat. Kenapa harus pemimpin?. Emimpin dalam konsepsi Toynbee adalah individu yang kreatif. Menurutnya individu kreatif itulah yang akan menjadi juru selamat masyarakat. Begitu juga M. Yamin menyatakan orang besarlah (termasuk pemimpin) yang dapat menyelamatkan bangsa (muslim) dari kehancuran. Umat saat ini disibukkan oleh aktifitas mensejahterakan diri mereka tanpa sepengetahuan pemimpin. Karena pemimpin adalah kepala rombongan dan perintis jalan, yakinlah umat akan mengikut.
Jika enggan memakai jasa memimpin, umat akan ikut anjuran Abu Dzar al Ghifari adalah sahabat Nabi yang miskin itu: “Aku bingung dengan orang yang tidak punya sepotong rotipun di rumahnya. Mengapa ia tidak bangkit melawan orang-orang dengan pedang terhunusnya?”Wallahu A’lam.
Mahasiswa PPs IAIN Imam Bonjol Padang
Hampir menjadi kenyataan sejarah, bahwa setiap penyelenggaraan suksesi kepemimpinan, umat Islam selalu muncul di panggung politik nasional dan menjadi topik pembicaraan. Kemunculan ini tidak lebih seperti panggung ketoprak (humor), dimana seluruh lakon mempresentasikan berbagai kalangan dan berbagai karakter.
Dalam seni panggung, menurut Emha Ainun Najib, setiap orang berupaya menampilkan seluruh kemampuannya, akting dan kekuatan karakternya. Termasuk busana, make up dan umbul-umbul yang dibawanya. Namun sayang, penonton tidak memandang seluruh aspek yang ditampilkan, meski sang aktor sudah secara total beraksi. Ada yang memandang busana aktor, ada yang menilai menor dan seksinya penampilan aktor-aktris, bahkan ada yang melihat kelap-kelip lampu panggung saja. Sementara pesan dan misi yang dibawa dalam pementasan sering dilupakan oleh penonton. Pertanyaannya, akankah hyperaktif umat Islam dalam panggung politik nasional ini senasib dengan penampilan ketoprak atau randai dan sejenisnya?. Siapakah yang menjadi dalang atau sutradaranya ?. Siapakah yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini?
Seandainya memang umat Islam bernasib sama dengan pementasan ketoprak atau pertunjukan lainnya, alangkah menyedihkan. Biasanya pertunjukan akan memberi kesempatan kepada sutradara untuk secara bebas mengotak atik peran aktor dan mengubah cerita menurut kemauannya dan tentu saja harus sesuai dengan selera pasar. Jika kejadiannya seperti ini, bukankan itu berarti menjadikan umat yang sedang beraksi diatas pentas politik itu komoditas politik belaka?
Serunya pementasan atau cerita pertunjukan akan sangat tergantung pada konflik yang muncul dalam cerita. Dihubungkan dengan panggung politik, bukan tidak mungkin umat Islam akan digiring kedalam konflik yang maha dahsyat agar cerita politiknya maha seru.
Ironisnya, dalam berapa scene cerita sedih umat Islam ada pemilu 2004 lalu, tokoh-tokoh umat Islam justru muncul sebagai pengibar isu dan penebar konflik. Misalnya, menduanya Gus Dur dalam menetukan capres dari PKB (NU?), apakah Kiyai Hasyim Muzadi atau Gus Sholah. Nahdhiyyin pasti bingung menetukan sikap. Secara kultural PKB dan NU hampir bisa disebut kembar identik. Apakah harus memilih KH Hasyim Muzadi yang Ketua PB NU atau Gus Sholah yang calon resmi PKB yang juga NU tulen sampai ke tulang sum-sum.
Dalam sequel yang lain, Amien Rais yang mantan orang nomor satu Muhammadiyah menyatakan bahwa PAN bukan partai orang Muhammadiyah, meski mayoritas orang Muhammadiyah memimpin PAN sampai ke level pimpinan terendah. Amien juga menyatakan bahwa PAN adalah partai terbuka karena asasnya nasionalis plus religius. Ironisnya, di beberapa wilayah yang mayoritas Muhammadiyah dan PAN menjadi pemenang Pemilu legislatif memunculkan isu bahwa caleg partai anu non muslim, jangan pilih. Apakah ini tidak jadi bumerang bagi umat Islam termasuk Muhammadiyah, karena di PAN juga ada anggota legislatif yang non muslim ?. Alangkah tidak bijaknya.
Pada bagian yang lain, tokoh-tokoh umat kembali memunculkan wacana boleh tidaknya pemimpin wanita (presiden, tentunya). Hal ini tentu menimbulkan preseden buruk bagi umat Islam. Pihak luar Islam menilai ini sebagai phobia umat Islam terhadap kepemimpinan Megawati, yang tidak mewakili ormas islam atau parpol Islam. Dan bagi pihak lain, wacana ini dianggap sebagai trik politik untuk menjegal Megawati. Lagi-lagi umat Islam menjadi sorotan.
Bagi pihak non muslim beberapa peristiwa di atas merupakan tontonan menarik yang harus disebarluaskan kemana-mana. Inilah model umat Islam. Kalau bisa pihak non muslim atau mungkin kaum yang berusaha membawa Indonesia ke paham sekuler berupaya memperbesar konflik ini dengan menambah komentar dan teriakan dari bawah panggung. Sesekali, jika memungkinkan penonton non muslim berusaha memprovokasi dengan naik ke panggung politik dengan harapan umat Islam yang sedang berada di atas panggung protes dan ramai-ramai berteriak, “Kita tidak ingin dipimpin oleh non muslim!”. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh non muslim agar konflik internal umat Islam ini berkepanjangan. Jika ini terus berlangsung, bisa saja umat Islam akan kehilangan wibawa. Umat Islam akan hanyut dalam konflik yang tidak jelas muaranya.
Konflik dan Peran Pemimpin Umat
Pemimpin umat kemungkinan besar mempunyai andil dalam mempertahankan konflik. Merujuk Fathi Yakan (1998) salah seorang aktivis muslim mensinyalir bahwa hubungan individu yang kurang baik antar pemimpin umat menyebabkan konflik antar jamaah yang dipimpinnya. Mungkin ada benarnya analisis Fathi Yakan tersebut. Terlepas apakah konflik tersebut masuk dalam skenario pemimpin umat, kacamata awam dapat melihat secara jelas ketidakakuran antar pemimpin umat Islam. Misalnya, perbedaan pendapat antara Amien dan Gus Dur dipandang sebagai perbedaan Muhammadiyah dan NU.
Selanjutnya perbedaan ini diwarisi oleh pengikut kedua tokoh ini di organisasi masing-masing. Yang muncul kemudian adalah fanatisme kelompok yang menyebabkan aktitifitas utama terabaikan. Semangat keislaman yang dilandasi ukhuwah Islamiyah terpinggirkan.
Persoalannya, mungkinkah konflik ini diminimalisir, jika tidak bisa dihapuskan sama sekali?. Jawabannya bisa saja, jika ada kesadaran bersama dari para pemimpin umat tentang kebutuhan umat, sumber konflik atau pengenalan terhadap penyebab konflik.
Ditingkat penyelesaian konflik, ada beberapa hal yang patut dicatat.
Pertama, ketidakmampuan pemimpin umat dalam mengadakan konsolidasi dalam menyelesaikan masalah umat. Hal ini dibuktikan dengan cara pemimpin mencari jalan sendiri-sendiri untuk berjuang. Misalnya fenomena pecah kongsi antar pemimpin umat.Dengan alasan tidak cocok atau tidak sama visi, para tokoh umat rela pisah organisasi, pisah partai bahkan perang opini. Ghibah sana, fitnah sini untuk mencari simpati umat (baca: memecah belah umat).
Kedua, kurangnya toleransi (tasamuh) ditengah pluralitas umat Islam. Umat berharap agar golongan muslim yang lain jangan dijadikan komoditas politik. Yang terjadi justru mencap satu ormas Islam atau parpol tertentu dengan sebutan sekuler, bid’ah, Islamnya tidak benar dan sebagainya.
Ketiga, egosentrisme, apalagi bila bersentuhan dengan kekuasaan atau kedudukan. Masing-masing merasa ingin di atas dan merasa lebih pantas untuk memimpin.
Keempat, kurangnya kesadaran akan musuh bersama (common enemy). Umat Islam masih banyak terjebak dalam kemiskinan dan kebodohan. Mereka butuh pemimpin yang akan mengangkat derajat mereka ke tempat yang lebih baik. Sayangnya para pemimpin justru menjanjikan dari ata untuk mengangkat mereka dari lembah kemiskinan dan kebodohan itu dengan cara menginjak punggung muslim lain yang juga terbenam di jurang yang sama. Belum lagi bahaya laten yang dalam al-Qur’an disebut kelompok yang tidak rela akan kejayaan Islam (Q.S al Baqarah : 120).
Pemimpin, Bangunlah Komitmen !
Komitmen yang dimaksud adalah bagaimana caranya meredam konflik internal umat islam. Jangan saling menjelekkan dan menginjak kelompok muslim yang lain. Maksimalnya, harus ada komitmen untuk memulihkan kondisi umat Islam yang hancur lebur didera isu radikalisme sampai terorisme. Score yang diharapkan adalah menurunnya jumlah problema dan krisis umat Islam di mata dunia. Umat Islam terbebas dari fitnah al masih dan dajjal.
Lebih rinci lagi, ada tiga komitmen yang harus diperjuangkan. Pertama Komitmen kebangsaan sebagai upaya mengembalikan citra umat islam sebagai pembawa kasih sayang bagi bangsa ini (rahmatan lil alamin). Kedua, komitmen keislaman, artinya mengupayakan umat Islam menjadi umat yang mendasari aktifitasnya dengan tauhid.
Tauhid juga berarti agar umat Islam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, ber amar ma’ruf dan nahi munkar dalam segenap aspek kehidupan bernegara. Ketiga, komitmen keummatan dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umat dan kebahagiaan umat Islam. Oleh karena itu ukhuwah harus ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah dari kepentingan pribadi, pemimpinan golongan dan partai. Dalam hal ini debat tidak berguna harus dihentikan
Semua harapan ini tentu ditompangkan kepada pemimpin umat. Kenapa harus pemimpin?. Emimpin dalam konsepsi Toynbee adalah individu yang kreatif. Menurutnya individu kreatif itulah yang akan menjadi juru selamat masyarakat. Begitu juga M. Yamin menyatakan orang besarlah (termasuk pemimpin) yang dapat menyelamatkan bangsa (muslim) dari kehancuran. Umat saat ini disibukkan oleh aktifitas mensejahterakan diri mereka tanpa sepengetahuan pemimpin. Karena pemimpin adalah kepala rombongan dan perintis jalan, yakinlah umat akan mengikut.
Jika enggan memakai jasa memimpin, umat akan ikut anjuran Abu Dzar al Ghifari adalah sahabat Nabi yang miskin itu: “Aku bingung dengan orang yang tidak punya sepotong rotipun di rumahnya. Mengapa ia tidak bangkit melawan orang-orang dengan pedang terhunusnya?”Wallahu A’lam.
Sumbar Relief Fund
Oleh : Muhammad Nasir
Relawan Yayasan Totalitas
Dari mana?
Selain APBD, dari mana sumber pembangunan sumberdaya masyarakat kita?. Swadaya, jawab beberapa kalangan. Bukankah APBD itu wujud swadaya ? Betul, jika ternyata terbukti + 60 % APBD berasal dari pajak (masyarakat). Bukankah itu swadaya ?. Ya !!!. lalu, dari mana lagi dana pembangunan itu bisa diambil ? Dari dana bina lingkungan atau community development perusahaan yang beroperasi di daerah ini. Apakah itu mungkin terwujud ?. Bagaimana ya ?, kita tanya dulu kepada para dermawan yang rajin menyumbang. Demikian sari bincang-bincang mendalam (depht interview) penulis dengan beberapa anggota masyarakat.
Metro TV, pascatsunami Aceh dan Nias beberapa waktu yang lalu berupaya membantu beban korban dengan membuka dompet kemanusiaan yang mereka namai “Indonesia Menangis”. Hasilnya luar biasa. Hasil “tangisan” rakyat Indonesia itu berhasil terkumpul dengan nominal triliyunan rupiah. Dana itu digunakan untuk rekonstruksi Aceh, jika tidak diselewengkan. Tahap awal pengucuran bantuan ini mengambil bentuk charity karena kondisi Aceh dan Nias yang dalam status emergency rescue menuntut itu.
Apa yang dilakukan Metro TV di atas merupakan ungkapan spontan dari rasa kemanusiaan bangsa Indonesia, sebelum spontanitas itu di up-grade menjadi pengelolaan profesional dalam bentuk yayasan yang punya program terencana pembangunan Aceh yang berjangka waktu dan target yang diharapkan terukur.
Pengalaman yang sama juga dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika. Jika pada awalnya Dompet Dhuafa hanya menjadi lembaga pengumpul dan penyantun, maka berkat sentuhan profesionalisme, Dhompet Dhuafa pun akhirnya mempercantik diri menjadi lembaga filantropi yang menjadi agen dalam berbagai bentuk penyedia kebutuhan pengembangan umat. Buktinya, DD demikian penyingkatannya telah memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pendirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances).
Pertanyaannya, bagaimana kejadiannya di Sumatera Barat ?. Pihak yang telah berbuat, tentu akan tersinggung jika model pendanaan pembangunan berbasis swadaya ini dianggap tidak ada. Boleh disebut, GeSor, Gebu Minang, lembaga masyarakat Sumbar di perantauan, dermawan individual dan sebagainya. Bahkan calon gubernur/ bupat/walikota pun jor-joran mengeluarkan bantuan sosial. Bisa dipastikan arus dana pembangunan Sumbar dari bantuan masyarakat ini kemungkinan mencapai ratusan milyar rupiah/tahun.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa Sumatera Barat miskin. Dari segi APBD mungkin benar, hanya sekitar 800-an milyar rupiah. Idenya kedepan adalah bagaimana memadukan sumber pendanaan pembangunan yang bersumber dari APBD dan dari masyarakat non pajak (matching fund).
Dana Abadi Minangkabau, Mungkinkah ?
Tidak bermaksud latah meniru Dana Abadi Umat milik Departemen Agama yang sedang disorot sekarang ini, kira-kira perlukah dibentuk sistem pendanaan pembangunan sosial yang mirip itu ?. Kasihan rakyat, bila terpaksa menggantungkan selera pembangunan demi menunggu kucuran dana pemerintah, yang kadadang teranggarkan, terkadang tidak. Paling tidak dengan adananya dana abadi ini bisa menjaga keberlanjutan pembangunan sosial. Berdasarkan pengalaman masyarakat, pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat cendrung langgeng (sustainable).
Bagaimana potensinya?. Sekecil apapun dana yang disumbangkan masyarakat untuk pembangunan, pasti mempunyai nilai apalagi bila dikumpulkan dan dikelola secara profesional. Mungkin bisa dikira-kira mereka yang mungkin jadi donatur. Wajib Zakat (Muzakki), pengusaha, paguyuban perantau, dana community development/bina lingkungan perusahaan swasta/pemerintah, dermawan individual, berkemungkinan bisa berpartisipasi di dalamnya.
Persolannya adalah, apakah ini bisa diwujudkan ?. Bagaimana meraup kepercayaan masyarakat tentang dana abadi ini dan yang tidak kalah penting bagaimana pendekatan pengalokasiannya agar sesuai dengan prinsip keswadayaan.
Atau,Minangkabau Fund ?
Artinya bagaimana mewujudkan lembaga pelaksana (ámil) atau Funding Agency untuk pembiayaan pembangunan sosial. Beberapa teman-teman aktivis berkomentar, “jangankan membuat Funding Agency, amil zakat, infak dan shadaqah yang sudah ada saja belum berfungsi maksimal, jadi jangan mengada-ada”, katanya.
Sebenarnya tidak mengada-ada, tetapi mencoba mengumpulkan semua yang telah ada agar lebih kuat. Ada beberapa referensi untuk ide ini. Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana. Perlu dicatat, yang mengumpulkan dana ini adalah masyarakat penggemar balapan perahu bermotor.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Padang, 5 Juli 2005
Relawan Yayasan Totalitas
Dari mana?
Selain APBD, dari mana sumber pembangunan sumberdaya masyarakat kita?. Swadaya, jawab beberapa kalangan. Bukankah APBD itu wujud swadaya ? Betul, jika ternyata terbukti + 60 % APBD berasal dari pajak (masyarakat). Bukankah itu swadaya ?. Ya !!!. lalu, dari mana lagi dana pembangunan itu bisa diambil ? Dari dana bina lingkungan atau community development perusahaan yang beroperasi di daerah ini. Apakah itu mungkin terwujud ?. Bagaimana ya ?, kita tanya dulu kepada para dermawan yang rajin menyumbang. Demikian sari bincang-bincang mendalam (depht interview) penulis dengan beberapa anggota masyarakat.
Metro TV, pascatsunami Aceh dan Nias beberapa waktu yang lalu berupaya membantu beban korban dengan membuka dompet kemanusiaan yang mereka namai “Indonesia Menangis”. Hasilnya luar biasa. Hasil “tangisan” rakyat Indonesia itu berhasil terkumpul dengan nominal triliyunan rupiah. Dana itu digunakan untuk rekonstruksi Aceh, jika tidak diselewengkan. Tahap awal pengucuran bantuan ini mengambil bentuk charity karena kondisi Aceh dan Nias yang dalam status emergency rescue menuntut itu.
Apa yang dilakukan Metro TV di atas merupakan ungkapan spontan dari rasa kemanusiaan bangsa Indonesia, sebelum spontanitas itu di up-grade menjadi pengelolaan profesional dalam bentuk yayasan yang punya program terencana pembangunan Aceh yang berjangka waktu dan target yang diharapkan terukur.
Pengalaman yang sama juga dilakukan oleh Dompet Dhuafa Republika. Jika pada awalnya Dompet Dhuafa hanya menjadi lembaga pengumpul dan penyantun, maka berkat sentuhan profesionalisme, Dhompet Dhuafa pun akhirnya mempercantik diri menjadi lembaga filantropi yang menjadi agen dalam berbagai bentuk penyedia kebutuhan pengembangan umat. Buktinya, DD demikian penyingkatannya telah memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pendirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances).
Pertanyaannya, bagaimana kejadiannya di Sumatera Barat ?. Pihak yang telah berbuat, tentu akan tersinggung jika model pendanaan pembangunan berbasis swadaya ini dianggap tidak ada. Boleh disebut, GeSor, Gebu Minang, lembaga masyarakat Sumbar di perantauan, dermawan individual dan sebagainya. Bahkan calon gubernur/ bupat/walikota pun jor-joran mengeluarkan bantuan sosial. Bisa dipastikan arus dana pembangunan Sumbar dari bantuan masyarakat ini kemungkinan mencapai ratusan milyar rupiah/tahun.
Jadi, tidak ada alasan untuk mengklaim bahwa Sumatera Barat miskin. Dari segi APBD mungkin benar, hanya sekitar 800-an milyar rupiah. Idenya kedepan adalah bagaimana memadukan sumber pendanaan pembangunan yang bersumber dari APBD dan dari masyarakat non pajak (matching fund).
Dana Abadi Minangkabau, Mungkinkah ?
Tidak bermaksud latah meniru Dana Abadi Umat milik Departemen Agama yang sedang disorot sekarang ini, kira-kira perlukah dibentuk sistem pendanaan pembangunan sosial yang mirip itu ?. Kasihan rakyat, bila terpaksa menggantungkan selera pembangunan demi menunggu kucuran dana pemerintah, yang kadadang teranggarkan, terkadang tidak. Paling tidak dengan adananya dana abadi ini bisa menjaga keberlanjutan pembangunan sosial. Berdasarkan pengalaman masyarakat, pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat cendrung langgeng (sustainable).
Bagaimana potensinya?. Sekecil apapun dana yang disumbangkan masyarakat untuk pembangunan, pasti mempunyai nilai apalagi bila dikumpulkan dan dikelola secara profesional. Mungkin bisa dikira-kira mereka yang mungkin jadi donatur. Wajib Zakat (Muzakki), pengusaha, paguyuban perantau, dana community development/bina lingkungan perusahaan swasta/pemerintah, dermawan individual, berkemungkinan bisa berpartisipasi di dalamnya.
Persolannya adalah, apakah ini bisa diwujudkan ?. Bagaimana meraup kepercayaan masyarakat tentang dana abadi ini dan yang tidak kalah penting bagaimana pendekatan pengalokasiannya agar sesuai dengan prinsip keswadayaan.
Atau,Minangkabau Fund ?
Artinya bagaimana mewujudkan lembaga pelaksana (ámil) atau Funding Agency untuk pembiayaan pembangunan sosial. Beberapa teman-teman aktivis berkomentar, “jangankan membuat Funding Agency, amil zakat, infak dan shadaqah yang sudah ada saja belum berfungsi maksimal, jadi jangan mengada-ada”, katanya.
Sebenarnya tidak mengada-ada, tetapi mencoba mengumpulkan semua yang telah ada agar lebih kuat. Ada beberapa referensi untuk ide ini. Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana. Perlu dicatat, yang mengumpulkan dana ini adalah masyarakat penggemar balapan perahu bermotor.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Padang, 5 Juli 2005
SEMEN PADANG FOUNDATION,SANGAT SETUJU!
Oleh : Muhammad Nasir,SS
Yayasan Totalitas Padang
Staf Humas IAIN Imam Bonjol
Nita Indrawati telah menulis di harian ini (Senin, 4/7/2005) tentang pendayagunaan dana community development PT. Semen Padang (PTSP) serta memaksimalkan tugas community care -nya dalam bentuk Semen Padang Foundation (untuk mempermudah penyebutan selanjutnya ditulis SPF). Apresiasi untuk tulisan ini harus diberikan oleh pegiat sosial dengan kata setuju. Nita, telah berhasil membakukan ide-ide liar yang sejak lama berkembang di tengah komunitas LSM mengenai profesionalitas pendanaan kegiatan sosial kemasyarakatan PTSP dalam bentuk yayasan. Ide ini berarti mengupayakan peralihan dari model penyandang dana (Fund agency) menjadi yayasan dengan kewenangan yang lebih besar mengelola kegiatannya (Foundation).
Ada beberapa referensi untuk ide SPF. Maaf, bukan plagiat nama, SPF pertama untuk mempermudah sebutan sementara yang tersebut berikut ini, Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Semua masalah harus didekati secara multi disiplin dalam perspektif multilateral. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Dapat dipastikan, banyak perusahaan nasional, multinasional bahkan internasional melakukan hal yang sama untuk memaksimalkan dana community development mereka. Reebok, perusahaan sepatu raksasa, juga melakukannya. Nita juga menyebut Sampoerna Foundation dalam tulisannya.
Tanpa bermaksud latah, namun untuk profesionalitas kerja amal (charity) dan kerja membangun masyarakat (community development), SPF mesti segera dipikirkan oleh PTSP. Tujuannya adalah agar rasa kepemilikan masyarakat terhadap PTSP, sebagai perusahaan kebanggaan anak nagari Minangkabau tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan.
Jika dipetakan, hampir dapat dipastikan organisasi pemerintahan, organisasi masyarakat, UKMK,OKP, LSM, masjid, panitia acara sosial dan sebagainya melirik dan menempatkan PTSP sebagai list utama dalam pendanaan kegiatan mereka. Ini terjadi karena mereka yang tersebut di atas memandang PTSP sebagai perusahaan yang tajir sekaligus pemurah terhadap masyarakat. Hal ini pula yang menurut penulis dapat menjadi potensi dasar menuju foundation yang dicita-citakan itu.
Kami Telah Melakukan Sebelum Anda Memikirkan
Motto PTSP yang sudah terkenal itu dikaitkan dengan kepedulian perusahaan ini terhadap lingkungan, merupakan hal yang tidak pantas disanggah. Buktinya, PTSP sudah mewujudkan kegiatan bina lingkungannya dengan memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pedirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances). Wujud kegiatan bina lingkungan ini pada dasarnya adalah model spesifikasi program pengembangan masyarakat yang diusung oleh lembaga donor internasional semisal Ford Foundation, The Asia Foundation, OXFAM, CIDA, USAID dan sebagainya.
Barangkali “pr” PTSP selanjutnya adalah memunculkan “pendekatan baru” dalam pemberdayaan masyarakat. Keunggulan donatur asing dibandingkan donatur lokal menurut pengamat sosial (diantaranya LP3ES; 1997) adalah pendekatan pemberdayaan terukur, wilayah (space) program berskala priotitas, maaf, tidak LUKI minded, menafikan ketergantungan (depended), mendorong kemandirian, berasas keberlanjutan (Sustainability) dan mencapai kesejahteraan yang terukur (measured welfare).
Kembali merujuk motto, niat baik yang telah dilaksanakan PTSP selama ini jika tidak salah pengamatan, tidak lebih ibarat dermawan melayu yang begitu royal memberi bantuan tanpa mempertimbangkan efek pascapemberian bantuan tersebut. Beberapa waktu yang lalu sebuah komunitas pantai di kota ini baku hantam lantaran bantuan speedboad, sementara lembaga amal yang berbaik hati sudah pergi meninggalkan masyarakat tersebut tanpa tahu peristiwa apa yang terjadi setelah bantuan berpola karitatif itu. Peristiwa ini tidak lebih sesuatu yang disebut benar tapi sia-sia (true but useless). Nah, agar semua bantuan PTSP tidak sia-sia, barangkali perlu dirumuskan pendekatan pemberdayaan khas PTSP yang kira-kira berpahala untuk PTSP dan berdaya guna bagi lingkungan (masyarakat).
Kenapa Harus Foundation?
Tidak dapat dipungkiri, pengaruh manajemen PTSP sangat dominan dalam memutuskan memberi atau tidak memberi bagi setiap permohonan yang masuk. Setidaknya ini tercermin dalam lembar disposisi yang memuat urutan pesan singkat dari berbagai level kepemimpinan PTSP. Foundation atau bahasa tengahnya yayasan, sudah mempunyai Undang-Undang tersendiri. Dalam UU disebutkan organ yayasan terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas sudah cukup menjamin kebebasan dari intervensi manajemen PTSP. Hal ini berarti berapapun keuntungan yang didapatkan PTSP tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan di yayasan. Ini alasan pertama.
Kedua,PTSP tidak perlu repot memikirkan model pemberdayaan masyarakat. Cukuplah memikirkan bagaimana lepas dari pengaruh Cemex, meningkatakan keuntungan produksi dan tidak rugi. Persoalan bagaimana menguatkan masyarakat sipil, meminimalisir dampak lingkungan akibat limbah pabrik lebih baik diserahkan kepada yayasan (masyarakat).
Ketiga, sesuatu yang menjadi ciri pemberdayaan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat (partisipasi) dalam mengelola, mengambil keputusan dan mempertanggungjawaban kinerja yayasan. Dengan ini diharapkan, program-program pemberdayaan masyarakat betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak, sesuai rencana strategis yayasan yang notabene dibuat masyarakat. Dengan demikian masyarakat bisa mengetahui item apa yang dibiayai saat ini dan sekaligus lebih mudah mengaksesnya.
Keempat, dalam konteks transparansi dan akuntabilitas (T&A), manajemen PTSP bisa berbagi beban dengan yayasan dalam terma sentral Good Coorporate Governance ini. PTSP barangkali tidak perlu menguras energi berhadapan langsung dengan masyarakat dalam urusan bina lingkungan. Cukuplah wakil masyarakat di yayasan. Dengan ini apa yang dinamakan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam prinsip partisipasi bisa terpenuhi.
Kelima, yang lebih tahu tentunya manajemen PTSP, namun kira-kira pengalihan beban bina lingkungan kepada pihak yayasan bisa jadi mengurangi beban struktural dalam manajemen PTSP (?)
Keenam; keberadaan yayasan dengan program kemitraan dengan LSM lokal justru dapat mengurangi angka pengangguran. Fasilitator LSM dapat diimbali dengan layak, jika mereka bekerja memfasilitasi program yayasan.
Sekarang persoalannya kembali ke PTSP. Sebagai anggota masyarakat, pengguna jasa dan produk PTSP, penulis telah berpikir meski belum berbuat. Akankah Community Development PTSP memilih model mengelola sendiri Funding Agency, atau menyerahkan pengelolaan kegiatan plus dana kepada masyarakat dalam betuk Foudation ?. Kita tunggu. Selamat Ulang Tahun ke -95 PT Semen Padang.
Padang, 4 Juli 2005
Telah dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 11 Juli 2005
Yayasan Totalitas Padang
Staf Humas IAIN Imam Bonjol
Nita Indrawati telah menulis di harian ini (Senin, 4/7/2005) tentang pendayagunaan dana community development PT. Semen Padang (PTSP) serta memaksimalkan tugas community care -nya dalam bentuk Semen Padang Foundation (untuk mempermudah penyebutan selanjutnya ditulis SPF). Apresiasi untuk tulisan ini harus diberikan oleh pegiat sosial dengan kata setuju. Nita, telah berhasil membakukan ide-ide liar yang sejak lama berkembang di tengah komunitas LSM mengenai profesionalitas pendanaan kegiatan sosial kemasyarakatan PTSP dalam bentuk yayasan. Ide ini berarti mengupayakan peralihan dari model penyandang dana (Fund agency) menjadi yayasan dengan kewenangan yang lebih besar mengelola kegiatannya (Foundation).
Ada beberapa referensi untuk ide SPF. Maaf, bukan plagiat nama, SPF pertama untuk mempermudah sebutan sementara yang tersebut berikut ini, Sasakawa Peace Foundation (SPF) yang didirikan pada tahun 1986 adalah lembaga nirlaba yang juga mengandalkan dana abadi yang diberikan oleh Nippon Foundation dan masyarakat penggemar balapan perahu bermotor. Sebagai lembaga yang berorientasi global, SPF mengutamakan program-program yang berdimensi internasional, dan mengharapkan munculnya pendekatan baru sebagai alternatif dari apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah dan sector bisnis. Semua masalah harus didekati secara multi disiplin dalam perspektif multilateral. Dalam menjalankan misinya, SPF berperan sebagai lembaga pelaksana dan pemberi dana.
Berikutnya, kalangan LSM di Sumbar sudah mengenal paguyuban “bule” pencinta selancar yang membentuk lembaga nirlaba yang menamakan diri SurfAid. Saat ini mereka tengah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di Mentawai, diantaranya mengatasi malaria, mendampingi kegiatan Posyandu. Khabar terakhir SurfAid ikut terlibat dalam program emergency dan rehabilitasi pascagempa Aceh dan Nias.
Dapat dipastikan, banyak perusahaan nasional, multinasional bahkan internasional melakukan hal yang sama untuk memaksimalkan dana community development mereka. Reebok, perusahaan sepatu raksasa, juga melakukannya. Nita juga menyebut Sampoerna Foundation dalam tulisannya.
Tanpa bermaksud latah, namun untuk profesionalitas kerja amal (charity) dan kerja membangun masyarakat (community development), SPF mesti segera dipikirkan oleh PTSP. Tujuannya adalah agar rasa kepemilikan masyarakat terhadap PTSP, sebagai perusahaan kebanggaan anak nagari Minangkabau tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan.
Jika dipetakan, hampir dapat dipastikan organisasi pemerintahan, organisasi masyarakat, UKMK,OKP, LSM, masjid, panitia acara sosial dan sebagainya melirik dan menempatkan PTSP sebagai list utama dalam pendanaan kegiatan mereka. Ini terjadi karena mereka yang tersebut di atas memandang PTSP sebagai perusahaan yang tajir sekaligus pemurah terhadap masyarakat. Hal ini pula yang menurut penulis dapat menjadi potensi dasar menuju foundation yang dicita-citakan itu.
Kami Telah Melakukan Sebelum Anda Memikirkan
Motto PTSP yang sudah terkenal itu dikaitkan dengan kepedulian perusahaan ini terhadap lingkungan, merupakan hal yang tidak pantas disanggah. Buktinya, PTSP sudah mewujudkan kegiatan bina lingkungannya dengan memfasilitasi berkembangnya usaha kecil dan menengah, memberi bantuan lepas (grant) kegiatan seremonial masyarakat, beasiswa pendidikan (scholarships), pembangunan fisik, mendorong jiwa kedermawanan (philatrophy) semisal pedirian BAZIS, dan pendampingan masyarakat (community assistances). Wujud kegiatan bina lingkungan ini pada dasarnya adalah model spesifikasi program pengembangan masyarakat yang diusung oleh lembaga donor internasional semisal Ford Foundation, The Asia Foundation, OXFAM, CIDA, USAID dan sebagainya.
Barangkali “pr” PTSP selanjutnya adalah memunculkan “pendekatan baru” dalam pemberdayaan masyarakat. Keunggulan donatur asing dibandingkan donatur lokal menurut pengamat sosial (diantaranya LP3ES; 1997) adalah pendekatan pemberdayaan terukur, wilayah (space) program berskala priotitas, maaf, tidak LUKI minded, menafikan ketergantungan (depended), mendorong kemandirian, berasas keberlanjutan (Sustainability) dan mencapai kesejahteraan yang terukur (measured welfare).
Kembali merujuk motto, niat baik yang telah dilaksanakan PTSP selama ini jika tidak salah pengamatan, tidak lebih ibarat dermawan melayu yang begitu royal memberi bantuan tanpa mempertimbangkan efek pascapemberian bantuan tersebut. Beberapa waktu yang lalu sebuah komunitas pantai di kota ini baku hantam lantaran bantuan speedboad, sementara lembaga amal yang berbaik hati sudah pergi meninggalkan masyarakat tersebut tanpa tahu peristiwa apa yang terjadi setelah bantuan berpola karitatif itu. Peristiwa ini tidak lebih sesuatu yang disebut benar tapi sia-sia (true but useless). Nah, agar semua bantuan PTSP tidak sia-sia, barangkali perlu dirumuskan pendekatan pemberdayaan khas PTSP yang kira-kira berpahala untuk PTSP dan berdaya guna bagi lingkungan (masyarakat).
Kenapa Harus Foundation?
Tidak dapat dipungkiri, pengaruh manajemen PTSP sangat dominan dalam memutuskan memberi atau tidak memberi bagi setiap permohonan yang masuk. Setidaknya ini tercermin dalam lembar disposisi yang memuat urutan pesan singkat dari berbagai level kepemimpinan PTSP. Foundation atau bahasa tengahnya yayasan, sudah mempunyai Undang-Undang tersendiri. Dalam UU disebutkan organ yayasan terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas sudah cukup menjamin kebebasan dari intervensi manajemen PTSP. Hal ini berarti berapapun keuntungan yang didapatkan PTSP tidak langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan di yayasan. Ini alasan pertama.
Kedua,PTSP tidak perlu repot memikirkan model pemberdayaan masyarakat. Cukuplah memikirkan bagaimana lepas dari pengaruh Cemex, meningkatakan keuntungan produksi dan tidak rugi. Persoalan bagaimana menguatkan masyarakat sipil, meminimalisir dampak lingkungan akibat limbah pabrik lebih baik diserahkan kepada yayasan (masyarakat).
Ketiga, sesuatu yang menjadi ciri pemberdayaan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat (partisipasi) dalam mengelola, mengambil keputusan dan mempertanggungjawaban kinerja yayasan. Dengan ini diharapkan, program-program pemberdayaan masyarakat betul-betul didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang mendesak, sesuai rencana strategis yayasan yang notabene dibuat masyarakat. Dengan demikian masyarakat bisa mengetahui item apa yang dibiayai saat ini dan sekaligus lebih mudah mengaksesnya.
Keempat, dalam konteks transparansi dan akuntabilitas (T&A), manajemen PTSP bisa berbagi beban dengan yayasan dalam terma sentral Good Coorporate Governance ini. PTSP barangkali tidak perlu menguras energi berhadapan langsung dengan masyarakat dalam urusan bina lingkungan. Cukuplah wakil masyarakat di yayasan. Dengan ini apa yang dinamakan dari, oleh dan untuk masyarakat dalam prinsip partisipasi bisa terpenuhi.
Kelima, yang lebih tahu tentunya manajemen PTSP, namun kira-kira pengalihan beban bina lingkungan kepada pihak yayasan bisa jadi mengurangi beban struktural dalam manajemen PTSP (?)
Keenam; keberadaan yayasan dengan program kemitraan dengan LSM lokal justru dapat mengurangi angka pengangguran. Fasilitator LSM dapat diimbali dengan layak, jika mereka bekerja memfasilitasi program yayasan.
Sekarang persoalannya kembali ke PTSP. Sebagai anggota masyarakat, pengguna jasa dan produk PTSP, penulis telah berpikir meski belum berbuat. Akankah Community Development PTSP memilih model mengelola sendiri Funding Agency, atau menyerahkan pengelolaan kegiatan plus dana kepada masyarakat dalam betuk Foudation ?. Kita tunggu. Selamat Ulang Tahun ke -95 PT Semen Padang.
Padang, 4 Juli 2005
Telah dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, Senin, 11 Juli 2005
Tafaqquh fi al din Vs Orientalisme
Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana (S.2) IAIN Imam Bonjol Padang
Sabtu, 5 Mei 2007 lalu Pascasarjana IAIN Imam Bonjol membahas “Masa Depan Studi Islam.” Pembahasan yang langsung menjadi topik Kuliah Umum itu mendapat sambutan hangat dari peserta diskusi yang terdiri dari Pengajar Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, mahasiswa peserta program (S.3 dan S.2), serta Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Suwito dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dua nama terakhir selain bertindak selaku narasumber, mempunyai tujuan khusus yaitu “menjajakan” ide kerjasama antarpascasarjana dalam pengembangan kapasitas lembaga (capacity building) dalam mengembangkan studi keislaman di Perguruan Tinggi (Agama).
Satu fenomena yang dapat disebut pangkal diskusi yang hangat adalah “pada saat semangat keIslaman meninggi, minat studi di fakultas-fakultas agama UIN/IAIN/ STAIN justru menurun. Kenapa? Itulah salah satu pertanyaan ironis yang muncul pada tayangan slide powerpoint Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Pertanyaan itu menemukan relevansinya, karena bagaimanapun lembaga pendidikan tinggi agama semisal UIN/IAIN/STAIN mestinya dapat menangkap semangat itu dan memperkuatnya dengan ilmu-ilmu agama/ keislaman. Jika semangat itu dibiarkan tumbuh liar di hati sebagian besar umat yang meninggi ghirah keagamaannya, dipastikan Islam yang lahir dari artikulasi tanpa ilmu itu tidak mencerahkan (true but useless).
Tetapi, lagi-lagi bukannya memberikan pencerahan, UIN/IAIN/STAIN justru sepi peminat. Ini merupakan suatu problem yang serius bagi umat Islam, utamanya kalangan perguruan tinggi, intelektual muslim yang bertanggung jawab mencerahkan umat dengan ilmunya. Azyumardi bahkan menilai, bahwa semangat berIslam yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kajian Islam yang komprehensif akan melahirkan Islam yang emosional dan keropos. Ini merupakan tantangan bagi terberat.
Tidak heran banyak fenomena berislam yang salah seperti artikulasi Islam melalui jalur kekerasan dan sikap yang kaku tanpa minat dialog telah memperburuk citra Islam di mata umat lain. Di kalangan internal Islam sendiri gejala itu juga menjadi perdebatan sengit yang menghabiskan energi. Bahkan fenomena ini telah menambah rentetan kegagalan umat Islam dalam menunjukkan reputasi dan prestasinya sebagai agama yang unggul (al Islam ya’lu wala yu’la alaih).
Apakah ini bisa dianggap sebagai bentuk kelemahan institusi pendidikan Islam semisal UIN/IAIN/ STAIN dalam melahirkan konsep islam yang positif (pilosofis dan empiris)? Berikutnya, siapakah yang mensuplai (mendidik/menyemangati) aktivisme Islam yang sepi dari kajian komprehensif itu, apakah ada peran UIN/IAIN/STAIN atau ada kekuatan lain seperti pemikiran politik institusionalisasi islam (formalisasi syari’at/ khilafah) yang diusung beberapa organisasi yang dituding berhaluan keras? Pertanyaan itu menggambarkan betapa perguruan tinggi Islam sebagaimana tersebut di atas tidak memegang kendali terhadap kecendrungan aktivisme Islam dewasa ini.
Rentetan pertanyaan di atas merupakan kutipan dari ratusan pertanyaan yang tengah beredar di masyarakat. Pertanyaan itu sepertinya sangat relevan dijawab oleh para akademisi Islam dan perguruan tinggi Islam. Alasan yang menyatakan itu penting adalah perguruan tinggi Islam cukup syarat untuk menjawabnya karena 1) otoritas keilmuan, 2) penguasaan medan issu dan 3) pertanyaan itu merupakan tantangan terbesar bagi maju atau mundurnya lembaga pendidikan Islam.
Berkaitan denga tema “masa depan studi Islam” di atas, studi Islam bagaimana yang mesti dikembangkan UIN/IAIN/ STAIN dalam menjawab tantangan tersebut?
Beberapa waktu yang lalu, studi Islam di IAIN terkesan sangat historis, tekstual, normative, namun perkembangan berikutnya terjadi dinamika yang cukup menggairahkan dalam kajian Islam. Sejak kedatangan beberapa dosen yang berpendidikan dan berpikir/bermetodologi Barat, kajian Islam tidak lagi dogmatis, kaku dan terkesan nostalgia. Tetapi belum lama model studi ini berkembang, tiba-tiba mendapat serangan luar biasa dari pihak yang tidak setuju, dengan alasan sangat kental semanagt orientalismenya.
Sebaliknya, aspek yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan praktis umat semisal fikih muncul dalam wajah binner yang menyesakkan. Halal vs Haram berdialektika dan hanya melahirkan utopia, kapankah itu bisa terwujud? Oleh sebab itu perlu ditindaklanjuti ide pengembangan studi Islam hingga ranah yang lebih kongkrit, yaitu menyentuh kebutuhan terdekat dan tersegera manusia. ranah empiris.
Orientalisme dalam Studi Islam
Beberapa waktu yang lalu Prof. Dr. Nasrun Haroen pada saat dikukuhkan kembali menjadi Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Sumatera Barat periode 2005-2010, menyatakan, "para dosen IAIN yang mengikuti strata-2 (master) dan strata-3 (philoso¬phy of doctor/Ph.D), baik di Barat (pendidikan tinggi di Amerika atau Eropa) maupun di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ja¬karta (sebelumnya Institut Agama Is¬lam Negeri/ IAIN Syarif Hidayatullah) cenderung "menjadi orientalis dan atau digunakan oleh para orientalis" (Padang Ekspres, 8 Agustus 2006).
Begitu juga Ketua MUI Pusat Dr. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, saat pembukaan Musda MUI Sumbar Minggu (6/8) malam, mengatakan, sejak beberapa tahun terjadi pengiriman para dosen IAIN studi ke Barat dan cenderung orientalis - bahkan di-using orien¬talis untuk studi Islam.
Persoalan di atas menggambarkan bahwa di kalangan internal UIN/IAIN/STAIN tengah terjadi ketegangan dalam menentukan arah dan tujuan studi Islam. Satu pihak menuduh pihak lain telah salah kaprah menerapkan studi Islam yang menggunakan pendekatan Barat. Pihak ini didukung oleh intelektual muslim yang berpegang kuat pada tradisi tekstual dalam memahami agama. Pihak lain berdalih bahwa yang mereka lakukan tidak lebih sebagai bentuk kontekstualisasi ajaran Islam.
Mereka berusaha menggeser dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari. Kadang- kadang pihak ke dua ini juga dituduh sebagai agen orientalis dan mengkaji Islam layaknya orientalis.
Pihak yang disebut pertama bertahan (defensive) dengan corak studi Islam yang mereka sebut dengan Tafaqquh fi al diin. Pola bertahan golongan ini tidaklah pasif, tetapi mereka memilih bertahan dengan prinsip “pertahanan yang baik adalah menyerang.” Setidaknya indikasi itu dapat dilihat dari pernyataan Nasrun Haroen dan Yunahar Ilyas di atas. Pihak kedua secara ofensif menggelar isu pembaharuan studi islam yang tekstual dan literer menjadi studi islam kontekstual dan berusaha menjawab tantangan zaman.
Benarkah ada indikasi orientalisme dalam kajian Studi Islam? Benarkah ada Dosen IAIN yang used by orientalist untuk kepentingan Barat?
World view sebagian umat Islam telah meletakkan Orientalisme sebagai bentuk sisnisme Barat (Kristen) terhadap Timur (Islam). Bicara orientalis seolah-olah berbicara tentang musuh Islam yang sedang memata-matai dan mencari kelemahan umat islam dan kemudian menghantamnya. Kondisi tidak bisa disalahkan, karena secara historis orientalisme mempunyai catatan kelam, khususnya dalam kajian-kajian Islam yang cendrung mengambil studi kelemahan-kelemahan Islam. hasil kajian itu rata-rata tidak menguntungkan Islam.
Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry mengatakan orientalisme dalam pengertian melewati empat fase, pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekerasan terhadap dunia Timur. Mekanisme orientalisme al Damiry inilah yang dianggap mewakili kebobrokan orientalis.
Berdasarkan pendapat al Damiry di atas, apakah layak dikatakan dosen IAIN telah digunakan oleh orientalis untuk memukul Islam? Atau mungkinkah dosen IAIN yang kuliah ke Barat itu serta merta menjadi orientalis?
Rasanya terlalu sadis dan naif jika menyebutkan mereka orientalis atau di using oleh orientalis. Persolannya apakah mereka sedang melakukan (secara sadar dan penuh tanggungjawab) upaya penghancuran Islam? Persoalannya menjadi lain ketika apa yang dilakukan oleh para intelektual didikan barat itu mempunyai ekses terhadap kesempurnaan Islam.
Adalah benar, bila beberapa wacana yang dimunculkan sangat mengganggu dan tidak nyaman, apalagi bila itu menjadi stereotip bagi agama Islam. Misalnya, masalah poligami, kesetaraan gender, demokrasi dan formalisasi syari’at. Tetapi ketidaknyamanan itu tentu saja disebabkan oleh ajaran (tafsir) masa lalu yang telah mapan, berurat berakar dalam nalar umat Islam hari ini. Tetapi kemapanan itu bukan berarti kebenaran mutlak (absolut). Selama itu masih berada dalam wilayah tafsir, maka apa yang dilakukan oleh intelektual yang dituduh nyeleneh dan orientalis itu dapat dibenarkan.
Jika terpaksa harus menegur intelektual yang demikian itu, maka perlu disusun semacam indikator islami atau tidak cara berfikir intelektual Islam didikan Barat. Ini berguna untuk menghindari tendensi berlebihan terhadap mereka (intelektual) yang sama-sama komitmen dalam ber-tafaqquh fi al din.
Dari fenomena dan wacana yang dikembangkan di atas, paling tidak menggambarkan bahwa ada upaya untuk membagi wilayah kekuasaan ilmiyah Islam, antara wilayah tekstual normatif dengan wilayah faktual empiris. Tetapi amat disayangkan, kesadaran bahwa kedua wilayah itu tetap berasal dari satu wilayah teks! Al Qur’an dan hadis. Hanya saja sikap terhadap tekslah yang berbeda.
Tentang studi Islam di IAIN, memang ada plus minusnya. Tetapi tidak perlu ada kata-kata kasar, menyinggung dan memojokkan segelintir pihak. Persoalan pendapat nyeleneh tidak lepas dari arah studi Islam yang kabur, tidak jelas. Ungkapan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya H. Mas'oed Abidin curiga ada pemikiran liar di IAIN, memang pantas dicermati, tetapi tidak perlu tendensius.. "Selama ini yang terjadi di IAIN adanya pemikiran-pemiki¬ran yang lepas kontrol dan tidak menguntungkan bagi Islam. Kalau sudah hilang raso jo pareso, akan membuat seseorang liar. Liar dalam akhlak dan liar dalam akidah," ujarnya.( Haluan, 1 Agustus 2006)
Paling tidak, mereka yang berhaluan tafaqquh fiddin juga perlu memikirkan aspek al din yang empiris, agar keseimbangan al din dan al dunya dalam berbagai perspektifnya terjaga. Begitu pula mereka yang berhaluan empirik kontekstual juga perlu memperhatikan aspek penyerahan (taslim) dalam ajaran Islam yang qath’i agar tidak terlalu jauh mararah ke wilayah mubazir, yaitu kajian yang jauh dari surga dunia dan surga sebenarnya. Kajian model yang salah itu bisa bernilai benar tapi sia-sia (true but useless). Wallahu a’lam bi al Shawab
Padang, 20/05/2007
Mahasiswa Pascasarjana (S.2) IAIN Imam Bonjol Padang
Sabtu, 5 Mei 2007 lalu Pascasarjana IAIN Imam Bonjol membahas “Masa Depan Studi Islam.” Pembahasan yang langsung menjadi topik Kuliah Umum itu mendapat sambutan hangat dari peserta diskusi yang terdiri dari Pengajar Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, mahasiswa peserta program (S.3 dan S.2), serta Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof. Dr. Suwito dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dua nama terakhir selain bertindak selaku narasumber, mempunyai tujuan khusus yaitu “menjajakan” ide kerjasama antarpascasarjana dalam pengembangan kapasitas lembaga (capacity building) dalam mengembangkan studi keislaman di Perguruan Tinggi (Agama).
Satu fenomena yang dapat disebut pangkal diskusi yang hangat adalah “pada saat semangat keIslaman meninggi, minat studi di fakultas-fakultas agama UIN/IAIN/ STAIN justru menurun. Kenapa? Itulah salah satu pertanyaan ironis yang muncul pada tayangan slide powerpoint Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Pertanyaan itu menemukan relevansinya, karena bagaimanapun lembaga pendidikan tinggi agama semisal UIN/IAIN/STAIN mestinya dapat menangkap semangat itu dan memperkuatnya dengan ilmu-ilmu agama/ keislaman. Jika semangat itu dibiarkan tumbuh liar di hati sebagian besar umat yang meninggi ghirah keagamaannya, dipastikan Islam yang lahir dari artikulasi tanpa ilmu itu tidak mencerahkan (true but useless).
Tetapi, lagi-lagi bukannya memberikan pencerahan, UIN/IAIN/STAIN justru sepi peminat. Ini merupakan suatu problem yang serius bagi umat Islam, utamanya kalangan perguruan tinggi, intelektual muslim yang bertanggung jawab mencerahkan umat dengan ilmunya. Azyumardi bahkan menilai, bahwa semangat berIslam yang tinggi namun tidak dibarengi dengan kajian Islam yang komprehensif akan melahirkan Islam yang emosional dan keropos. Ini merupakan tantangan bagi terberat.
Tidak heran banyak fenomena berislam yang salah seperti artikulasi Islam melalui jalur kekerasan dan sikap yang kaku tanpa minat dialog telah memperburuk citra Islam di mata umat lain. Di kalangan internal Islam sendiri gejala itu juga menjadi perdebatan sengit yang menghabiskan energi. Bahkan fenomena ini telah menambah rentetan kegagalan umat Islam dalam menunjukkan reputasi dan prestasinya sebagai agama yang unggul (al Islam ya’lu wala yu’la alaih).
Apakah ini bisa dianggap sebagai bentuk kelemahan institusi pendidikan Islam semisal UIN/IAIN/ STAIN dalam melahirkan konsep islam yang positif (pilosofis dan empiris)? Berikutnya, siapakah yang mensuplai (mendidik/menyemangati) aktivisme Islam yang sepi dari kajian komprehensif itu, apakah ada peran UIN/IAIN/STAIN atau ada kekuatan lain seperti pemikiran politik institusionalisasi islam (formalisasi syari’at/ khilafah) yang diusung beberapa organisasi yang dituding berhaluan keras? Pertanyaan itu menggambarkan betapa perguruan tinggi Islam sebagaimana tersebut di atas tidak memegang kendali terhadap kecendrungan aktivisme Islam dewasa ini.
Rentetan pertanyaan di atas merupakan kutipan dari ratusan pertanyaan yang tengah beredar di masyarakat. Pertanyaan itu sepertinya sangat relevan dijawab oleh para akademisi Islam dan perguruan tinggi Islam. Alasan yang menyatakan itu penting adalah perguruan tinggi Islam cukup syarat untuk menjawabnya karena 1) otoritas keilmuan, 2) penguasaan medan issu dan 3) pertanyaan itu merupakan tantangan terbesar bagi maju atau mundurnya lembaga pendidikan Islam.
Berkaitan denga tema “masa depan studi Islam” di atas, studi Islam bagaimana yang mesti dikembangkan UIN/IAIN/ STAIN dalam menjawab tantangan tersebut?
Beberapa waktu yang lalu, studi Islam di IAIN terkesan sangat historis, tekstual, normative, namun perkembangan berikutnya terjadi dinamika yang cukup menggairahkan dalam kajian Islam. Sejak kedatangan beberapa dosen yang berpendidikan dan berpikir/bermetodologi Barat, kajian Islam tidak lagi dogmatis, kaku dan terkesan nostalgia. Tetapi belum lama model studi ini berkembang, tiba-tiba mendapat serangan luar biasa dari pihak yang tidak setuju, dengan alasan sangat kental semanagt orientalismenya.
Sebaliknya, aspek yang diharapkan dapat menjawab kebutuhan praktis umat semisal fikih muncul dalam wajah binner yang menyesakkan. Halal vs Haram berdialektika dan hanya melahirkan utopia, kapankah itu bisa terwujud? Oleh sebab itu perlu ditindaklanjuti ide pengembangan studi Islam hingga ranah yang lebih kongkrit, yaitu menyentuh kebutuhan terdekat dan tersegera manusia. ranah empiris.
Orientalisme dalam Studi Islam
Beberapa waktu yang lalu Prof. Dr. Nasrun Haroen pada saat dikukuhkan kembali menjadi Ketua Majelis Ulama Islam (MUI) Sumatera Barat periode 2005-2010, menyatakan, "para dosen IAIN yang mengikuti strata-2 (master) dan strata-3 (philoso¬phy of doctor/Ph.D), baik di Barat (pendidikan tinggi di Amerika atau Eropa) maupun di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ja¬karta (sebelumnya Institut Agama Is¬lam Negeri/ IAIN Syarif Hidayatullah) cenderung "menjadi orientalis dan atau digunakan oleh para orientalis" (Padang Ekspres, 8 Agustus 2006).
Begitu juga Ketua MUI Pusat Dr. H. Yunahar Ilyas Lc, MA, saat pembukaan Musda MUI Sumbar Minggu (6/8) malam, mengatakan, sejak beberapa tahun terjadi pengiriman para dosen IAIN studi ke Barat dan cenderung orientalis - bahkan di-using orien¬talis untuk studi Islam.
Persoalan di atas menggambarkan bahwa di kalangan internal UIN/IAIN/STAIN tengah terjadi ketegangan dalam menentukan arah dan tujuan studi Islam. Satu pihak menuduh pihak lain telah salah kaprah menerapkan studi Islam yang menggunakan pendekatan Barat. Pihak ini didukung oleh intelektual muslim yang berpegang kuat pada tradisi tekstual dalam memahami agama. Pihak lain berdalih bahwa yang mereka lakukan tidak lebih sebagai bentuk kontekstualisasi ajaran Islam.
Mereka berusaha menggeser dominasi pendekatan tekstual dan kontektual bergulir ke arah kontektual dan praksis sosial yang aktual dalam kehidupan kongkrit sehari-hari. Kadang- kadang pihak ke dua ini juga dituduh sebagai agen orientalis dan mengkaji Islam layaknya orientalis.
Pihak yang disebut pertama bertahan (defensive) dengan corak studi Islam yang mereka sebut dengan Tafaqquh fi al diin. Pola bertahan golongan ini tidaklah pasif, tetapi mereka memilih bertahan dengan prinsip “pertahanan yang baik adalah menyerang.” Setidaknya indikasi itu dapat dilihat dari pernyataan Nasrun Haroen dan Yunahar Ilyas di atas. Pihak kedua secara ofensif menggelar isu pembaharuan studi islam yang tekstual dan literer menjadi studi islam kontekstual dan berusaha menjawab tantangan zaman.
Benarkah ada indikasi orientalisme dalam kajian Studi Islam? Benarkah ada Dosen IAIN yang used by orientalist untuk kepentingan Barat?
World view sebagian umat Islam telah meletakkan Orientalisme sebagai bentuk sisnisme Barat (Kristen) terhadap Timur (Islam). Bicara orientalis seolah-olah berbicara tentang musuh Islam yang sedang memata-matai dan mencari kelemahan umat islam dan kemudian menghantamnya. Kondisi tidak bisa disalahkan, karena secara historis orientalisme mempunyai catatan kelam, khususnya dalam kajian-kajian Islam yang cendrung mengambil studi kelemahan-kelemahan Islam. hasil kajian itu rata-rata tidak menguntungkan Islam.
Dr. Musthafa Ibrahim Al Damiry mengatakan orientalisme dalam pengertian melewati empat fase, pertama adalah proses pengenalan serta pemahan Barat Eropa terhadap dunia Timur. Kedua, proses perencanaan (apa yang mesti di lakukan terhadap dunia Tumur) Barat-Eropa terhadap dunia Timur. Ketiga adalah tahapan aplikasi pemahaman, pengalaman dan perencanaan Barat-Eropa terhadap dunia Timur dan fase keempat adalah pemaksaan dan kekerasan terhadap dunia Timur. Mekanisme orientalisme al Damiry inilah yang dianggap mewakili kebobrokan orientalis.
Berdasarkan pendapat al Damiry di atas, apakah layak dikatakan dosen IAIN telah digunakan oleh orientalis untuk memukul Islam? Atau mungkinkah dosen IAIN yang kuliah ke Barat itu serta merta menjadi orientalis?
Rasanya terlalu sadis dan naif jika menyebutkan mereka orientalis atau di using oleh orientalis. Persolannya apakah mereka sedang melakukan (secara sadar dan penuh tanggungjawab) upaya penghancuran Islam? Persoalannya menjadi lain ketika apa yang dilakukan oleh para intelektual didikan barat itu mempunyai ekses terhadap kesempurnaan Islam.
Adalah benar, bila beberapa wacana yang dimunculkan sangat mengganggu dan tidak nyaman, apalagi bila itu menjadi stereotip bagi agama Islam. Misalnya, masalah poligami, kesetaraan gender, demokrasi dan formalisasi syari’at. Tetapi ketidaknyamanan itu tentu saja disebabkan oleh ajaran (tafsir) masa lalu yang telah mapan, berurat berakar dalam nalar umat Islam hari ini. Tetapi kemapanan itu bukan berarti kebenaran mutlak (absolut). Selama itu masih berada dalam wilayah tafsir, maka apa yang dilakukan oleh intelektual yang dituduh nyeleneh dan orientalis itu dapat dibenarkan.
Jika terpaksa harus menegur intelektual yang demikian itu, maka perlu disusun semacam indikator islami atau tidak cara berfikir intelektual Islam didikan Barat. Ini berguna untuk menghindari tendensi berlebihan terhadap mereka (intelektual) yang sama-sama komitmen dalam ber-tafaqquh fi al din.
Dari fenomena dan wacana yang dikembangkan di atas, paling tidak menggambarkan bahwa ada upaya untuk membagi wilayah kekuasaan ilmiyah Islam, antara wilayah tekstual normatif dengan wilayah faktual empiris. Tetapi amat disayangkan, kesadaran bahwa kedua wilayah itu tetap berasal dari satu wilayah teks! Al Qur’an dan hadis. Hanya saja sikap terhadap tekslah yang berbeda.
Tentang studi Islam di IAIN, memang ada plus minusnya. Tetapi tidak perlu ada kata-kata kasar, menyinggung dan memojokkan segelintir pihak. Persoalan pendapat nyeleneh tidak lepas dari arah studi Islam yang kabur, tidak jelas. Ungkapan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Buya H. Mas'oed Abidin curiga ada pemikiran liar di IAIN, memang pantas dicermati, tetapi tidak perlu tendensius.. "Selama ini yang terjadi di IAIN adanya pemikiran-pemiki¬ran yang lepas kontrol dan tidak menguntungkan bagi Islam. Kalau sudah hilang raso jo pareso, akan membuat seseorang liar. Liar dalam akhlak dan liar dalam akidah," ujarnya.( Haluan, 1 Agustus 2006)
Paling tidak, mereka yang berhaluan tafaqquh fiddin juga perlu memikirkan aspek al din yang empiris, agar keseimbangan al din dan al dunya dalam berbagai perspektifnya terjaga. Begitu pula mereka yang berhaluan empirik kontekstual juga perlu memperhatikan aspek penyerahan (taslim) dalam ajaran Islam yang qath’i agar tidak terlalu jauh mararah ke wilayah mubazir, yaitu kajian yang jauh dari surga dunia dan surga sebenarnya. Kajian model yang salah itu bisa bernilai benar tapi sia-sia (true but useless). Wallahu a’lam bi al Shawab
Padang, 20/05/2007
Di Usia 59 Tahun, HMI Kesepian ?
Oleh : Muhammad Nasir
Mantan Pengurus HMI Cabang Padang (1999-2000)
(I)
5 Februari 2006, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berusia 59 tahun sejak didirikan 5 Februari 1947/ 14 Rabiul Awal 1366 H yang lalu. Kelahiran HMI tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang tengah bertaruh mempertahankan kemerdekaan. Mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan diperguruan tinggi larut dengan organisasi primordial semisal Himpunan Mahasiswa Djakarta (HMD), Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD) dan sebagainya. Umat Islampun tengah larut dengan isu Islam santri - Islam abangan, Kaum Tua – Kaum Muda, Islam Pembaharu – Islam Tradisional yang sengaja diperbesar oleh Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa. Lafran Pane, mahasiswa tahun I di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta gelisah dan tergetar hatinya untuk menyatukan kepentingan umat hanya pada “satu Islam” tanpa dikotomi. Gerakan ini ia mulai dengan mendirikan HMI.
Namun 5 tahun terakhir (2000-an hingga sekarang) HMI mengalami popularitas HMI menurun drastis bersamaan dengan menurunnya jumlah kader dan anggota organisasi, serta menurunnya frekwensi kegiatan keislaman,keummatan, dan kebangsaan yang selama ini menjadi concern mereka.
Pada saat yang bersamaan, organisasi mahasiswa yang dulunya terkonsentrasi pada lembaga dakwah kampus semisal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang hadir sejak 1999 dan Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang berafiliasi kepada Hizbut Tahrir menunjukkan perkembangan positif, baik dari jumlah keanggotaan maupun frekwensi kegiatan. Beberapa sumber menyebutkan, HMI mulai kehilangan perannya, bahkan wawasan keislaman kader-kader HMI mulai dipertanyakan.
Hal lainnya yang pantas dicermati adalah hilangnya kader-kader HMI di kampus bersamaan dengan menguatnya peran kader-kader lembaga dakwah kampus semisal KAMMI, GEMA Pembebasan (Hizbut Tahrir) dan yang fenomenal organisasi primordial/ paguyuban dengan basis anggota mahasiswa se daerah atau se almamater. Khusus yang tersebut terakhir, tumbuh dan berkembangnya organisasi paguyuban ini tidak lepas dari semangat otonomi daerah, khususnya ketika Pilkada langsung beberapa waktu yang lalu memeberikan peran yang lebih untuk mereka. Boleh dikata HMI menjadi pecundang, padahal tercatat lebih kurang 40 tahun HMI merajai kampus-kampus di seantero nusantara.
Kondisi ini tentu menyedihkan bagi HMI. Padahal organisasi mahasiswa modern dan tertua ini pernah disanjung oleh Panglima Besar Jendral Sudirman sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Harapan ini tentu tidak berlebihan mengingat HMI berpotensi besar menjadi “arus tengah” Islam, tanpa sensitivitas ormas semisal NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyatul washliyah dan sebagainya. Anggota HMI pada realitanya adalah warga NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyah al- washliyah dan sebagainya. HMI hanya mengenal satu Islam dengan penghormatan terhadap keberagaman pemahaman dalam memahami Islam. Tentang pemikiran besar ini Hmi berhasil melahirkan pemikir moderat Islam sekaliber Nurcholis Madjid, dengan konsep keislaman, keumatan dan keindonesiaannya sebagai praktik operasional kehidupan sosial dan keagamaan muslim Indonesia.
(II)
Entitas negatif
HMI sebagai organisasi muslim moderat tidak hanya berperan sebagai organisasi mahasiswa. Namun lebih jauh, perannya melampaui usia kadernya yaitu nyaris setara dengan ormas Islam NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyatul washliyah dan sebagainya.
Dengan kualifikasi kadernya sebagai insan akademis, HMI memainkan peran kecendikiawanan. Sebagai insan pencipta, HMI adalah manusia kreatif, dan anti kemapanan. Insan pengabdi sebagai manusia pekerja kebangsaan, keumatan dan keindonesiaan, serta tidak lepas dari Islam sebagai agama dan sistem nilai-nilai yang memotivasi gerakan HMI.
Kualifikasi diatas setidaknya telah teruji. HMI telah melewati fase voluntarism, sebagai pendukung perjuangan kebangsaan pada revolusi fisik 1947-1995, fase self organizing 1955-1960, fase tantangan 1960-1966, fase organisatoris 1966-1998 dengan peran agen pembangunan, pemikir kebangsaan dan sempat menjadi stock/ pusat inkubasi aktivis partai dan ormas. Terakhir fase reformasi , sebagai masa ironis bagi HMI. Pascagerakan reformasi HMI mengalami kemunduran.
Sementara HMI mandeg, organisasi massa pascareformasi menunjukkan perkembangan positif ibarat jamur di musim hujan. Benar-benar ironis bagi HMI. HMI kesepian ditengah meningkatnya animo masyarakat untuk mengiorganisir diri.
(III)
HMI berbenahlah !
HMI pemalas. Begitu salah satu penilaian mahasiswa yang menggetarkan hati. Kemampuan anggota HMI saat ini tidak lebih sebagai pendongeng tentang kejayaan masa lalu, tanpa mau belajar mengapa kesuksesan itu terjadi.
Jika tidak berbenah, HMI akan tinggal sejarah yang akan segera punah karena tidak masuk dalam kurikulum sejarah yang dipejari di sekolah-sekolah.
Selamat Ulang tahun HMI ke-59.
Padang, 2 Februari 2006
Mantan Pengurus HMI Cabang Padang (1999-2000)
(I)
5 Februari 2006, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berusia 59 tahun sejak didirikan 5 Februari 1947/ 14 Rabiul Awal 1366 H yang lalu. Kelahiran HMI tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang tengah bertaruh mempertahankan kemerdekaan. Mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan diperguruan tinggi larut dengan organisasi primordial semisal Himpunan Mahasiswa Djakarta (HMD), Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD) dan sebagainya. Umat Islampun tengah larut dengan isu Islam santri - Islam abangan, Kaum Tua – Kaum Muda, Islam Pembaharu – Islam Tradisional yang sengaja diperbesar oleh Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa. Lafran Pane, mahasiswa tahun I di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta gelisah dan tergetar hatinya untuk menyatukan kepentingan umat hanya pada “satu Islam” tanpa dikotomi. Gerakan ini ia mulai dengan mendirikan HMI.
Namun 5 tahun terakhir (2000-an hingga sekarang) HMI mengalami popularitas HMI menurun drastis bersamaan dengan menurunnya jumlah kader dan anggota organisasi, serta menurunnya frekwensi kegiatan keislaman,keummatan, dan kebangsaan yang selama ini menjadi concern mereka.
Pada saat yang bersamaan, organisasi mahasiswa yang dulunya terkonsentrasi pada lembaga dakwah kampus semisal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang hadir sejak 1999 dan Gerakan Mahasiswa Pembebasan yang berafiliasi kepada Hizbut Tahrir menunjukkan perkembangan positif, baik dari jumlah keanggotaan maupun frekwensi kegiatan. Beberapa sumber menyebutkan, HMI mulai kehilangan perannya, bahkan wawasan keislaman kader-kader HMI mulai dipertanyakan.
Hal lainnya yang pantas dicermati adalah hilangnya kader-kader HMI di kampus bersamaan dengan menguatnya peran kader-kader lembaga dakwah kampus semisal KAMMI, GEMA Pembebasan (Hizbut Tahrir) dan yang fenomenal organisasi primordial/ paguyuban dengan basis anggota mahasiswa se daerah atau se almamater. Khusus yang tersebut terakhir, tumbuh dan berkembangnya organisasi paguyuban ini tidak lepas dari semangat otonomi daerah, khususnya ketika Pilkada langsung beberapa waktu yang lalu memeberikan peran yang lebih untuk mereka. Boleh dikata HMI menjadi pecundang, padahal tercatat lebih kurang 40 tahun HMI merajai kampus-kampus di seantero nusantara.
Kondisi ini tentu menyedihkan bagi HMI. Padahal organisasi mahasiswa modern dan tertua ini pernah disanjung oleh Panglima Besar Jendral Sudirman sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Harapan ini tentu tidak berlebihan mengingat HMI berpotensi besar menjadi “arus tengah” Islam, tanpa sensitivitas ormas semisal NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyatul washliyah dan sebagainya. Anggota HMI pada realitanya adalah warga NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyah al- washliyah dan sebagainya. HMI hanya mengenal satu Islam dengan penghormatan terhadap keberagaman pemahaman dalam memahami Islam. Tentang pemikiran besar ini Hmi berhasil melahirkan pemikir moderat Islam sekaliber Nurcholis Madjid, dengan konsep keislaman, keumatan dan keindonesiaannya sebagai praktik operasional kehidupan sosial dan keagamaan muslim Indonesia.
(II)
Entitas negatif
HMI sebagai organisasi muslim moderat tidak hanya berperan sebagai organisasi mahasiswa. Namun lebih jauh, perannya melampaui usia kadernya yaitu nyaris setara dengan ormas Islam NU, Muhammadiyah, PERTI, Persis, Jam’iyatul washliyah dan sebagainya.
Dengan kualifikasi kadernya sebagai insan akademis, HMI memainkan peran kecendikiawanan. Sebagai insan pencipta, HMI adalah manusia kreatif, dan anti kemapanan. Insan pengabdi sebagai manusia pekerja kebangsaan, keumatan dan keindonesiaan, serta tidak lepas dari Islam sebagai agama dan sistem nilai-nilai yang memotivasi gerakan HMI.
Kualifikasi diatas setidaknya telah teruji. HMI telah melewati fase voluntarism, sebagai pendukung perjuangan kebangsaan pada revolusi fisik 1947-1995, fase self organizing 1955-1960, fase tantangan 1960-1966, fase organisatoris 1966-1998 dengan peran agen pembangunan, pemikir kebangsaan dan sempat menjadi stock/ pusat inkubasi aktivis partai dan ormas. Terakhir fase reformasi , sebagai masa ironis bagi HMI. Pascagerakan reformasi HMI mengalami kemunduran.
Sementara HMI mandeg, organisasi massa pascareformasi menunjukkan perkembangan positif ibarat jamur di musim hujan. Benar-benar ironis bagi HMI. HMI kesepian ditengah meningkatnya animo masyarakat untuk mengiorganisir diri.
(III)
HMI berbenahlah !
HMI pemalas. Begitu salah satu penilaian mahasiswa yang menggetarkan hati. Kemampuan anggota HMI saat ini tidak lebih sebagai pendongeng tentang kejayaan masa lalu, tanpa mau belajar mengapa kesuksesan itu terjadi.
Jika tidak berbenah, HMI akan tinggal sejarah yang akan segera punah karena tidak masuk dalam kurikulum sejarah yang dipejari di sekolah-sekolah.
Selamat Ulang tahun HMI ke-59.
Padang, 2 Februari 2006
Perang melawan Tirani; Teror Global Atau Jihad Global?
Oleh: Muhammad Nasir
Hari itu, Selasa 11 September 2001, menara kembar World Trading Center (WTC) dihantam dua pesawat yang diduga dibajak teroris pimpinan Usamah bin Laden. Dugaan ini diperkuat pernyataan beberapa faksi al Qaidah menyatakan bertanggungjawab terhadap penyerangan itu.
Al Qaidah (al Qaeda), mengklaim dirinya sebagai organisasi jihad internasional dengan agenda jihad global. Aksi-aksi itu selalu diletakkan dalam kerangka mencapai tujuan yang lebih besar (perjuangan), yakni sebagai cara untuk menjalankan apa yang mereka pandang sebagai jihad membela kepentingan kaum Muslim dan umat manusia secara keseluruhan. Sementara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya melihat al Qaeda sebagai organisasi teroris Internasional. Perang melawan al Qaeda berarti perang melawan terorisme internasional (terorisme global).
Begitupun sebaliknya, al Qaeda menjadikan AS dan sekutunya sebagai sasaran jihad global dengan alasan AS dan sekutunya itu dedengkot tirani global. Tidak salah jika ada yang menyebut WTC sebagai simbol dari World Tyranic Center.
Jika al Qaeda dituduh terlibat dalam aksi WTC 2001, di Indonesia Abu Bakar Ba’ayir, Amrozi, Imam Samudra dll dituduh sebagai dalam pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, seperti Bom Bali I, II, Bom Kedutaan Besar Australia, Bom Natal dsb. Mereka di atas yang terkait dengan organisasi MMI, JI diduga kuat mempunyai hubungan ideologis dan organisastoris dengan operator teroris besar al Qaeda. Mereka justru seperti membenarkan tuduhan itu dalam bentuk persetujuan terhadap aksi penabrakan Gedung WTC. Sikap ini menambah keyakinan bahwa JI dan MMI merupakan organ dari al Qaeda.
Pertanyaan penting untuk ini, Peristiwa WTC 2001, tonggak sejarah atau bukan? Kalau iya, berarti ada pengakuan terhadap keabsahan program Perang melawan terorisme global yang dimotori Amerika Serikat. Hal ini sekaligus mengukuhkan posisi al Qaeda sebagai organisasi teror. Pengakuan terhadap perang global ini berarti menjadi sejarah baru peperangan besar pasca Perang Dunia II. Artinya jika tidak mungkin disebut sebagai Perang Dunia III, paling tidak setingkat di bawah itu.
Kalau tidak bisa dijadikan tonggak sejarah baru, maka peristiwa WTC 2001 cukup dimaknai sebagai sebagai serangan biasa sekelompok orang melawan hegemoni Amerika Serikat atau Barat yang telah bergerak ke arah praktek tirani. Setidak-tidaknya sebut saja aksi teror terhadap Amerika atau Barat, dan tidak perlu ditakuti oleh negara-negara lainnya yang tidak terlibat dalam praktek tiranisme, imperialisme dan kolonialisme global gaya baru.
Tirani Global
Tentang teror global dan jihad global yang jadi judul tulisan ini memang sebuah persoalan besar. Di satu sisi, istilah teror global menunjukkan makna negatif berupa bahaya bagi tatanan dunia, ketakutan bagi manusia dan mungkin saja kehancuran bagi infrastruktun dunia. Di sisi lain, istilah jihad global mengacu pada musthalahat agama Islam yang digunakan oleh kalangan Islam sebagai tujuan baik. Oleh sebab itu menjadi masalah besar jika teror global disandingkan dengan jihad global. Rivalitas yang memungkinkan untuk istilah ini adalah perang tafsir atas peristiwa WTC 2001.
AS dan sekutunya semestinya juga memahami bahwa ternyata berbagai aktivitas politik internasionalnya bagi negara lainnya dirasakan sebagai tindakan tirani. Tidak hanya bagi umat Islam, ternyata beberapa negara di Amerika Latin ternya merasakan hal yang sama; tidak nyaman dengan dominasi AS dan sekutunya dalam tatanan global.
Perasaan tidak nyaman yang diakibatkan tindakan AS dan sekutunya pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari teror. Maka semestinya juga perlu mengkaji ulang makna peristiwa WTC 2001, paling tidak dengan mewaspadai konsekwensi baru globalisasi yaitu praktek tirani.
Isu Fundamentalisme Islam
Belakangan ini, label Islam yang diikutkan dengan nama seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, dan “sekularis”, dan lain-lain. Singkatnya, berbagai nama tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam moderen. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” telah menyedot perhatian, jauh sebelum Perang Dingin (the Cold War) berakhir. Para sarjana telah mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama sebagai tandingan dari modernisme dan sekularisme.(Martin Marty dan Scott Appleby dalam Tibbi, 2000)
Fenomena ini menjadi menarik untuk diperbincangkan terutama dalam konteks perkembangan gerakan Islam dengan segenap tantangannya. Apalagi ada upaya membenturkan peristiwa WTC 2001 dengan gerakan fundamentalisme Islam radikal.
Jika menggunakan terminologi Fundamentalisme sebagai sebagai “a revolt against the intrusive secular state.” (Leonard Valerie J. Hofman, 1995) bentuk perlawanan terhadap ideologi negara sekuler, atau deskripsi Leonard Binder tentang fundamentalisme Islam sebagai “in a sense…an ideological dimension of the movement to restrict the power of the state”, maka penting juga untuk mempertimbangkan alasan kelompok yang dicap fundamentalis itu.
Indonesia, sebagai negara mempunyai peluang sebagai tempat tumbuhnya fundamentalisme seandainya gagal mewujudkan kesejahteraan. Sebagai kesimpulan singkat, dapat ditegaskan bahwa fundamentalisme Islam akan eksis di tengah suatu kondisi ketidakdilan dunia global, kemiskinan, penindasan dalam satu tatanan dunia yang bersifat tidak menyertakan (Ridwan al-Makassary, StatCounter.com). Maka fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan perlawanan adalah suatu yang mungkin, bahkan dalam konteks gerakan oposisi terkadang diperlukan. Dengan logika ini, gerakan fundamentalisme Islam jika dihadapkan dengan tirani global juga dibutuhkan, dengan catatan mengambil jalan yang lebih cantik menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan masyarakat global.
Sayangnya kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.
Wallahu ‘alam bis sawab.
Muhammad Nasir
Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia) Padang
Dimuat di Haluan, Sabtu, 22 Maret 2008
Hari itu, Selasa 11 September 2001, menara kembar World Trading Center (WTC) dihantam dua pesawat yang diduga dibajak teroris pimpinan Usamah bin Laden. Dugaan ini diperkuat pernyataan beberapa faksi al Qaidah menyatakan bertanggungjawab terhadap penyerangan itu.
Al Qaidah (al Qaeda), mengklaim dirinya sebagai organisasi jihad internasional dengan agenda jihad global. Aksi-aksi itu selalu diletakkan dalam kerangka mencapai tujuan yang lebih besar (perjuangan), yakni sebagai cara untuk menjalankan apa yang mereka pandang sebagai jihad membela kepentingan kaum Muslim dan umat manusia secara keseluruhan. Sementara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya melihat al Qaeda sebagai organisasi teroris Internasional. Perang melawan al Qaeda berarti perang melawan terorisme internasional (terorisme global).
Begitupun sebaliknya, al Qaeda menjadikan AS dan sekutunya sebagai sasaran jihad global dengan alasan AS dan sekutunya itu dedengkot tirani global. Tidak salah jika ada yang menyebut WTC sebagai simbol dari World Tyranic Center.
Jika al Qaeda dituduh terlibat dalam aksi WTC 2001, di Indonesia Abu Bakar Ba’ayir, Amrozi, Imam Samudra dll dituduh sebagai dalam pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, seperti Bom Bali I, II, Bom Kedutaan Besar Australia, Bom Natal dsb. Mereka di atas yang terkait dengan organisasi MMI, JI diduga kuat mempunyai hubungan ideologis dan organisastoris dengan operator teroris besar al Qaeda. Mereka justru seperti membenarkan tuduhan itu dalam bentuk persetujuan terhadap aksi penabrakan Gedung WTC. Sikap ini menambah keyakinan bahwa JI dan MMI merupakan organ dari al Qaeda.
Pertanyaan penting untuk ini, Peristiwa WTC 2001, tonggak sejarah atau bukan? Kalau iya, berarti ada pengakuan terhadap keabsahan program Perang melawan terorisme global yang dimotori Amerika Serikat. Hal ini sekaligus mengukuhkan posisi al Qaeda sebagai organisasi teror. Pengakuan terhadap perang global ini berarti menjadi sejarah baru peperangan besar pasca Perang Dunia II. Artinya jika tidak mungkin disebut sebagai Perang Dunia III, paling tidak setingkat di bawah itu.
Kalau tidak bisa dijadikan tonggak sejarah baru, maka peristiwa WTC 2001 cukup dimaknai sebagai sebagai serangan biasa sekelompok orang melawan hegemoni Amerika Serikat atau Barat yang telah bergerak ke arah praktek tirani. Setidak-tidaknya sebut saja aksi teror terhadap Amerika atau Barat, dan tidak perlu ditakuti oleh negara-negara lainnya yang tidak terlibat dalam praktek tiranisme, imperialisme dan kolonialisme global gaya baru.
Tirani Global
Tentang teror global dan jihad global yang jadi judul tulisan ini memang sebuah persoalan besar. Di satu sisi, istilah teror global menunjukkan makna negatif berupa bahaya bagi tatanan dunia, ketakutan bagi manusia dan mungkin saja kehancuran bagi infrastruktun dunia. Di sisi lain, istilah jihad global mengacu pada musthalahat agama Islam yang digunakan oleh kalangan Islam sebagai tujuan baik. Oleh sebab itu menjadi masalah besar jika teror global disandingkan dengan jihad global. Rivalitas yang memungkinkan untuk istilah ini adalah perang tafsir atas peristiwa WTC 2001.
AS dan sekutunya semestinya juga memahami bahwa ternyata berbagai aktivitas politik internasionalnya bagi negara lainnya dirasakan sebagai tindakan tirani. Tidak hanya bagi umat Islam, ternyata beberapa negara di Amerika Latin ternya merasakan hal yang sama; tidak nyaman dengan dominasi AS dan sekutunya dalam tatanan global.
Perasaan tidak nyaman yang diakibatkan tindakan AS dan sekutunya pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari teror. Maka semestinya juga perlu mengkaji ulang makna peristiwa WTC 2001, paling tidak dengan mewaspadai konsekwensi baru globalisasi yaitu praktek tirani.
Isu Fundamentalisme Islam
Belakangan ini, label Islam yang diikutkan dengan nama seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, dan “sekularis”, dan lain-lain. Singkatnya, berbagai nama tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam moderen. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” telah menyedot perhatian, jauh sebelum Perang Dingin (the Cold War) berakhir. Para sarjana telah mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama sebagai tandingan dari modernisme dan sekularisme.(Martin Marty dan Scott Appleby dalam Tibbi, 2000)
Fenomena ini menjadi menarik untuk diperbincangkan terutama dalam konteks perkembangan gerakan Islam dengan segenap tantangannya. Apalagi ada upaya membenturkan peristiwa WTC 2001 dengan gerakan fundamentalisme Islam radikal.
Jika menggunakan terminologi Fundamentalisme sebagai sebagai “a revolt against the intrusive secular state.” (Leonard Valerie J. Hofman, 1995) bentuk perlawanan terhadap ideologi negara sekuler, atau deskripsi Leonard Binder tentang fundamentalisme Islam sebagai “in a sense…an ideological dimension of the movement to restrict the power of the state”, maka penting juga untuk mempertimbangkan alasan kelompok yang dicap fundamentalis itu.
Indonesia, sebagai negara mempunyai peluang sebagai tempat tumbuhnya fundamentalisme seandainya gagal mewujudkan kesejahteraan. Sebagai kesimpulan singkat, dapat ditegaskan bahwa fundamentalisme Islam akan eksis di tengah suatu kondisi ketidakdilan dunia global, kemiskinan, penindasan dalam satu tatanan dunia yang bersifat tidak menyertakan (Ridwan al-Makassary, StatCounter.com). Maka fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan perlawanan adalah suatu yang mungkin, bahkan dalam konteks gerakan oposisi terkadang diperlukan. Dengan logika ini, gerakan fundamentalisme Islam jika dihadapkan dengan tirani global juga dibutuhkan, dengan catatan mengambil jalan yang lebih cantik menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan masyarakat global.
Sayangnya kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.
Wallahu ‘alam bis sawab.
Muhammad Nasir
Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia) Padang
Dimuat di Haluan, Sabtu, 22 Maret 2008
Muhammad SAW; The Last Man
Oleh Muhammad Nasir
Mengikuti penanggalan masehi, Muhammad SAW telah hidup dalam rentang waktu 1.473 tahun. Meski dalam ukuran usia manusia, Muhammad hanya menjalani masa kemanusiaannya selama enampulih tiga tahun, Muhammad dengan berbagai cara telah kembali dihidupkan oleh manusia untuk berbagai kepentingan. Dalam upaya menghidupkannya kembali tidak sedikit terjadi berbagai peristiwa yang secara sengaja atau tidak sengaja mengaburkan kepribadian Muhammad yang sebenarnya.
Dalam keyakinan Islam, Muhammad SAW adalah nabi sekaligus rasul terakhir. La nabiyya ba’dah. Keyakinan ini tidak dapat diutak atik karena menyangkut kewajiban dasar kemanusiaan yang disebut dengan Iman. Tidak heran, meragukan kenabian dan kerasulannya menjadi penyebab batalnya keimanan.
Lebih lanjut, Muhammad SAW dikukuhkan oleh al Qur’an sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzâb: 21) Karena itu, apapun upaya yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya untuk menjelekkan pribadi beliau akan mendapatkan tantangan yang keras. Misalnya saja, ulah media cetak Denmark –di antaranya Jylland Posten- dianggap sebagai pelecehan luar biasa terhadap beliau. Tak sedikitpun ada aura uswatun hasanah pada gambar karikaturistik itu.
Lalu, apa arti visualisasi Nabi Muhammad seperti yang digambarkan media Denmark itu? Kasat mata gambar itu mewakili kultur bangsa arab dengan asesoriesnya; sorban, gamis dan pedang. Gambar itu semakin nyata ketika atas nama perang melawan terorisme global, musuh yang muncul adalah "Pasukan berjenggot", berbaju gamis atau koko dan aktivis agama yang akhirnya menjadi incaran penangkapan. Ini ironis sekali dengan Muhammad yang digambarkan umat Islam. Pelaku teroris hari ini seolah-olah the next Muhammad yang menjadi musuh dunia. Siapa yang salah?
Boleh jadi ada argument yang menyatakan, betapa dangkalnya pengetahuan karikaturis Denmark itu tentang Muhammad SAW. Betapa tidak tolerannya Denmark ketika secara sadar negara itu tidak memberikan sanksi apa-apa kepada warganya dengan dalih kebebasan berekspresi. Namun satu hal yang patut dipertimbangkan adalah; apakah karikatur itu personifikasi Nabi Muhmmad SAW atau wajah muslim hari ini yang tidak ramah? Dan nyaris saja gambar itu semakin jelas wujudnya, ketika respon yang diberikan umat Islam nyaris sama dengan visualisasi yang dimunculkan.
Beranajak dari kasus karikatur nabi tersebut, ada pesan khusus untuk umat Islam; mengapa aura uswatun hasanah nabi tidak memancar kepada karikaturis Jylland Posten dan media massa Denmark lainnya? Jangan-jangan sosok Nabi Muhammad SAW tertutupi (mahjub) oleh prilaku umat Islam yang jauh bertolak belakang dengan pribadi Agung Muhammad SAW.
Muhammad Kontemporer
Sepertinya ada pesan besar dibalik frasa “nabi terakhir”, “la nabiyya ba’dah” dan “uswatun hasanah”. Pesan itu kalau tidak salah menampilkan satu model manusia yang relevan dan sesuai (compatible) dengan segala zaman.
Ada baiknya disimak alur logika Francis Fukuyama tentang determinisme historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional, keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Fukuyama mendasarkan uraiannya kepada Imanuel Kant (di samping pada tokoh ilmu alam semisal Galilio dan Bacon), yang mengatakan bahwa sejarah akan sampai pada titik akhir. Titik akhir itu adalah realisasi kebebasan manusia.
Melalui bukunya, The End of History and The Last Man (1993), Fukuyama hendak mengatakan bahwa pasca perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Tentang the last man sendiri diartikan Fukuyama sebagai sang demokrat nan liberal.
Tetapi sejarah sepertinya belum akan berakhir, karena ada sosok the last man yang lain yaitu Muhammad SAW. Boleh jadi sosialisme nyaris tak punya tempat lagi di bumi ini, tetapi ternyata Islam sebagai salah satu bentuk warisan Muhammad SAW masih terus berkembang dan berusaha menunjukkan jati dirinya. Di samping tokoh yang demokrat, Muhammad SAW dapat juga disebut tokoh liberal, terutama dalam hal merealisasikan kebebasan manusia dari belenggu perbudakan selain Allah SWT.
Aspek kesejarahan Muhammad SAW paling tidak harus menjadi pertimbangan utama Fukuyama. Bagaimana tidak, Muhammad SAW telah eksis melewati empat belas abad dan menginspirasi beberapa peradaban berbasis Islam seperti Arab, Persia, anak bangsa gurun Asia Tengah, Asia Selatan, anak benua India dan Asia Tenggara. Pertarungan itu akan terus berlanjut meskipun kapitalisme saat ini berada pada pihak pemenang pertempuran. Bahkan sang pemenang belum akan nyaman selama kapitalisme itu hanya berada pada segelintir manusia dan menginjak-injak rasa keadilan.
Lalu bagaimana menegaskan kehadiran Muhammad SAW sebagai the Last Man itu?. Itulah problem utama umat Islam saat ini. Profil the last man Nabi Muhammad SAW tidak muncul pada pribadi-pribadi yang mengaku para pejuang pencinta nabi. Wajah Muhammad SAW yang senyum, pemaaf, berseri-seri tidak tampak pada wajah pengikutnya. Personifikasi yang sering muncul adalah wajah yang dibungkus dengan dalil asyidda’ ala al kuffar (keras terhadap orang kafir).
Bagaimana mungkin dapat mengkampanyekan Muhammad the last man, uswatun hasanah dan khataman nabiyyin jika juru kampanyenya sangar dan tidak bersahabat. Akhirnya Islam sebagai perjuangan Nabi Muhammad hanya akan berputar-putar di kalangan umat Islam sendiri. Pada akhirnya Islam akan tereduksi dari kepala umat Islam yang tidak seluruhnya taat. Barangkali akan lebih baik akhirnya bagi seorang Sales Promotion Girl (SPG) mobil mewah Jaguar yang menjajakan dagangannya meski ia sendiri belum tentu dapat membelinya. Konsumen senang, produsen untung dan SPG kelimpahan bonus (reward). Allahumma Shalli wa Sallim wa Barik ‘ala Sayyidina Muhammad!
Padang, 12 Rabi’ul Awwal 1429 H
Penulis adalah Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia) Padang
Dimuat di Harian Haluan, Jum'at, 4 April 2008
Mengikuti penanggalan masehi, Muhammad SAW telah hidup dalam rentang waktu 1.473 tahun. Meski dalam ukuran usia manusia, Muhammad hanya menjalani masa kemanusiaannya selama enampulih tiga tahun, Muhammad dengan berbagai cara telah kembali dihidupkan oleh manusia untuk berbagai kepentingan. Dalam upaya menghidupkannya kembali tidak sedikit terjadi berbagai peristiwa yang secara sengaja atau tidak sengaja mengaburkan kepribadian Muhammad yang sebenarnya.
Dalam keyakinan Islam, Muhammad SAW adalah nabi sekaligus rasul terakhir. La nabiyya ba’dah. Keyakinan ini tidak dapat diutak atik karena menyangkut kewajiban dasar kemanusiaan yang disebut dengan Iman. Tidak heran, meragukan kenabian dan kerasulannya menjadi penyebab batalnya keimanan.
Lebih lanjut, Muhammad SAW dikukuhkan oleh al Qur’an sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzâb: 21) Karena itu, apapun upaya yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya untuk menjelekkan pribadi beliau akan mendapatkan tantangan yang keras. Misalnya saja, ulah media cetak Denmark –di antaranya Jylland Posten- dianggap sebagai pelecehan luar biasa terhadap beliau. Tak sedikitpun ada aura uswatun hasanah pada gambar karikaturistik itu.
Lalu, apa arti visualisasi Nabi Muhammad seperti yang digambarkan media Denmark itu? Kasat mata gambar itu mewakili kultur bangsa arab dengan asesoriesnya; sorban, gamis dan pedang. Gambar itu semakin nyata ketika atas nama perang melawan terorisme global, musuh yang muncul adalah "Pasukan berjenggot", berbaju gamis atau koko dan aktivis agama yang akhirnya menjadi incaran penangkapan. Ini ironis sekali dengan Muhammad yang digambarkan umat Islam. Pelaku teroris hari ini seolah-olah the next Muhammad yang menjadi musuh dunia. Siapa yang salah?
Boleh jadi ada argument yang menyatakan, betapa dangkalnya pengetahuan karikaturis Denmark itu tentang Muhammad SAW. Betapa tidak tolerannya Denmark ketika secara sadar negara itu tidak memberikan sanksi apa-apa kepada warganya dengan dalih kebebasan berekspresi. Namun satu hal yang patut dipertimbangkan adalah; apakah karikatur itu personifikasi Nabi Muhmmad SAW atau wajah muslim hari ini yang tidak ramah? Dan nyaris saja gambar itu semakin jelas wujudnya, ketika respon yang diberikan umat Islam nyaris sama dengan visualisasi yang dimunculkan.
Beranajak dari kasus karikatur nabi tersebut, ada pesan khusus untuk umat Islam; mengapa aura uswatun hasanah nabi tidak memancar kepada karikaturis Jylland Posten dan media massa Denmark lainnya? Jangan-jangan sosok Nabi Muhammad SAW tertutupi (mahjub) oleh prilaku umat Islam yang jauh bertolak belakang dengan pribadi Agung Muhammad SAW.
Muhammad Kontemporer
Sepertinya ada pesan besar dibalik frasa “nabi terakhir”, “la nabiyya ba’dah” dan “uswatun hasanah”. Pesan itu kalau tidak salah menampilkan satu model manusia yang relevan dan sesuai (compatible) dengan segala zaman.
Ada baiknya disimak alur logika Francis Fukuyama tentang determinisme historis Fukuyama yang meyakini apa yang ia sebut dengan sejarah direksional, keterarahan sejarah pada tujuan akhir tertentu. Fukuyama mendasarkan uraiannya kepada Imanuel Kant (di samping pada tokoh ilmu alam semisal Galilio dan Bacon), yang mengatakan bahwa sejarah akan sampai pada titik akhir. Titik akhir itu adalah realisasi kebebasan manusia.
Melalui bukunya, The End of History and The Last Man (1993), Fukuyama hendak mengatakan bahwa pasca perang dingin, tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Tentang the last man sendiri diartikan Fukuyama sebagai sang demokrat nan liberal.
Tetapi sejarah sepertinya belum akan berakhir, karena ada sosok the last man yang lain yaitu Muhammad SAW. Boleh jadi sosialisme nyaris tak punya tempat lagi di bumi ini, tetapi ternyata Islam sebagai salah satu bentuk warisan Muhammad SAW masih terus berkembang dan berusaha menunjukkan jati dirinya. Di samping tokoh yang demokrat, Muhammad SAW dapat juga disebut tokoh liberal, terutama dalam hal merealisasikan kebebasan manusia dari belenggu perbudakan selain Allah SWT.
Aspek kesejarahan Muhammad SAW paling tidak harus menjadi pertimbangan utama Fukuyama. Bagaimana tidak, Muhammad SAW telah eksis melewati empat belas abad dan menginspirasi beberapa peradaban berbasis Islam seperti Arab, Persia, anak bangsa gurun Asia Tengah, Asia Selatan, anak benua India dan Asia Tenggara. Pertarungan itu akan terus berlanjut meskipun kapitalisme saat ini berada pada pihak pemenang pertempuran. Bahkan sang pemenang belum akan nyaman selama kapitalisme itu hanya berada pada segelintir manusia dan menginjak-injak rasa keadilan.
Lalu bagaimana menegaskan kehadiran Muhammad SAW sebagai the Last Man itu?. Itulah problem utama umat Islam saat ini. Profil the last man Nabi Muhammad SAW tidak muncul pada pribadi-pribadi yang mengaku para pejuang pencinta nabi. Wajah Muhammad SAW yang senyum, pemaaf, berseri-seri tidak tampak pada wajah pengikutnya. Personifikasi yang sering muncul adalah wajah yang dibungkus dengan dalil asyidda’ ala al kuffar (keras terhadap orang kafir).
Bagaimana mungkin dapat mengkampanyekan Muhammad the last man, uswatun hasanah dan khataman nabiyyin jika juru kampanyenya sangar dan tidak bersahabat. Akhirnya Islam sebagai perjuangan Nabi Muhammad hanya akan berputar-putar di kalangan umat Islam sendiri. Pada akhirnya Islam akan tereduksi dari kepala umat Islam yang tidak seluruhnya taat. Barangkali akan lebih baik akhirnya bagi seorang Sales Promotion Girl (SPG) mobil mewah Jaguar yang menjajakan dagangannya meski ia sendiri belum tentu dapat membelinya. Konsumen senang, produsen untung dan SPG kelimpahan bonus (reward). Allahumma Shalli wa Sallim wa Barik ‘ala Sayyidina Muhammad!
