Di tengah krisis iklim dan polarisasi global, dunia membutuhkan pemimpin berbasis pengetahuan. Namun, politik Indonesia sering kehilangan cendekiawan yang mencerdaskan wacana publik.
Dr. Dino Patti Djalal, diplomat dan pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menawarkan kepemimpinan visioner. Saya pernah berharap ia jadi prototipe politisi-akademisi, minimal wakil presiden. Sayangnya, politik Indonesia kurang ramah pada orang pintar. Ini nenmendorong Dino berkisar ke jalur lain.
Dino lahir pada 10 September 1965 di Beograd, Yugoslavia, dari keluarga diplomat Minangkabau. Ayahnya, Hasjim Djalal, diplomat senior, mewariskan tradisi diplomasi khas Minangkabau. Dino adalah pewaris sah budaya ini, sejalan dengan Haji Agus Salim dan Mohammad Hatta. Seperti Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, ia kuasai diplomasi dengan intelektualitas.
Pengalaman lintas budaya membentuk pandangan dunianya sejak dini. Dino kecil bersekolah di SD Muhammadiyah dan SMP Al Azhar di Indonesia. Penugasan ayahnya ke Amerika Serikat membawanya lulus dari McLean High School, Virginia. Ia meraih gelar sarjana ilmu politik dari Universitas Carleton, Kanada. Gelar master diperoleh dari Universitas Simon Fraser, Kanada, di bidang serupa. Doktor dari London School of Economics and Political Science (LSE) diraih pada 2000.
Karier diplomatiknya dimulai pada 1987 di Kementerian Luar Negeri Indonesia. Ia bertugas di London, Dili, dan Washington, D.C., tangani isu Timor Timur. Sebagai Duta Besar untuk Amerika Serikat (2010–2013), ia perkuat hubungan bilateral. Ia jadi juru bicara presiden era Susilo Bambang Yudhoyono selama enam tahun. Puncaknya, ia menjabat Wakil Menteri Luar Negeri pada 2014.
Warisannya termasuk Kongres Diaspora Indonesia, menghubungkan jutaan warga diaspora Indonesia di seluruh dunia. Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), yang ia dirikan pada 2015, berhasil meluncurkan Conference on Indonesian Foreign Policy (CIFP), forum terbesar dunia. Kini, FPCI hadir di 50 universitas, jangkau ribuan pemuda dengan diskusi global.
Inisiatif ini tunjukkan intelektualitas Dino berdampak nyata. Namun, ia memilih jalur di luar politik elektoral. Dino aktif mengedukasi pemuda via Modernisator dan Generation-21, gerakan pemberdayaan. Ia bisa ubah ide kompleks jadi narasi sederhana.
Penerima Bintang Jasa Utama 2010 ini fokus pemberdayaan masyarakat. Meski punya kapasitas besar, ia hindari politik formal.
Pilihan ini tentu mengungkapkan adanya tantangan bagi cendekiawan di Indonesia, yaitu budaya politik Indonesia yang mengutamakan pragmatisme ketimbang substansi. Poloitik praktis yang menuntut retorika, kompromi, dan dana besar, sering menolak logika cendekiawan.
Misalnya, tahun 2022, Dino menuai bully dari netizen akibat cuitannya pada 2022. Kejujuran berpendapatnya sering tak diterima panggung politik. Pada tahun 2022 itu, cuitan Dino tentang misi Jokowi ke Rusia-Ukraina dipelintir warganet. Ia dituduh kritis berlebihan, dituduh pro-Barat oleh publik. Klarifikasinya nyaris tidak didengar, justru memperkuat anggapan bahwa politik Indonesia sulit terima orang pintar. Cendekiawan kerap jadi sasaran ketimbang panutan.
Sistem politik yang penuh patronase partai, juga sulit ditembus cendekiawan. Dino lebih memilih FPCI dan Indonesian Diaspora Network (IDN) untuk membangun pengaruh independen. Melalui FPCI ia menginisiasi Indonesia Net-Zero Summit yang nenyoroti isu iklim global. Meski inisiatif itu efektif, politik yang recehan dan pragmatis tidak dapat mengambil manfaat dari even itu.
Itulah sebabnya, mengapa kebijakan pemerintah terkesan kurang ilmiah, didominasi populisme dan polarisasi. Absennya cendekiawan memperparah kekosongan intelektual di politik. Indonesia kehilangan momentum mencerdaskan wacana publik.
Bayangkan Dino sebagai gubernur, membawa visi global ke pemerintahan. Membiarkan cendekiawan menua tanpa terlibat lebih dalam adalah kerugian pemerintah dan masyarakat. Sayangnya, literasi publik yang rendah jadi akar masalah tambahan.
Banyak orang Indonesia sulit menghargai intelektualitas karena literasi rendah. UNESCO tahun 2021 mencatat tingkat literasi dewasa Indonesia hanya 62%. BPS (2023) menyebut bahwa akses pendidikan tinggi cuma 9% dari jumlah penduduk. Kesenjangan pendidikan membuat cendekiawan dianggap elitis.
Pendidikan yang tak merata juga turut memperkuat budaya politik pragmatis. Kemendikbud (2022) melaporkan 60% sekolah dasar tak punya perpustakaan. Sekolah terpencil kekurangan guru dan fasilitas. Ini berkontribusi membatasi akses ke dunia pengetahuan.
Media sosial, dengan narasi simplistik, perparah gap literasi. Kontroversi cuitan Dino tunjukkan kecendrungan publik yang cepat salah tafsir. Literasi rendah membuat orang pintar seperti Dino kerap disalahpahami. Warganet lebih mudah terpancing emosi ketimbang memahami argumen.
Budaya Minangkabau Dino, yang kaya diplomasi, tak cukup dihargai. Tradisi intelektualnya, yang sejalan dengan Sjahrir dan Hatta, terabaikan. Indonesia butuh publik yang lebih terliterasi untuk dapat menghargai cendekiawan. Reformasi politik harus kurangi patronase, buka ruang meritokrasi. Kampanye literasi nasional bisa menjembatani gap pengetahuan di antara netizen +62.
No comments:
Post a Comment