Muhammad Nasir
Pembaca Komik di Pasar Raya Padang akhir abad ke-20
Muhammad Nasir
Pembaca Komik di Pasar Raya Padang akhir abad ke-20
Muhammad Nasir
Beberapa hari lalu, saya mengobrol santai fi tangga masjid kampus dengan seorang mahasiswa menjelang ia wisuda. Obrolan itu basa-basi saja pada awalnya, tapi perlahan berubah menjadi curhat penuh kegelisahan. Ia mengaku merasa belum siap meninggalkan kampus.
"Saya baru merasakan nikmatnya berpikir saat menyusun skripsi, Pak,” katanya. "Itu seperti meningalkan seseorang selagi sayang sayangnya," timpalnya.
Ia bercerita bagaimana penelitian dan keterlibatannya dalam kegiatan akademik bersama dosen membuatnya seperti menemukan dunia baru, dunia yang selama ini terasa jauh, tiba-tiba akrab dan menantang.
"Sepertinya saya terlambat, mengapa pengalaman itu tidak datang di awal perkuliahan?"
Jleb...!
Lalu ia menghela napas dan menambahkan dengan nada yang agak menggebu: “Keinginan saya, saya ingin lebih serius menikmati dunia akademik selagi saya merasa on fire, Pak. Saya tidak ingin kehilangan momentum.”
Saya senang mendengar semangat itu. Tapi realitas segera datang menyusul: “Ya, tapi saya sadar, hidup butuh uang. Kalau bekerja, pasti saya tidak cukup waktu untuk belajar. Mungkin saya akan kehilangan momentum, saat semangat belajar sedang menyala-nyala.”
Ia pun bercerita tentang tempat tinggalnya di kampung yang jauh dari akses buku dan kegiatan ilmiah: “Kampung saya jauh, Pak. Sulit mendapatkan akses ke buku atau kegiatan ilmiah.”
Saya bisa merasakan kegalauannya. Maka, saya mencoba menjawab dengan sedikit perenungan: “Dunia ilmiah bukan hanya kampus. Dunia ilmiah adalah dunia berpikir yang melibatkan aktivitas mendengar, berbicara, mengamati, membaca, dan yang penting: menulis.”
Kalimat itu saya sampaikan bukan hanya untuk menenangkan hatinya, tapi juga untuk mengingatkan diri saya sendiri, bahwa menjaga semangat berpikir itu memang tidak mudah. Bahkan bisa dibilang sulit dan lucu, seperti tugas seorang penjaga lilin dalam cerita rakyat babi ngepet.
Ya, jika anda tahu cerita rakyat itu. Seekor babi ngepet berkeliaran di malam hari mencari uang dengan ilmu hitam, tapi kesaktiannya bergantung pada satu hal: ada seseorang di rumah yang menjaga lilin tetap menyala. Kalau lilinnya padam? Babi ngepet jadi manusia biasa dan ketahuan warga.
Nah, dalam dunia akademik, semangat berpikir itu seperti si babi ngepet: bisa berjalan, bisa menghasilkan, bisa menjelajah dunia pemahaman, tapi hanya kalau apinya terus menyala. Dan menulis adalah cara kita menjaga lilin itu tetap menyala.
Menulis adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Ia menahan ide agar tidak lenyap. Ia mencatat kegelisahan, menyimpan pertanyaan, bahkan menertawakan kebingungan. Di tengah dunia pascawisuda yang penuh tuntutan kerja dan rutinitas, menulis bisa menjadi jalan sunyi untuk tetap berpikir waras.
Saya mengenal banyak alumni yang tidak lanjut S2, tapi menulis secara konsisten. Mereka tidak hanya bertahan, tapi berkembang. Menulis membuat mereka tetap terlibat dalam percakapan ilmiah, meski tak lagi duduk di kelas atau hadir dalam seminar. Sebaliknya, saya juga tahu beberapa orang bergelar tinggi, tapi kehilangan kebiasaan menulis dan perlahan kehilangan gairah ilmiahnya.
Jadi, kalau kamu baru lulus dan merasa akan kehilangan dunia ilmu, jangan panik. Jangan langsung merasa terbuang dari jagat akademik. Ambil buku catatan kecil. Tulis satu halaman saja setiap hari. Tentang apapun. Tentang kegelisahanmu. Tentang apa yang kamu baca. Tentang obrolan di angkot. Itu semua bisa jadi bahan berpikir. Dan yang penting: kamu sedang menjaga lilinmu tetap menyala.
Karena seperti dalam cerita babi ngepet itu, kadang kita tidak tahu kapan dunia akan tiba-tiba jadi gelap. Tapi kalau kita tetap menulis, kita punya cahaya sendiri. Kecil memang, seperti lilin. Tapi cukup untuk membuat kita tetap jadi manusia berpikir.
Ia merenung dan tersenyum senyum kecil. Saya tepuk pundaknya dan berkata:
"Jika kamu ga' suka cerita metafora babi ngepet, cari saja cerita inspiratif lainnya."
Senyum yang mengembang jadi tawa ringan. Percakapan berakhir dengan bertukar nomor telpon. Selamat wisuda, jadilah sarjana!
"Hampir saja kami tertipu… ada oknum mengaku dari Dukcapil Kota Padang, namanya Deni Yudistira. Dia tahu identitas saya termasuk NIK. Dia menginformasikan bahwa data saya untuk transformasi KTP cetak menjadi KTP Digital sudah sampai di Dukcapil. Saya dibimbing memproses pembuatan KTP Digital hingga dua tahapan. Pada tahapan ketiga baru terasa ada keganjilan. Alhamdulillah, kontak yang diberikan ternyata milik orang lain yang kemudian memberi tahu bahwa Deni Yudistira adalah penipu dan sudah banyak korbannya."
Postingan Abi Danil di Group WhatsApp, Sabtu, 26 April 2025
Demikian keluhan yang disampaikan oleh Danil M Caniago, warga Padang yang juga seorang pengajar di perguruan tinggi, yang akrab dipanggil mahasiswanya dengan sebutan Abi Danil. Ia membagikan kisah tersebut di sebuah grup WhatsApp, bukan semata untuk mencurahkan kekesalan, melainkan sebagai peringatan agar siapa pun lebih waspada. Di tengah laju digitalisasi administrasi negara, pengalaman ini menjadi penanda penting bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan keamanan.
Transformasi administrasi kependudukan menuju bentuk digital, termasuk penerapan Identitas Kependudukan Digital (IKD), sesungguhnya merupakan langkah modern yang pantas disambut. Namun, seperti air jernih yang bisa keruh dalam wadah berlubang, teknologi tanpa sistem keamanan yang kokoh malah membuka celah baru bagi kejahatan. Kasus yang dialami Abi Danil memperlihatkan bahwa di balik semangat transformasi, praktik lapangan masih banyak yang dijalankan secara bagarebeh tebeh — serampangan dan asal-asalan — tanpa prosedur pengamanan yang ketat dan teruji.
Muhammad Nasir
WNI Asli Terverifikasi dan Memiliki NIK
Begitu benarlah adanya. Warga negara hampir-hampir dipaksa untuk memiliki Android canggih demi menjalankan berbagai aplikasi pokok yang tidak dapat tidak — tak boleh HP kentang. Sesakit-sakitnya, Anda harus bisa buka aplikasi JKN, dan tak boleh lupa password-nya, kalau tak ingin kesal lalu meninggal saat mengambil antrian online. Tapi, tak apalah. Mungkin negara melihat kita ini sudah maju dan harus mengelola hidup secara digital, bahkan meski dompet digital lebih sering kosong daripada terisi.
Sekarang, tidak cukup hanya menjadi warga negara yang baik dan taat bayar pajak. Anda juga harus menjadi pengguna aktif dari berbagai aplikasi nasional yang menandai eksistensi Anda dalam sistem. Ada IKD, Identitas Kependudukan Digital, sebagai bentuk baru dari KTP yang tidak bisa dilaminating, tidak bisa disimpan di dompet, dan hanya bisa diakses jika Anda tidak lupa PIN atau tidak kehabisan baterai. Ada pula Mobile JKN, yang menjadi portal utama urusan kesehatan Anda—dari pendaftaran, antrian, sampai klaim, semua tergantung seberapa cepat Anda mengklik sebelum servernya lelah. SATUSEHAT Mobile, aplikasi yang dulunya pelacak pandemi, kini berubah menjadi buku rapor digital tubuh Anda, yang sayangnya, belum tentu dibaca tenaga medis jika aplikasinya sedang tidak kompatibel.
Login ke aplikasi-aplikasi ini adalah pengalaman spiritual tersendiri. Di era ini, masuk ke akun bukan hanya persoalan ingat password. Anda harus melewati berbagai tahap sakral: password yang tidak boleh sederhana, PIN yang diminta setelah password, OTP yang kadang datang lima menit setelah kita menyerah, bahkan autentikasi biometrik yang gagal jika wajah Anda sedang kusut atau pencahayaan kurang. Salah satu aplikasi bahkan menolak saya karena “wajah tidak dikenali,” padahal saya hanya pakai masker di siang bolong. Login bukan lagi pintu masuk, tapi penjaga gerbang yang menentukan apakah Anda cukup sah untuk menerima layanan negara. Seakan-akan, dalam dunia digital ini, kita tak lagi cukup hanya dengan KTP; kita harus terus membuktikan eksistensi, ulang tahun demi ulang tahun.
Belum lagi Cek Bansos, aplikasi yang menjanjikan transparansi, tapi lebih sering membuat orang merasa diuji: “Apakah saya cukup miskin untuk diakui algoritma negara?” Lalu datang INApas, sang penyelamat masa depan yang katanya akan menjadi kunci utama semua pintu layanan publik. Untuk saat ini, ia masih dalam tahap awal: tampilkan QR code, simpan data diri, dan sabar menunggu fitur-fitur lainnya muncul sambil sistemnya terus diuji coba.
Di atas kertas, semua ini adalah bentuk kemajuan. Negara ingin pelayanan cepat, efisien, tanpa tatap muka yang melelahkan. Tapi dalam realitas harian, ini adalah bentuk baru seleksi sosial. Siapa yang memorinya penuh, RAM-nya kecil, sinyalnya lemah, atau lupa password—ia tersingkir dari sistem. Warga lansia yang tak pernah kenal OTP, atau petani yang sinyalnya hanya muncul saat badai petir—mereka bukan tidak mau terlibat, mereka hanya tersesat dalam dunia digital yang dibangun tanpa panduan.
Yang lebih menggelikan, meskipun semua sudah “serba aplikasi,” di lapangan masih saja ada kantor yang petugasnya minta fotokopi KTP, KK, ijazah, akta lahir, dan surat keterangan dari RT, RW, bahkan tanda tangan lurah yang sedang rapat entah di mana. Di depan meja pelayanan terpampang poster besar bertuliskan “LAYANAN DIGITAL 100%” — tapi petugasnya masih mengancing map plastik sambil bertanya, “Ini yang asli mana ya, Bu?”
Kini bahkan tempat kerja tak kalah cerewet. Edaran terbaru dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) mewajibkan multi-factor authentication (MFA) untuk seluruh ASN. Login ke portal kepegawaian kini tak hanya soal password, tapi juga verifikasi ke perangkat lain yang sedang dicas di rumah. Belum lagi aplikasi absensi digital, presensi lokasi, layanan perizinan, dan pelaporan kinerja harian. Semua harus login, semua harus sinkron. Maka bertambahlah beban: tidak hanya warga negara harus mengunduh aplikasi untuk layanan publik, tetapi juga untuk bekerja, berbelanja, isi BBM, bahkan masuk ke tempat wisata.
Betapa banyak uang yang telah dikeluarkan rakyat demi bisa menjalankan semua ini: ganti HP, beli kuota, perpanjang data, pasang fingerprint. Semua demi satu hal: bisa tetap terlihat oleh negara. Pada akhirnya, Android kita bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia adalah etalase kehidupan administratif, tempat semua aplikasi mengklaim hak atas ruang penyimpanan, notifikasi, dan kadang-kadang, ketenangan hidup kita.
Namun, di tengah semua keluhan ini, kita harus merenungkan satu hal: apakah semua ini benar-benar kemajuan? Di dunia yang makin terhubung ini, apakah ada cara lain untuk menyeimbangkan antara efisiensi digital dan aksesibilitas untuk semua lapisan masyarakat? Apakah mungkin ada tempat bagi mereka yang tidak mengikuti arus zaman ini, atau apakah mereka akan tersisih dalam bayang-bayang aplikasi yang terus berkembang?
Dan begitulah, di bawah kuasa aplikasi, kita semua sedang belajar menjadi warga yang taat tidak hanya pada hukum, tetapi juga pada notifikasi. Kita tidak lagi hanya perlu mengingat Pancasila, tapi juga email recovery dan pertanyaan keamanan. Sebab dalam republik digital ini, hidup Anda tidak lengkap sebelum Anda berhasil verifikasi akun.
Muhammad Nasir
Platform X telah menjadi panggung utama bagi warganet Indonesia untuk menyuarakan pandangan politik, terutama sepanjang 2023–2024, ketika Pemilu 2024 memanaskan wacana publik, dan pada 2025, saat pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mulai menjalankan roda pemerintahan di tengah dinamika Pilkada 2024.
Esai ini berfokus pada sentimen negatif di X yang mendominasi diskusi pada periode 2023–2024, khususnya selama debat Pemilu dan dugaan kecurangan pemilu, serta memproyeksikan kontroversi terkini pada 2025 yang kemungkinan mempertahan-kan atau memperburuk sentimen tersebut.
Analisis sentimen bergantung pada Drone Emprit, platform kredibel yang dikembangkan oleh Ismail Fahmi sejak 2009 di Belanda dan digunakan di Indonesia sejak 2012. Drone Emprit memanfaatkan kecerdasan buatan (AI), Natural Language Processing (NLP), dan koreksi manual untuk menganalisis percakapan di media sosial dengan akurasi tinggi (Media Kernels Indonesia, 2024).
Platform ini diakui akademik, digunakan oleh pemerintah seperti Dinas Komunikasi dan Informatika Tuban, dan terkenal melawan hoaks, seperti kasus “7 Kontainer” pada Pemilu 2019 (Dinas Komunikasi dan Informatika Tuban, 2024; VOA Indonesia, 2023). Namun, potensi bias muncul dari polarisasi di X dan klien komersial Drone Emprit, meskipun Fahmi menegaskan netralitas (Kumparan, 2023; Vice Indonesia, 2019).
Esai ini menganalisis lima politisi Indonesia dengan sentimen negatif tertinggi di X berdasarkan data Drone Emprit 2023–2024 dan proyeksi kontroversi 2025, dengan persentase sentimen negatif untuk pemeringkatan, serta evaluasi kredibilitas dan bias Drone Emprit. Semua referensi diambil dari sumber valid untuk memastikan kredibilitas.
Kredibilitas Data dan Potensi Bias
Drone Emprit, melalui Drone Emprit Academic (DEA) dengan Universitas Islam Indonesia, diakui dalam jurnal seperti Journal of Social Politics and Governance untuk analisis opini publik yang valid (Arianto, 2020). Metodologinya menggabungkan AI, NLP, dan koreksi manual untuk mengukur sentimen, volume percakapan, dan klasterisasi akun melalui Social Network Analysis (SNA), menghasilkan visualisasi seperti peta klaster (Suharso, 2019).
Kementerian Komunikasi dan Informatika memanfaatkannya untuk menyisir hoaks, dan Fahmi dikenal sebagai ahli pelacak disinformasi sejak Pilpres 2014 (Vice Indonesia, 2019). Data 2023–2024 mencakup analisis debat Pemilu, seperti 964.645 percakapan negatif tentang kecurangan pemilu (Drone Emprit, 2024a) dan 60% sentimen negatif untuk Gibran pada debat cawapres (Asia News Network, 2024).
Karena keterbatasan data spesifik 2025, proyeksi kontroversi dibuat berdasarkan tren 2023–2024, seperti polarisasi pasca-Pemilu dan isu dinasti politik. Data Drone Emprit bersumber dari laporan resmi, dirujuk sebagai “dokumen internal” karena tidak semua detail dipublikasikan, tetapi valid karena reputasi platform dan validasi media.
Drone Emprit menghadapi potensi bias dari polarisasi X, di mana buzzer menuduh Fahmi memihak (Kumparan, 2023). Sebagai platform komersial, klien pemerintah dan perusahaan dapat memicu persepsi konflik kepentingan, meskipun Fahmi menegaskan fokus publik (Vice Indonesia, 2019).
Subjektivitas klasifikasi sentimen, meski dikurangi koreksi manual, tetap berisiko (Arianto, 2020). Bias ini diatasi dengan triangulasi konteks politik dan evaluasi kritis narasi X, memastikan interpretasi seimbang.
Politisi dengan Sentimen Negatif Tertinggi
Pemeringkatan disusun berdasarkan persentase sentimen negatif di X pada 2023–2024, dengan proyeksi kontroversi 2025 yang kemungkinan mempertahankan atau memperburuk sentimen, mempertimbangkan intensitas percakapan dan dampak isu. Berikut 5 politisi yang masuk dalam pemeringkatan:
1. Joko Widodo: Dinasti Politik dan Kecurangan Pemilu (Estimasi 80%)
Joko Widodo (Jokowi) menduduki peringkat pertama dengan estimasi 80% sentimen negatif pada 2023–2024, terutama akibat dugaan kecurangan Pemilu 2024. Drone Emprit mencatat 964.645 percakapan negatif pada Februari 2024 tentang politisasi bansos dan pemekaran Papua, diperkuat oleh film “Dirty Vote” (Drone Emprit, 2024a).
Pencalonan Gibran, diduga difasilitasi putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, memicu narasi dinasti politik (Kompas, 2024). Pada 2025, proyeksi kontroversi menunjukkan sentimen negatif berlanjut karena pengaruh Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran dan kritik terhadap warisan kebijakan seperti IKN, diperkuat oleh polarisasi pasca-Pemilu.
Pada April 2025, kontroversi ijazah Jokowi memicu sentimen negatif 86% di X. Meski UGM menegaskan keabsahan ijazah dan skripsi Jokowi, yang lulus pada 5 November 1985, Sofian Effendi misalnya menyoroti “kejanggalan serius” pada pembimbing skripsi, memperkuat narasi negatif.
2. Prabowo Subianto: Gaya Debat dan Masa Lalu (Estimasi 75%)
Prabowo, presiden terpilih, menempati peringkat kedua dengan estimasi 75% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat 54% sentimen negatif pada debat capres ketiga (Januari 2024) karena gaya debat yang memotong lawan (Drone Emprit, 2024b). Isu pelanggaran HAM 1998 diungkit aktivis, memperkuat sentimen negatif (Kompas, 2024).
Pada 2025, proyeksi kontroversi seperti kebijakan efisiensi anggaran yang dianggap anti -rakyat dan kegagalan memenuhi janji pertumbuhan ekonomi diperkirakan memperburuk sentimen, berdasarkan tren kritik ekonomi 2024.
3. Gibran Rakabuming Raka: Dinasti Politik dan Gaya Debat (Estimasi 70%)
Gibran berada di peringkat ketiga dengan estimasi 70% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit melaporkan 60% sentimen negatif pada debat cawapres (Januari 2024) akibat gestur “cringe” dan istilah SGIE yang dianggap gimmick (Asia News Network, 2024).
Narasi dinasti politik dan persepsi kurangnya pengalaman memicu kritik keras (Kompas, 2024). Pada 2025, proyeksi kontroversi seperti tuduhan nepotisme dan potensi polarisasi akibat peran wakil presiden diperkirakan mempertahankan sentimen negatif.
Pada 2025 sentimen negatif diprediksi lebih kuat dari kontroversi, karena kontroversi hanya dianggap sebagai akibat dari sentimen negatif Gibran sebagai sosok tidak kompeten dan di bawah ekspektasi.
4. Ridwan Kamil: Koalisi dan Kinerja Masa Lalu (Estimasi 60%)
Ridwan Kamil, kandidat Pilgub DKI, menempati peringkat keempat dengan estimasi 60% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat deklarasi Pilgub DKI 2024 memicu kritik karena koalisi 12 partai yang dianggap tidak transparan (Drone Emprit, 2024c). Kinerja masa lalu di Jawa Barat, seperti penanganan banjir, menjadi sorotan (Kompas, 2024). Pada 2024, proyeksi kontroversi seperti narasi oportunisme karena pindah ke Jakarta diperkirakan sebagai sumber sentimen negatif.
Terakhir, diperkuat dengan isu perselingkuhan hingga menghamili seseorang yang membuat citranya anjlok di mata moralis, terutama kaum perempuan.
5. Muhaimin Iskandar: Politik Identitas dan Gaya Debat (Estimasi 50%)
Muhaimin Iskandar menempati peringkat kelima dengan estimasi 50% sentimen negatif pada 2023–2024. Drone Emprit mencatat 41% sentimen negatif pada debat cawapres (Desember 2023) karena kurang memahami isu (Drone Emprit, 2024d). Politik identitas PKB dan narasi kurang serius seperti “potong tumpeng IKN” memicu kritik (Kompas, 2024).
Pada 2025, proyeksi kontroversi terkait peran di Pilkada diperkirakan mempertahankan sentimen negatif, tetapi dengan dampak lebih rendah.
Sumbernya diperkirakan dari internal PKB dan kalangan Nahdliyin, sebuah konflik laga sekandang yang menggema ke seluruh cabangnya si daerah.
Prediksi ke Depan
Data Drone Emprit boleh jadi kredibel karena pengakuan akademik, transparansi metodologi, dan reputasi anti-hoaks. Namun polarisasi yang masih berlanjut di platform X (twitter) menunjukkan tren yang terus membesar-besarkan sentimen negatif tersebut. Tentunya pada pwecakay di X yang masih berlanjut diperlukan interpretasi kritis dan triangulasi dengan sumber media memastikan akurasi.
Sebagai ringkasan akhir, hiruk-pikuk sentimen negatif dan kontroversi di Platform X, Jokowi (80%), Prabowo (75%), Gibran (70%), Ridwan Kamil (60%), dan Muhaimin Iskandar (50%) dapat dijelaskan sebagai gelombang yang mencerminkan ketegangan politik 2023–2024. Sementara, proyeksi kontroversi 2025, bagi politisi yang sedang menjabat bersumber dari kebijakan pemerintahan baru dan polarisasi Pilkada. Sementara bagi sosok seperti Jokowi dan Ridwan Kamil, kontroversi akan bersumber dari kebijakan di masa lalu, dan political engagement dengan aktor politik di masa kini.
Daftar Rujukan
Arianto, B. (2020). Pemanfaatan aplikasi Drone Emprit Academic dalam menganalisis opini publik di media sosial. Journal of Social Politics and Governance, 2(2), 177–191. https://doi.org/10.24036/jspg.v2i2.123
Asia News Network. (2024, Januari 22). Gibran draws ire after arrogant debate performance. https://asianews.network/gibran-draws-ire-after-arrogant-debate-performance/
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Tuban. (2024, Desember 10). Diskominfo Tuban gandeng Drone Emprit untuk analisis media sosial. https://tubankab.go.id/berita/diskominfo-tuban-gandeng-drone-emprit-untuk-analisis-media-sosial
Drone Emprit. (2024a). Analisis sentimen kecurangan Pemilu 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id
Drone Emprit. (2024b). Analisis sentimen debat capres ketiga Januari 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id
Drone Emprit. (2024c). Analisis sentimen deklarasi Pilgub DKI 2024. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id
Drone Emprit. (2024d). Analisis sentimen debat cawapres pertama Desember 2023. [Dokumen internal]. pers.droneemprit.id
Kompas. (2024, Februari 15). Kecurangan Pemilu 2024: Politisasi bansos dan putusan MK jadi sorotan. https://www.kompas.com/trending/read/2024/02/15/kecurangan-pemilu-2024-politisasi-bansos-dan-putusan-mk-jadi-sorotan
Kumparan. (2023, Mei 15). Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit yang melawan hoaks dengan data. https://www.kumparan.com/kumparan-tech/ismail-fahmi-pendiri-drone-emprit-yang-melawan-hoaks-dengan-data
Media Kernels Indonesia. (2024). Drone Emprit: Social media monitoring and analytics. https://mediakernels.com/drone-emprit
Suharso, P. (2019). Pemanfaatan Drone Emprit dalam melihat tren perkembangan bacaan digital melalui akun Twitter. Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 3(4), 333–346. https://doi.org/10.14710/anuva.3.4.333-346
Vice Indonesia. (2019, April 10). Ismail Fahmi, aktivis pencipta aplikasi Drone Emprit yang bisa memetakan hoax dan buzzer di Indonesia. https://www.vice.com/id_id/article/9kxq4y/ismail-fahmi-aktivis-pencipta-aplikasi-drone-emprit-yang-bisa-memetakan-hoax-dan-buzzer-di-indonesia
VOA Indonesia. (2023, Maret 20). Drone Emprit: Pelacak disinformasi dan perang narasi dunia maya. https://www.voaindonesia.com/a/drone-emprit-pelacak-disinformasi-dan-perang-narasi-dunia-maya/7012345.html
*draft
Muhammad Nasir
Pada masa silam, ketika angin perubahan menggoyang Tanah Sembilan Wali, tersiar kisah geger yang menggetarkan para petinggi Bhumi Agung Sepehi. Negeri ini, yang disebut pula Bumi Jawawut hingga Negeri Dewi Persik, menjadi saksi perebutan trah, nasab mulia, dan otoritas keagamaan.
Kisah ini, bagaikan benang kusut dalam sulaman kebesaran Jawa, melibatkan kiyai, habib, dan petinggi yang berlomba menegaskan keabsahan di hadapan leluhur dan rakyat. Bhumi Agung Sepehi pun berguncang oleh ambisi dan sengketa, membuat geleng-geleng orang-orang dari negeri-negeri tetangga Nuswantoro.
Muhammad Nasir
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang
Pagi itu aku membuka WhatsApp dengan santai, berharap hanya menemukan ucapan sisa-sisa Idulfitri yang manis dan ringan, atau romansa berita mayor Teddy yang menggemaskan. Tapi pesan yang masuk justru membuatku terdiam. “Maaf Pak, saya masih di kampung, belum bisa hadir kuliah. Mohon dispensasi ya, Pak. Maaf juga belum sempat bikin tugas.”
