15 June 2025

LPDP: Antara Finansial, Reputasi, dan Nasionalisme

Muhammad Nasir

Non Awardee LPDP


Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol Hutama Karya. Ini sirkuit Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.

—tankari 


Mau tahu berapa penerimaan bulanan atau tahunan awardee LPDP luar negeri? Pertanyaan itu kerap muncul dengan nada penasaran, seolah ingin mengintip rahasia dapur para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas-universitas terbaik dunia. Maka mari kita buka secara lugas. Rata-rata awardee LPDP luar negeri menerima dana hidup bulanan sebesar USD 1.500 hingga 2.500 tergantung kota dan negara tujuan. 

Misalnya, di London seorang awardee bisa mendapat sekitar GBP 1.200–1.500 per bulan, setara sekitar Rp 25–30 juta. Di New York, angka itu bisa mencapai USD 2.000 per bulan atau sekitar Rp 30 juta. Dalam setahun, angka itu berarti berkisar Rp 300 hingga 450 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya kuliah penuh, tiket pesawat PP, visa, asuransi kesehatan, dana buku, tunjangan tesis/disertasi, bahkan dana kedatangan yang setara dua bulan living allowance. 

Jika semua dikalkulasi secara kasar, satu orang awardee bisa mengelola fasilitas pembiayaan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah per tahun.


13 June 2025

Papan Bunga untuk Pak Saridjo

 Muhammad Nasir


Masih terngiang-ngiang di sepanjang jalan percakapan orang-orang di rumah Pak David tadi. Antara ingin ketawa atau mendongkol aku. Ketawa, karena memang itu pantas untuk bahan tertawaan. Mendongkol karena itulah kenyataan yang harus kuhadapi: bekerja total demi penghasilan pada orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku senangi. Bukan karena ia buruk, tetapi karena terlalu sulit berakrab-akrab dengannya. 

Hanya karena itu adalah mata air yang harus kujaga, agar kehidupan keluargaku terus berlanjut.

Pak Saridjo bukan orang baru dalam dunia kekuasaan. Ia memulai karier sebagai kepala seksi bidang pertanian di kantor kecamatan, lalu naik perlahan menjadi camat, kepala dinas, hingga dua periode menjadi anggota DPRD kabupaten. 

Meski tak pernah terlalu menonjol, ia dikenal rajin hadir dalam rapat dan pandai berbaur dengan siapa saja. Rekam jejaknya bersih, atau setidaknya, tak tercemar secara resmi. Namanya lumayan harum di kalangan generasi tua yang masih percaya pada idealisme awal reformasi.

"Mengapa Pak Saridjo masih ingin menjabat?"

"Mungkin karena ia butuh papan bunga yang banyak di hari kematiannya!"

No Pain No Gain

Muhammad Nasir


Setelah berdiskusi berjam-jam dengan adik-adik aktivis mahasiswa, saya akhirnya luluh juga. Awalnya saya enggan. Mereka meminta saya menuliskan alasan-alasan kenapa mahasiswa perlu berorganisasi, katanya biar mereka bisa lebih mudah membagikannya ke teman-teman mereka.

“Biar kami bisa lebih mudah share ke teman-teman mahasiswa, bang!” ujar mereka. 

Saya sempat menjawab setengah bercanda, “Enak saja. Saya capek baca buku Kartini Kartono, Robert T. Kiyosaki, Rhenald Kasali, Nurcholish Madjid dan banyak lagi. Kalian juga harus nulisnya sendiri untuk teman-teman kalian.”


Tapi lalu saya berpikir lagi. Mereka memang belum cukup rajin membaca, tapi semangat mereka jujur, dan harapan mereka terlalu tulus untuk ditolak. Ada keinginan kuat dalam diri mereka untuk bergerak, tapi mereka belum punya cukup bahasa untuk menjelaskan mengapa gerak itu penting. Maka saya memutuskan untuk membantu, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pemantik.

Kebetulan pula, libur semester akan segera tiba. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk pulang kampung, bersantai, atau sekadar mengejar istirahat. Tapi saya ingin mengingatkan, ini juga waktu yang tepat untuk membangun rencana. 

Pulanglah sejenak, rasakan kembali aroma kampung halaman, dengarkan kembali suara ibu dan suara langit di atas rumahmu. Tapi jangan lupa kembali ke kota ini dengan rencana besar: menjadi mahasiswa yang utuh. Bukan hanya pembaca modul dan pengisi absen, tapi juga pemikir, pelaku, dan pemimpin.

Sebab zaman ini, zaman yang disebut sebagai abad ke-21, menuntut lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Ia menuntut kecakapan berpikir kritis, kreativitas, kemampuan kolaborasi, dan komunikasi. 

Dan semua itu tidak semuanya bisa lahir dari ruang kelas. Justru organisasi adalah ladang latihan terbaik. Di sinilah seseorang diuji bukan hanya dengan tugas, tapi dengan konflik, beda pendapat, situasi tak pasti, dan harapan yang seringkali tak sesuai kenyataan.

Lewat organisasi, kita akan mengerti siapa itu manusia dengan segala logikanya, egonya, ketulusannya, dan kadang juga manipulatifnya. Di organisasi pula kita dapat berdiskusi dengan pikiran orang lain, tidak hanya berdebat dengan pikiran sendiri. 

Kita akan belajar bagaimana menjaga komitmen dalam lelah, bagaimana bersuara dalam forum, bagaimana mendengarkan saat ingin menyerang, dan bagaimana tetap hadir meski tak dianggap penting. Kita belajar tentang resiliensi, daya tahan terhadap tekanan, dan kemampuan bangkit dari frustasi sosial.

Organisasi adalah versi kecil dari kehidupan. Bahkan sejak kecil kita sudah mengenalnya, dalam bentuk organisasi domestik bernama keluarga. Maka ketika kita naik satu tahap menjadi mahasiswa, bukankah seharusnya kita pun berani naik satu tahap dalam kesadaran dan tanggung jawab sosial?

***

Tapi mari saya katakan terus terang: berorganisasi itu capek. Berorganisasi itu kadang bikin sakit hati. Kadang kamu merasa tak dihargai, kadang kamu merasa sendirian, dan kadang kamu ingin berhenti saja. 

Tapi hidup juga begitu. Maka daripada menunggu hidup menghajar kamu nanti di luar kampus, lebih baik sekarang mulai belajar capek dan sakit, agar kamu tahu nikmatnya istirahat dan leganya rasa sehat.

No pain, no gain, kata sebuah salep otot terkenal. Rasa pegal akan hilang, tapi pelajaran dari rasa itu akan tinggal. Dan dari proses itu pula kamu akan tahu mana yang benar-benar tangguh dan mana yang cuma pengeluh.

Kita hidup dalam masyarakat yang tidak hanya membutuhkan orang-orang pintar, tapi juga orang-orang tangguh, tahan banting, dan mampu membaca arah. Dan saat lulus nanti, percayalah, yang akan sangat kita butuhkan bukan cuma gelar, tapi juga jaringan pertemanan, akses sosial, dan ruang dukungan. Semua itu bisa kita mulai bangun di organisasi.

Saya tahu, beberapa orang mungkin menjadikan contoh gagal dari aktivis mahasiswa sebagai alasan untuk tidak ikut organisasi. Tapi itu logika yang malas. Kita semua sudah tahu bahwa yang gagal memang tidak layak ditiru. Justru karena kita tahu itu salah, maka yang perlu dicari adalah contoh yang ideal. Dan yang ideal memang selalu sedikit, selalu lebih sulit ditemukan, tapi itulah yang justru patut diperjuangkan.

Berorganisasi bukan berarti melupakan studi. Justru sebaliknya, ia adalah sarana agar studi lebih membumi. Ia bukan pelarian dari kelas, tapi perpanjangan dari pembelajaran.

Maka saya menulis ini, bukan sebagai nasihat dari yang lebih tahu, tapi sebagai pengingat dari yang dulu juga pernah muda dan bingung. Saya percaya, satu gagasan kecil yang lahir dari organisasi, bisa tumbuh menjadi gerakan besar. 

Dan siapa tahu, dari forum-forum kecil tempat kalian biasa rapat dan bertengkar hari ini, lahirlah benih-benih perubahan yang kelak mengubah wajah bangsa.

Yakin Usaha Sampai

08 June 2025

Nama Saya Khan: Ras, Agama, dan Krisis Kewargaan di India Kontemporer

Muhammad Nasir


My name is Khan, and I am not a terrorist.— Rizwan Khan, My Name is Khan (2010)


Kalimat ikonik ini diucapkan oleh tokoh utama dalam film My Name is Khan—seorang pria Muslim pengidap sindrom Asperger—yang menempuh perjalanan panjang demi mengatakan satu hal sederhana: bahwa ia bukan ancaman hanya karena ia seorang Muslim.

Ungkapan itu menjadi suara kolektif dari minoritas yang terjebak dalam pusaran stereotip dan kecurigaan. Ini bukan sekadar kutipan sinematik, tapi gambaran getir dari kondisi sosial-politik India kontemporer.


Dalam konteks global yang semakin mencurigai identitas Islam, dan dalam lanskap politik nasional India yang semakin terpolarisasi, kalimat Rizwan menggambarkan perasaan warga negara yang merasa harus “membuktikan” loyalitasnya hanya karena nama, pakaian, atau keyakinan mereka.

India selama ini dibayangkan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dengan karakter multikultural yang unik. Namun, fakta sosial mutakhir memperlihatkan bahwa demokrasi India tengah diguncang oleh kontradiksi internal: antara janji konstitusional tentang sekularisme dan kenyataan politik mayoritarianisme berbasis agama.

Dua subjudul di bawah ini adalah pengkategorian sebab musabab masalah Islam dan kewargaaan di India Kontemporer: akar lokal dan pengaruh isu global. 

06 June 2025

Membaca Polemik dengan Timbangan Logika dan Wacana Sosial

Oleh: Muhammad Nasir



Polemik seputar keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo muncul sebagai fenomena sosial yang tak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kecurigaan publik terhadap legitimasi elite. Meskipun Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ijazahnya adalah sah dan resmi, publik tidak pernah benar-benar disuguhi dokumen tersebut dalam format yang memungkinkan verifikasi independen. Akibatnya, klaim keaslian itu tidak sepenuhnya meredam pertanyaan publik.

Sebaliknya, pihak-pihak yang meragukan keaslian ijazah, seperti Roy Suryo dkk., juga tidak mampu menyodorkan bukti otentik yang menegaskan kepalsuan. Mereka hanya mengandalkan ketidakhadiran bukti dari pihak Jokowi untuk menyimpulkan bahwa ijazah itu fiktif. Hal ini menimbulkan semacam paradoks epistemik: kedua belah pihak saling menuduh tanpa menghadirkan bukti final yang dapat diverifikasi oleh publik secara obyektif.


05 June 2025

Membaca TKVW: Keluarga ‘Matre’ dalam Adat Matri

Oleh: Muhammad Nasir


Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan,  maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp.

 

Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) karya Hamka (ditulis sekitar 1938) sering dibaca sebagai kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati. Tapi bila dibaca lebih dalam, novel ini bukan hanya tentang cinta yang kandas. Ia adalah kisah tentang kegagalan struktur keluarga dan salah kaprah dalam memahami adat Minangkabau, khususnya adat matrilineal.

Zainuddin, tokoh utama dalam cerita ini, adalah anak dari seorang Minangkabau yang menikah dengan perempuan Bugis. Karena ibunya bukan orang Minang, Zainuddin ditolak sebagai bagian dari suku ibunya. Padahal dalam adat Minangkabau, suku diturunkan melalui ibu. Sayangnya, garis ibu Zainuddin bukan bagian dari sistem adat lokal, membuatnya tak bersuku, dan karenanya, dianggap tak “berhak”.



Namun masalahnya tak berhenti di sana. Zainuddin juga terkesan tak punya bako, yaitu pihak keluarga ayah yang bisa membelanya. Mirip dengan istilah Ipank (2016) "Baayah lai, babako tido", meski dalam cerita dan konteks yang berbeda. Dalam sistem adat, bako seharusnya hadir memberi dukungan moral dan sosial, apalagi dalam situasi penolakan seperti ini. Tapi dalam kisah ini, fungsi bako nyaris tak terdengar. Ia hilang, tak tampak, dan tak peduli. Zainuddin menjadi anak biologis dan ideologis Minang tanpa rumah sosial, korban dari adat yang kehilangan fungsinya, atau lebih tepatnya: adat yang kehilangan jiwa aslinya.

04 June 2025

Dari Balik Panggung Humas

 Muhammad Nasir


Ada sekitar sebelas tahun saya bekerja sebagai humas di perguruan tinggi: pertama kali antara tahun 2003 hingga 2013, lalu kembali lagi mengemban peran yang sama mulai tahun 2017. Dalam kurun waktu itulah saya menjadi saksi hidup dari begitu banyak wajah yang datang dan pergi, pejabat yang berganti, gaya kepemimpinan yang berubah: tapi dengan pola yang, anehnya, terasa tetap.

Saya menyaksikan parade para tamu penting: ilmuwan bereputasi, politisi ulung, hingga para menteri yang datang dengan pengawalan dan protokol yang kadang lebih sibuk daripada substansi pertemuan itu sendiri. Saya pernah berdiri di balik layar, menunggu aba-aba, mengatur posisi, menyusun kalimat sambutan, memastikan acara berjalan dengan sempurna.


