Sikap Kita Terhadap Peristiwa Pernyataan Tendensius WNI di Jerman
Oleh Muhammad Nasir
Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Imam Bonjol Padang
Apa yang tersisa dari sebuah bangsa jika warganya sendiri yang menggores luka pada wajah kerukunan yang dibangun dengan susah payah? Pernyataan seorang WNI diduga bernama Cristina Sembiring [?] yang menyebut “Muslim Indonesia suka membunuh” di hadapan publik di Jerman bukan hanya keliru, tapi juga menyakitkan. Ucapan itu menjelma menjadi bara yang menghanguskan ikhtiar toleransi dan membakar kepercayaan antariman, baik di tanah air maupun di tanah rantau.
Fenomena overgeneralisasi dalam konteks ini merupakan bentuk simplifikasi berbahaya yang menyamaratakan sebagian peristiwa negatif sebagai karakteristik seluruh kelompok. Dalam hal ini, sebuah pernyataan tunggal dipakai untuk menggambarkan jutaan umat Muslim Indonesia secara keseluruhan, tanpa memperhatikan keragaman dan konteks sosial-budaya yang jauh lebih kompleks.
Edward Said dalam karya monumentalnya Orientalism (1978) menunjukkan bagaimana narasi tunggal yang dibangun tanpa adanya dialog yang jujur dan berimbang berpotensi mengukuhkan stereotip negatif yang menjebak kelompok minoritas dalam bingkai prasangka yang sulit lepas. Begitu pula halnya dengan kasus pernyataan tendensius ini, narasi yang simplistik dan negatif berpotensi memicu ketidakpercayaan dan permusuhan yang berkepanjangan.
Overgeneralisasi tidak hanya membatasi pemahaman terhadap realitas sosial yang plural, tetapi juga menimbulkan bahaya praktis: meruntuhkan ikatan sosial dan menciptakan jarak psikologis antara kelompok yang berbeda. James W. Carey dalam Communication as Culture (1989) menjelaskan bahwa komunikasi adalah proses ritual yang menjaga masyarakat bersama-sama. Ketika narasi tunggal yang merendahkan dijadikan konsumsi publik, maka proses ritual sosial ini terganggu, dan akibatnya adalah fragmentasi sosial.
Peristiwa pernyataan negatif oleh individu tersebut berpotensi digunakan oleh kelompok Islamofobia di Jerman untuk memperkuat narasi diskriminatif mereka. Data dari Kantor Statistik Jerman mencatat peningkatan signifikan insiden Islamofobia, yang menurut laporan Aliansi Penentang Islamofobia dan Kebencian terhadap Muslim pada tahun 2022 mencapai hampir 900 kasus, termasuk kekerasan fisik dan verbal. Dalam situasi seperti ini, narasi tunggal justru memupuk ketegangan dan memperburuk posisi kelompok minoritas, dalam hal ini umat Islam.
Kegagalan Komunikasi Sosiologis-Etis
Komunikasi lintas agama dan budaya tidak cukup hanya didasarkan pada kebebasan berekspresi semata, tetapi juga harus bertumpu pada prinsip etika dan tanggung jawab sosial. Pernyataan WNI bermarga Sembiring tersebut jelas menunjukkan kegagalan komunikasi yang bersifat sosiologis dan etis.
Secara sosiologis, pernyataan yang menggeneralisasi sekelompok besar manusia berdasarkan atribut agama tanpa landasan data dan pemahaman mendalam melanggar prinsip representasi yang adil. Hal ini mencederai prinsip dialog antaragama yang idealnya berdasar pada saling mendengarkan dan saling memahami (Isaacs, Dialogue and the Art of Thinking Together, 1999). Alih-alih memperkuat kerukunan, pernyataan tersebut menimbulkan alienasi dan konflik.
Secara etis, menurut teori komunikasi Habermas (The Theory of Communicative Action, 1984), setiap ujaran yang mengarah pada diskriminasi dan kebencian adalah pelanggaran terhadap norma dasar dialog yang rasional dan beretika. Pernyataan yang mengandung prasangka dan bias seperti itu merupakan bentuk komunikasi destruktif yang merusak kohesi sosial dan mengancam pluralisme.
Berbagai kalangan merespons peristiwa ini dengan penuh keprihatinan. Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier menegaskan bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari Jerman dan mengutuk segala bentuk Islamofobia. Pernyataan beliau menjadi simbol dukungan terhadap integrasi dan inklusivitas di tengah masyarakat yang beragam (antaranews.com/berita/3730557, 05/05/2025).
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan Islamofobia sebagai bentuk kebencian yang harus dilawan dengan strategi persatuan umat dan dialog antaragama. Sekretaris Jenderal MUI, Buya Amirsyah Tambunan, menekankan pentingnya sikap saling menghormati untuk menghindari eskalasi konflik antarumat (liputan6.com/global/read/5400146, 05/05/2025).
Sementara itu, Muhammadiyah mengajak umat Islam menampilkan citra yang santun dan berkarakter dakwah damai. Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak dalam kebencian yang justru memperkeruh suasana (liputan6.com, 05/05/2025)
Netizen dan Cermin Buruk Etika Digital
Penyebaran masif video pernyataan tendensius oleh WNI di Jerman oleh sejumlah netizen Indonesia dengan niat mempermalukan atau memprovokasi merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Alih-alih meredam dampak negatif, tindakan ini justru memperluas jangkauan pesan kebencian dan memperkeruh suasana. Lebih memprihatinkan lagi, munculnya komentar-komentar bernada rasis, sadis, dan intoleran dari sebagian netizen yang seolah membalas ujaran kebencian dengan kebencian yang sama.
Ironisnya, perilaku seperti ini mencerminkan rendahnya kesadaran etika digital di kalangan pengguna internet Indonesia. Dalam laporan Digital Civility Index (DCI) yang dirilis oleh Microsoft, netizen Indonesia menempati peringkat terbawah se-Asia Tenggara dalam hal kesopanan digital, dengan skor 76 yang menunjukkan penurunan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Faktor-faktor seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi menjadi penyumbang utama memburuknya skor tersebut.
Fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Menyebarkan konten negatif dan melontarkan komentar yang tidak pantas tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga mencoreng citra bangsa di mata dunia. Sudah saatnya kita mengedepankan etika, empati, dan tanggung jawab dalam setiap interaksi digital, serta aktif mempromosikan literasi digital yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila.
Pemerintah RI Harus Sensitif
Pemerintah Indonesia memiliki peran strategis untuk meminimalisasi dampak negatif dari perilaku serupa yang dilakukan oleh warganya, baik di dalam negeri maupun di diaspora. Pendekatan preventif melalui edukasi literasi keberagaman dan komunikasi antaragama sangat penting untuk mencegah berulangnya ujaran provokatif yang dapat merusak citra bangsa.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama perlu memperkuat diplomasi budaya dan dialog antarumat beragama sebagai bagian dari strategi soft diplomacy untuk diaspora Indonesia. Selain itu, pemerintah harus mengawasi dan membina warganya agar lebih bertanggung jawab dalam berkomunikasi, apapun latar belakang agama atau sukunya.
Perilaku negatif individu di luar negeri bukan sekadar urusan personal, melainkan masalah nasional yang dapat merusak hubungan sosial dan diplomasi internasional. Pemerintah harus sigap mengontrol, sekaligus mendorong terciptanya komunitas diaspora yang mampu menjadi agen perdamaian dan perekat antarbudaya.
---
Disclaimer:
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.
No comments:
Post a Comment