Padang, 12 Rabi’ul Awwal 1429 H
Penulis adalah Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia) Padang
Dimuat di Harian Haluan, Jum'at, 4 April 2008
Demokrasi “Salingka Nagari”
Muhammad Nasir
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Demokrasi Historis
Demokrasi historis adalah perlawanan terhadap totalitarianisme dan otoritarianisme. Banyak contoh yang menunjukkan kemenangan demokrasi berada pada ranah kekuasaan yang mengkebiri hak-hak sipil dan penguasaan yang tak terbatas terhadap warga dalam menetukan nasibnya sendiri. Tak heran demokrasi ketika diangkat sebagai isu perjuangan memenangkan pertempuran di wilayah Eropa Timur yang cendrung dikuasai sosialisme dan komunisme. Begitu juga di beberapa wilayah Asia Timur dan beberapa negara di Amerika latin.
Akan tetapi bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, bila Amerika Serikat selalu ada dalam isu demokratisasi pada beberapa kawasan tersebut di atas. Demokrasi merupakan dagangan utama Amerika dalam memenangkan persaingan global. Agaknya hal itu pula yang mendorong seorang Francis Fukuyama untuk membicarakan keunggulan demokrasi –terutama demokrasi liberal– sebagai jaminan mutu dalam menyelenggarakan pemerintahan. Demokrasi tampaknya memenangkan pertempuran pada beberapa kawasan yang tersebut di atas. Paling tidak kemenangan itu didukung oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya.
Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.
Akan tetapi akankah manusia mengakhiri sejarahnya sendiri dengan bernaung di bawah bendera demokrasi? Dapatkah demokrasi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya cara baik dalam menyelenggarakan hajat hidup orang banyak? Disinilah titik tolak masalahnya.
Sejarah tidak hanya melahirkan demokrasi sebagai satu-satunya ideology. Demokrasi tidak lebih sebagai sintesis terhadap sistem totalitarianisme, absolutisme dan penafian potensi individu dalam menyelanggarakan kehidupannya. Dengan kata lain, demokrasi bukanlah hal yang final. Dalam sejarah proyek demokratisasi selalu bersentuhan dengan kawasan atau negara yang sedang mengalami permasalahan dalam hal kesejahteraan (krisis ekonomi).
Sejarah manusia membuktikan bahwa akal dan nalar manusia selalu survive mengatasi tantangan yang dihadapinya. beberap ideology lain juga mencoba memformulasi ulang segenap langkah untuk mengatasi persoalan yang dialami oleh penganutnya. sesuai dengan kodratnya, ideology diperuntukkan oleh pembangunnya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu pertentangan ideologi-ideologi lainnya (misalnya Islam) dengan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi demokrasi yang diformulasi oleh satu kelompok atau bangsa tertentu semisal Amerika Serikat. Maka kekhawatiran Amerika Serikat terhadap kelangsungan proyek demokrasinya adalah kebangkitan ekonomi Asia dan progresivitas aktivisme Islam dalam memperbaiki nasibnya.
Pertentangan itu akan meluas pada perang terbuka (global) seandainya terjadi pemaksaan untuk penerapan satu ideology yang direformulasi. Misalnya pemaksaan untuk menerima demokrasi liberal sebagai bentuk terakhir ideology umat manusia. Begitu pula pemaksaan Islam sebagai satu sistem ideology untuk diterapkan sebagai ideology terakhir yang harus diterapkan umat manusia.
Berangkatat dari asumsi itu, demokrasi kontemporer mestilah disesuaikan dengan level masalah dan konteksnya. Tidak ada model penyeragaman dalam penerapan demokrasi, apalagi harus liberal. Sementara liberalisme pada intinya adalah persoalan kesiapan sumber daya untuk infrastruktur dan suprastruktur ekonomi dalam mengartikulasi kebebasannya.
Demokrasi; Kembalikan ke makna asal
Prinsipnya, demokrasi merupakan sebuah proses interaksi manusia dimana setiap manusia dapat ikut serta secara aktif menjalankan kehidupan bersama. Setiap manusia secara proporsional menunaikan kewajiban pribadinya terhadap manusia lain dalam kehidupan kolektif, begitu juga secara individu manusia mendapatkan hak privatnya dari manusia lain dan dari kehidupan kolektif.
Demokrasi akan menjadi isu penting, utamanya di daerah yang kehilangan sikap ketidak adilan. Begitu pula negara lain yang kehilangan kesempatan yang sama untuk mengakses kehidupan, berterima dengan agama atau ideology tertentu untuk menyelesaikan persoalannya. Hal ini menjadi bukti, bahwa demokrasi bukanlah satu-satunya solusi. Contoh terdekat, Brunai Darussalam yang monarchy demokrasi tidak menemukan tempatnya. Barangkali demikian juga halnya di bumi kelahiran demokrasi, demokrasi tak lebih isu pemenuhan hasrat politik kelas menengah ke atas. Itu juga yang menjadi penyebab, demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia, dicurigai sebagai tongkat pemukul yang melemahkan punggung bangsa yang sedang bangkit. Pesakitan Indonesia dituduh tidak demokratis.
Namun demikian demokrasi tidak bebas nilai. Demokrasi harus lahir dari sesuatu yang dianggap baik, baik secara vertical maupun horizontal. Karena itu demokrasi tidak dapat diseragamkan. Demokrasi yang diseragamkan adalah otoritarianisme dan imperialisme.
Keharusan dalam menerapkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dewasa ini semestinya diterapkan dalam bentuk persemaian benih keadilan, persamaan hak (duduk sama rendah – tegak sama tinggi), kesejahteraan. Keharusan lainnya yang universal dalam menghidupkan demokrasi adalah kesukarelaan dalam melakukan kewajiban, keikhlasan dalam memberikan hak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan berdunia.
Demokrasi Salingka Nagari
Demokrasi kata kuncinya adalah partisipasi. Jika terjadi dorongan yang kuat bahkan pemaksaan diluar kesadaran berarti mobilisasi. Sayangnya, kecenderungan proyek demokrasi kita adalah mobilisasi. Semua diharapkan demokratis dalam sangkar yang dibuat sendiri oleh agen demokrasi, yaitu birokrasi. Semestinya demokrasi hidup di dalam rumah yang dibuat sendiri oleh warganya sendiri.
Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak anti dengan demokrasi. Indonesia, pascareformasi sudah dipuji sedemikian rupa sebagai negara yang dengan sukarela melakukan proses demokratisasi di segala bidang. Utamanya, pemilihan umum pertama pascareformasi dapat dijadikan ukuran kesukarelaan dalam menerapkan prinsip demokrasi dalam menyelenggarakan kepemimpinan negara. Meskipun cara-caranya mengimpor dari negara tetangga.
Secara historis, kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan semangat demokrasi. Demokrasi dalam perspektif kehendak rakyat menjelama dalam bentuk negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Hal ini terwujud karena bangsa Indonesia melalui ratusan suku bangsanya sudah memiliki semangat demokrasi dalam setiap akar budayanya. Oleh sebab itu demokratisasi Indonesia tidak berangkat dari ruang hampa (tabularasa)
Dalam adat Minangkabau yang relative demokratis, ditemukan teori adat salingka (selingkar) nagari. Bahwa tatanan adat dan nilai-nilai dikandungnya hidup di lingkar nagari (negeri) itu sendiri, tanpa harus dipaksakan dalam kehidupan warga minangkabau yamg tidak hidup di negeri itu, misalnya di perantauan. Maka Demokrasi pun semestinya juga demikian. Demokrasi Salingka Nagari. Demokrasi bukan berarti Westernisasi atau mungkin Amerikanisasi. Demokrasi Indonesia adalah Indonesianisasi. Demokrasi Indonesia berarti menjadikan orang Indonesia hidup dengan peradabannya sendiri, dan dengan cara-cara yang dibangunnya sendiri. Itulah demokrasi kita, duduk bersama menyelesaikan masalah utama kita berikut dengan turunan masalahnya.
(Minangkabau, 23 Juli 2007)
Mahasiswa Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Demokrasi Historis
Demokrasi historis adalah perlawanan terhadap totalitarianisme dan otoritarianisme. Banyak contoh yang menunjukkan kemenangan demokrasi berada pada ranah kekuasaan yang mengkebiri hak-hak sipil dan penguasaan yang tak terbatas terhadap warga dalam menetukan nasibnya sendiri. Tak heran demokrasi ketika diangkat sebagai isu perjuangan memenangkan pertempuran di wilayah Eropa Timur yang cendrung dikuasai sosialisme dan komunisme. Begitu juga di beberapa wilayah Asia Timur dan beberapa negara di Amerika latin.
Akan tetapi bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, bila Amerika Serikat selalu ada dalam isu demokratisasi pada beberapa kawasan tersebut di atas. Demokrasi merupakan dagangan utama Amerika dalam memenangkan persaingan global. Agaknya hal itu pula yang mendorong seorang Francis Fukuyama untuk membicarakan keunggulan demokrasi –terutama demokrasi liberal– sebagai jaminan mutu dalam menyelenggarakan pemerintahan. Demokrasi tampaknya memenangkan pertempuran pada beberapa kawasan yang tersebut di atas. Paling tidak kemenangan itu didukung oleh kekuatan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara sekutunya.
Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.
Akan tetapi akankah manusia mengakhiri sejarahnya sendiri dengan bernaung di bawah bendera demokrasi? Dapatkah demokrasi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya cara baik dalam menyelenggarakan hajat hidup orang banyak? Disinilah titik tolak masalahnya.
Sejarah tidak hanya melahirkan demokrasi sebagai satu-satunya ideology. Demokrasi tidak lebih sebagai sintesis terhadap sistem totalitarianisme, absolutisme dan penafian potensi individu dalam menyelanggarakan kehidupannya. Dengan kata lain, demokrasi bukanlah hal yang final. Dalam sejarah proyek demokratisasi selalu bersentuhan dengan kawasan atau negara yang sedang mengalami permasalahan dalam hal kesejahteraan (krisis ekonomi).
Sejarah manusia membuktikan bahwa akal dan nalar manusia selalu survive mengatasi tantangan yang dihadapinya. beberap ideology lain juga mencoba memformulasi ulang segenap langkah untuk mengatasi persoalan yang dialami oleh penganutnya. sesuai dengan kodratnya, ideology diperuntukkan oleh pembangunnya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia. Karena itu pertentangan ideologi-ideologi lainnya (misalnya Islam) dengan demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi demokrasi yang diformulasi oleh satu kelompok atau bangsa tertentu semisal Amerika Serikat. Maka kekhawatiran Amerika Serikat terhadap kelangsungan proyek demokrasinya adalah kebangkitan ekonomi Asia dan progresivitas aktivisme Islam dalam memperbaiki nasibnya.
Pertentangan itu akan meluas pada perang terbuka (global) seandainya terjadi pemaksaan untuk penerapan satu ideology yang direformulasi. Misalnya pemaksaan untuk menerima demokrasi liberal sebagai bentuk terakhir ideology umat manusia. Begitu pula pemaksaan Islam sebagai satu sistem ideology untuk diterapkan sebagai ideology terakhir yang harus diterapkan umat manusia.
Berangkatat dari asumsi itu, demokrasi kontemporer mestilah disesuaikan dengan level masalah dan konteksnya. Tidak ada model penyeragaman dalam penerapan demokrasi, apalagi harus liberal. Sementara liberalisme pada intinya adalah persoalan kesiapan sumber daya untuk infrastruktur dan suprastruktur ekonomi dalam mengartikulasi kebebasannya.
Demokrasi; Kembalikan ke makna asal
Prinsipnya, demokrasi merupakan sebuah proses interaksi manusia dimana setiap manusia dapat ikut serta secara aktif menjalankan kehidupan bersama. Setiap manusia secara proporsional menunaikan kewajiban pribadinya terhadap manusia lain dalam kehidupan kolektif, begitu juga secara individu manusia mendapatkan hak privatnya dari manusia lain dan dari kehidupan kolektif.
Demokrasi akan menjadi isu penting, utamanya di daerah yang kehilangan sikap ketidak adilan. Begitu pula negara lain yang kehilangan kesempatan yang sama untuk mengakses kehidupan, berterima dengan agama atau ideology tertentu untuk menyelesaikan persoalannya. Hal ini menjadi bukti, bahwa demokrasi bukanlah satu-satunya solusi. Contoh terdekat, Brunai Darussalam yang monarchy demokrasi tidak menemukan tempatnya. Barangkali demikian juga halnya di bumi kelahiran demokrasi, demokrasi tak lebih isu pemenuhan hasrat politik kelas menengah ke atas. Itu juga yang menjadi penyebab, demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia, dicurigai sebagai tongkat pemukul yang melemahkan punggung bangsa yang sedang bangkit. Pesakitan Indonesia dituduh tidak demokratis.
Namun demikian demokrasi tidak bebas nilai. Demokrasi harus lahir dari sesuatu yang dianggap baik, baik secara vertical maupun horizontal. Karena itu demokrasi tidak dapat diseragamkan. Demokrasi yang diseragamkan adalah otoritarianisme dan imperialisme.
Keharusan dalam menerapkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dewasa ini semestinya diterapkan dalam bentuk persemaian benih keadilan, persamaan hak (duduk sama rendah – tegak sama tinggi), kesejahteraan. Keharusan lainnya yang universal dalam menghidupkan demokrasi adalah kesukarelaan dalam melakukan kewajiban, keikhlasan dalam memberikan hak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan berdunia.
Demokrasi Salingka Nagari
Demokrasi kata kuncinya adalah partisipasi. Jika terjadi dorongan yang kuat bahkan pemaksaan diluar kesadaran berarti mobilisasi. Sayangnya, kecenderungan proyek demokrasi kita adalah mobilisasi. Semua diharapkan demokratis dalam sangkar yang dibuat sendiri oleh agen demokrasi, yaitu birokrasi. Semestinya demokrasi hidup di dalam rumah yang dibuat sendiri oleh warganya sendiri.
Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak anti dengan demokrasi. Indonesia, pascareformasi sudah dipuji sedemikian rupa sebagai negara yang dengan sukarela melakukan proses demokratisasi di segala bidang. Utamanya, pemilihan umum pertama pascareformasi dapat dijadikan ukuran kesukarelaan dalam menerapkan prinsip demokrasi dalam menyelenggarakan kepemimpinan negara. Meskipun cara-caranya mengimpor dari negara tetangga.
Secara historis, kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan semangat demokrasi. Demokrasi dalam perspektif kehendak rakyat menjelama dalam bentuk negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Hal ini terwujud karena bangsa Indonesia melalui ratusan suku bangsanya sudah memiliki semangat demokrasi dalam setiap akar budayanya. Oleh sebab itu demokratisasi Indonesia tidak berangkat dari ruang hampa (tabularasa)
Dalam adat Minangkabau yang relative demokratis, ditemukan teori adat salingka (selingkar) nagari. Bahwa tatanan adat dan nilai-nilai dikandungnya hidup di lingkar nagari (negeri) itu sendiri, tanpa harus dipaksakan dalam kehidupan warga minangkabau yamg tidak hidup di negeri itu, misalnya di perantauan. Maka Demokrasi pun semestinya juga demikian. Demokrasi Salingka Nagari. Demokrasi bukan berarti Westernisasi atau mungkin Amerikanisasi. Demokrasi Indonesia adalah Indonesianisasi. Demokrasi Indonesia berarti menjadikan orang Indonesia hidup dengan peradabannya sendiri, dan dengan cara-cara yang dibangunnya sendiri. Itulah demokrasi kita, duduk bersama menyelesaikan masalah utama kita berikut dengan turunan masalahnya.
(Minangkabau, 23 Juli 2007)
Renungan 59 Tahun HMI: Berpeluang Menjadi Pecundang
Oleh : Muhammad Nasir*
5 Februari 2006 HMI berusia 59 tahun sejak didirikan 5 Februari 1947/ 14 Rabiul Awal 1366 H yang lalu. Kelahiran HMI tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang tengah bertaruh mempertahankan kemerdekaan. Mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan diperguruan tinggi larut dengan organisasi primordial semisal Himpunan Mahasiswa Djakarta (HMD), Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD) dan sebagainya. Umat Islampun tengah larut dengan isu Islam santri - Islam abangan, Kaum Tua – Kaum Muda, Islam Pembaharu – Islam Tradisional yang sengaja diperbesar oleh Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa. Lafran Pane, mahasiswa tahun I di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta gelisah dan tergetar hatinya untuk menyatukan kepentingan umat hanya pada “satu Islam” tanpa dikotomi. Gerakan ini ia mulai dengan mendirikan HMI.
Pada perkembangannya HMI telah melewati masa sulit era revolusi fisik, masa tantangan pada 1960-1966, masa emas dengan menyumbang sejumlah besar kader terbaik dalam pembangunan nasional, hingga kini kembali mengalami kemerosotan pascagerakan reformasi 1998.
HMI memang belum mati. Saat ini adalah masa kritis yang perlu diwaspadai oleh HMI. Beberapa komisariat terancam tutup karena kekurangan anggota, tidak diminati dan kehilangan taji. Kader-kader HMI tidak lebih hanya pendongeng tentang kesuksesan masa lalu, tentang Deliar Noer, Sulastomo,Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Mar’ie Muhammad, dan kader-kader terbaiknya yang tengah memegang posisi kunci, hingga teranyar Jusuf Kalla yang juga menjabat orang kedua di republik ini. Tidak terbayang, seandainya generasi emas ini meninggal dunia menyusul guru bangsa “Cak Nur”, HMI tidak bisa lagi bercerita sejarah kebesaran dirinya yang memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
HMI dan Kampus
Yang patut dibanggakan saat ini, dari sekian banyak organisasi mahasiswa seusianya, barangkali yang bisa dikatakan eksis adalah HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Sayangnya, di usia paruh bayanya ini, HMI tidak populer lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ironisnya, komunitas kampus sebagai basis utama HMI nyaris tidak mengenal HMI apalagi harus menaruh segan dan hormat terhadap organisasi mahasiswa Islam yang satu ini. Sebenarnya penulis tidak enak hati untuk mengatakan ; HMI pecundang !!!.
Sejak 5 tahun terakhir, HMI mulai mengalami penurunan drastis. Dominasi HMI pada beberapa kampus besar di Sumatera Barat mulai berkurang, bahkan habis sama sekali. Yang tinggal cuma kepengurusan dan anggota HMI. Sementara dinamika kampus tidak lagi dimotori oleh HMI. Sekedar nostalgia, sebelumnya kader-kader HMI pernah memegang posisi kunci pada beberapa organisasi intra kampus semisal Senat Mahasiswa (BEM sekarang), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hingga organisasi di level fakultas dan jurusan.
Hal lainnya yang patut dibanggakan HMI pada waktu itu adalah keunggulan pada sistem perkaderan. Paling tidak, mahasiswa yang pernah mengikuti latihan perkaderan semisal LK-I (Basic Training) merasakan nuansa yang berbeda yang tidak didapatkan pada perkaderan di organisasi lainnya. Tidak heran, pasca LK-I biasanya kader HMI terampil dalam berbicara, mempunyai keberanian lebih dan kepercayaan diri yang meningkat. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi akademis anggota HMI. Kemampuan berbicara , daya kritis dan semangat kemandirian ini menjadi metode pembelajaran tersendiri bagi anggota HMI untuk mencapai prestasi. Ditambah lagi dengan follow up sebagai program capacity building pasca LK-I yang memberikan jaminan terpenuhinya hasrat pengembangan bakat dan minat mahasiswa.
Di luar kampus, HMI dapat menunjukkan eksistensi dan peran keummatan, sosial dan politik lokal. Disamping keterlibatan HMI secara institusi, para kader HMI pun membentuk buffer institution sebagai ajang aktivitas dan kreativitas anggota-anggotanya.Saat ini kondisi berbalik. Dengan pencapaian seperti itu wajar saja HMI menjadi idola dan prioritas mahasiswa dalam menentukan organisasi yang akan dimasukinya.
Bagaimana Kompetitor HMI?
Pada saat yang bersamaan, di tengah merosotnya pamor HMI berikut kader-kadernya, organisasi mahasiswa yang lahir dari lembaga dakwah kampus menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Fenomena ini tidak lebih dan nyaris sama dengan kemunculan partai Islam semisal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga didirikan oleh mantan aktivis lembaga dakwah kampus. Bahkan ada indikasi organisasi mahasiswa Islam semisal KAMMI, sebagai ruang integrasi aktivis Forum Studi Islam, Kelompok Studi Islam, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) punya ikatan historis yang kuat. Embel-embel dan slogan PKS juga ada pada KAMMI.
Peningkatan yang sama juga terjadi pada organisasi mahasiswa primordial berbasis kampung, almamater dan sebagainya. Hal ini disinyalir sebagai dampak otonomi daerah yang memberikan peran besar kepada mereka untuk berpartisipasi pada peristiwa sosial politik di daerah mereka masing-masing. Tercatat, masa-masa Pemilihan Kepala daerah langsung (Pilkada langsung) beberapa waktu lalu organisasi primordial atau paguyuban ini laku keras.
Sementara organisasi mahasiswa lainnya seperti IMM tidak jauh berbeda kondisinya. Namun IMM dapat mempertahankan eksistensinya karena Muhammadiyah sebagai payung organisasi masih dapat menampung aktivitas dan kreativitas mereka. Sementara organisasi mahasiswa di bawah payung NU seperti PMII dan GP Anshor tidak berkembang dengan baik. Begitu juga organisasi independen yang seusia dengan HMI yaitu PII yang lahir Mei 1947 nyaris senasib dengan HMI .
HMI Pemalas!
Beberapa mahasiswa yang sempat diwawancarai menyatakan saat ini HMI tidak punya prestasi di kampus. Komentar – komentar seperti -- “apa yang akan kami lakukan di HMI, jika sehari-hari kampus sepi dari kegiatan HMI ?”-- semakin sering terdengar. Artinya akan semakin sulit bagi HMI untuk merekrut anggota baru apabila mahasiswa tidak melihat aktivitas HMI di kampus. Realitanya, saat ini kampus-kampus besar di Sumatera Barat dibanjiri spanduk, panflet, leaflet dan media komunikasi lainnya darim oragnisasi kompetitor HMI. Media tersebut tentu saja menjadi ajang promosi bagi kompetitor HMI. Jaminan kebenaran promosi tersebut dapat mereka lihat dari maraknya aktivitas kompetitor di kampus.
Berdasarkan informasi di atas, persoalan merosotnya popularitas dan peran HMI bila disederhanakan adalah sepinya aktivitas organisasi di berbagai level kepemimpinan. Pola perkaderan HMI saat ini belum bisa dikatakan out of date. Paling tidak metode-metode yang dipakai HMI dalam aktivitas perkaderan yang menggunakan metode pembelajaran orang dewasa, menekankan pada partisipasi aktif anggota, ternyata masih relevan. Hanya saja, kader HMI yang bergiat sekarang, sepertinya diserang penyakit malas dan tidak suka bekerja keras. Sanggupkan HMI keluar dari kemalasan ini?.
Indikator kemalasan itu semakin nyata terlihat. Ada banyak kesempatan berdiskusi dengan pentolan HMI di kampus. Beberapa rencana besar terungkap dari pembicaraan tersebut. Namun rencana besar itu tidak pernah terwujud. Indikator lainnya, beberapa program yang pernah diangkatkan pengurus, ternyata hanya dihadiri oleh beberapa gelintir anggota saja. HMI, dingin !!!.
Saat ini, yang diperlukan HMI cuma bangkit dari kemalasan. Memang banyak persoalan yang dihadapi HMI, banyak cara telah dilakukan untuk menemukan masalah di tubuh HMI, dengan berbagai pendekatan penuh strategi dan rinci. Konflik internal HMI yang sering dijadikan alasan kemunduran HMI tidak lebih dari alasan dari orang-orang kalah. Sekali lagi, bangkitlah dari kemalasan.(Padang, 1 Februari 2006)
Penulis Mantan Pengurus HMI Cabang Padang
Periode 1999-2000
5 Februari 2006 HMI berusia 59 tahun sejak didirikan 5 Februari 1947/ 14 Rabiul Awal 1366 H yang lalu. Kelahiran HMI tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang tengah bertaruh mempertahankan kemerdekaan. Mahasiswa Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan diperguruan tinggi larut dengan organisasi primordial semisal Himpunan Mahasiswa Djakarta (HMD), Perhimpunan Mahasiswa Djogjakarta (PMD) dan sebagainya. Umat Islampun tengah larut dengan isu Islam santri - Islam abangan, Kaum Tua – Kaum Muda, Islam Pembaharu – Islam Tradisional yang sengaja diperbesar oleh Belanda untuk memecah belah kekuatan bangsa. Lafran Pane, mahasiswa tahun I di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta gelisah dan tergetar hatinya untuk menyatukan kepentingan umat hanya pada “satu Islam” tanpa dikotomi. Gerakan ini ia mulai dengan mendirikan HMI.
Pada perkembangannya HMI telah melewati masa sulit era revolusi fisik, masa tantangan pada 1960-1966, masa emas dengan menyumbang sejumlah besar kader terbaik dalam pembangunan nasional, hingga kini kembali mengalami kemerosotan pascagerakan reformasi 1998.
HMI memang belum mati. Saat ini adalah masa kritis yang perlu diwaspadai oleh HMI. Beberapa komisariat terancam tutup karena kekurangan anggota, tidak diminati dan kehilangan taji. Kader-kader HMI tidak lebih hanya pendongeng tentang kesuksesan masa lalu, tentang Deliar Noer, Sulastomo,Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Mar’ie Muhammad, dan kader-kader terbaiknya yang tengah memegang posisi kunci, hingga teranyar Jusuf Kalla yang juga menjabat orang kedua di republik ini. Tidak terbayang, seandainya generasi emas ini meninggal dunia menyusul guru bangsa “Cak Nur”, HMI tidak bisa lagi bercerita sejarah kebesaran dirinya yang memang tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
HMI dan Kampus
Yang patut dibanggakan saat ini, dari sekian banyak organisasi mahasiswa seusianya, barangkali yang bisa dikatakan eksis adalah HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Sayangnya, di usia paruh bayanya ini, HMI tidak populer lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ironisnya, komunitas kampus sebagai basis utama HMI nyaris tidak mengenal HMI apalagi harus menaruh segan dan hormat terhadap organisasi mahasiswa Islam yang satu ini. Sebenarnya penulis tidak enak hati untuk mengatakan ; HMI pecundang !!!.
Sejak 5 tahun terakhir, HMI mulai mengalami penurunan drastis. Dominasi HMI pada beberapa kampus besar di Sumatera Barat mulai berkurang, bahkan habis sama sekali. Yang tinggal cuma kepengurusan dan anggota HMI. Sementara dinamika kampus tidak lagi dimotori oleh HMI. Sekedar nostalgia, sebelumnya kader-kader HMI pernah memegang posisi kunci pada beberapa organisasi intra kampus semisal Senat Mahasiswa (BEM sekarang), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) hingga organisasi di level fakultas dan jurusan.
Hal lainnya yang patut dibanggakan HMI pada waktu itu adalah keunggulan pada sistem perkaderan. Paling tidak, mahasiswa yang pernah mengikuti latihan perkaderan semisal LK-I (Basic Training) merasakan nuansa yang berbeda yang tidak didapatkan pada perkaderan di organisasi lainnya. Tidak heran, pasca LK-I biasanya kader HMI terampil dalam berbicara, mempunyai keberanian lebih dan kepercayaan diri yang meningkat. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi akademis anggota HMI. Kemampuan berbicara , daya kritis dan semangat kemandirian ini menjadi metode pembelajaran tersendiri bagi anggota HMI untuk mencapai prestasi. Ditambah lagi dengan follow up sebagai program capacity building pasca LK-I yang memberikan jaminan terpenuhinya hasrat pengembangan bakat dan minat mahasiswa.
Di luar kampus, HMI dapat menunjukkan eksistensi dan peran keummatan, sosial dan politik lokal. Disamping keterlibatan HMI secara institusi, para kader HMI pun membentuk buffer institution sebagai ajang aktivitas dan kreativitas anggota-anggotanya.Saat ini kondisi berbalik. Dengan pencapaian seperti itu wajar saja HMI menjadi idola dan prioritas mahasiswa dalam menentukan organisasi yang akan dimasukinya.
Bagaimana Kompetitor HMI?
Pada saat yang bersamaan, di tengah merosotnya pamor HMI berikut kader-kadernya, organisasi mahasiswa yang lahir dari lembaga dakwah kampus menunjukkan peningkatan yang luar biasa. Fenomena ini tidak lebih dan nyaris sama dengan kemunculan partai Islam semisal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang juga didirikan oleh mantan aktivis lembaga dakwah kampus. Bahkan ada indikasi organisasi mahasiswa Islam semisal KAMMI, sebagai ruang integrasi aktivis Forum Studi Islam, Kelompok Studi Islam, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) punya ikatan historis yang kuat. Embel-embel dan slogan PKS juga ada pada KAMMI.
Peningkatan yang sama juga terjadi pada organisasi mahasiswa primordial berbasis kampung, almamater dan sebagainya. Hal ini disinyalir sebagai dampak otonomi daerah yang memberikan peran besar kepada mereka untuk berpartisipasi pada peristiwa sosial politik di daerah mereka masing-masing. Tercatat, masa-masa Pemilihan Kepala daerah langsung (Pilkada langsung) beberapa waktu lalu organisasi primordial atau paguyuban ini laku keras.
Sementara organisasi mahasiswa lainnya seperti IMM tidak jauh berbeda kondisinya. Namun IMM dapat mempertahankan eksistensinya karena Muhammadiyah sebagai payung organisasi masih dapat menampung aktivitas dan kreativitas mereka. Sementara organisasi mahasiswa di bawah payung NU seperti PMII dan GP Anshor tidak berkembang dengan baik. Begitu juga organisasi independen yang seusia dengan HMI yaitu PII yang lahir Mei 1947 nyaris senasib dengan HMI .
HMI Pemalas!
Beberapa mahasiswa yang sempat diwawancarai menyatakan saat ini HMI tidak punya prestasi di kampus. Komentar – komentar seperti -- “apa yang akan kami lakukan di HMI, jika sehari-hari kampus sepi dari kegiatan HMI ?”-- semakin sering terdengar. Artinya akan semakin sulit bagi HMI untuk merekrut anggota baru apabila mahasiswa tidak melihat aktivitas HMI di kampus. Realitanya, saat ini kampus-kampus besar di Sumatera Barat dibanjiri spanduk, panflet, leaflet dan media komunikasi lainnya darim oragnisasi kompetitor HMI. Media tersebut tentu saja menjadi ajang promosi bagi kompetitor HMI. Jaminan kebenaran promosi tersebut dapat mereka lihat dari maraknya aktivitas kompetitor di kampus.
Berdasarkan informasi di atas, persoalan merosotnya popularitas dan peran HMI bila disederhanakan adalah sepinya aktivitas organisasi di berbagai level kepemimpinan. Pola perkaderan HMI saat ini belum bisa dikatakan out of date. Paling tidak metode-metode yang dipakai HMI dalam aktivitas perkaderan yang menggunakan metode pembelajaran orang dewasa, menekankan pada partisipasi aktif anggota, ternyata masih relevan. Hanya saja, kader HMI yang bergiat sekarang, sepertinya diserang penyakit malas dan tidak suka bekerja keras. Sanggupkan HMI keluar dari kemalasan ini?.
Indikator kemalasan itu semakin nyata terlihat. Ada banyak kesempatan berdiskusi dengan pentolan HMI di kampus. Beberapa rencana besar terungkap dari pembicaraan tersebut. Namun rencana besar itu tidak pernah terwujud. Indikator lainnya, beberapa program yang pernah diangkatkan pengurus, ternyata hanya dihadiri oleh beberapa gelintir anggota saja. HMI, dingin !!!.
Saat ini, yang diperlukan HMI cuma bangkit dari kemalasan. Memang banyak persoalan yang dihadapi HMI, banyak cara telah dilakukan untuk menemukan masalah di tubuh HMI, dengan berbagai pendekatan penuh strategi dan rinci. Konflik internal HMI yang sering dijadikan alasan kemunduran HMI tidak lebih dari alasan dari orang-orang kalah. Sekali lagi, bangkitlah dari kemalasan.(Padang, 1 Februari 2006)
Penulis Mantan Pengurus HMI Cabang Padang
Periode 1999-2000
Subscribe to:
Posts (Atom)