24 May 2025

Intoleransi di Media Sosial

Muhammad Nasir

Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang


Maka, ketika publik digital kehilangan akal sehatnya, yang rusak bukan hanya narasi, tetapi kesadaran kolektif itu sendiri.


Fixed, no debat! Media sosial kini sudah menjadi arena utama pembentukan opini publik dan ekspresi politik-populer. Di balik kemudahan akses dan kecepatan berbagi informasi, ruang ini juga menyimpan bahaya laten berupa intoleransi digital. Salah satu contoh nyata terjadi ketika muncul berita perusakan makam Kristen di Bantul. Perusakan ini mengutip pemberitaan kompas.com., terungkap pada Minggu, 18 Mei 2025. Sebelum otoritas mengonfirmasi kebenaran dan motif pelaku, publik media sosial langsung membanjiri kolom komentar dengan tuduhan berdasarkan identitas agama yang diasumsikan. Narasi “uclim pasti pelakunya” dengan cepat menyingkirkan prinsip kehati-hatian.


Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari akumulasi struktur kognitif dan afektif masyarakat yang terbentuk melalui sejarah prasangka dan dikapitalisasi oleh algoritma digital. Jonathan Haidt (2012), dalam The Righteous Mind, menjelaskan bahwa manusia lebih sering membuat keputusan moral berdasarkan intuisi dan pembenaran emosional daripada melalui nalar yang rasional. Maka, media sosial bukan hanya memfasilitasi kebebasan berekspresi, tetapi juga memperbesar bias kognitif yang sudah mengendap dalam kesadaran kolektif.

Kementerian Agama dalam Roadmap Moderasi Beragama (2019) menekankan pentingnya menyeimbangkan antara komitmen keagamaan dan keterbukaan dalam berinteraksi sosial. Ketika individu atau kelompok menyikapi isu keagamaan atau identitas dengan tergesa-gesa dan tidak proporsional, mereka dengan mudah terjebak dalam ekstremisme simbolik—sebuah bentuk intoleransi yang menyerang representasi, bukan substansi.

Dalam konteks ini, intoleransi di media sosial tidak lagi hanya menjadi ekspresi kebencian pribadi, melainkan turut membentuk narasi kolektif yang merusak relasi antarumat beragama. Bahkan, sebagaimana dikatakan Zygmunt Bauman (2000), masyarakat cair kita cenderung membentuk moralitas instan yang tidak mengakar pada nilai, tetapi pada kecepatan dan resonansi emosi. Apa yang viral dianggap benar; apa yang populer dianggap sahih.

Tersebab itu, tulisan ini membedah tiga aspek kunci yang memperkuat intoleransi di media sosial: bias konfirmasi, overgeneralisasi dan praktik othering, serta keruntuhan narasi publik yang berlandaskan akal sehat. Ketiganya bukan hanya problem teknis komunikasi, melainkan problem etik dan keberagamaan yang menantang fondasi moderasi sosial kita.

Problem pertama: Bias Konfirmasi

Bias konfirmasi merupakan kecenderungan psikologis yang membuat seseorang hanya menerima informasi yang memperkuat keyakinan yang telah dimilikinya, dan menolak informasi yang bertentangan dengannya. Dalam konteks media sosial, bias ini diperparah oleh cara kerja algoritma platform yang menyajikan konten-konten yang disukai pengguna, sehingga mempersempit pandangan dunia mereka. Haidt (2012) menyebut fenomena ini sebagai moral reasoning as a post-hoc construction, yaitu upaya untuk membenarkan prasangka yang sudah lebih dahulu terbentuk secara emosional.

Kasus komentar netizen terhadap perusakan makam Kristen menunjukkan bahwa begitu sebuah informasi menyentuh titik emosional tertentu—dalam hal ini sentimen agama—maka masyarakat akan langsung mencari “pembenaran” bahwa pelakunya adalah kelompok yang sejak awal telah dicurigai. Padahal prinsip dalam Moderasi Beragama (Kemenag, 2019) menuntut kita untuk berorientasi pada keadilan dan verifikasi sebelum mengambil kesimpulan. Moderasi, dalam konteks ini, bukan sikap netral buta, tetapi reasonable restraint—pengendalian diri yang wajar dalam menilai sesuatu.

Akibat bias ini, ruang digital menjadi ajang pembenaran kolektif daripada pencarian kebenaran. Gustavo Benavides (2006), dalam kajian tentang wacana keagamaan, mengingatkan bahwa “agama mudah tergelincir menjadi ideologi bila ia hanya menjadi senjata identitas dalam perdebatan publik.” Media sosial membuat bias konfirmasi tidak hanya terjadi di level personal, tetapi menyebar menjadi histeria kelompok.

Masyarakat yang terbiasa hidup dalam ekosistem bias tidak akan berkembang secara etis maupun intelektual. Mereka hanya akan mengulangi satu pola: mencari musuh, bukan kebenaran. Untuk melawan kecenderungan ini, pendidikan literasi digital yang kritis dan pendidikan agama yang kontekstual sangat diperlukan, seperti yang disarankan dalam indikator moderasi beragama: komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penerimaan terhadap budaya lokal.