Intinya: Memindai Batang Kandis

Muhammad Nasir


Ini adalah titik kisar dalam perjalanan karir saya sebagai dosen. Ketika saya merasa perlu berhenti sejenak dan bertanya: ke mana sebenarnya arah yang sedang saya tempuh? Rutinitas administratif, laporan-laporan, dan pertemuan-pertemuan yang sering kali tidak berdampak langsung pada mutu akademik, mulai terasa mengganggu. 

Semakin hari, saya merasakan jarak antara tugas-tugas institusional dengan hal-hal yang pada awalnya membuat saya mencintai dunia akademik: berpikir, meneliti, membaca, menulis, dan berdialog dengan mahasiswa.

Saya juga menyadari bahwa jabatan struktural di lingkungan kampus bukanlah tempat saya berkembang. Alih-alih memberi ruang untuk berkontribusi lebih luas, jabatan itu sering kali menjadi bagian dari skenario formal yang tidak terlalu saya saya yakini nilainya. Setidaknya berdasarkan apa yang sudah terjadi dan sedang berjalan.









03 June 2025

Hall of Fame Para Pejuang

Catatan kecil usai bedah novel Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi karya Khairul Jasmi di Perpustakaan Daerah Sumatera Barat. 

Muhammad Nasir


George McTurnan Kahin (1952) menyebut Sumatra Westkust sebagai "lahan subur radikalisme dan nasionalisme awal". Di wilayah ini, pendidikan dan Islam berpadu menciptakan kaum muda berpikiran maju. Pendidikan bukan hanya soal menghafal, tetapi membentuk daya kritis dan etos merdeka.

 Taufik Abdullah (1971) bahkan menyebut gerakan Kaum Muda di Minangkabau sebagai model gerakan sipil berbasis etika dan argumentasi. Mereka tidak hanya belajar di sekolah-sekolah Barat, tetapi juga di surau dan madrasah, membentuk sintesis unik antara rasionalitas modern dan spiritualitas lokal. 

Di sinilah kekhasan Sumatra Westkust tampak: daerah pinggiran yang justru melahirkan pusat-pusat kesadaran nasional.

02 June 2025

Membaca Ulang Hubungan Agama dan Kejahatan

Oleh Muhammad Nasir


Tulisan ini lahir dari kemacetan menulis riset saya yang mengadopsi analisis wacana sosial Marc Angenot dan teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Maka tulisan inilah yang bisa saya tulis, mana tahu nanti ada gunanya.

Kita mulai dari wacana Indonesia religius, tetapi kriminalitas kok tinggi? Ada juga wacana Indonesia mabok agama, makanya tak maju-maju. Nah, ini menarik untuk ditelusuri. 


Lubuk Lintah, Di Sini Aku Menetas dan Beranak Pinak

Muhammad Nasir


(1) Memory 1996-2002

Namanya Lubuk Lintah, tapi anehnya… aku tak pernah benar-benar menemukan lubuk, apalagi lintah di sini. Yang ada justru belut sawah yang jinak di lahan basah sebelah barat kampus, arah Parak Jigarang. Mungkin itulah satu-satunya fauna air yang bisa disapa sambil jalan kaki sambil mikir: Besok mid semester apa ujian semester, ya?

Jalanan kampus ini tergolong rapi dan kokoh. Sempit, iya. Tapi cukup untuk dilewati satu motor (itupun kalau ada), satu becak sate, dan dua mahasiswa yang sedang adu argumen soal “mana yang lebih penting: epistemologi atau nasi bungkus?”


Di antara gedung-gedung bersahaja, tumbuh pohon-pohon besar yang menaungi kami. Ada yang akarnya menonjol keluar seperti tangan-tangan tua yang siap merangkul. Di situlah kami duduk bersila, bersandar di batangnya, bergantung di dahannya, dan berlindung di bawah daunnya, dari panas, dari gerimis, dan kadang dari kegelisahan hidup.

31 May 2025

Kontroversi Ijazah Jokowi: Algoritma Media Sosial versus Memori Kolektif

Muhammad Nasir


Isu keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo menjadi salah satu kontroversi politik yang berulang muncul di ruang publik. Meski berbagai lembaga resmi seperti Universitas Gadjah Mada, Komisi Pemilihan Umum, dan Mahkamah Agung telah memberikan klarifikasi yang membenarkan keaslian dokumen tersebut, isu ini tetap bergaung, terutama melalui platform media sosial. Peristiwa ini menandai pertemuan antara dua kekuatan simbolik dalam masyarakat digital kontemporer: algoritma sebagai pengatur arus informasi dan memori kolektif sebagai penentu resonansi sosial terhadap narasi.


29 May 2025

Antara Pusat dan Pinggiran: Kritik Epistemologis terhadap Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Muhammad Nasir 
(Pengajar Sejarah UIN Imam Bonjol Padang) 


Selama bulan Mei 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon acap sekali mengumumkan bahwa pemerintah tengah menginisiasi penulisan ulang sejarah Indonesia dengan tujuan “menyegarkan narasi sejarah nasional.” Ia menekankan bahwa sejarah bukanlah doktrin resmi negara bukan pula sejarah resmi (official history), melainkan produk interpretasi yang terus berkembang.


"Tidak ada yang namanya sejarah resmi," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). Silakan baca pernyataannya di detik.com

Pernyataan itu justru bertolak belakang dengan draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia. Dalam draf itu ditulis: "Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan 'sejarah resmi' (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Buku ini akan ditulis sebanyak 10 (sepuluh) jilid oleh sejarawan Indonesia sendiri secara kolektif." Silakan baca di tempo.co.

Tapi, Entahlah. 

Namun, pernyataan tersebut tetaplah kontradiksi. Ketika negara menjadi pengendali proyek sejarah besar-besaran, hasil akhirnya nyaris tak bisa dielakkan: ia akan menjelma sebagai official history, yang meskipun diklaim terbuka, justru menetapkan narasi dominan dan membungkam keragaman lokal yang menjadi denyut nadi sejarah nasional itu sendiri. 

Penulisan sejarah nasional Indonesia sejak awal mengandung ketegangan epistemologis antara pusat dan daerah. Sejarah nasional, terutama pasca-kemerdekaan, disusun dengan semangat integrasionisme dan modernisme. Dalam proyek-proyek awal penulisan sejarah nasional seperti yang diinisiasi Muhammad Yamin pada 1950-an, element lokalitas ditarik paksa ke dalam narasi besar kebangsaan. Yamin melihat sejarah sebagai alat untuk membangun kesadaran nasional dan merumuskan jati diri bangsa dalam bentuk yang terpusat. Baginya, sejarah adalah “pangkal tolak nasionalisme.” 

Baginya, seperti tertuang dalam pidatonya pada Kongres Bahasa Indonesia II (1954), sejarah adalah batu penjuru untuk membangun semangat bangsa. Pandangan tersebut mengandung daya inspiratif, tetapi juga menyimpan kecenderungan penyederhanaan realitas historis lokal.

Sementara itu, sejarawan seperti R. Moh. Ali dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (1957) lebih menekankan pentingnya metodologi dan objektivitas, namun tetap menempatkan sejarah nasional dalam bingkai narasi besar yang tersentralisasi. Tetapi ia mengingatkan agar penulisan sejarah nasional tidak terjebak pada glorifikasi, namun tetap berpijak pada metode ilmiah. Namun dalam praktiknya, sejarah tetap ditulis dari atas; dengan Jakarta sebagai pusat epistemik dan pusat politis! Sementara sejarah-sejarah lokal tetap berada dalam bayang-bayang.

Ketegangan ini kemudian dikritisi oleh para sejarawan generasi berikutnya. Sudjatmoko dan Taufik Abdullah menekankan bahwa sejarah Indonesia bukanlah satu garis lurus, melainkan kolase dari banyak dunia sosial yang tak selalu sinkron satu sama lain. Taufik Abdullah, dalam berbagai tulisan dan diskusi akademik, menunjukkan bagaimana sejarah lokal adalah dunia dengan nilai-nilai, pengetahuan, dan pengalaman historis yang otonom. Ia menyebut pentingnya menggali “sejarah sosial” yang hidup dalam komunitas, bukan sekadar menyusun sejarah kekuasaan negara. 

Secara tegas, Taufik Abdullah, dalam pengantar bukunya Sejarah dan Masyarakat (2004), menyampaikan pentingnya melihat sejarah sebagai proses sosial yang penuh konteks lokal. Ia menunjukkan bahwa “sejarah nasional tanpa fondasi sejarah lokal hanya akan menjadi narasi politik, bukan pengetahuan.”

Dengan semangat yang serupa, Ong Hok Ham (2002) menyoroti pentingnya narasi dari pinggiran yang selama ini dibungkam oleh sejarah resmi. Ia menulis bahwa sejarah Jawa yang dominan telah mengaburkan keberagaman pengalaman etnis dan wilayah lain di Nusantara. Dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002), Ong menulis bahwa dominasi sejarah Jawa dan negara telah mengaburkan sejarah-sejarah daerah yang sarat kekayaan budaya dan konflik sosial.

Kuntowijoyo, melalui gagasan historiografi profetik, menegaskan perlunya pendekatan yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga membebaskan dan memberdayakan. Baginya, sejarah seharusnya tidak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga menjadi sarana transformatif bagi masyarakat. Sejarah lokal dalam konteks ini bukan sekadar “cerita kecil” yang harus diintegrasikan ke dalam sejarah besar, tetapi justru fondasi tempat sejarah nasional bertumpu. Ketika sejarah nasional tidak berakar pada realitas dan memori lokal, maka yang terjadi adalah rekayasa naratif dari atas yang kehilangan resonansi di tingkat akar rumput. 

Alarm Epistemologis

Penulisan ulang sejarah nasional yang sungguh-sungguh menuntut dekonstruksi atas fondasi epistemik historiografi negara.  Bukan hanya menambahkan aktor baru ke dalam cerita lama, melainkan meninjau ulang pertanyaan dasar: siapa yang menulis sejarah, dengan logika pengetahuan siapa, dan untuk kepentingan siapa? 

Hal ini diingatkan oleh Boaventura de Sousa Santos, dalam karyanya epistemologies of the South (2014), bahwa pendekatan semacam ini merupakan bentuk 'epistemicide' pembunuhan atas pengetahuan-pengetahuan lokal yang tidak sesuai dengan standar epistemik pusat.  Sejarah lokal dalam hal ini bukan hanya korban, tetapi juga pelawan.  Ia menolak untuk dibakukan, dan justru tumbuh dalam bentuk sejarah lisan, arsip keluarga, tradisi komunitas, dan ingatan kolektif yang tak tercatat secara resmi. 

Tanpa pembaruan epistemologis, proyek semacam ini hanya akan memperpanjang usia historiografi hegemonik dengan wajah yang lebih inklusif secara kosmetik, tetapi tetap eksklusif secara pengetahuan. 

Jika sejarah nasional dibayangkan sebagai narasi kolektif bangsa, maka sejarah lokal adalah sel-sel hidup yang menyusun narasi tersebut. Menegasikan sejarah lokal dengan hanya menjadikannya “ilustrasi kultural” atau sekadar penyebutan fragmen etnis adalah bentuk reduksi historis yang membahayakan. Inilah yang dikhawatirkan oleh Paul Ricoeur (2004); bahwa setiap bentuk narrative identity yang memaksakan kesatuan akan mengorbankan pluralitas memori, dan pada akhirnya menciptakan kekerasan simbolik terhadap kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan narasi utama.

Dalam konteks epistemologis, proyek penulisan ulang sejarah nasional oleh negara seperti yang saat ini digagas tidak hanya miskin metodologi partisipatif, tetapi juga cenderung mengabaikan filsafat ilmu sejarah itu sendiri. Alih-alih menjadi arena dialog antar narasi, sejarah kembali diposisikan sebagai alat konsolidasi identitas nasional yang seragam. Padahal, seperti ditunjukkan oleh sejarawan-sejarawan terkemuka, penulisan sejarah seharusnya memberi tempat pada polifoni, bukan monofoni; pada keberagaman pengalaman historis, bukan penyatuan naratif yang menghapus keragaman. 

Patut juga dicerna peringatan dari Michel Foucault (1977), sejarah yang dibentuk oleh negara adalah bentuk dari power/knowledge di mana narasi masa lalu dikonstruksi bukan untuk mengungkap kebenaran, melainkan untuk mengatur dan mengendalikan. Dalam konteks Indonesia, historiografi yang diproduksi lembaga resmi cenderung bersifat teleologis, menempatkan sejarah sebagai garis lurus menuju proyek kebangsaan yang seragam. Pandangan semacam ini menihilkan keberadaan sejarah-sejarah alternatif yang hidup dan berkembang dalam ruang-ruang lokal.

Sejarah Indonesia tidak lahir dari satu pusat, melainkan dari ribuan simpul lokal yang berkelindan membentuk jaringan ingatan kolektif. Proyek sejarah nasional yang mengabaikan suara lokal bukan hanya cacat secara etis, tetapi juga lemah secara epistemologis. Ia membangun narasi dari atas, dengan asumsi bahwa pusat selalu tahu apa yang terbaik bagi pinggiran. Narasi semacam ini tidak hanya mengulangi logika kolonial yang sentralistik, tetapi juga berisiko mengaburkan konflik, negosiasi, dan resistensi yang menjadi bagian integral dari sejarah bangsa. 

Jika proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini tidak dilakukan dengan kepekaan epistemologis dan keberpihakan pada kompleksitas sejarah lokal, maka hasil akhirnya adalah sejarah resmi negara dalam baju baru. Hasilnya bukan pembaruan, melainkan pelanggengan dominasi naratif. 

Sejarah semacam ini justru mengkhianati semangat sejarah nasional yang lahir dari sejarah lokal. Di titik ini, perlu ditegaskan bahwa sejarah nasional yang sehat adalah sejarah yang bersedia digugat oleh lokalitasnya sendiri. Tapi, agaknya situasinya akan berbeda. Hegemoni kekuasaan yang lahir dari politik elektoral justru akan berpotensi menjadikan official history ini sebagai alat memukul narasi sejarah lokal.

Apalagi kecenderungan penguasa hari ini suka sekali menggunakan kaum pendengung bayaran untuk menipu orang-orang tidak melek sejarah memusuhi 'narasi lokal' yang berbeda dari sejarah resmi ala negara. 


24 May 2025

Intoleransi di Media Sosial

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Maka, ketika publik digital kehilangan akal sehatnya, yang rusak bukan hanya narasi, tetapi kesadaran kolektif itu sendiri.


Fixed, no debat! Media sosial kini sudah menjadi arena utama pembentukan opini publik dan ekspresi politik-populer. Di balik kemudahan akses dan kecepatan berbagi informasi, ruang ini juga menyimpan bahaya laten berupa intoleransi digital. Salah satu contoh nyata terjadi ketika muncul berita perusakan makam Kristen di Bantul. Perusakan ini mengutip pemberitaan kompas.com., terungkap pada Minggu, 18 Mei 2025. Sebelum otoritas mengonfirmasi kebenaran dan motif pelaku, publik media sosial langsung membanjiri kolom komentar dengan tuduhan berdasarkan identitas agama yang diasumsikan. Narasi “uclim pasti pelakunya” dengan cepat menyingkirkan prinsip kehati-hatian.


Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari akumulasi struktur kognitif dan afektif masyarakat yang terbentuk melalui sejarah prasangka dan dikapitalisasi oleh algoritma digital. Jonathan Haidt (2012), dalam The Righteous Mind, menjelaskan bahwa manusia lebih sering membuat keputusan moral berdasarkan intuisi dan pembenaran emosional daripada melalui nalar yang rasional. Maka, media sosial bukan hanya memfasilitasi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperbesar bias kognitif yang sudah mengendap dalam kesadaran kolektif.

17 May 2025

TIKUS KOTA

Cerpen Muhammad Nasir


"Selain dikenal sebagai aktivis, ia juga dikenal sebagai seorang rakus. Tapi, saya melihat aktivismenya itu karena kerakusan, seperti aktifnya hewan nocturnal di malam hari," ujarnya.

Kalimat itu diucapkan lelaki pemilik lapau kopi di pinggiran Banjir Kanal. Senja mulai turun dan aroma kopi hitamnya mengalahkan bau anyir sungai. Sore itu, seperti sore-sore lainnya di kota ini, terasa berat dan lengang. Udara terasa diam, seperti menyimpan perasaannya sendiri.

Aku datang ke tempat itu bukan karena ingin bertemu siapa pun. Justru sebaliknya, aku sedang ingin lari. Dari seseorang, dari kenyataan, dan dari diriku sendiri yang sedang limbung antara idealisme dan hidup yang tak kunjung menentu.

Gaji sebagai jurnalis media online lokal tidak cukup untuk membiayai rencana kuliah S2 yang sudah lama kupendam. Aku sudah mencoba mengatur, menabung, bahkan mencari-cari beasiswa yang tak kunjung berpihak. Di tengah kegundahan itu, aku teringat pada seseorang. Dulu, dia pernah berkata dengan nada nyinyir, tapi cukup untuk kutangkap maknanya:

 “Kalau kau jadi S2, temui aku.”

Itu kalimat yang belakangan terngiang di alam pikiranku. Bagiku, kalimat itu tak hanya berarti sebuah sapaan masa depan. Tapi juga janji diam-diam, semacam kode bahwa jika aku berhasil mencapai titik itu, maka ia akan ada di sana untuk menolong. Mungkin membantu biaya kuliah, mungkin mendampingi langkah.

15 May 2025

Overgeneralisasi dan Bahaya Narasi Tunggal

Sikap Kita Terhadap Peristiwa Pernyataan Tendensius WNI di Jerman

Oleh Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Apa yang tersisa dari sebuah bangsa jika warganya sendiri yang menggores luka pada wajah kerukunan yang dibangun dengan susah payah? Pernyataan seorang WNI diduga bernama Cristina Sembiring [?] yang menyebut “Muslim Indonesia suka membunuh” di hadapan publik di Jerman bukan hanya keliru, tapi juga menyakitkan. Ucapan itu menjelma menjadi bara yang menghanguskan ikhtiar toleransi dan membakar kepercayaan antariman, baik di tanah air maupun di tanah rantau.

Fenomena overgeneralisasi dalam konteks ini merupakan bentuk simplifikasi berbahaya yang menyamaratakan sebagian peristiwa negatif sebagai karakteristik seluruh kelompok. Dalam hal ini, sebuah pernyataan tunggal dipakai untuk menggambarkan jutaan umat Muslim Indonesia secara keseluruhan, tanpa memperhatikan keragaman dan konteks sosial-budaya yang jauh lebih kompleks.

13 May 2025

The End of the Long Weekend

By:Tankari

 Sisa liburan tinggal sehari. Besok Epicurus harus bembali bekerja. Empat hari libur panjang ia lewatkan tanpa kenangan berharga. Buka WA, TikTok, sesekali nonton highlight liga 1 yang makin ke ujung makin penuh drama. “Uff…Yuran Fernades dihukum. Setahun gak boleh main bola di Indonesia!” Epicurus meletakkan handphonenya di sandaran kursi. Ia memaki Komdis dalam hati.  

 “Eh, teman-temanku pada kemana ya?” Tiba tiba ia ingat kawan-kawan filosof absurdnya. Ia Kembali memngut HPnya. Buka WA. Geser satu persatu status temannya. Nihil. Tak ada status apa-apa. Kecuali satu. Tuen Janaka Aji Mantrolot. Mantrolot menulis status “Ijazah bukan akte kelahiran, Gesssz!”

“Nah, ini dia!” Epicurus dapat ide. Ia buka WAG Filosof Gabut. Teman-temannya pasti ada di sana. Ia mulai memposting satu kalimat.

 

[08:37] Epicurus:

“Kebenaran bukan soal bukti, tapi siapa yang lebih rajin ngetik.” Jumlah anggota Group: 17, tapi yang aktif hanya 5 (sisanya pada kemana?)

Ting!….ada notif

[08:37] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Kasihan saudaraku Kalagemet. Ijazahmu dipertanyakan. Kamu nyantrik di mana sih? Apa perlu gue tanya Kanjeng Rektor Nyi Rongkot, COD., LoL?

 Ha, mantrolot langsung ngetik komentar plus lampiran satu stiker. Gambar Socrates ngopi sambil bilang Bukti dulu, baru bacot!

[08:37] Epicurus:

“Wooiiii….!” Cc @ Kalagemet

 Diam….eh….ada tulisan. Kalagemet sedang mengetik..

[08:39] Kalagemet:

Jangan asal nuduh, Bang Tuen. Saya kuliah beneran. Semester 3 sampai7 aja saya bahasa enggres aja tiga kali. Kalau mau liat transkrip, tunggu, saya cari dulu password KRS online saya.

Kalagemet membalas sambil ngirim sticker orang pakai toga, tapi wajahnya blur.

 “Wah, ini pasti panas. Tahta Masapahit lagi terguncang. Dua saudara sudah saling serang!” Pikir Epicurus. Ia pindah duduk ke atas lantai. Lama menunggu, muncullah Mak Weber.

 [08:42] Max Weber:

Halo, Mantrolooooot! Apo kaba ha?

 [08:42] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Siap Baaang…! Komen dong bang Max!

 [08:42] Max Weber:

Dalam sistem dunia modern, legalitas itu rasional-birokratis. Jika tak terdaftar di sistem, maka tak terakui secara sah. Ijazah tanpa rekam administratif hanyalah mitos

 

Di layar atas terbaca: Arsitoteles sedang mengetik….

 [08:43]Aristoteles:

Tolong Max, kita mulai dari substansi. Pernah kuliah belum tentu pernah berpikir. “Menjadi” tidak sama dengan “terdaftar.”

 [08:44] Max Weber:

Halah….Gerungisme…

Max ngirim stiker Rocky Gerung lagi ngakak…

 [08:47] Karl Popper:

Wait..wait..! Pertanyaannya falsifiable nggak? Kalau kita gak bisa buktikan apakah Kalagemet pernah kuliah, ya narasinya metafisik. Ayo dong, beri data yang bisa diuji.

Bang Popper melampirkan stcker text BPS huruf kapital

 [08:50] Habermas:

Saya keberatan metode debat grup ini cacat deliberatif. Siapa memberi Kalagemet ruang bicara yang adil? Bukankah ia hanya terseret narasi yang dominan?

 [08:51] Karl Popper:

Tanya @Kalagemet bang….

 [08:53] Berger-Is-Real:

Ingat, realitas sosial dikonstruksi. Jika mayoritas di grup percaya Kalagemet kuliah, maka ia lulusan. Meskipun tak ada bukti tertulis, kepercayaan kolektif bisa membangun objektivitas semu. Bang Berger kirim sticker: Buku "The Social Construction of Reality" dilempar ke wajah stiker Karl Popper.

[08:53] Karl Popper:

Niat banget bikin stickernya bang.@ Berger-Is-Real…hahah…

 

[08:54] Berger-Is-Real:

Ya dong, everything perlu dikonstruksi. Ini artefak pengetahuan bro….hahaha…

[08:57] Halbwachs:

Ada yang ingat tempat nongkrong Dek Memet di kampus? Bahkan memori kolektif grup ini tak satu storage. Ada yang ingat Kalagemet kuliah, ada yang ingat dia cuma jaga koperasi mahasiswa

[08:58] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Tapi gue gak percaya memori kolektif. Kalau semua sepakat dia jenius, tapi kenyataannya dia nanya rumus “wiwok detok detok” ke tukang cilok, itu gimana? 

Mantrolot ngirim sticker Nietzsche  sedang tertawa sambil jungkir balik.

[08:58] Nietzsche

Woi, ini poto gue…lu apain, Lot…? Gimana cara bikinnya?

[08:58] Mantrolot:

Wkwkwkwk…CC Nyai COD Lol..

[08:59] Nietzsche:

Kebenaran hanyalah ilusi yang sudah kita lupakan bahwa itu ilusi. Mungkin ijazah itu hanya alat kaum lemah untuk merasa bermakna.

 [09:00] Rocky Gerung:

Kalagemet itu mungkin belum lulus, Om. Tapi bisa jadi dia “telah melampaui universitas” itu sendiri. Kalau dia bodoh, kenapa kalian semua ribut tentang dia?

Rocky ngirim sticker gambar dirinya sedang jongkok dengan tulisan“Logika kamu lemah.”

 

[09:01] Rocky Gerung:

Eek jongkok lebih mulia dari IQ jongkok. Ikhhh…

 ---------------------------------

Nyi Rongkot sedang mengetik…

Hilang lagi….

Nyi Rongkot sedang mengetik…

Hilang lagi…

----------------------------------

[09:02] Rocky Gerung:

Lama amat si Nyai ngetiknya…

[09:04] Nyi Rongkot, COD., LoL (Rektor Mpu Hanggareksa):

Saya tidak bisa membocorkan data alumni. Tapi saya bisa bilang satu hal: ada satu Kalagemet yang pernah nginap di kampus karena ketinggalan bis.

Nyi Rongkot ngirim sticker: CCTV kampus blur dengan caption: “Ini Kalagemet atau bukan?”

[09:05] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Kalau cuma pernah nginap, semua juga bisa ngaku alumni! Cecep juga alumni dong!

[09:05] Kalagemet:

Bang, jangan begitu. Saya bahkan pernah demo soal transparansi SPP. Saya sempat di-BAP gara-gara orasi di bawah toilet rektorat.

[09:05] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Ngapain? Ngintip septictank?

[09:07] Habermas:

Nah, ini penting. Partisipasi dalam ruang publik akademik bisa juga bentuk “keberadaan” akademik.

[09:09] Popper:

Tapi apakah itu bisa diuji? Kalau semua hanya berdasarkan narasi pribadi, kita masuk wilayah dogma.

 [09:10] Berger-Is-Real:

Dogma itu juga konstruksi sosial, Bro…!

Berger ngirim stiker Foucault berdiri di ruang arsip dengan caption “Semua itu relasi kuasa.”

[09:11] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Hobi banget ngirim stiker bang @ Berger-Is-Real. Wkwkwk…

[09:12] Berger-Is-Real:

Iya nih. Barusan diajarin cucu. Xixixix…

 

------------------------------------------------------

Suasana hening. Spertinya tak ada percakapan lagi. Epicurus bingung. Ini sudah hamper 15 menit. Tak ada lagi percakapan. Sepi lagi…

------------------------------------------------------

[09:21] Epicurus CX (Admin):

Oke, semua udah baca kan?
Tapi pada diem setelah Nietzsche nyundul logika. O ya, closing statement plus kesimpulan epistemik saya tunggu sampai jam 18.00 WIB ya?Happy Long Weekend, Geesssszzzz...!!!
🎉

Sticker dikirim: Plato dan Aristoteles naik motor Vespa ke arah sunset.

 [09:29] Tuen Janaka Aji Mantrolot:

Cerita ini tak berujung, karena kebenaran dalam dunia absurd bukan untuk ditemukan, tapi untuk terus dipertanyakan. Kalagemet mungkin punya ijazah. Mungkin tidak.

[09:33] Kalagemet:

=#2%#F*cK+*&^=

Kurooook….!!!

 

 13 Mei 2025

 

09 May 2025

Silindik Basangkak Batu

Muhammad Nasir

Pengamat  Burung

                    Silindik basangkak batu,
                    sangkak tasangkuik di batang palam,
                    takikik galak urang nan tahu,
                    galak tabasuik urang nan paham

 

  Dulu waktu saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Pasaman saya sangat sering mendengar kicauan burung Silindik. Saya KKN di Desa Salibawan Mapun di Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, tahun 1999. Desa itu terletak di pertengahan jalan raya Lubuk Sikaping–Rao. Saya mendapat posko di dusun daerah Mapun, beberapa kilo dari jalan raya. Untuk sampai ke Mapun saya harus melewati jembatan gantung yang disebut oleh masyarakat setempat dengan "rajang atau rojang".

Tetapi yang menarik bukan rajangnya yang panjang melintasi sungai Batang Sumpu. Tetapi suara kicauan burung yang kemudian saya tahu sebagai burung Silindik (serindit). Dan, ternyata bagaimana saya melewati rajang itu hampir mirip dengan gaya burung Silindik itu: bergoyang-goyang dan kadang sedikit merangkak pada bagian yang sedikit menegangkan.

        Dari situlah saya mulai memperhatikan lebih serius si burung Silindik (loriculus). Burung kecil berwarna hijau terang ini memiliki semburat merah di bagian kepala atau leher, tergantung spesiesnya. Suaranya yang nyaring dan ritmenya yang khas menjadi penanda kehadirannya, walau tubuhnya kecil dan sering luput dari pandangan. Ia biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, beterbangan dari satu dahan ke dahan lain di hutan tropis dataran rendah hingga ke pohon-pohon dekat pemukiman. Keunikannya tak hanya pada suara, tapi juga sifatnya yang aktif, gesit, dan setia kawan.

Silindik sangat menyukai buah-buahan, terutama ara dan mangga matang. Saat menemukan pohon yang lebat buahnya, ia akan kembali berulang kali, bahkan mengajak burung lain. Ia cenderung menetap di kawasan yang dianggapnya aman dan nyaman, dan hanya pergi jika ada gangguan besar. Burung ini juga dikenal memiliki “suara peringatan” saat merasa terancam, yang memicu kewaspadaan burung lain.

Yang menarik, Silindik tidak agresif tapi juga bukan penakut. Ia tahu kapan bersembunyi dan kapan muncul. Geraknya lincah di udara, sulit ditangkap meski bermain di pohon-pohon sekitar rumah. Ia cerdas mencari tempat hinggap aman, tampak seperti selalu “berstrategi” dengan naluri tajam. Karena sering berinteraksi, Silindik terlihat memiliki rasa kolektivitas yang kuat: saling memanggil, menunggu, bahkan seolah berdiskusi sebelum terbang bersama.

Di Dusun Mapun, saya akhirnya melihat Silindik dari dekat. Tapi sudah dalam sangkar. Sangkar unik itu menyerupai tabung bulat telur yang digantung horizontal, terbuat dari bilah bambu yang diraut halus. Desainnya indah dan fungsional. Di dalamnya, seekor Silindik kecil bersinar dengan warna hijaunya yang mencolok. Meski terkurung, ia tampak tetap lincah dan bermain seperti biasa.

Hal yang membuat saya tertegun adalah caranya bergerak dalam sangkar. Ia tidak tampak stres atau pasrah seperti burung baru ditangkap. Justru seolah menikmati ruangnya. Ia berputar, hinggap, lalu melompat ringan ke sisi lain. Bilah-bilah bambu menjadi semacam labirin yang terus mengaktifkan tubuhnya. Kadang ia tidur dalam posisi terbalik, seperti kelelawar kecil, menggantung dan memejamkan mata, pemandangan ganjil sekaligus memukau, seolah ia sendiri yang memilih cara istirahatnya.

Kegembiraan kecil Silindik dalam sangkar itu membuat saya berpikir bahwa mungkin ia tak merasa dikurung sepenuhnya. Atau, ia adalah makhluk yang cepat menyesuaikan diri. Ia tetap berkicau, merawat bulu, dan sesekali menyapa dunia luar dengan lirikan matanya yang tajam. Sangkar yang membatasi langkahnya tak memadamkan vitalitasnya.

Saya juga perhatikan, Silindik tak mudah terkejut. Ketika didekati, ia tak panik membentur jeruji. Ia hanya bergeser sedikit, tetap menatap, seolah mencoba mengenali sebelum bereaksi. Sikapnya ini membuat banyak orang merasa sedang berhadapan dengan makhluk yang tenang dan bijak, bukan burung liar yang terkurung.

Beberapa warga percaya bahwa Silindik adalah burung yang “tahu diri”: tak sembarangan berkicau, tak membuang tenaga sia-sia. Saat pagi, ia menyambut matahari dengan nyanyian, lalu tenang di siang terik, dan kembali aktif menjelang sore. Saat diberi makan, ia tidak rakus, hanya mematuk perlahan, seakan tahu waktunya makan.

Begitulah Silindik dalam sangkar. Tetap indah, lincah, dan punya dunia kecil sendiri. Ia tak berubah menjadi makhluk duka, malah menunjukkan daya adaptasi yang luar biasa. Dalam ruang sempit, ia menciptakan ruang geraknya sendiri. Lengkung bambu bukan pagar, tapi jalur untuk terus bergerak, tidur, bermain, dan berkicau. Sebuah kehidupan kecil yang tetap berwarna, meski tak lagi bebas di dahan hutan.

Namun dalam bentuknya yang menyedihkan, Silindik dalam sangkar juga bisa dilihat sebagai ornamen. Ia menjadi bagian dari dekorasi rumah besar bernama kekuasaan, digantung di sudut beranda sebagai hiasan bunyi saat tamu datang. Ia bersuara ketika diminta, diam ketika disuruh. Tampak sibuk, tapi tak ke mana-mana. Terlihat berdaya, padahal sekadar bagian dari tata letak. Bahkan suara nyaringnya bisa menjadi pengalih dari kebusukan di balik dinding rumah.

 

Ketika dilepas liar

Mungkin karena jumlahnya yang cukup banyak, orang-orang Mapun sering melepasliar Silindik bila ada gejala yang mengkhawatirkan. Misalnya, meminjam lirik lagu Perjalanan Franky and Jane (1978) “gejala sakit yang tak terobati.” Silindik kemudian dilepaskan ke alam liar, dengan harapan ia dapat menemukan obatnya sendiri, atau alam akan menjadi dukun yang akan memulihkan penderitaan Silindik. Kata orang Mapun, “biasanya, ia akan sembuh di alam, dan akan kemali lagi setelah pulih.”

 Itulah bagian yang paling menarik adalah ketika Silindik dilepaskan ke alam bebas. Burung kecil yang tampak lemah gemulai ketika sakit di sangkar, namun kembali tenang, lentur menjadi makhluk yang Kembali sangat hidup. Ia terbang cepat, zigzag di antara pepohonan, seperti sedang merayakan kembali ruang tanpa batas yang kini terbuka di hadapannya. Tapi ia tidak langsung pergi jauh. Justru, banyak Silindik yang dilepas setelah lama dalam sangkar akan tetap berputar-putar di sekitar rumah, seakan ingin berpamitan atau menandai bahwa ia belum sepenuhnya ingin meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.

Ia sama sekali tidak menunjukkan trauma atau ketakutan. Ia seperti burung yang telah menyerap dua dunia; dunia dalam sangkar dan dunia di lar sana. Dan kini tahu bagaimana hidup di antaranya. Saat dilepas, Silindik bukan burung yang kebingungan atau panik mencari arah. Ia tampak tahu ke mana harus pergi, dan kapan harus kembali. Kadang, burung itu justru hinggap sebentar di atap rumah atau dahan dekat jendela, memperhatikan sekeliling dengan tatapan siaga, sebelum akhirnya terbang lebih jauh, menyelinap di balik semak atau pucuk bambu.

Dalam pengamatan orang-orang yang gemar memelihara Silindik, burung ini termasuk yang setia pada wilayahnya. Jika ia merasa nyaman dengan satu lingkungan, besar kemungkinan ia akan kembali, atau minimal berputar-putar di kawasan yang sama. Itulah mengapa banyak pemilik burung Silindik yang sengaja membiarkan pintu sangkar terbuka setelah sekian waktu, sebagai bentuk ‘percobaan’ apakah Silindik yang mereka pelihara akan kabur atau tetap kembali. Dan seringkali, Silindik kembali, atau minimal tetap berkeliaran di tempat yang sama. Keputusan untuk menetap atau pergi seolah menjadi hak penuh si burung, dan manusia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas.

Yang lebih mencengangkan lagi, Silindik yang terbiasa dilepas-liar kadang menunjukkan kecerdasan sosial. Ia datang di waktu yang kira-kira sesuai, tidak mengganggu, dan bahkan kadang menyapa dengan kicauan pendek sebelum bertengger di dahan yang biasa ia kunjungi. Kesan bahwa ia “mengetahui waktu” dan “mengenali tempat” membuat Silindik punya tempat tersendiri di hati banyak orang tua di kampung. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tahu adat, tahu kapan bersuara, tahu kapan diam.

Dalam dunia yang luas, Silindik memang tidak bisa disebut sebagai burung yang hebat secara fisik. Ia kecil, tak bersenjata, dan mudah diserang predator. Namun justru karena itu, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang lebih halus dengan kelincahan, dengan sinyal-sinyal suara, dengan kebiasaan mengenali tempat dan waktu. Ia bukan penakluk wilayah, tapi penjaga harmoni. Ia hidup bukan dengan menantang, tapi dengan menyesuaikan diri, sambil tetap menjadi dirinya sendiri: lincah, nyaring, dan cantik.

Dari sangkar hingga hutan, dari bilah bambu hingga ranting bebas, Silindik menunjukkan konsistensi dalam satu hal: ia adalah burung yang tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan ruangnya, namun tidak kehilangan esensinya. Ia tetap Silindik, entah terkurung atau dilepaskan. Dan itulah yang membuatnya istimewa. Yang satu membentuk ruang makna dalam keterbatasan, yang lain justru menikmati ruang terbatas sebagai zona nyaman, menghindar dari ujian di luar sangkar. Burung hias, bukan penjaga harmoni.

Ketika Silindik dilepas ke hutan dan ia kembali dengan sukarela, di sanalah makna dirinya diuji. Apakah ia kembali karena cinta pada tempat, atau karena takut pada luasnya dunia? Apakah ia tetap bersuara karena punya pesan, atau karena sudah dilatih untuk berkicau saja? Ibarat pemimpin sejati, sepertinya Silindik yang cerdas, tahu bahwa sangkar bisa menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal abadi. Ia tahu kapan harus kembali ke hutan, dan kapan harus kembali ke rumah tanpa kehilangan siapa dirinya.

Maka dalam masyarakat Mapun-Salibawan yang paham simbol, Silindik bukan hanya burung. Ia adalah alegori hidup tentang bagaimana seharusnya pemimpin bergerak di antara ruang kuasa dan ruang publik. Ia bukan burung gagah, bukan elang penjaga langit. Tapi dalam tubuh kecilnya, tersimpan pelajaran besar: tentang setia, tentang suara, tentang tahu waktu, dan tentang cara menjadi pemimpin tanpa harus menaklukkan, cukup dengan memahami irama dan menjaga keseimbangan.

 

Duapuluh Enam Tahun Kemudian..

Hari ini, setelah 26 tahun kemudian, saya melihat burung ini lagi di kedai Poultry Shop di daerah Kubu, Marapalam Kota Padang. Saya hanya membeli pakan ikan. Tetapi, karena di sana juga menjual aneka burung berkicau, burung hias serta aneka ungags, saya memilih nongkrong lebih lama. Menghilangkan stress dari kerja rutinitas yang makin lama makin menjemukan. Saat itulah saya mendengar kicauan Silindik, yang semula saya kira kicauan burung lovebird.

“Ini jantan dan ini yang betina,” kata bapak pemilik kedai itu. Saya langsung menanyakan, apa perbedaannya selain jenis kelamin. Bapak itu menjawab, “yang jantan lebih atraktif dan berbunyi nyaring. Lebih senang berinteraksi dengan manusia.” Yang betina, “sepertinya ia lebih senang merawat bulu dan berbunyi bila sedang terganggu,” terang bapak itu.  

Aih, yang jelas, bacalah tulisan ini dengan benar, tak perlu pula pikiran anda travelling ke mana-mana.  Apalagi pasaran kini sedang panas. [09/05/2025]