Lalu pesan serupa dari beberapa mahasiswa lain: permohonan maaf, permintaan izin, keluhan situasi, dan sedikit harapan agar dosen mereka bisa memahami dan bersimpati. Yang lainnya pesan mohon izin sedang sakit, dan eh... masalah keluarga (sekalian aja masalah rumah tangga, ngab).
Haha, akhirnya, dua kelas hari ini pun terpaksa batal. Padahal sudah pakai baju baru untuk ngajar hari ini.
***
Oleh: Muhammad Nasir*
"The more I learn, the more I realize how much I don't know."
— Albert Einstein
Meneliti bagi seorang kandidat Ph.D bukanlah sekadar rutinitas akademik. Ia bukan pula sekadar upaya ‘membayar utang proposal’ kepada dosen pembimbing. Meneliti adalah permainan serius yang memadukan ketegangan, ketekunan, dan ketidakpastian. Bila harus diibaratkan, maka penelitian menyerupai permainan Minesweeper—permainan komputer sederhana yang bisa membuat orang bijak gelisah dan yang gelisah tambah bijak (atau menyerah).
Ketidakpastian sebagai Titik Awal
Langkah pertama dalam riset adalah seperti klik pertama di Minesweeper. Anda tak tahu apa yang terjadi: membuka ruang baru, angka samar, atau langsung—boom—tersingkir dari papan. Tapi bedanya, dalam riset, tidak ada tombol “restart”. Yang ada hanya revisi, re-revisi, dan pertanyaan eksistensial semacam: “Apakah saya sudah berada di jalan yang benar, atau saya sebenarnya sedang menulis laporan perjalanan menuju kehampaan?”
John W. Creswell mengingatkan kita:"
Qualitative research begins with assumptions, a worldview... and the study of research problems inquiring into the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem."
Artinya: bahkan sebelum meneliti, kita sudah membawa ‘kecurigaan filosofis’ sendiri. Ini bukan soal netralitas, melainkan kejujuran epistemik. Dalam hal ini, peneliti mirip paranormal yang ragu-ragu: merasa melihat sesuatu, tapi masih butuh data untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Pola, Probabilitas, dan Intuisi
Dalam Minesweeper, angka-angka muncul seperti kode rahasia. Kita harus menebak di mana ranjau berada. Dalam riset, angka-angka bisa berupa statistik, atau lebih sering: pertanyaan dari dosen penguji. Sama-sama membingungkan, dan salah membaca bisa berakibat fatal terhadap beasiswa maupun harga diri.
Tan Malaka dalam Madilog pernah menulis dengan serius tapi menyentil:
“Berpikir bebas bukanlah berpikir semaunya.”
Sama seperti dalam Minesweeper, intuisi yang tak dilatih bisa membuat jari gatal membuka kotak yang salah. Intuisi akademik dibentuk dari membaca, berdiskusi, dan kadang menangis pelan saat menyadari bahwa artikel yang kita baca ternyata dari jurnal predator.
Risiko sebagai Bagian dari Proses
Setiap langkah adalah taruhan. Imam Syafi’i menasihati:
“Barangsiapa yang tidak tahan terhadap kepedihan belajar barang sesaat, ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hayat.”
Tentu, pada zaman beliau belum ada Google Scholar. Tapi rasa perih ketika membaca metodologi yang tak kita pahami sepenuhnya pasti tak berubah sepanjang sejarah umat manusia.
Kandidat Ph.D bukan hanya pejuang data, tetapi juga pelancong di hutan belantara kutipan. Kadang kita berjalan dengan pasti, kadang kita hanya menebak-nebak—dan kadang kita membuka laptop hanya untuk menatap kursor 45 menit sambil mempertanyakan keputusan hidup.
Namun yang paling menyakitkan bukan kesalahan metode, tetapi saat melihat orang lain yang asal-asalan malah lulus lebih dulu. Tapi tenang, menurut Ibn Khaldun:
“Kebudayaan yang besar lahir dari usaha yang berat.”
Dan juga, meski tidak dikutip oleh Ibn Khaldun, kita tahu: “Yang cepat belum tentu benar, dan yang lambat belum tentu salah—barangkali hanya terlalu perfeksionis.”
Kita Sedang Mencari Formasi Intelektual
Tujuan utama dari riset bukanlah lulus cepat lalu pergi liburan ke Bali (walau itu menyenangkan), melainkan membentuk karakter intelektual. Bukan hanya soal menemukan jawaban, tetapi menemukan bentuk berpikir kita sendiri.
Riset yang baik adalah seperti humor yang cerdas: tidak langsung terlihat lucu, tapi akan meninggalkan jejak dalam kesadaran pembaca. Kita tidak hanya ingin selesai, kita ingin bermakna. Kita ingin tidak hanya diingat karena disertasi yang tebal, tapi juga karena pemikiran yang menyala—meski pembacanya hanya dua: penguji dan ibu kandung.
Akhirnya, “He who has a why to live can bear almost any how.” —kata Nietzsche
Begitu pula peneliti: yang tahu mengapa ia meneliti, akan bertahan meski menghadapi how yang penuh jebakan, revisi, dan ketidakpastian.
---
Mahasiswa S3 Studi Islam, UIN Imam Bonjol Padang
Muhammad Nasir
Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang
Pendahuluan
Dalam banyak diskursus publik, intoleransi sering kali dibingkai sebagai sesuatu yang eksplisit: ujaran kebencian, penyerangan terhadap rumah ibadah, pelarangan atribut keagamaan, atau diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok minoritas. Pola ini membentuk persepsi umum bahwa intoleransi hanya hadir ketika kekerasan terjadi secara fisik, verbal, atau kebijakan yang secara langsung membatasi hak kelompok lain. Padahal, intoleransi juga dapat beroperasi secara sunyi, melalui mekanisme sosial dan kultural yang tidak kentara, namun berdampak luas dan sistemik.
Intoleransi yang tak disadari muncul dalam bentuk-bentuk yang tidak mudah diidentifikasi: kebijakan yang tampak netral tapi bias, norma sosial yang dianggap universal padahal berasal dari nilai-nilai kelompok dominan, atau praktik-praktik keseharian yang mengecualikan tanpa harus secara terbuka melarang. Karena sifatnya yang tersamar dan sering kali disepakati bersama tanpa resistensi, bentuk intoleransi semacam ini jauh lebih sulit dikenali, diprotes, dan dikoreksi. Ia tidak membunyikan alarm, tetapi justru menetap dalam struktur sosial sebagai bagian dari “kebiasaan baik” atau “kewajaran bersama.”
Muhammad Nasir
Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang
Bayangkan sebuah negara yang mengaku menjunjung tinggi toleransi, tetapi secara tidak sadar mendidik warganya untuk melihat bahasa, budaya, bahkan agama kelompok mayoritas sebagai satu-satunya norma nasional. Tidak ada larangan eksplisit bagi minoritas untuk berbeda, namun perbedaan itu terus-menerus dianggap “kurang ideal”, “kurang nasionalis”, atau “kurang cocok” dengan identitas bangsa. Inilah wajah intoleransi diam-diam—ia tidak berteriak, tidak melempar batu, namun menyusup pelan melalui kurikulum sekolah, narasi media, regulasi administratif, dan konstruksi kewarganegaraan. Ironisnya, intoleransi ini justru paling berbahaya karena tidak disadari oleh pelakunya: kelompok etnis mayoritas.
Dalam konteks negara-negara Asia yang multietnis, intoleransi tak disadari menjadi tantangan yang pelik. Ia bukan hanya berwujud prasangka personal, tetapi juga mewujud dalam sistem dan simbol negara. Greenwald dan Krieger (2006) menyebutnya sebagai bentuk unconscious bias, yaitu kecenderungan kognitif yang membuat seseorang—atau sekelompok orang—memihak kelompoknya sendiri tanpa sadar, bahkan saat berniat berlaku adil. Ketika bias ini diadopsi oleh institusi negara dan didukung oleh narasi sejarah yang sepihak, lahirlah bentuk-bentuk diskriminasi yang tidak selalu tampak sebagai penindasan, tetapi justru dibungkus dalam wacana persatuan, keseragaman, dan nasionalisme.
Esai ini bertujuan membongkar mekanisme-mekanisme halus yang digunakan oleh etnis mayoritas dalam mempertahankan dominasi mereka melalui cara-cara yang tampak “normal”. Untuk itu, pembahasan dimulai dengan kerangka teoretis mengenai hegemoni budaya dan bias tak sadar, lalu dilanjutkan dengan analisis terhadap beberapa modus operandi intoleransi terselubung: standarisasi budaya mayoritas, netralitas palsu, dan dalih keamanan nasional. Studi kasus dari beberapa negara Asia—seperti Thailand, Myanmar, India, Cina, Malaysia, dan Indonesia—akan digunakan untuk menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk ini bekerja dalam konteks riil. Akhirnya, esai ini akan menutup dengan refleksi teoretis tentang pentingnya membongkar struktur sosial yang tampak netral namun bias, serta mengusulkan arah menuju keadilan kultural yang lebih setara.