Tanpa upaya sadar melawan bias konfirmasi, media sosial akan tetap menjadi ladang subur bagi disinformasi berbasis sentimen identitas. Dan dari ladang itu, intoleransi akan terus tumbuh menjadi semak belukar yang membelit nalar publik kita.

Problem kedua: Overgeneralisasi dan Othering Syndrome

Overgeneralisasi adalah kecenderungan untuk menyamaratakan sifat atau perilaku individu menjadi representasi seluruh kelompoknya. Di media sosial, hal ini tampak ketika satu tindakan kriminal langsung dikaitkan dengan agama, suku, atau ideologi pelaku. Ini adalah bentuk logical fallacy yang fatal: hasty generalization. Sementara itu, othering—konsep yang dipopulerkan dalam kajian postkolonial—adalah proses membentuk identitas kelompok “kami” dengan cara mendefinisikan “mereka” sebagai lawan, musuh, atau ancaman.

Dalam kasus perusakan makam, muncul komentar seperti “itulah agama barbar” atau “pasti kaum tertentu.” Komentar-komentar ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga menciptakan rasa takut dan kebencian yang tidak berbasis fakta. Di sinilah peran penting moderasi beragama diuji. Dalam dokumen Moderasi Beragama (Kemenag, 2019), disebutkan bahwa umat beragama harus mampu membedakan antara ekspresi kultural individu dan doktrin keagamaan yang sahih. Menyamakan satu dengan yang lain adalah bentuk kekeliruan etis sekaligus teologis.

Sementara, othering syndrome menjadikan pihak lain sebagai objek ketakutan dan agresi. Ini mirip dengan apa yang dikemukakan Edward Said dalam Orientalism (1978): konstruksi identitas “Timur” oleh Barat bukan untuk memahami, tapi untuk mengendalikan. Di era media sosial, proses serupa terjadi: kelompok minoritas atau kelompok yang berbeda dicitrakan secara negatif untuk memperkuat identitas mayoritas.

Dalam masyarakat plural, overgeneralisasi dan othering syndrome berujung pada fragmentasi sosial. Sebagaimana dijelaskan dalam Pedoman Hidup Bersama Umat Beragama (Kemenag, 2007), masyarakat Indonesia dibangun atas semangat untuk melihat perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman. Maka, setiap narasi yang menyeragamkan dan mencurigai hanya akan menjauhkan kita dari cita-cita kebangsaan itu.

Pendidikan interkultural dan ruang dialog terbuka perlu diperkuat, baik secara offline maupun online. Media sosial harus digunakan sebagai ruang rekonsiliasi identitas, bukan medan perang klaim ideologis. Karena jika tidak, praktik overgeneralisasi akan terus menular, dan setiap peristiwa sosial akan menjadi bahan bakar konflik horizontal berikutnya.

Problem lainnya: Runtuhnya Narasi Publik Akal Sehat

Di tengah kecepatan arus informasi, narasi publik seharusnya tetap berlandaskan akal sehat dan prinsip-prinsip keadilan sosial. Sayangnya, apa yang kita saksikan hari ini adalah pergeseran dari diskursus rasional ke arah affective politics, yakni politik kebencian yang beroperasi melalui emosi publik. Viralitas menjadi lebih penting daripada validitas. Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan Bauman (2000), ruang publik tidak lagi didefinisikan oleh pertimbangan moral, tetapi oleh apa yang bisa memuaskan hasrat sesaat.

Ketika narasi publik tidak lagi mengandalkan klarifikasi dan proporsionalitas, maka yang lahir adalah bentuk baru dari populisme digital. Di sinilah pentingnya akal sehat sebagai elemen utama dalam moderasi berpikir. Akal sehat, menurut C.S. Peirce, adalah “intuisi yang didapat dari pengalaman sosial kolektif”—bukan sesuatu yang subjektif, melainkan hasil penalaran bersama yang tumbuh dalam kebudayaan. Maka, ketika publik digital kehilangan akal sehatnya, yang rusak bukan hanya narasi, tetapi kesadaran kolektif itu sendiri.

Moderasi beragama, sebagaimana dikembangkan oleh Kementerian Agama, bertujuan memulihkan akal sehat publik melalui dialog, edukasi, dan penguatan etika sosial. Moderasi tidak berarti memutihkan perbedaan, tetapi memproses perbedaan agar tidak melahirkan permusuhan. Dalam konteks digital, ini berarti memverifikasi informasi, menahan diri dari komentar reaktif, dan mengedepankan etika empatik dalam berdiskusi.

Upaya menghidupkan kembali narasi publik yang sehat juga harus melibatkan aktor-aktor kunci seperti guru, ulama, jurnalis, dan akademisi. Mereka harus hadir tidak hanya sebagai penjaga moral, tetapi juga sebagai public intellectuals yang mampu menyajikan narasi alternatif yang tidak memecah belah. Di sinilah letak peran penting literasi digital berbasis nilai.

Jika tidak ada upaya serius membangun kembali akal sehat dalam ruang digital, intoleransi akan terus direproduksi sebagai “kebijaksanaan publik” palsu. Ia akan hidup dalam meme, komentar, dan tagar. Pada akhirnya memengaruhi sikap nyata dalam kehidupan sosial-politik Indonesia.

No comments: