Oleh: Muhammad Nasir*
"The more I learn, the more I realize how much I don't know."
— Albert Einstein
Meneliti bagi seorang kandidat Ph.D bukanlah sekadar rutinitas akademik. Ia bukan pula sekadar upaya ‘membayar utang proposal’ kepada dosen pembimbing. Meneliti adalah permainan serius yang memadukan ketegangan, ketekunan, dan ketidakpastian. Bila harus diibaratkan, maka penelitian menyerupai permainan Minesweeper—permainan komputer sederhana yang bisa membuat orang bijak gelisah dan yang gelisah tambah bijak (atau menyerah).
Ketidakpastian sebagai Titik Awal
Langkah pertama dalam riset adalah seperti klik pertama di Minesweeper. Anda tak tahu apa yang terjadi: membuka ruang baru, angka samar, atau langsung—boom—tersingkir dari papan. Tapi bedanya, dalam riset, tidak ada tombol “restart”. Yang ada hanya revisi, re-revisi, dan pertanyaan eksistensial semacam: “Apakah saya sudah berada di jalan yang benar, atau saya sebenarnya sedang menulis laporan perjalanan menuju kehampaan?”
John W. Creswell mengingatkan kita:"
Qualitative research begins with assumptions, a worldview... and the study of research problems inquiring into the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem."
Artinya: bahkan sebelum meneliti, kita sudah membawa ‘kecurigaan filosofis’ sendiri. Ini bukan soal netralitas, melainkan kejujuran epistemik. Dalam hal ini, peneliti mirip paranormal yang ragu-ragu: merasa melihat sesuatu, tapi masih butuh data untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Pola, Probabilitas, dan Intuisi
Dalam Minesweeper, angka-angka muncul seperti kode rahasia. Kita harus menebak di mana ranjau berada. Dalam riset, angka-angka bisa berupa statistik, atau lebih sering: pertanyaan dari dosen penguji. Sama-sama membingungkan, dan salah membaca bisa berakibat fatal terhadap beasiswa maupun harga diri.
Tan Malaka dalam Madilog pernah menulis dengan serius tapi menyentil:
“Berpikir bebas bukanlah berpikir semaunya.”
Sama seperti dalam Minesweeper, intuisi yang tak dilatih bisa membuat jari gatal membuka kotak yang salah. Intuisi akademik dibentuk dari membaca, berdiskusi, dan kadang menangis pelan saat menyadari bahwa artikel yang kita baca ternyata dari jurnal predator.
Risiko sebagai Bagian dari Proses
Setiap langkah adalah taruhan. Imam Syafi’i menasihati:
“Barangsiapa yang tidak tahan terhadap kepedihan belajar barang sesaat, ia akan menanggung hinanya kebodohan sepanjang hayat.”
Tentu, pada zaman beliau belum ada Google Scholar. Tapi rasa perih ketika membaca metodologi yang tak kita pahami sepenuhnya pasti tak berubah sepanjang sejarah umat manusia.
Kandidat Ph.D bukan hanya pejuang data, tetapi juga pelancong di hutan belantara kutipan. Kadang kita berjalan dengan pasti, kadang kita hanya menebak-nebak—dan kadang kita membuka laptop hanya untuk menatap kursor 45 menit sambil mempertanyakan keputusan hidup.
Namun yang paling menyakitkan bukan kesalahan metode, tetapi saat melihat orang lain yang asal-asalan malah lulus lebih dulu. Tapi tenang, menurut Ibn Khaldun:
“Kebudayaan yang besar lahir dari usaha yang berat.”
Dan juga, meski tidak dikutip oleh Ibn Khaldun, kita tahu: “Yang cepat belum tentu benar, dan yang lambat belum tentu salah—barangkali hanya terlalu perfeksionis.”
Kita Sedang Mencari Formasi Intelektual
Tujuan utama dari riset bukanlah lulus cepat lalu pergi liburan ke Bali (walau itu menyenangkan), melainkan membentuk karakter intelektual. Bukan hanya soal menemukan jawaban, tetapi menemukan bentuk berpikir kita sendiri.
Riset yang baik adalah seperti humor yang cerdas: tidak langsung terlihat lucu, tapi akan meninggalkan jejak dalam kesadaran pembaca. Kita tidak hanya ingin selesai, kita ingin bermakna. Kita ingin tidak hanya diingat karena disertasi yang tebal, tapi juga karena pemikiran yang menyala—meski pembacanya hanya dua: penguji dan ibu kandung.
Akhirnya, “He who has a why to live can bear almost any how.” —kata Nietzsche
Begitu pula peneliti: yang tahu mengapa ia meneliti, akan bertahan meski menghadapi how yang penuh jebakan, revisi, dan ketidakpastian.
---
Mahasiswa S3 Studi Islam, UIN Imam Bonjol Padang
No comments:
Post a Comment