Hegemoni dan Bias Tak Disadari
Konsep hegemoni dari Antonio Gramsci (1971) memberi pemahaman penting dalam membedah bagaimana dominasi kultural bekerja secara tak kasatmata. Hegemoni terjadi ketika nilai-nilai kelompok dominan diterima sebagai “normal” atau “alami” oleh seluruh masyarakat, termasuk kelompok tertindas. Dalam konteks ini, etnis mayoritas bukan hanya mendominasi secara kuantitatif, tetapi juga secara simbolik: budaya, bahasa, bahkan sistem nilai mereka menjadi kerangka rujukan dalam kehidupan bernegara. Ini diperkuat oleh teori unconscious bias (Greenwald & Krieger, 2006), yang menjelaskan bagaimana kelompok dominan seringkali tidak menyadari keberpihakan sistemik terhadap kelompok mereka sendiri.
Standarisasi Budaya Mayoritas Sebagai Norma Nasional
Banyak negara Asia menjadikan budaya mayoritas sebagai standar nasional, yang berdampak pada marginalisasi budaya lain. Di Thailand, identitas Thai-Buddha menjadi basis nasionalisme, sehingga Muslim Melayu di Selatan Thailand mengalami tekanan untuk meninggalkan identitas linguistik dan agama mereka (McCargo, 2008). Sementara itu, di Myanmar, konsep “national races” menyingkirkan etnis Rohingya dari hak kewarganegaraan karena tidak dianggap bagian dari sejarah “asli” bangsa Burma (Cheesman, 2017).
Netralitas Palsu dan Bias Representasi
Etnis mayoritas sering menganggap identitas mereka sebagai “netral” atau “umum”, sementara ekspresi budaya minoritas dianggap sebagai “kekhususan”. Di Indonesia, narasi sejarah nasional lebih banyak diwarnai oleh pengalaman Jawa—baik dari segi tokoh sejarah, simbol nasional, maupun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah (Kleden, 2004). Hal ini membuat ekspresi dari luar Jawa sering kali tidak diberi tempat yang setara dalam wacana nasional.
Dalih Persatuan dan Keamanan Nasional
Diskriminasi terhadap minoritas kerap dibungkus dengan alasan “menjaga stabilitas” atau “mencegah radikalisme”. Di Cina, pemerintah menggunakan narasi deradikalisasi untuk membenarkan penahanan massal terhadap etnis Uighur, meskipun banyak laporan internasional menyebutkan bahwa tindakan ini adalah bentuk penindasan sistemik (Zenz, 2019). Dalih keamanan negara digunakan untuk membatasi kebebasan identitas dan ekspresi minoritas.
Pemaksaan Asimilasi
Minoritas sering dipaksa menyesuaikan diri agar “diterima” oleh masyarakat mayoritas. Di Malaysia, kebijakan afirmatif terhadap Bumiputera telah menimbulkan perasaan eksklusi pada warga non-Melayu, terutama dalam pendidikan tinggi dan akses ekonomi (Gomez & Saravanamuttu, 2013). Asimilasi yang dipaksakan ini mengabaikan prinsip multikulturalisme yang sejati.
Studi Kasus di India dan Indonesia
Di India, intoleransi tak disadari hadir dalam bentuk Hinduisasi negara. Meskipun India secara konstitusional adalah negara sekuler, pemerintah yang dipimpin oleh BJP sering mempromosikan simbol dan nilai-nilai Hindu dalam kebijakan pendidikan dan politik. Minoritas Muslim dan Kristen merasa identitas mereka semakin dipinggirkan. Misalnya, kontroversi mengenai larangan jilbab di beberapa sekolah di Karnataka menunjukkan bagaimana simbol religius minoritas dianggap “mengganggu” netralitas publik, sementara simbol mayoritas tidak dipermasalahkan.
Sementara itu, di Indonesia, intoleransi terselubung terlihat dalam narasi kewarganegaraan. Meski konstitusi menjamin kesetaraan warga, masyarakat Tionghoa seringkali masih dianggap “bukan bagian dari pribumi”. Dalam banyak kasus, loyalitas mereka dipertanyakan, dan representasi di media atau politik jarang lepas dari stereotip ekonomi. Diskursus keindonesiaan pun sering kali menyaratkan “kesesuaian” dengan norma mayoritas—baik dalam cara berpakaian, berbicara, hingga beragama.
Menuju Keadilan Kultural
Mengatasi intoleransi terselubung memerlukan kesadaran kritis dari kelompok mayoritas. Ini bukan sekadar soal toleransi antar-individu, tetapi pengakuan terhadap ketimpangan struktural dalam sistem sosial dan politik. Budaya mayoritas perlu membuka ruang bagi pluralitas, bukan dengan mengasimilasi perbedaan, tetapi dengan mengafirmasinya.
Pendidikan multikultural yang reflektif harus menjadi prioritas. Bukan hanya sekadar “menampilkan keberagaman” secara simbolik, tetapi mendorong pembelajaran tentang sejarah, kontribusi, dan perspektif minoritas secara sejajar. Media juga berperan penting dalam menciptakan narasi yang inklusif dan adil.
Dalam kata-kata Bhikhu Parekh (2000), keadilan dalam masyarakat multikultural bukan berarti menghapus perbedaan, tetapi mengelolanya dengan hormat dan kesetaraan. Negara harus menjadi arena di mana semua kelompok merasa aman mengekspresikan identitasnya tanpa takut dihakimi, direpresi, atau dikurangi haknya.
Penutup
Intoleransi yang tak disadari adalah bentuk paling berbahaya dari dominasi etnis mayoritas. Karena tersembunyi di balik “normalitas”, ia tidak memicu perlawanan eksplisit, tetapi terus-menerus melanggengkan ketimpangan. Kesadaran kolektif untuk merefleksikan posisi mayoritas, membongkar bias sistemik, dan membangun struktur sosial yang inklusif menjadi syarat utama bagi masa depan Asia yang adil dan damai.
[22 Desember 2024]
---
*suplemen bacaan Penguatan Moderasi Beragama
Referensi
Cheesman, N. (2017). How in Myanmar “National Races” Came to Surpass Citizenship and Exclude Rohingya. Journal of Contemporary Asia, 47(3), 461–483.
Gomez, E. T., & Saravanamuttu, J. (Eds.). (2013). The New Economic Policy in Malaysia: Affirmative Action, Ethnic Inequalities and Social Justice. NUS Press.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.
Greenwald, A. G., & Krieger, L. H. (2006). Implicit Bias: Scientific Foundations. California Law Review, 94(4), 945–967.
Kleden, I. (2004). Indonesia: Kebudayaan dalam Politik. Kompas.
McCargo, D. (2008). Tearing Apart the Land: Islam and Legitimacy in Southern Thailand. Cornell University Press.
Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Harvard University Press.
Zenz, A. (2019). “Brainwashing, Police Guards and Coercive Internment”: Evidence from Chinese Government Documents about the Nature and Extent of Xinjiang’s Detention Campaign. Journal of Political Risk, 7(11).
Oleh: Muhammad Nasir
Dosen UIN Imam Bonjol Padang
Dalam lanskap keagamaan Islam di Jawa akhir akhir ini, terdapat sebuah dinamika menarik yang terus berulang namun belum banyak dibahas secara terbuka: ketegangan yang muncul antara sebagian kiai dan kelompok habib. Satu sisi memperlihatkan adanya penolakan terhadap tokoh-tokoh habib tertentu, terutama yang tampil dengan retorika keras dan nuansa puritanisme. Di sisi lain, sebagian habib justru dipeluk erat, diberi tempat terhormat dalam forum-forum keagamaan, dan dijadikan panutan spiritual. Fenomena ini tampak kontradiktif, namun sesungguhnya mencerminkan dinamika otoritas keagamaan dalam bingkai kultural Islam Jawa yang kaya dan kompleks.
Secara sosiologis, terdapat dua sumber utama otoritas dalam Islam tradisional di Jawa: otoritas keilmuan dan otoritas keturunan (nasab). Kiai dalam tradisi pesantren membangun otoritas melalui proses panjang: belajar bertahun-tahun, menguasai teks klasik, membangun jaringan sanad keilmuan, serta hidup di tengah masyarakat dengan etos pelayanan keagamaan yang tinggi. Sebaliknya, sebagian habib membawa otoritas berbasis nasab, yakni status mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad, yang secara kultural dan historis memang memiliki tempat khusus dalam khazanah keislaman.
Ketika dua bentuk otoritas ini berjumpa, terutama dalam ruang publik yang sama, muncul potensi ketegangan. Martin van Bruinessen (1999) menyebutnya sebagai bentuk kontestasi otoritas keagamaan, yaitu perebutan legitimasi antara dua figur yang sama-sama mengklaim kewenangan berbicara atas nama Islam. Ketegangan ini bukan hanya menyangkut isu teologis, melainkan juga bersifat simbolik dan politis.
Muhammad Nasir
Komunitas Ba'alawi, keturunan Hadhrami yang menetap di Nusantara, memiliki sejarah panjang dalam interaksinya dengan pemerintah kolonial Belanda. Hubungan ini kompleks dan tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kolaborasi semata. Sebagian individu dalam komunitas ini memiliki hubungan dekat dengan penguasa kolonial, sementara yang lain berperan dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Artikel ini berusaha menelaah aspek-aspek utama dari hubungan tersebut dengan pendekatan historis berbasis literatur akademik.
Salah satu tokoh Ba'alawi yang sering dikaitkan dengan pemerintahan kolonial adalah Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia pada abad ke-19. Ia memiliki kedekatan dengan otoritas Belanda dan sering kali mendukung kebijakan mereka, terutama dalam hal penerjemahan dokumen-dokumen Islam dan penafsiran hukum Islam dalam konteks kolonial (Laffan, 2003). Namun, pendekatan Sayyid Utsman bukan tanpa kritik. Beberapa pihak, termasuk komunitas Hadhrami lainnya, menilai bahwa langkahnya cenderung pragmatis demi stabilitas, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk kooptasi oleh penguasa kolonial (Mobini-Kesheh, 1999).
Pemerintah kolonial Belanda memiliki kebijakan ambivalen terhadap komunitas Ba'alawi. Di satu sisi, mereka mengakui pengaruh ulama Ba'alawi dalam masyarakat Muslim dan memanfaatkan legitimasi mereka untuk mengontrol umat Islam (Vlekke, 2008). Di sisi lain, mereka juga mencurigai afiliasi Ba'alawi dengan gerakan pan-Islamisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kekhawatiran ini memuncak ketika pemerintah kolonial mencurigai keterlibatan masyarakat Arab dalam pemberontakan dan pergerakan anti-kolonial (Benda, 1958).
Meskipun terdapat tuduhan kolaborasi, banyak anggota komunitas Ba'alawi yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka terlibat dalam organisasi pergerakan seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada awal abad ke-20 (Noer, 1982). Selain itu, komunitas Ba'alawi juga memainkan peran penting dalam media dan propaganda anti-kolonial, seperti melalui penerbitan surat kabar dan keterlibatan dalam aktivitas politik nasionalis (Van den Berg, 2017).
Komunitas Ba'alawi menghadapi tantangan internal dalam mempertahankan identitas mereka di tengah kebijakan kolonial dan dinamika sosial di Nusantara. Beberapa kalangan berupaya mempertahankan stratifikasi sosial berdasarkan nasab, seperti yang terlihat dalam pendirian Rabithah Alawiyah pada 1928 (Mobini-Kesheh, 1999). Namun, generasi muda Ba'alawi yang lebih nasionalis berusaha untuk menegaskan identitas mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, menolak dikotomi antara keturunan Hadhrami dan pribumi (Suminto, 1985)
Berdasarkan ulasan di atas, hubungan komunitas Ba'alawi dengan pemerintah kolonial Belanda tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kolaborasi atau oposisi tunggal. Terdapat individu yang berperan sebagai mediator antara komunitas Muslim dan pemerintah kolonial, sementara yang lain terlibat dalam gerakan anti-kolonial. Studi lebih lanjut mengenai dinamika internal komunitas ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana identitas, politik, dan agama berinteraksi dalam sejarah Indonesia.
Cerpen Muhammad Nasir
Angin di pasar membawa bau yang sama sejak lama. Sampah, tanah basah, keringat, dan harapan. Pendi ingat betul bagaimana dulu ia mendorong gerobaknya, menjual hasil panen dengan suara lantang. Tapi itu dulu, sebelum semuanya menjadi kabur.
Dulu, hidupnya sederhana. Bangun sebelum subuh, menyiram tanaman, memanen sayur-mayur, lalu mendorong gerobaknya ke pasar. Ia hafal jalur itu, tahu di mana roda gerobaknya sering terperosok, tahu kapan harus berhenti dan menyeka keringat.
Lalu, suatu malam, semuanya berubah.
Saat perjalanan pulang, entah dari mana, dua tangan kuat menariknya ke lorong gelap. Mulutnya ditutup, tubuhnya dihantam keras hingga dunia berputar. Ia disekap di tempat yang tidak ia kenali, diikat di sudut ruangan dengan lampu redup yang berkedip-kedip. Orang-orang datang, wajah mereka samar. Mereka tidak berbicara banyak, hanya pukulan dan tendangan yang menjelaskan semuanya.
Beberapa hari kemudian, ia diberi makan seadanya, lalu sesuatu yang lebih buruk terjadi. Mereka mulai mengajarinya sesuatu yang baru: cara menakut-nakuti, cara memaksa orang tunduk, cara mengayunkan pukulan dengan tepat. Mereka menyebutnya "pelatihan."
"Ini hidup barumu."
Pendi ingin menolak, ingin berteriak bahwa ia hanyalah petani. Tapi suaranya serak, dan tubuhnya terlalu lelah. Perlahan, tangannya mulai terbiasa mengepal, ototnya mulai mengingat bagaimana cara bertahan.
Lalu, tiba-tiba, mereka melepasnya. Tanpa penjelasan. Tanpa pesan.
Ia kembali ke pasar. Matahari terasa lebih panas dari biasanya, dan langkahnya goyah. Lalu, sesuatu yang lebih aneh terjadi: di kejauhan, ia melihat dirinya sendiri.
Pendi berdiri terpaku. Sosok itu—dirinya—masih menjual hasil panen, seolah tidak pernah ada penculikan, tidak pernah ada penyekapan. Itu dirinya yang dulu. Yang seharusnya ia jalani.
Ia ingin mendekat, ingin memastikan, tapi tiba-tiba seseorang mendatanginya. Ia tak mengenalnya, tapi orang itu langsung menghantam wajahnya.
Pendi jatuh. Refleksnya bergerak sendiri. Tangan yang sudah terlatih selama penyekapan menghantam balik. Orang itu terpelanting, dan Pendi terus memukulinya. Sampai orang itu tak bergerak. Sampai orang-orang di sekelilingnya menatapnya dengan ketakutan.
Dan sejak itu, kata-kata itu muncul. "Preman."
Siapa yang memulainya, ia tidak tahu. Tapi yang jelas, ia tak bisa menolaknya.
Tahun-tahun berlalu.
Pendi telah melupakan bagaimana rasanya menjadi petani. Ia telah menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, meskipun ia tak pernah memahaminya. Ia mulai tahu bahwa ia bukan sekadar preman, tapi alat.
Ia dipakai untuk mengendalikan orang-orang seperti dirinya. Kadang ia bertanya, siapa sebenarnya yang mengendalikannya? Tapi setiap kali ia mencoba melawan, sesuatu selalu terjadi.
Lalu, suatu hari, ia membunuh seseorang.
Itu bukan sekadar perkelahian biasa. Ia ingat rasa sakit hati itu, kemarahan yang membakar dadanya. Tapi setelahnya, ketika darah mengering di tangannya, sesuatu dalam dirinya runtuh.
Ia bertanya pada dirinya sendiri:
"Apakah ini benar-benar aku?"
"Apakah aku memang ditakdirkan untuk ini?"
"Atau seseorang telah menuliskan hidupku sebelum aku sempat memilih?"
Lalu, ia ditangkap. Tapi tidak lama.
Di dalam penjara, ia mendengar cerita: preman-preman lain, satu per satu, mati di jalanan. Ditembak oleh orang tak dikenal. Tanpa alasan, tanpa jejak.
Dan ia sadar, bahwa itu bukan kebetulan.
Ia ditangkap bukan karena hukum. Ia dipenjara karena itu satu-satunya cara untuk tetap hidup. Jika ia tetap di luar, ia akan menjadi korban berikutnya.
Lalu ia mengerti.
Ia bukan hanya preman. Ia adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, semacam roda kecil dalam mesin yang mengendalikan kekacauan. Ia dibiarkan hidup, dibiarkan tumbuh dalam legenda, hanya untuk mengendalikan para preman lain.
Dan kini, ia menua!
Di surau kecil di pinggir pasar, ia duduk diam, jarinya menyentuh tasbih, bibirnya bergerak pelan dalam doa.
Tapi pikirannya masih berkelana ke masa lalu.
Kadang, ia bertanya-tanya:
"Bagaimana jika malam itu aku tidak ditarik ke lorong gelap?"
"Bagaimana jika aku tetap menjual sayur dan pulang ke rumah dengan tenang?"
"Apakah aku tetap akan menjadi aku?"
Orang-orang masih mengenalnya. "Dulu dia preman besar," mereka berbisik. Mereka tidak tahu, Pendi hanya menunggu.
Menunggu sesuatu yang pasti. Sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Menunggu jemputan.
Muhammad Nasir
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela Mahyeldi sebagai Gubernur Sumatera Barat atau mengabaikan kritik terhadap kinerjanya. Kritik terhadap pejabat publik merupakan bagian dari demokrasi yang sehat. Namun, penting untuk memperhatikan bagaimana kritik tersebut dikonstruksi dan apakah mengandung kekeliruan logis yang dapat mempengaruhi persepsi publik.
Salah satu kekeliruan logis yang sering muncul adalah generalisasi terburu-buru. Kritik terhadap Mahyeldi sering dikemas dalam narasi seperti “Dipanggil buya tapi tak bisa bekerja.” Jika dibiarkan tanpa analisis kritis, narasi ini dapat berkembang menjadi stigma bahwa buya (tokoh agama) secara umum tidak mampu menjadi kepala daerah.
Padahal, kegagalan dalam kepemimpinan bukanlah monopoli ulama. Banyak kepala daerah dari latar belakang pastor, pendeta, profesor, kolonel, jenderal, insinyur, ekonom, dan pengusaha yang juga mengalami kegagalan. Namun, mengapa hanya buya yang menerima stigma semacam ini? Mengapa kegagalan satu individu dijadikan dasar untuk mendiskreditkan kelompok tertentu?
Kritik yang awalnya ditujukan kepada individu dapat berkembang menjadi stigma terhadap kelompok melalui pola komunikasi yang berulang. Dalam analisis wacana, hal ini disebut sebagai representasi tunggal, di mana kegagalan satu orang dianggap mewakili kelompoknya. Jika kritik terhadap Mahyeldi hanya menyasar kebijakan atau keputusan politiknya, maka wacana tersebut masih berada dalam ranah kritik individu. Namun, ketika kritik ini berkembang menjadi anggapan bahwa buya secara umum tidak bisa bekerja, terjadi pergeseran makna yang problematis.
Stigma ini tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk melalui pengulangan dalam opini publik. Dalam teori komunikasi, sebuah ide yang terus-menerus diulang cenderung diterima sebagai kebenaran meskipun tanpa bukti yang kuat. Fenomena ini dikenal sebagai illusory truth effect, di mana repetisi informasi meningkatkan persepsi kebenarannya (Fazio et al., 2015; Hasher et al., 1977). Ketika narasi “buya tak bisa bekerja” terus diperbincangkan di media sosial, forum diskusi, dan media massa, ia perlahan-lahan dianggap sebagai fakta.
Selain itu, manusia cenderung mempercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka sebelumnya. Bias ini dikenal sebagai confirmation bias, di mana individu lebih cenderung mencari dan menerima informasi yang mendukung keyakinan mereka, serta mengabaikan informasi yang bertentangan (Nickerson, 1998). Jika seseorang sudah memiliki prasangka bahwa ulama tidak cocok dalam politik, maka kritik terhadap Mahyeldi akan memperkuat keyakinan tersebut. Sebaliknya, jika gubernur dari latar belakang lain gagal, mereka cenderung melihatnya sebagai kasus individual, bukan sebagai kegagalan kelompok.
Jika konstruksi wacana ini terus berkembang tanpa koreksi, dalam jangka panjang akan muncul persepsi bahwa ulama memang tidak layak berada dalam politik praktis. Hal ini dapat menciptakan eksklusi sistematis terhadap ulama yang ingin berkontribusi dalam pemerintahan. Padahal, demokrasi yang sehat tidak boleh membatasi partisipasi politik berdasarkan latar belakang profesi atau identitas sosial. Siapa pun, baik akademisi, pengusaha, militer, maupun ulama, memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan selama mereka memiliki kapasitas yang memadai.
Oleh karena itu, kritik yang adil harus berbasis pada kinerja individu, bukan pada generalisasi yang mendiskreditkan kelompok tertentu. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring narasi yang berkembang. Apakah kritik yang diarahkan kepada seorang gubernur benar-benar berbasis data atau hanya sekadar opini yang diulang-ulang? Apakah kritik itu berfokus pada individu atau berkembang menjadi stigma terhadap kelompoknya?
Keberhasilan atau kegagalan dalam politik tidak ditentukan oleh latar belakang profesi, tetapi oleh kapasitas, integritas, dan kebijakan yang diambil. Kritik terhadap pejabat publik tetap diperlukan, tetapi harus dilakukan secara adil dan berdasarkan fakta, bukan dengan membangun stigma yang tidak beralasan.
Daftar Pustaka:
Fazio, L. K., Brashier, N. M., Payne, B. K., & Marsh, E. J. (2015). Knowledge does not protect against illusory truth. Journal of Experimental Psychology: General, 144(5), 993-1002.
Hasher, L., Goldstein, D., & Toppino, T. (1977). Frequency and the conference of referential validity. Journal of Verbal Learning and Verbal Behavior, 16(1), 107-112.
Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175-220.
Muhammad Nasir
Matahari mulai merunduk di ufuk barat, menghamparkan warna jingga di langit yang menaungi Masjid Al-Hakim, serta ruas trotoar di sepanjang Pantai Padang. Wisatawan dan warga setempat berdatangan untuk menikmati semilir angin laut dan debur ombak yang tenang. Namun, langkah mereka kerap terhenti di trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima (PKL). Ada yang menjajakan jagung bakar, ada pula yang sibuk menawarkan aneka suvenir. Bagi sebagian pengunjung, keberadaan PKL menambah suasana khas kawasan wisata. Namun, bagi yang lain, lapak-lapak yang tersebar tanpa aturan ini justru mengurangi kenyamanan.
Keluhan bukan hanya datang dari wisatawan, tetapi juga warga lokal yang rutin menikmati taman-taman kota sebagai tempat bersantai. Seorang ibu muda yang sering membawa anaknya bermain di Taman Imam Bonjol, merasa taman ini kini lebih mirip pasar ketimbang ruang terbuka hijau. “Dulu rasanya taman ini enak buat ngajak anak-anak bermain, sekarang malah jadi pasar kecil. Kadang susah nyari tempat duduk yang kosong, karena dipakai pedagang buat naruh dagangan mereka,” ujarnya.
Hal yang sama juga ditemukan di GOR H. Agus Salim. Seorang pelari yang rutin berolahraga di pagi hari, mengeluhkan hal serupa. “Kalau pagi masih enak buat lari, tapi siang dikit, pedagang mulai datang. Jalur jogging jadi sempit, dan kita harus zig-zag menghindari gerobak jualan,” katanya.
Sementara itu, wisatawan yang datang ke Pantai Padang untuk menikmati panorama laut juga menghadapi permasalahan yang sama. Ahmad, seorang pengunjung dari Pekanbaru, merasa terganggu dengan kondisi kebersihan di sekitar area pantai. “Pantainya bagus, tapi kadang susah cari tempat duduk yang nyaman. Sampah berserakan, sisa-sisa plastik dari pedagang. Saya sih mendukung pedagang mencari nafkah, tapi kalau mereka bisa lebih rapi dan tertib, pasti lebih nyaman buat semua orang,” ujarnya.
Bergeser ke Bukittinggi, di Taman Jam Gadang, seorang turis asal Jakarta, juga mengalami ketidaknyamanan saat mencoba berfoto. “Kalau mau foto, harus cari sudut yang nggak ada pedagangnya. Padahal ini kan ikon kota, harusnya lebih rapi dan tertata,” ungkapnya.
Kebijakan yang Belum Efektif
Ironisnya, berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam menata PKL di taman kota masih belum menunjukkan hasil optimal. Relokasi dan razia sering dilakukan, tetapi tanpa solusi jangka panjang, PKL kembali ke lokasi semula. Ini terjadi di Pantai Padang, di mana pemerintah pernah menertibkan pedagang yang memenuhi pedestrian. Namun, beberapa waktu kemudian, mereka kembali berjualan di tempat yang sama. Masalah serupa juga terjadi di Taman Jam Gadang, Bukittinggi. Meskipun ada upaya penataan oleh Satpol PP, pedagang tetap bermunculan di sekitar kawasan ikon wisata tersebut.
Di sisi lain, pendekatan represif seperti penggusuran tanpa solusi alternatif sering kali memicu perlawanan dari pedagang. Mereka merasa kebijakan tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil. “Kami juga butuh makan. Kalau dilarang jualan di sini, kasih kami tempat lain yang strategis,” ujar salah seorang pedagang di GOR H. Agus Salim. Tanpa adanya perencanaan yang matang, kebijakan penertiban justru menciptakan siklus yang berulang: penggusuran, relokasi, kembalinya PKL, lalu penggusuran lagi.
Masalah ini tentunya bukan hanya soal PKL yang melanggar aturan, tetapi juga karena pemerintah belum memiliki konsep penataan yang jelas. Seharusnya ada solusi jangka panjang yang mempertimbangkan keseimbangan antara ekonomi rakyat kecil dan estetika kota. Jika hanya mengandalkan penertiban tanpa solusi konkret, masalah ini akan terus berulang.
Ruang Khusus PKL yang Estetis dan Fungsional
Untuk meningkatkan kenyamanan taman kota tanpa mengorbankan mata pencaharian PKL, diperlukan pendekatan yang lebih inovatif. Salah satu solusinya adalah dengan membuat area khusus untuk PKL yang tetap mempertahankan estetika dan kenyamanan taman kota. Konsep ini bisa diwujudkan dalam bentuk zona kuliner dan zona suvenir yang terintegrasi dengan konsep taman yang lebih modern dan instagramable.
Di Pantai Padang, misalnya, pemerintah bisa membangun food court terbuka dengan desain yang menyatu dengan lanskap pantai. Dengan penataan yang rapi, wisatawan tetap bisa menikmati kuliner khas tanpa terganggu oleh lapak yang berserakan. Sementara di Taman Jam Gadang, zona khusus suvenir bisa dikembangkan dengan desain yang lebih terorganisir, menyerupai pusat cendera mata di kota-kota wisata lainnya seperti Yogyakarta dan Bandung.
Selain itu, komunitas arsitektur mestinya secara aktif mengusulkan agar taman kota didesain ulang dengan pendekatan urban planning yang lebih inklusif. Misalnya, jalur pedestrian dibuat lebih lebar dan diberi batasan khusus untuk zona PKL agar mereka tidak menghalangi akses utama. Penyediaan kios permanen dengan desain menarik juga bisa menjadi solusi, seperti yang diterapkan di Malioboro, Yogyakarta.
Membangun Kesadaran Bersama
Namun, penataan PKL di taman kota tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Kesadaran kolektif dari para pedagang dan masyarakat juga diperlukan. Pedagang harus memahami bahwa ketertiban dan kebersihan adalah faktor penting dalam menarik lebih banyak pelanggan. Sementara masyarakat perlu mulai mendukung kebijakan penataan dengan memilih membeli di area PKL yang sudah ditentukan, bukan yang berjualan sembarangan.
Program edukasi dan pelatihan bagi PKL juga bisa menjadi langkah penting. Misalnya, pelatihan tentang pengelolaan sampah dan kebersihan, serta pemanfaatan teknologi digital untuk meningkatkan daya saing mereka. Di era modern ini, PKL juga bisa diberdayakan dengan sistem pemesanan online atau delivery, sehingga tidak harus selalu mengandalkan lapak fisik di taman kota.
Jika penataan dilakukan dengan baik, taman kota tak hanya akan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung, tetapi juga bisa menjadi daya tarik wisata baru yang lebih teratur dan estetis. Dengan mengadaptasi konsep-konsep taman urban modern yang mengintegrasikan ekonomi rakyat dan kenyamanan publik, kota-kota seperti Padang dan Bukittinggi bisa menjadi contoh sukses dalam pengelolaan ruang publik yang inklusif dan berdaya saing.
Pada akhirnya, solusi terbaik bukanlah meniadakan PKL dari taman kota, melainkan menciptakan sistem yang memungkinkan mereka berkontribusi pada ekosistem ruang publik tanpa mengganggu kenyamanan pengunjung. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan berbasis desain yang matang, taman kota bisa menjadi ruang yang benar-benar hidup: tempat rekreasi, interaksi sosial, dan ekonomi rakyat yang berkembang harmonis.
Muhammad Nasir
Kitab Nahj al-Balaghah (نَهْجُ ٱلْبَلَاغَةِ) merupakan salah satu sumber utama dalam kajian pemikiran Ali bin Abi Thalib, yang berisi kumpulan khutbah, surat, dan kata-kata hikmah yang dinisbatkan kepadanya. Kitab ini disusun oleh Syarif Radhi (970–1015 M), seorang ulama Syiah dari abad ke-10 M. Dalam berbagai penelitian, Nahj al-Balaghah sering dijadikan referensi utama dalam memahami dimensi etika, politik, dan spiritualitas Islam awal (Jafri, 1979; Madelung, 1997).
Muhammad Nasir
Konflik di Yaman telah berlangsung sejak 2014 ketika kelompok Houthi menggulingkan pemerintahan Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi. Sejak itu, perang di Yaman tidak hanya menjadi perang saudara, tetapi juga berubah menjadi perang proxy, di mana dua kekuatan utama di Timur Tengah, yaitu Arab Saudi dan Iran, mendukung pihak yang bertikai untuk memperluas pengaruh mereka di kawasan. Rivalitas geopolitik ini berdampak besar bagi masyarakat Yaman, yang menghadapi krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Pernyataan bahwa "kuliah tidak menjamin kesuksesan" sering digunakan oleh mereka yang meragukan pentingnya pendidikan tinggi. Pernyataan ini sekilas masuk akal, karena memang ada individu sukses tanpa gelar sarjana dan ada pula lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Namun, jika dianalisis lebih dalam, argumen ini sering kali mengandung berbagai kekeliruan logis yang melemahkan validitasnya.
Muhammad Nasir
Apakah mahasiswa akan mengingat Anda sebagai dosen yang mereka sukai, atau hanya sebagai sosok yang pernah memberi mereka tugas-tugas berat tanpa kenangan manis?
Menjadi dosen yang disukai mahasiswa itu bukan sekadar soal menguasai materi atau punya gelar panjang di belakang nama. Kalau hanya itu syaratnya, setiap dosen dengan titel mentereng sudah pasti jadi favorit. Tapi kenyataannya? Tidak sesederhana itu.
Saat saya menjadi Sekretaris Program Studi Bahasa dan Sastra Arab (Prodi BSA) di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang (2018–2021), saya berkesempatan mengobrol dengan banyak mahasiswa. Mereka sering membantu saya menyusun borang akreditasi prodi, dan di sela-sela kesibukan itu, saya penasaran: “Dosen seperti apa sih yang kalian sukai?”
Jawaban mereka ternyata cukup menarik dan—jujur saja—kadang agak menggelitik.
Muhammad Nasir
👉 yang hilang adalah rasa hormat kita pada apa yang seharusnya dijaga
Dulu,
sungai adalah pusat kehidupan. Di kota Padang, sungai seperti Batang Arau
menjadi saksi bisu aktivitas warga yang penuh harmoni dengan alam. Anak-anak
melompat dari batu besar ke air yang jernih. sekarang batu besar sudah tidak ada, kecuali turab pendidinding sungai. Suara tawa mereka bercampur dengan
gemericik air. Para ibu mencuci pakaian di pinggir sungai sambil berbagi
cerita. "Dulu, kalau kami mandi di Batang Kuranji, airnya sejuk dan
bersih. Bahkan, kami bisa melihat ikan berenang di bawah," ujar seorang
warga tua yang mengenang masa kecilnya dengan mata berkaca-kaca.
Namun,
cerita ini kini hanya tersisa dalam memori kolektif masyarakat. Sungai yang
dulu menjadi tempat bermain dan sumber kehidupan kini berubah menjadi saluran
limbah. Air jernih telah digantikan oleh air keruh, penuh dengan sampah plastik
dan bau tak sedap.
Perubahan
fungsi sungai tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang
yang seiring dengan perkembangan kota. Modernisasi membawa perubahan besar pada
cara masyarakat berinteraksi dengan sungai. Ketika dahulu sungai dianggap
sebagai “urang tuo” yang dihormati, kini ia hanya dianggap saluran buangan.
👤Oleh Muhammad Nasir
💥Tetapi, ketika setiap orang merasa berhak atas ruang yang sama, siapa yang bertanggung jawab mengatur?💥
Malam itu, di bawah temaram lampu jalanan Ulak Karang, sebuah trotoar berbisik lirih. Si batu tua, bagian dari trotoar yang sudah ada sejak zaman Belanda, meratapi nasibnya. "Aku dulu adalah saksi langkah-langkah kecil anak-anak sekolah dan para pedagang ikan yang membawa keranjang di pagi hari. Kini, tubuhku malah jadi tempat berdirinya warung kaki lima, gerobak nasi goreng, pecel lele dan tenda rokok," keluhnya.
Bagi
warga Padang, trotoar adalah ruang serbaguna. Di sisi Jalan Perintis
Kemerdekaan, trotoar tidak hanya menjadi pijakan kaki, tapi juga panggung
bisnis kecil-kecilan. Para pedagang, dengan alasan ekonomi, menguasai ruang
yang seharusnya menjadi milik pejalan kaki. Namun, siapa yang bisa menyalahkan
mereka sepenuhnya? "Kalau kami tidak di sini, mau jualan di mana lagi? Ini
kan lebih aman daripada di jalan," ujar Pak Rusli, seorang penjual sate
Padang, dengan nada pasrah.
***