Oleh: Muhammad Nasir
Dosen UIN Imam Bonjol Padang
Dalam lanskap keagamaan Islam di Jawa akhir akhir ini, terdapat sebuah dinamika menarik yang terus berulang namun belum banyak dibahas secara terbuka: ketegangan yang muncul antara sebagian kiai dan kelompok habib. Satu sisi memperlihatkan adanya penolakan terhadap tokoh-tokoh habib tertentu, terutama yang tampil dengan retorika keras dan nuansa puritanisme. Di sisi lain, sebagian habib justru dipeluk erat, diberi tempat terhormat dalam forum-forum keagamaan, dan dijadikan panutan spiritual. Fenomena ini tampak kontradiktif, namun sesungguhnya mencerminkan dinamika otoritas keagamaan dalam bingkai kultural Islam Jawa yang kaya dan kompleks.
Secara sosiologis, terdapat dua sumber utama otoritas dalam Islam tradisional di Jawa: otoritas keilmuan dan otoritas keturunan (nasab). Kiai dalam tradisi pesantren membangun otoritas melalui proses panjang: belajar bertahun-tahun, menguasai teks klasik, membangun jaringan sanad keilmuan, serta hidup di tengah masyarakat dengan etos pelayanan keagamaan yang tinggi. Sebaliknya, sebagian habib membawa otoritas berbasis nasab, yakni status mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad, yang secara kultural dan historis memang memiliki tempat khusus dalam khazanah keislaman.
Ketika dua bentuk otoritas ini berjumpa, terutama dalam ruang publik yang sama, muncul potensi ketegangan. Martin van Bruinessen (1999) menyebutnya sebagai bentuk kontestasi otoritas keagamaan, yaitu perebutan legitimasi antara dua figur yang sama-sama mengklaim kewenangan berbicara atas nama Islam. Ketegangan ini bukan hanya menyangkut isu teologis, melainkan juga bersifat simbolik dan politis.
Namun perlu dicatat, tidak semua habib mengalami penolakan. Habib Luthfi bin Yahya, misalnya, diterima dengan penuh penghormatan di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) maupun pesantren-pesantren tradisional. Dakwahnya sejuk, spiritual, dan nasionalis. Dalam banyak forum, Habib Luthfi menekankan pentingnya “mengakar di bumi dan menjulang ke langit”—yakni, kesalehan spiritual yang berpijak pada realitas sosial-budaya Indonesia. Dalam pandangannya, mencintai Rasul harus sejalan dengan mencintai tanah air. Maka tidak heran, ia menjadi simbol rekonsiliasi antara otoritas nasab dan tradisi lokal.
Robert Hefner (2000), dalam Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, menyebut bahwa Islam Indonesia berkembang dalam konteks budaya yang plural. Bagi Hefner, pesantren dan tradisi keulamaan lokal memiliki mekanisme seleksi sosial terhadap ekspresi Islam dari luar. Ketika suatu ekspresi keagamaan dinilai tidak selaras dengan etika lokal, ia akan ditolak secara sosial, bahkan jika ia datang dengan label nasab yang agung.
Demikian pula Greg Fealy (2007) mencatat dalam Ulama and Politics in Indonesia bahwa pascareformasi membuka ruang kontestasi otoritas keagamaan secara lebih cair dan luas. Dalam iklim seperti ini, yang bertahan bukan yang paling keras bersuara, tetapi yang paling mampu beradaptasi. Fealy mencatat bahwa figur seperti Gus Dur adalah contoh ulama yang tidak hanya dihormati karena keilmuan, tetapi juga karena kemampuannya membumikan Islam dalam tradisi lokal dan membangun jejaring sosial lintas kelompok.
Gus Dur sendiri, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita (1999), secara gamblang mengkritik pendekatan eksklusif dalam dakwah. Ia menekankan pentingnya memahami Islam sebagai ajaran yang membebaskan dan memanusiakan. Bagi Gus Dur, Islam bukan soal klaim garis keturunan, tetapi bagaimana ajaran itu diwujudkan dalam relasi sosial yang adil dan beradab. Karena itu, kiai-kiai NU yang menjadi murid ideologis Gus Dur cenderung bersikap kritis terhadap narasi keagamaan yang kaku dan cenderung takfiri, termasuk jika datang dari sebagian habib.
Sikap ini juga tercermin dari pandangan Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU 2010–2021, yang berulang kali menegaskan pentingnya menjaga tradisi dan kearifan lokal. Dalam banyak ceramah, ia menyebut bahwa Islam yang sesuai dengan Indonesia adalah Islam yang menghormati budaya, toleran, dan menghindari sikap merasa paling benar. Dalam kerangka ini, habib yang datang membawa semangat transnasionalisme dan purifikasi yang berlebihan cenderung ditolak oleh kalangan pesantren.
Senada dengan itu, Azyumardi Azra (2004), dalam karyanya The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, menjelaskan bahwa Islam di Indonesia berkembang melalui jaringan ulama yang kuat, bukan semata melalui jalur nasab. Menurut Azra, otoritas para ulama tradisional dibangun melalui kredibilitas akademik dan jaringan intelektual keilmuan. Maka tidak mengherankan jika banyak kiai yang kritis terhadap dakwah habib yang tidak menampilkan kedalaman keilmuan atau penghormatan terhadap otoritas pesantren.
M. Quraish Shihab, salah satu mufasir terkemuka Indonesia, dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an (1999), menekankan pentingnya memahami konteks dalam menyampaikan ajaran agama. Ia mengingatkan agar setiap pendakwah menghindari penghakiman dan lebih mengedepankan kasih sayang. Dakwah yang keras dan menuding pihak lain sebagai sesat, menurut Shihab, hanya akan menciptakan jarak dan konflik. Dalam terang pandangan ini, resistensi kiai terhadap sebagian habib bukanlah wujud kebencian, melainkan bentuk evaluasi terhadap metode dan etika dakwah.
Dalam konteks ini, Clifford Geertz (1960) menekankan bahwa masyarakat Jawa memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keseimbangan sosial dan spiritual. Tradisi keislaman lokal berkembang bukan dalam ruang hampa, melainkan melebur dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa seperti sopan santun, penghormatan terhadap leluhur, dan etika kebersamaan. Maka, setiap ekspresi keagamaan yang dianggap mengganggu tatanan ini cenderung mendapatkan resistensi, meskipun berasal dari tokoh yang memiliki garis nasab Nabi sekalipun.
Ambiguitas penerimaan terhadap habib di kalangan kiai sesungguhnya bukan bentuk inkonsistensi, tetapi bagian dari strategi sosial dan kultural dalam merawat harmoni. Ia menunjukkan bahwa otoritas keagamaan tidak hanya ditentukan oleh keaslian silsilah atau banyaknya sanad, tetapi juga oleh kemampuan aktor agama untuk menyesuaikan diri dengan ekosistem kultural yang mereka masuki.
Pierre Bourdieu (1991) menyebut fenomena ini sebagai “pertarungan simbolik”, yakni kontestasi makna dan legitimasi di ruang sosial. Dalam hal ini, para kiai bertindak sebagai penjaga tradisi lokal, sementara sebagian habib tampil sebagai pembawa narasi Islam global atau Timur Tengah. Ketika keduanya saling bersinggungan, muncul proses seleksi sosial yang kompleks: siapa yang bisa diterima, siapa yang tidak.
Ketika kiai dan habib mampu menemukan titik temu—antara tradisi keilmuan lokal dan kehormatan nasab—maka ruang publik Islam di Indonesia akan terus menjadi arena dialog yang sehat, bukan arena dominasi.
Namun sayangnya, dinamika simbolik ini mulai merembes ke level masyarakat awam dengan cara yang jauh dari sehat. Forum-forum digital dan ruang publik kini diramaikan oleh saling maki antarpendukung—baik pendukung kiai maupun habib tertentu—yang terjebak dalam musabaqah kata-kata kasar, seolah-olah adu argumen digantikan dengan adu cercaan. Media sosial yang semestinya menjadi ruang dakwah dan silaturahmi justru dipenuhi ujaran kebencian, fitnah, bahkan ancaman.
Polarisasi ini mengaburkan esensi persoalan: bahwa perbedaan pandangan ulama adalah keniscayaan dalam tradisi Islam, dan bahwa masyarakat seharusnya menjadi penimbang, bukan pemecah.
Di tengah situasi ini, penting bagi masyarakat awam untuk menahan diri dan tidak larut dalam fanatisme buta terhadap tokoh tertentu. Perbedaan antara kiai dan habib bukanlah ajakan untuk saling bermusuhan, melainkan peluang untuk belajar membedakan bentuk dakwah yang membangun dari yang merusak. Masyarakat perlu kembali mengedepankan akhlak dalam berdiskusi, dan memberi ruang kepada para ulama untuk menyelesaikan perbedaan mereka dengan cara yang lebih arif, tanpa harus menyeret umat dalam kubu-kubuan emosional.
Dengan demikian, pertarungan simbolik ini tidak berubah menjadi konflik sosial yang merusak persaudaraan umat Islam. Sebab, pada akhirnya, baik kiai maupun habib, semua berdiri di atas niat yang sama: menuntun umat kepada kebaikan. Dan tugas masyarakat adalah memastikan bahwa tujuan luhur itu tidak tereduksi oleh ego, emosi, atau euforia sesaat.
---
Daftar Pustaka
Azra, A. (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia. Crows Nest: Allen & Unwin.
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Harvard University Press.
Bruinessen, M. van. (1999). Contesting Authority: Traditional and Reformist Leaders in Indonesia's Muslim Communities. Archipel, 58.
Fealy, G. (2007). Ulama and Politics in Indonesia: A History of the Nahdlatul Ulama, 1952–1967. Singapore: ISEAS.
Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
Shihab, M. Q. (1999). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Wahid, A. (1999). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
No comments:
Post a Comment