26 April 2025

Waspada Penipuan Digital!

 "Hampir saja kami tertipu… ada oknum mengaku dari Dukcapil Kota Padang, namanya Deni Yudistira. Dia tahu identitas saya termasuk NIK. Dia menginformasikan bahwa data saya untuk transformasi KTP cetak menjadi KTP Digital sudah sampai di Dukcapil. Saya dibimbing memproses pembuatan KTP Digital hingga dua tahapan. Pada tahapan ketiga baru terasa ada keganjilan. Alhamdulillah, kontak yang diberikan ternyata milik orang lain yang kemudian memberi tahu bahwa Deni Yudistira adalah penipu dan sudah banyak korbannya."

Postingan Abi Danil di Group WhatsApp, Sabtu, 26 April 2025


Demikian keluhan yang disampaikan oleh Danil M Caniago, warga Padang yang juga seorang pengajar di perguruan tinggi, yang akrab dipanggil mahasiswanya dengan sebutan Abi Danil. Ia membagikan kisah tersebut di sebuah grup WhatsApp, bukan semata untuk mencurahkan kekesalan, melainkan sebagai peringatan agar siapa pun lebih waspada. Di tengah laju digitalisasi administrasi negara, pengalaman ini menjadi penanda penting bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan keamanan.

Transformasi administrasi kependudukan menuju bentuk digital, termasuk penerapan Identitas Kependudukan Digital (IKD), sesungguhnya merupakan langkah modern yang pantas disambut. Namun, seperti air jernih yang bisa keruh dalam wadah berlubang, teknologi tanpa sistem keamanan yang kokoh malah membuka celah baru bagi kejahatan. Kasus yang dialami Abi Danil memperlihatkan bahwa di balik semangat transformasi, praktik lapangan masih banyak yang dijalankan secara bagarebeh tebeh — serampangan dan asal-asalan — tanpa prosedur pengamanan yang ketat dan teruji.


Keganjilan yang terasa di tahap ketiga proses pembuatan KTP Digital seharusnya menjadi alarm yang membangunkan kita dari rasa percaya diri berlebihan di dunia maya. Bahwa si penipu tahu Nomor Induk Kependudukan (NIK) korbannya memperlihatkan betapa rentannya data pribadi di negeri ini. Pertanyaan kritis pun menyeruak: dari celah mana data bocor? Siapa yang harus bertanggung jawab ketika hak privasi warga negara dilanggar tanpa sepengetahuan mereka? Tanpa sikap maminteh sabalun anyuik (memintas sebelum hanyut-preventif) kita semua hanya menunggu waktu menjadi korban berikutnya.


Meski Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) telah diundangkan pada 2022, implementasinya masih jauh dari ideal. Banyak institusi, bahkan yang berlabel resmi, belum membangun budaya sadar data yang memadai. Lebih celakanya, masyarakat pun kadang belum menyadari betapa berharganya jejak-jejak digital mereka. Data pribadi, yang dianggap sepele oleh banyak orang, pada kenyataannya bisa menjadi alat peretasan identitas, pemerasan, bahkan sabotase keuangan.


Dalam ekosistem seperti ini, penipuan model baru dengan mengatasnamakan institusi resmi seperti Dukcapil menjadi semakin mudah berkembang. Dukcapil Kota Bogor, misalnya, bahkan telah lebih dahulu mengeluarkan peringatan resmi bahwa mereka tidak pernah menghubungi warga secara pribadi melalui aplikasi pesan instan untuk instalasi IKD (antaranews.com/2024). Ironisnya, betapa banyak orang yang masih tergoda untuk mengikuti arahan karena iming-iming "pembaharuan data" yang terdengar resmi dan penting, sehingga takicuah tagak alias tertipu tanpa sempat berpikir panjang.


Literasi digital yang kerap digaungkan rupanya belum sepenuhnya membumi dalam keseharian masyarakat. Literasi bukan sekadar kemampuan mengoperasikan gawai, melainkan mencakup kecakapan membaca tanda-tanda manipulasi, mengenali pola-pola penipuan, dan mempertahankan skeptisisme yang sehat. Dalam konteks ini, kisah Abi Danil menunjukkan bahwa insting kecurigaan pada hal-hal yang ganjil bisa menjadi penyelamat.


Sayangnya, banyak warga yang belum terbiasa untuk mempertanyakan otoritas. Ketika ada pesan mengatasnamakan lembaga resmi, reflek pertama bukan verifikasi, melainkan penerimaan. Ini menjadi kelemahan yang terus dieksploitasi oleh para penipu digital. Tanpa perubahan cara berpikir kolektif, kita akan terus menerus menjadi sasaran empuk.


Penting untuk diingat bahwa kehati-hatian bukanlah tanda ketidakpercayaan yang berlebihan, melainkan refleksi dari kesadaran diri di dunia yang semakin rumit. Kita perlu mengajarkan — bukan hanya kepada anak-anak, tetapi juga kepada orang dewasa — bahwa lebih baik kehilangan kesempatan kecil daripada kehilangan keamanan besar. Prinsip ini harus menjadi budaya baru dalam kehidupan digital sehari-hari.


Transformasi digital di bidang administrasi kependudukan tetap harus dilanjutkan, sebab manfaatnya terlalu besar untuk diabaikan. Namun transformasi ini mesti berjalan beriringan dengan penguatan perlindungan data dan peningkatan literasi digital. Negara berkewajiban memastikan bahwa kemudahan akses tidak dibayar mahal dengan hilangnya rasa aman. Warga pun harus membekali diri dengan keberanian untuk bertanya, memverifikasi, dan menolak ketika sesuatu terasa tidak benar.


Akhirnya, pengalaman Abi Danil ini adalah pengingat bahwa kemajuan tidak pernah bebas dari risiko. Yang menentukan bukan hanya teknologi yang digunakan, tetapi juga kecerdasan, keteguhan, dan kehati-hatian manusia yang menggunakannya. Di dunia digital, bertindak dengan waspada bukanlah tanda ketakutan terhadap masa depan, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak-hak kita sendiri.

No comments: